Disini akhirnya Janu memilih kitab seni permulaan hampa yang misterius. Saat dia menoleh mencari keberadaan Wulung, yang dicarinya sudah tidak ada disana. Malya pun juga sudah tidak nampak lagi, hanya Rangin yang masih berdiri membaca penjelasan beberapa kitab. Beberapa anak mulai berdatangan naik ke lantai tersebut.
Janu pun memutuskan untuk turun ke lantai tiga. Suasana disana sudah berkurang keramaiannya. Janu masih belum menemukan Wulung disana.
'Ah, mungkin Wulung sudah ada di lantai dua.' Pikirnya.
Dia pun bergerak menuju ke salah satu rak yang ada disana. Dibukanya satu per satu gulungan kitab pergerakan. Dia pun mulai sibuk kembali mencari jurus pergerakan.
Beberapa kali Janu berkeliling, akhirnya dia menemukan sebuah kitab yang tulisannya diukir pada sebuah batu pipih. Janu melihat nama jurus tersebut, biasa saja, tidak ada yang menakjubkan.
Kitab teknik bergerak bebas, itu nama yang terukir di batu pipih. Dia lantas melihat isi di ba
"Ki, disini apakah ada catatan tentang gambaran wilayah kerajaan Mataram? Atau kerajaan lain disekitarnya?" Tanya Janu sedikit ragu."Ada! Catatan itu ada di rak sebelah sana. Catatan itu tidak hanya berisi tentang gambar kerajaan Mataram saja, namun berisi tentang gambaran seisi pulau Jawa dan beberapa pulau di sekitarnya.""Setahuku, catatan itu berasal dari empat ratus tahun yang lalu. Mataram masih belum ada, hanya kerajaan Galuh yang berkuasa di barat. Sementara di timur jauh kerajaan kerajaan kecil saling berperang dengan kerajaan kerajaan siluman. Bisa jadi sekarang nama daerah di dalam catatan itu sudah berganti atau malah bisa jadi juga sudah hilang.""Saranku, kau tidak usah mengambil mentah mentah isi dari catatan tersebut. Cari tahu sendiri akan lebih baik daripada mempercayai catatan yang sudah lama itu.""Terimakasih Ki atas sarannya." Sambil memberi hormat, Janu berlalu menuju ke tempat yang ditunjuk Ki Ekadanta.Lama Janu berada di
Janu dan Wulung masih mengobrol di bawah pohon saat dua sosok mendekati mereka. Dua sosok tersebut tanpa malu menghampirinya dan menyapa keduanya."Halo kalian berdua. Perkenalkan, aku Rangin. Maaf waktu itu aku memukulmu agak keras."Sosok anak bertelanjang dada berdiri dihadapan keduanya. Tubuhnya cukup berisi dengan kulit kecokelatan terkena terik matahari. Beberapa gelang emas terpasang di lengan, pertanda kalau dia anak bangsawan. Rangin berdiri sambil melirik kearah Wulung."Halo, Aku Malya, cucu dari Ki Ekadanta. Kamu anak yang ikut bertarung sampai akhir pertandingan kan?" Ucap Malya sambil menunjuk ke arah Janu."Iya, salam kenal semuanya. Aku Janu dan ini Wulung, kamu berdua dari Kademangan Janti." Jawab Janu sopan."Kalian sudah selesai mengambil kitab? Kitab apa saja yang kalian ambil?" Tanya Malya penasaran."Aku mengambil kitab seni permulaan hampa untuk meditasi, lalu kitab teknik bergerak bebas untuk pergerakan, dan kitab ped
Seorang remaja tanggung sedang berusaha membakar kayu yang tersusun di bawah tungku. Asap tebal mengepul saat remaja itu berhasil menyalakan api, berusaha keluar mencari celah diantara pintu, jendela, atau atap rumah. Di luar rumah, seorang remaja lain tengah memotong kayu kecil kecil dan menumpuknya di dinding luar rumah."Kak Janu, apinya sudah nyala!" Teriak anak di dalam."Oh, aku ambil dulu ini berasnya. Kau jaga apinya biar tetap menyala!" Remaja diluar ikut berteriak."Baik kak!"Sementara remaja yang diluar berlari mengumpulkan beras yang dijemur di pinggir rumah, remaja yang didalam duduk menunggu sambil mengamati kayu yang sedang terbakar. Dia tengah membayangkan masa lalunya hingga sekarang.Kegiatan mereka berlangsung cukup lama. Hingga bubur nasi sudah tanak, seorang remaja lain datang membawa daging ayam yang sudah terpotong."Rangin, lama sekali kau!" Protes Janu."Mau bagaimana lagi, tugas dari Mpu Tirtamaya cukup lama
