Janu sangat terkejut melihat pemandangan kerangka dan daging busuk binatang mati menggunung di hadapannya. Dia juga penasaran dengan sosok yang berada di tengah lorong gua.
Menghela nafas, Janu menghampiri stalagmit tersebut.
Saat cahaya obor menerangi stalagmit, terpampang jelas apa yang melilit stalagmit tersebut. Sebuah kerangka dari seekor ular raksasa tampak mengerikan melilit stalagmit itu. Kepala sang ular menghadap atas sambil memperlihatkan taringnya, tampak seperti sedang menantang langit. Sebuah tanduk menonjol di ujung tengkorak sang ular.
Dari bentuk kerangkanya, Janu kini menduga kalau itu bukanlah kerangka seekor ular biasa. Dia menduga kalau itu adalah kerangka seekor naga yang mati disana, berdasarkan ukuran dan tanduk yang berada di ujung kepala.
Dibawah, di dekat stalagmit, dua buah kilauan terpantul dari cahaya obor. Janu penasaran, diambilnya dua benda mengkilap tersebut. Dua benda itu seperti sisik tajam berbentuk pipih dengan ujung
Janu berhasil mencapai tahap kelima, yaitu tahap aliran darah. Beberapa tahap lagi hingga mencapai tahap terakhir.Bermeditasi di dalam mata air tersebut sangatlah ajaib. Padahal belum ada satu bulan Janu mencapai tahap ke empat, dia kini dengan cepat mencapai tahap ke lima. Kemampuannya sekarang tiga kali lipat dibandingkan sebelumnya. Kini pergerakannya lebih cepat lagi, kekuatan ototnya pun juga meningkat."Kita semua mencapai tahap ke lima kak! Sungguh beruntung kita kali ini." Komentar Wulung."Hahaha... Akhirnya kita bisa menyusul Malya! Sekarang kita lihat nanti, siapa yang paling berbakat, apakah aku atau gadis itu?" Meringis, Rangin berbicara sendiri."Kawan kawan, kita harus merahasiakan tempat ini. Jangan sampai ada orang lain yang tahu. Kalau tidak, nanti kita akan mendapat masalah." Tegas Janu memperingatkan. Keduanya mengangguk pelan."Kak, aku haus. Bagaimana kalau aku minum dari mata air ini?" Wulung menjulurkan kepala mencoba meneg
Beberapa hari berjalan menembus hutan, sampailah ketiganya di pusat Kadipaten Masin. Wulung yang beberapa hari itu masih belum sadarkan diri segera dibaringkan di dalam kamar di kediaman Tumenggung Arya Mahanta.Tabib kadipaten segera dipanggil, langsung masuk dan memeriksa tubuh Wulung."Bagaimana tuan tabib? Apakah dia baik baik saja?" Tanya Janu cemas. Dia tetap berada di dalam ruangan, menemani sahabatnya tersebut."Aneh, sungguh aneh! Aku baru pertama kali melihat orang sakit yang tubuhnya mengeluarkan asap. Apa kamu tahu penyebabnya?" Tanya si tabib."Eh, kami... Kami juga tidak tahu tuan. Saat kami... Saat kami sedang berburu di hutan Alas Truno, mendadak dia pingsan seperti itu." Jawab Janu terbata bata. Dia mencoba berbohong, berusaha menutupi tentang pohon dewandaru dan gua misterius.Masih penasaran, sang tabib bertanya kembali, "Apa kalian sebelumnya ada makan sesuatu? Atau... mengalami suatu kejadian aneh begitu?"Janu menggelen
Malam hari, di hari ketiga sejak ketiga remaja tiba di kediaman sang tumenggung, Wulung akhirnya siuman.Saat Wulung terbangun, keanehan terjadi. Dia terbangun dengan membelalakan mata. Kedua matanya merah, semerah darah, sementara pupil matanya pun sedikit mengecil. Muncul aura mengerikan yang sangat pekat terpancar ke segala penjuru ruangan.Janu dan Rangin yang senantiasa ikut berada di dalam kamar pun merasakan aura tersebut. Mereka yang tadinya tengah bermeditasi tiba tiba tersadar. Keduanya segera menoleh ke arah Wulung terbaring.Kening mereka mengkerut, bulu kuduk mereka sedikit berdiri. Aura mengerikan itu sangat mengganggu konsentrasi mereka, juga memecah ketenangan di dalam ruangan.Hanya beberapa saat saja mata Wulung membelalak, selanjutnya kembali ke posisi normal lagi. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, wajahnya basah penuh peluh. Dia masih dalam posisi tiduran, namun nafasnya memburu. Dalam posisi itu dia masih tampak tegang
