Di hari kelima, ketiga remaja itu menghentikan perjalanannya. Mereka beristirahat di bawah sebatang pohon beringin sambil berusaha mengobati luka mereka kembali.
Sore hari, Janu yang mendapat luka paling sedikit, bertugas mencari buruan untuk makan malam. Dia berjalan menembus hutan tidak jauh dari lokasi temannya beristirahat.
"Ampun tuan! Aaarrgggghhhh.........!!"
Belum sempat Janu mendapat buruan, terdengar dari agak jauh suara orang berteriak.
Janu segera berlari mendekati sumber suara. Saat dia sampai, didepannya tergeletak sesosok tubuh yang sudah tidak bernyawa. Mulutnya mengeluarkan busa, sementara matanya membelalak ketakutan.
'Orang ini baru saja mati, apa yang terjadi sebenarnya? Apa dia mati dibunuh?' Batin Janu.
Dia lantas menoleh kekanan kekiri. Tidak jauh dari sana ada bekas semak belukar yang baru saja terinjak sesuatu. Reflek, Janu segera berlari mengikuti jejak tersebut.
Dari arah depan Janu melihat sekelebat bayanga
Ketiga remaja itu meyakini bahwa yang mereka lihat adalah pohon dewandaru setelah melihat ciri ciri yang sama dengan yang dijelaskan di dalam kitab. Mereka pun bergegas mendekati pohon tersebut."Akhirnya ketemu juga! Ayo kita panjat."Tanpa basa basi lagi, mereka memanjat pohon dewandaru raksasa itu. Mereka tidak peduli berapa usia pohon dewandaru tersebut. Yang terpenting, ambil dulu buahnya, serahkan kepada Ki Sura Yudha, baru ketahuan usia dari pohon itu. Kalaupun salah, mereka bisa mencari lagi, pikirnya.Lincah bagai monyet, ketiganya sangat cekatan memanjat dari satu cabang ke cabang yang lain.Puluhan buah berwarna merah dikumpulkan ke dalam kantung kain. Dari satu pohon yang tampak subur, kini yang tersisa adalah buah yang masih mentah dan berwarna hijau.Ketiganya pun akhirnya selesai, mereka beristirahat di bawah pohon di pinggir aliran sungai. Ditemani suara air terjun yang serasa seperti musik, mereka mengobrol. Sambil mengobrol, Rangi
Janu sangat terkejut melihat pemandangan kerangka dan daging busuk binatang mati menggunung di hadapannya. Dia juga penasaran dengan sosok yang berada di tengah lorong gua.Menghela nafas, Janu menghampiri stalagmit tersebut.Saat cahaya obor menerangi stalagmit, terpampang jelas apa yang melilit stalagmit tersebut. Sebuah kerangka dari seekor ular raksasa tampak mengerikan melilit stalagmit itu. Kepala sang ular menghadap atas sambil memperlihatkan taringnya, tampak seperti sedang menantang langit. Sebuah tanduk menonjol di ujung tengkorak sang ular.Dari bentuk kerangkanya, Janu kini menduga kalau itu bukanlah kerangka seekor ular biasa. Dia menduga kalau itu adalah kerangka seekor naga yang mati disana, berdasarkan ukuran dan tanduk yang berada di ujung kepala.Dibawah, di dekat stalagmit, dua buah kilauan terpantul dari cahaya obor. Janu penasaran, diambilnya dua benda mengkilap tersebut. Dua benda itu seperti sisik tajam berbentuk pipih dengan ujung
Janu berhasil mencapai tahap kelima, yaitu tahap aliran darah. Beberapa tahap lagi hingga mencapai tahap terakhir.Bermeditasi di dalam mata air tersebut sangatlah ajaib. Padahal belum ada satu bulan Janu mencapai tahap ke empat, dia kini dengan cepat mencapai tahap ke lima. Kemampuannya sekarang tiga kali lipat dibandingkan sebelumnya. Kini pergerakannya lebih cepat lagi, kekuatan ototnya pun juga meningkat."Kita semua mencapai tahap ke lima kak! Sungguh beruntung kita kali ini." Komentar Wulung."Hahaha... Akhirnya kita bisa menyusul Malya! Sekarang kita lihat nanti, siapa yang paling berbakat, apakah aku atau gadis itu?" Meringis, Rangin berbicara sendiri."Kawan kawan, kita harus merahasiakan tempat ini. Jangan sampai ada orang lain yang tahu. Kalau tidak, nanti kita akan mendapat masalah." Tegas Janu memperingatkan. Keduanya mengangguk pelan."Kak, aku haus. Bagaimana kalau aku minum dari mata air ini?" Wulung menjulurkan kepala mencoba meneg