Diatas meja, tumpukan gulungan menggunung. Ada beberapa meja di sudut sudut aula.Ketiga remaja itu sudah tahu, dua meja di ujung aula adalah ditujukan bagi para pemula yang belum mencapai tahap keempat. Lalu lima meja berjejer di dekatnya adalah kelompok tugas bagi murid yang sudah mencapai tahap keempat hingga ke delapan. Dan sepuluh meja berjejer di seberang aula adalah dikhususkan bagi para murid yang sudah mencapai tingkat penguatan energi. Untuk mereka yang sudah mencapai tingkat konsep kebenaran, tugasnya diserahkan langsung oleh Mpu Kalya.Beberapa anak tampak sudah mengerumuni meja untuk tahap keempat dan seterusnya. Saatnya ketiganya berpencar mencari tugas yang cocok untuk mereka. Disini ketiganya segera membolak balikkan dan membuka tiap gulungan tugas."Janu, Wulung kemari!" Undang Rangin di salah satu meja."Ada apa?""Lihat ini!"Kedua remaja itu mendekati Rangin."Ini, ada tugas gampang. Melatih beladiri putra putra Tu
Hari ke tujuh sejak Janu dan kawan kawannya berangkat dari Perguruan Pinus Angin, ahirnya mereka pun tiba di perbatasan Kadipaten Masin."Akhirnya sampai juga! Hahaha, ayo kita ke rumahku!" Ajak Rangin tidak sabar."Kak Rangin, nanti saja. Kita ke desa terdekat dulu, cari makan. Aku masih lapar!" Rengek Wulung."Aku juga masih lelah, kita istirahat saja di desa terdekat." Saran Janu."Huft! Baiklah kalau begitu." Sedikit berat, Rangin mengiyakan.Sejenak mereka beristirahat di desa terdekat. Disana mereka hanya makan sebentar, lalu berjalan kaki lagi karena Rangin sudah tidak sabaran ingin segera sampai di pusat kadipaten.Malam hari pun tiba, ketiganya sampai di depan kediaman Rangin. Disana empat orang prajurit berjaga dengan ketat. Melihat Rangin yang tiba tiba mendatanginya, keempat penjaga itu pangling."Berhenti! Siapa kalian dan ada tujuan apa kemari?" Tanya salah satu penjaga."Paman Trucita, ini aku Rangin! Apa kau lup
Agak lama Rangin dan kedua orang tuanya bercengkerama. Sementara itu, kedua rekan Rangin berdiam diri dibalik pintu. Mereka seolah tidak berani masuk.Bukan masalah apa apa, tetapi keduanya masih belum terbiasa dengan kemewahan kediaman temannya itu. Mereka yang terbiasa hidup di rumah kayu atau bambu biasa, merasa kikuk berada di rumah tersebut.Walaupun dahulu sering berada di kediaman Demang Yasa, namun perbedaan luas dan isi rumah sangatlah banyak. Mereka disini hanya terpaku seakan takut mengotori kediaman Rangin."Oh iya, ayahanda, ibunda, Rangin kemari membawa dua teman Rangin. Janu, Wulung, ayo masuk!" Teriak Rangin dari dalam ruang makan.Kedua rekannya yang sedari tadi hanya diam sontak sedikit terkejut. Mereka dengan kikuk masuk ke dalam ruang makan. Wulung berjalan di belakang Janu, wajahnya merunduk ke bawah, seakan hendak dibenamkan ke bumi. Sementara Janu, dia berjalan berhati hati, membuat gerakan sesopan mungkin."Ini Janu, dan yan