Wulung dan Rangin mulai berhadapan, keduanya ingin berlatih tanding. Janu dan para prajurit segera menyingkir ke tepi halaman. Halaman itu kini menjadi arena bagi keduanya. Tidak ada yang berani mendekat."Hey Katrong. Bagaimana kalau kita bertaruh, menurutmu siapa yang akan menang, Raden atau tuan Wulung?" Bisik salah satu prajurit."Aku bertaruh satu kepeng perak untuk Raden""Ha... Aku juga, dua kepeng perak untuk Raden." Sahut prajurit lain."Satu kepeng untuk tuan Wulung.""Hmm, aku tiga kepeng untuk tuan Wulung."Disini suasana muai ramai. Beberapa banyak yang saling menyahut."Sssttt! Tolong kalian diam sebentar. Kalau mau taruhan, jangan terlalu keras." Sela Janu kepada mereka.Para prajurit pun diam semua. Suasana menjadi agak dingin. Kini prajurit yang hendak bertaruh hanya bisa berbisik bisik saja.Kedua remaja yang hendak bertaruh telah berhadapan, mereka saling menatap. Keduanya tersenyum, saling mence
Hembusan angin perlahan terasa dari gasingan kayu yang diputar putar Wulung. Hembusan itu menambah kekuatan dan kecepatan gerak dari kayu. Wulung terus memutar kayu sambil mencari titik lemah Rangin."Sekarang persiapkan dirimu kak! Jurus tongkat pemecah halimun, pembelah awan!" Teriak Wulung.Mengambil langkah maju ke depan, Wulung mengangkat ujung kayu ke atas. Diarahkannya kayu tersebut ke kepala Rangin.'Wooosh...!'Terdengar suara desiran angin yang cukup kencang berhembus saat kayu diayunkan.Rangin yang diserang oleh Wulung hanya diam. Dia dengan berani menatap mata lawannya, tanpa melihat kayu yang sedikit lagi mengenai kepalanya. Seketika sedikit senyum merekah dari bibirnya, sekejab kemudian dia menghilang. Ranting kayu yang semula hampir pasti kena, kini hanya memukul ruang kosong.Dengan gerakan yang sangat cepat, Rangin berhasil menghindari serangan dari Wulung. Saat ranting kayu sedikit lagi mengenainya, dia bergeser ke samping
Di dalam rumah, Janu segera msuk ke dapur, diikuti Wulung. Selesai makan, mereka berdua berpapasan dengan sang tumenggung yang sedang bercengkerama dengan istrinya. Sambil berjalan sopan, mereka menyapa keduanya."Selamat siang paman Arya, bibi Lohtika." Sapa Janu dan Wulung bersamaan."Oh, nak Wulung! Kau sudah bangun. Bagaimana kondisi tubuhmu?" Tanya Nyi Lohtika lembut.Sebenarnya dia dan suaminya sudah tahu kalau Wulung sudah siuman, namun mereka masih kaget melihat kondisi Wulung yang segar bugar tanpa ada kelihatan baru pingsan berhari hari."Saya rasa, saya sudah cukup sehat nyi." Jawab Wulung sopan."Hah! Cukup sehat katamu. Tenaga seperti kuda liar begitu hanya bilang cukup sehat!" Canda Rangin sambil lewat. Dia baru saja selesai makan."Hahaha... Syukurlah kalau nak Wulung sudah cukup sehat."Tumenggung Arya Mahanta ikut menimpali. Dia sebentar menatap Janu dan Wulung, tampak sedang berpikir."Dua minggu yang la
"Maafkan saya tuan tumenggung. Saya datang agak terlambat. Tugas ini baru saya ambil beberapa hari lalu." Ujar Rakawan sambil memberi hormat."Ah tidak apa apa. Yang terpenting nak pendekar ini sudah mau kemari dan membantu kadipaten ini. Kalau boleh tahu, siapa nama nak pendekar?""Saya Rakawan, kakak seperguruan ketiga anak ini. Kalau boleh tahu, apa yang sebenarnya terjadi disini."Tumenggung Arya Mahanta kemudian berbicara panjang lebar tentang wabah yang menyerang kadipaten. Tidak lupa dia menceritakan temuannya tentang siapa dibalik teror wabah tersebut. Semua informasi dikeluarkannya sampai habis. Dia benar benar ingin agar masalah tersebut segera terpecahkan.Rakawan mengernyitkan kening. Dia merasa ada yang aneh dengan masalah ini. Dalam pikirannya, dia curiga orang yang mencurigakan ini menggunakan sebuah ilmu hitam. Mungkin saja ilmu hitam digunakan untuk membunuh warga sebagai syarat meditasi meningkatkan kekuatan. Atau mungkin pula dipakai ha