Beberapa hari berjalan menembus hutan, sampailah ketiganya di pusat Kadipaten Masin. Wulung yang beberapa hari itu masih belum sadarkan diri segera dibaringkan di dalam kamar di kediaman Tumenggung Arya Mahanta.Tabib kadipaten segera dipanggil, langsung masuk dan memeriksa tubuh Wulung."Bagaimana tuan tabib? Apakah dia baik baik saja?" Tanya Janu cemas. Dia tetap berada di dalam ruangan, menemani sahabatnya tersebut."Aneh, sungguh aneh! Aku baru pertama kali melihat orang sakit yang tubuhnya mengeluarkan asap. Apa kamu tahu penyebabnya?" Tanya si tabib."Eh, kami... Kami juga tidak tahu tuan. Saat kami... Saat kami sedang berburu di hutan Alas Truno, mendadak dia pingsan seperti itu." Jawab Janu terbata bata. Dia mencoba berbohong, berusaha menutupi tentang pohon dewandaru dan gua misterius.Masih penasaran, sang tabib bertanya kembali, "Apa kalian sebelumnya ada makan sesuatu? Atau... mengalami suatu kejadian aneh begitu?"Janu menggelen
Malam hari, di hari ketiga sejak ketiga remaja tiba di kediaman sang tumenggung, Wulung akhirnya siuman.Saat Wulung terbangun, keanehan terjadi. Dia terbangun dengan membelalakan mata. Kedua matanya merah, semerah darah, sementara pupil matanya pun sedikit mengecil. Muncul aura mengerikan yang sangat pekat terpancar ke segala penjuru ruangan.Janu dan Rangin yang senantiasa ikut berada di dalam kamar pun merasakan aura tersebut. Mereka yang tadinya tengah bermeditasi tiba tiba tersadar. Keduanya segera menoleh ke arah Wulung terbaring.Kening mereka mengkerut, bulu kuduk mereka sedikit berdiri. Aura mengerikan itu sangat mengganggu konsentrasi mereka, juga memecah ketenangan di dalam ruangan.Hanya beberapa saat saja mata Wulung membelalak, selanjutnya kembali ke posisi normal lagi. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, wajahnya basah penuh peluh. Dia masih dalam posisi tiduran, namun nafasnya memburu. Dalam posisi itu dia masih tampak tegang
Wulung dan Rangin mulai berhadapan, keduanya ingin berlatih tanding. Janu dan para prajurit segera menyingkir ke tepi halaman. Halaman itu kini menjadi arena bagi keduanya. Tidak ada yang berani mendekat."Hey Katrong. Bagaimana kalau kita bertaruh, menurutmu siapa yang akan menang, Raden atau tuan Wulung?" Bisik salah satu prajurit."Aku bertaruh satu kepeng perak untuk Raden""Ha... Aku juga, dua kepeng perak untuk Raden." Sahut prajurit lain."Satu kepeng untuk tuan Wulung.""Hmm, aku tiga kepeng untuk tuan Wulung."Disini suasana muai ramai. Beberapa banyak yang saling menyahut."Sssttt! Tolong kalian diam sebentar. Kalau mau taruhan, jangan terlalu keras." Sela Janu kepada mereka.Para prajurit pun diam semua. Suasana menjadi agak dingin. Kini prajurit yang hendak bertaruh hanya bisa berbisik bisik saja.Kedua remaja yang hendak bertaruh telah berhadapan, mereka saling menatap. Keduanya tersenyum, saling mence
Hembusan angin perlahan terasa dari gasingan kayu yang diputar putar Wulung. Hembusan itu menambah kekuatan dan kecepatan gerak dari kayu. Wulung terus memutar kayu sambil mencari titik lemah Rangin."Sekarang persiapkan dirimu kak! Jurus tongkat pemecah halimun, pembelah awan!" Teriak Wulung.Mengambil langkah maju ke depan, Wulung mengangkat ujung kayu ke atas. Diarahkannya kayu tersebut ke kepala Rangin.'Wooosh...!'Terdengar suara desiran angin yang cukup kencang berhembus saat kayu diayunkan.Rangin yang diserang oleh Wulung hanya diam. Dia dengan berani menatap mata lawannya, tanpa melihat kayu yang sedikit lagi mengenai kepalanya. Seketika sedikit senyum merekah dari bibirnya, sekejab kemudian dia menghilang. Ranting kayu yang semula hampir pasti kena, kini hanya memukul ruang kosong.Dengan gerakan yang sangat cepat, Rangin berhasil menghindari serangan dari Wulung. Saat ranting kayu sedikit lagi mengenainya, dia bergeser ke samping
Di dalam rumah, Janu segera msuk ke dapur, diikuti Wulung. Selesai makan, mereka berdua berpapasan dengan sang tumenggung yang sedang bercengkerama dengan istrinya. Sambil berjalan sopan, mereka menyapa keduanya."Selamat siang paman Arya, bibi Lohtika." Sapa Janu dan Wulung bersamaan."Oh, nak Wulung! Kau sudah bangun. Bagaimana kondisi tubuhmu?" Tanya Nyi Lohtika lembut.Sebenarnya dia dan suaminya sudah tahu kalau Wulung sudah siuman, namun mereka masih kaget melihat kondisi Wulung yang segar bugar tanpa ada kelihatan baru pingsan berhari hari."Saya rasa, saya sudah cukup sehat nyi." Jawab Wulung sopan."Hah! Cukup sehat katamu. Tenaga seperti kuda liar begitu hanya bilang cukup sehat!" Canda Rangin sambil lewat. Dia baru saja selesai makan."Hahaha... Syukurlah kalau nak Wulung sudah cukup sehat."Tumenggung Arya Mahanta ikut menimpali. Dia sebentar menatap Janu dan Wulung, tampak sedang berpikir."Dua minggu yang la