Sudah empat hari sejak Janu tinggal di rumah Tumenggung Arya Mahanta. Selama empat hari itu dia dan kawan kawannya sibuk mencari informasi keberadaan pohon dewandaru. Selama empat hari itu pula mereka akhirnya mendapat dua informasi dari seorang pedagang dan seorang pemburu yang tinggal di kadipaten.Kabar pertama dari sang pedagang. Dia menyebutkan bahwa pernah membeli seikat kayu dari seorang pemburu di Desa Mangunjiwo sekitar tiga puluh tahun lalu. Dia mengatakan kalau dia tidak akan pernah melupakan kejadian itu, karena salah satu kayu yang dia beli itu sangat aneh. Kayu itu sulit patah saat dipotong, juga mengeluarkan bau yang sangat harum.Ketika pedagang itu menyebut ciri ciri kayu tersebut, Janu dan rekan rekannya yakin kalau kayu itu adalah kayu dewandaru.Kabar kedua datang dari seorang pemburu yang ternyata adalah anak dari sang pemburu yang dulu pernah menjual kayu kayuan kepada pedagang yang menceritakan cerita pertama. Saat ditanya perihal kayu yan
Di hari kelima, ketiga remaja itu menghentikan perjalanannya. Mereka beristirahat di bawah sebatang pohon beringin sambil berusaha mengobati luka mereka kembali.Sore hari, Janu yang mendapat luka paling sedikit, bertugas mencari buruan untuk makan malam. Dia berjalan menembus hutan tidak jauh dari lokasi temannya beristirahat."Ampun tuan! Aaarrgggghhhh.........!!"Belum sempat Janu mendapat buruan, terdengar dari agak jauh suara orang berteriak.Janu segera berlari mendekati sumber suara. Saat dia sampai, didepannya tergeletak sesosok tubuh yang sudah tidak bernyawa. Mulutnya mengeluarkan busa, sementara matanya membelalak ketakutan.'Orang ini baru saja mati, apa yang terjadi sebenarnya? Apa dia mati dibunuh?' Batin Janu.Dia lantas menoleh kekanan kekiri. Tidak jauh dari sana ada bekas semak belukar yang baru saja terinjak sesuatu. Reflek, Janu segera berlari mengikuti jejak tersebut.Dari arah depan Janu melihat sekelebat bayanga
Para pendekar sakti mandraguna bertempur dengan si raksasa Kurupa. Mereka melakukan pertempuran dengan berbagai serangan yang luar biasa kuat dan dalam jangkauan yang luas. Beberapa hari mereka bertempur, menyebabkan wilayah itu menjadi hancur. Badai angin, gempa bumi, gunung meletus, bahkan sungai pun meluap menyebabkan banjir bandang ke segala penjuru. Tanah di hutan Trangil sudah tidak berbentuk, rusak dan gersang, tidak ada tanda kehidupan di atasnya.Selama lima hari bertempur, Kurupa mulai terdesak. Dia yang hanya seorang diri akhirnya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pendekar yang bersatu. Kurupa kemudian melarikan diri dengan menghilang dibalik udara hampa. Para pendekar tidak mampu melacak keberadaannya, aura dan jejaknya semua hilang seketika."Aaarrgghh! Kurang ajar si Kurupa itu! Kita tidak boleh membiarkannya lolos begitu saja, kuta harus mencarinya sampai ketemu!" Ki Ekadanta marah mengetahui Kurupa hilang di depan mata."Kalian semua tidak us
"Hei, babi dari Pinus Angin! Hadapi aku kalau kau sanggup!" Tantang si wanita penghadang."Huh! Nyi Kupita, suamimu sudah mati di tangan kami! Kini saatnya giliranmu ikut suamimu ke alam kematian!""Heh! Kejar aku kalau kau sanggup!"Nyi Kupita bergerak bagai angin, dia berlalu menghindari keramaian, diikuti oleh Suli yang mengejarnya. Mereka berdua bergerak menembus kobaran api, menuju ke suatu tempat yang lain.Di sebuah bukit sang wanita berhenti, punggungnya membelakangi Suli."Kena kau sekarang! Beraninya kau mengacaukan rencanaku yang sudah aku buat selama bertahun tahun." Ucap wanita itu.Suli berhenti, dia waspada. Apa maksud dari ucapan Nyi Kupita itu."Apa kau tahu siapa aku?" Tanya Nyi Kupita. Suaranya perlahan mulai berubah agak berat."Apa kau tahu? Ha?!""Aku adalah Gendri Kupita! Penguasa gunung dan lembah! Kau tak akan sanggup melawanku! Hahaha..." Wanita itu berteriak dan tertawa terbahak bahak. Dia kemu