"Begini saja, nanti kalian aku ajak ikut membantu tugas ini. Nanti aku perlihatkan kekuatan dari Vajra Lothi ini. Tapi ingat, jangan jauh jauh dariku." Ajak Rakawan kepada Janu, Wulung dan Rangin."Siapa takut!" Ujar ketiganya bersamaan."Sebentar! Tugas kita bagaimana? Kalau kita semakin berlama lama disini, nanti buah dewandaru ini cepat busuk." Ingat janu."Oh iya, benar juga!" Sambil menepuk jidat, Rangin baru ingat."Alah tenang, masukkan buah buahan kalian ke dalam sini. Seberapa banyak buah yang kalian bawa pasti muat."Rakawan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik kain pakaiannya."Ini kotak apa kak?""Ini aku pinjam dari pusat penempaan. Aku lupa namanya, tapi kotak ini sangat sakti. Kotak ini bisa menyimpan apapun di dalamnya seberapapun jumlahnya. Lalu apapun yang ada di dalamnya, apabila dikeluarkan, maka kondisinya akan tetap sama seperti ketika dimasukkan. Kotak ini pun ukurannya kecil, jadi gampang dibawa kemana ma
Para pendekar sakti mandraguna bertempur dengan si raksasa Kurupa. Mereka melakukan pertempuran dengan berbagai serangan yang luar biasa kuat dan dalam jangkauan yang luas. Beberapa hari mereka bertempur, menyebabkan wilayah itu menjadi hancur. Badai angin, gempa bumi, gunung meletus, bahkan sungai pun meluap menyebabkan banjir bandang ke segala penjuru. Tanah di hutan Trangil sudah tidak berbentuk, rusak dan gersang, tidak ada tanda kehidupan di atasnya.Selama lima hari bertempur, Kurupa mulai terdesak. Dia yang hanya seorang diri akhirnya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pendekar yang bersatu. Kurupa kemudian melarikan diri dengan menghilang dibalik udara hampa. Para pendekar tidak mampu melacak keberadaannya, aura dan jejaknya semua hilang seketika."Aaarrgghh! Kurang ajar si Kurupa itu! Kita tidak boleh membiarkannya lolos begitu saja, kuta harus mencarinya sampai ketemu!" Ki Ekadanta marah mengetahui Kurupa hilang di depan mata."Kalian semua tidak us
"Hei, babi dari Pinus Angin! Hadapi aku kalau kau sanggup!" Tantang si wanita penghadang."Huh! Nyi Kupita, suamimu sudah mati di tangan kami! Kini saatnya giliranmu ikut suamimu ke alam kematian!""Heh! Kejar aku kalau kau sanggup!"Nyi Kupita bergerak bagai angin, dia berlalu menghindari keramaian, diikuti oleh Suli yang mengejarnya. Mereka berdua bergerak menembus kobaran api, menuju ke suatu tempat yang lain.Di sebuah bukit sang wanita berhenti, punggungnya membelakangi Suli."Kena kau sekarang! Beraninya kau mengacaukan rencanaku yang sudah aku buat selama bertahun tahun." Ucap wanita itu.Suli berhenti, dia waspada. Apa maksud dari ucapan Nyi Kupita itu."Apa kau tahu siapa aku?" Tanya Nyi Kupita. Suaranya perlahan mulai berubah agak berat."Apa kau tahu? Ha?!""Aku adalah Gendri Kupita! Penguasa gunung dan lembah! Kau tak akan sanggup melawanku! Hahaha..." Wanita itu berteriak dan tertawa terbahak bahak. Dia kemu
Beberapa waktu para panglima Mataram dan pendekar dari berbagai perguruan melanjutkan pembicaraan. Mereka membahas teknis pergerakan mereka. Suli dan para murid Perguruan Pinus Angin bergerak dari arah barat. Mereka mengepung ke timur dan langsung menuju ke sumber ritual berlangsung.Selesai pembahasan, mereka pun segera bertindak. Selesai persiapan, Suli menuju ke bagian barat hutan Trangil, lantas bersembunyi di balik pepohonan.Tidak lama, sebuah asap hitam membubung tinggi dari berbagai arah. Api menggelora tinggi melebihi pohon, membakar sisi sisi hutan. Api itu menjalar dari satu pohon ke pohon yang lain, menutup bagian luar hutan, terus merasuk semakin jauh ke dalam.Para prajurit dan pendekar yang bersembunyi di luar hutan juga mulai merangsek masuk dari celah kobaran api. Mereka bergerak sesuai rencana, menutup seluruh pergerakan para penganut ilmu hitam.Melihat api yang berkobar sangat besar dari segala arah, para penganut ilmu hitam tetap tena