Beberapa waktu para panglima Mataram dan pendekar dari berbagai perguruan melanjutkan pembicaraan. Mereka membahas teknis pergerakan mereka. Suli dan para murid Perguruan Pinus Angin bergerak dari arah barat. Mereka mengepung ke timur dan langsung menuju ke sumber ritual berlangsung.Selesai pembahasan, mereka pun segera bertindak. Selesai persiapan, Suli menuju ke bagian barat hutan Trangil, lantas bersembunyi di balik pepohonan.Tidak lama, sebuah asap hitam membubung tinggi dari berbagai arah. Api menggelora tinggi melebihi pohon, membakar sisi sisi hutan. Api itu menjalar dari satu pohon ke pohon yang lain, menutup bagian luar hutan, terus merasuk semakin jauh ke dalam.Para prajurit dan pendekar yang bersembunyi di luar hutan juga mulai merangsek masuk dari celah kobaran api. Mereka bergerak sesuai rencana, menutup seluruh pergerakan para penganut ilmu hitam.Melihat api yang berkobar sangat besar dari segala arah, para penganut ilmu hitam tetap tena
Beberapa hari setelah penyerangan ke sarang perampok Tanduk Api, Janu dan kawan kawan berpisah dengan Suli. Mereka kembali ke Perguruan Pinus Angin, sementara Suli masih melanjutkan tugasnya. Sebelumnya, para tawanan sudah dikembalikan ke desa masing masing oleh para prajurit Lasem."Kalau kalian mendapat tugas semacam ini lagi, butuh dua kali lagi agar nilainya bisa ditukar dengan ramuan mantra ilusi. Aku jamin ramuan itu akan sangat berguna bagi kalian." Saran Suli saat mereka hendak balik ke perguruan."Ramuan mantra ilusi? Apa itu kak?" Tanya Malya penasaran."Itu adalah semacam ramuan mujarab untuk melancarkan kemampuan berpikir kita. Ramuan itu sangat penting apabila kalian menginginkan sebuah pencerahan. Tapi ingat! Ramuan itu hanya boleh diminum sekali saja.""Hmm, baik kak! Sekarang kami balik dulu, selamat tinggal kak Suli! Sampia jumpa nanti di perguruan."Tujuh orang lelaki dan dua perempuan berjalan kembali menuju ke perguruan. Mereka
"Kak Suli! Semua kawanan perampok sudah kami tumbangkan. Jalada, Andaka, dan Kijan sudah tewas semua, sisa Nyi Kupita yang berhasil melarikan diri ke hutan." Lapor Wulung."Coba kalian periksa sekali lagi, siapa tahu masih ada yang bersembunyi di dalam pondok tau di pinggir bukit.""Baik kak!"Wulung lantas mengajak beberapa murid lain untuk berkeliling. Sementara itu Malya berdiri terpaku menatap Janu yang tengah bermeditasi menyembuhkan diri."Kak, apa dia baik baik saja?" Tanya Malya kepada Suli."Dia baik baik saja, serangan tadi hanya melukai bagian dalam sedikit saja, tidak berpengaruh besar. Dengan ramuan buatanku ini, semua luka dalam akan sembuh seketika, bahkan mungkin bisa memicu peningkatan kekebalan tubuh menjadi lebih baik lagi." Jawab Suli santai."Ramuan macam apa itu kak?" Gumam Malya."Hehehe, kau tidak perlu tahu. Ini rahasia!" Suli tersenyum tipis."Aish! Dasar kakak gendut!" Umpat Malya sedikit kecewa. Dia
Jalada menyerang dengan membabi buta, tidak sadar bahwa senjatanya rusak parah melawan pisau Dwitungga Baruna. Sampai akhirnya goloknya patah, barulah dia mampu dibekuk oleh Janu. Dengan mengorbankan dada kanannya, Janu berhasil menghujamkan pisaunya ke perut Jalada. Ditambah dengan luka yang cukup lebar di leher, membuat lelaki itu pun terjatuh kehilangan nyawa.Para pengikut Jalada kaget melihat pimpinan mereka tewas di tangan Janu. Mereka serasa tidak percaya melihat junjungannya yang selama ini dianggap paling kuat dan brutal bisa sampai meregang nyawa dikalahkan oleh Janu.Kijan, Andaka, dan para wakil perampok yang lain pun juga ikut kaget. Keringat dingin mengucur deras, kini tidak ada lagi yang mampu menahan serangan para murid Perguruan Pinus Angin. Beberapa langsung berlari melarikan diri, sebagian besar masih terdiam di tempat.Melihat Jalada tewas, Nyi Kupita langsung ambil langkah seribu. Dia pergi begitu saja dari hadapan Suli yang tadi sempat mela
Janu dan Wulung juga telah selesai dengan pondok terakhir di wilayahnya. Mereka mendengar keributan di sudut bukit, mereka pun lantas segera menghampirinya.Di satu titik, mereka melihat dari kejauhan beberapa murid tengah bertahan dari serangan para perampok. Di sisi lain, mereka juga melihat lawannya, Jalada, dengan amarahnya menyerang membabi buta.Malya pun terlihat tengah menghadapi Andaka yang sedang mengamuk seperti banteng kesetanan. Sementara itu Rangin yang sedari tadi sudah memisahkan diri tengah mengahadapi lima perampok sekaligus. Nyi Kupita yang hendak membantu Jalada juga tengah ditahan oleh Suli."Wulung, aku akan menghadapi Jalada! Kau urus anak buahnya." Tegas Janu."Tapi kak..." Ujar Wulung sedikit emosi. Dia juga ingin menghadapi Jalada.Janu menatap Wulung, matanya memancarkan keinginan yang sangat kuat. Beberapa saat Wulung mendesah. Dia pun mengangguk."Baik lah kak. Hati hati!" Ucap Wulung pelan. Dia kemudian berlari
"Kita bagi kelompok dalam empat penjuru! Aku ke utara, sisanya kalian bagi saja sendiri, siapa yang akan mengikutiku." Tegas Suli.Para murid pun langsung membagi menjadi empat kelompok, masing masing mengepung dari empat sudut bukit. Janu, Rangin, dan Wulung bergerak ke sisi timur. Sedangkan Malya, bersama murid murid yang lain mengepung dari arah selatan.Disini belum ada yang menyadari pergerakan para murid Perguruan Pinus Angin. Mereka melakukan penyergapan dengan sangat senyap dan tanpa suara, aura mereka pun bahkan dihilangkan. Dengan gesit mereka berjalan mengendap endap dari semak ke semak, pohon ke pohon.Setelah merasa cukup dekat dengan target, mereka langsung menghabisi para penjaga itu dengan senyap. Di luar, para penjaga yang berada di setiap sudut dihabisi tanpa sisa. Tidak ada suara apapun terdengar selain kematian.Para murid berhasil menyusup ke dalam menerobos pagar bambu. Mereka pun bergerak menuju ke pondok pondok yang tersebar disana
Melihat pemimpinnya kalah, para kera yang lain berhamburan ke segala arah. Bagai tubuh tak berkepala, kera kera itu seakan kembali ke sifatnya yang biasa, yang biasanya takut apabila melihat manusia. Dengan tewasnya Lutung Kasyapa, selesai pula tugas Janu dan kawan kawan di Masin. Para prajurit dan murid Perguruan Pinus Angin bisa bernafas lega, kewaspadaan mereka mengendor melihat para kera bergelantungan kabur dari lokasi itu. Para murid perguruan, termasuk Rakawan, terlihat kelelahan setelah bertempur dengan hebat dengan sang siluman. Murid murid dan prajurit yang terluka langsung diberikan pertolongan oleh para prajurit yang sehat. Dua minggu berlalu sejak penyerangan ke hutan Segorokayu, Janu dan ketiga rekannya kini sudah tiba di Lasem. Mereka tidak mau berlama lama di Masin, karena masih ada tugas yang harus dikerjakan di Lasem. Mereka harus membasmi komplotan perampok Tanduk Api yang bertahun tahun meresahkan warga. Di pusat kadipaten, mereka