Beberapa hari setelah penyerangan ke sarang perampok Tanduk Api, Janu dan kawan kawan berpisah dengan Suli. Mereka kembali ke Perguruan Pinus Angin, sementara Suli masih melanjutkan tugasnya. Sebelumnya, para tawanan sudah dikembalikan ke desa masing masing oleh para prajurit Lasem."Kalau kalian mendapat tugas semacam ini lagi, butuh dua kali lagi agar nilainya bisa ditukar dengan ramuan mantra ilusi. Aku jamin ramuan itu akan sangat berguna bagi kalian." Saran Suli saat mereka hendak balik ke perguruan."Ramuan mantra ilusi? Apa itu kak?" Tanya Malya penasaran."Itu adalah semacam ramuan mujarab untuk melancarkan kemampuan berpikir kita. Ramuan itu sangat penting apabila kalian menginginkan sebuah pencerahan. Tapi ingat! Ramuan itu hanya boleh diminum sekali saja.""Hmm, baik kak! Sekarang kami balik dulu, selamat tinggal kak Suli! Sampia jumpa nanti di perguruan."Tujuh orang lelaki dan dua perempuan berjalan kembali menuju ke perguruan. Mereka
"Kak Suli! Semua kawanan perampok sudah kami tumbangkan. Jalada, Andaka, dan Kijan sudah tewas semua, sisa Nyi Kupita yang berhasil melarikan diri ke hutan." Lapor Wulung."Coba kalian periksa sekali lagi, siapa tahu masih ada yang bersembunyi di dalam pondok tau di pinggir bukit.""Baik kak!"Wulung lantas mengajak beberapa murid lain untuk berkeliling. Sementara itu Malya berdiri terpaku menatap Janu yang tengah bermeditasi menyembuhkan diri."Kak, apa dia baik baik saja?" Tanya Malya kepada Suli."Dia baik baik saja, serangan tadi hanya melukai bagian dalam sedikit saja, tidak berpengaruh besar. Dengan ramuan buatanku ini, semua luka dalam akan sembuh seketika, bahkan mungkin bisa memicu peningkatan kekebalan tubuh menjadi lebih baik lagi." Jawab Suli santai."Ramuan macam apa itu kak?" Gumam Malya."Hehehe, kau tidak perlu tahu. Ini rahasia!" Suli tersenyum tipis."Aish! Dasar kakak gendut!" Umpat Malya sedikit kecewa. Dia
Jalada menyerang dengan membabi buta, tidak sadar bahwa senjatanya rusak parah melawan pisau Dwitungga Baruna. Sampai akhirnya goloknya patah, barulah dia mampu dibekuk oleh Janu. Dengan mengorbankan dada kanannya, Janu berhasil menghujamkan pisaunya ke perut Jalada. Ditambah dengan luka yang cukup lebar di leher, membuat lelaki itu pun terjatuh kehilangan nyawa.Para pengikut Jalada kaget melihat pimpinan mereka tewas di tangan Janu. Mereka serasa tidak percaya melihat junjungannya yang selama ini dianggap paling kuat dan brutal bisa sampai meregang nyawa dikalahkan oleh Janu.Kijan, Andaka, dan para wakil perampok yang lain pun juga ikut kaget. Keringat dingin mengucur deras, kini tidak ada lagi yang mampu menahan serangan para murid Perguruan Pinus Angin. Beberapa langsung berlari melarikan diri, sebagian besar masih terdiam di tempat.Melihat Jalada tewas, Nyi Kupita langsung ambil langkah seribu. Dia pergi begitu saja dari hadapan Suli yang tadi sempat mela
Janu dan Wulung juga telah selesai dengan pondok terakhir di wilayahnya. Mereka mendengar keributan di sudut bukit, mereka pun lantas segera menghampirinya.Di satu titik, mereka melihat dari kejauhan beberapa murid tengah bertahan dari serangan para perampok. Di sisi lain, mereka juga melihat lawannya, Jalada, dengan amarahnya menyerang membabi buta.Malya pun terlihat tengah menghadapi Andaka yang sedang mengamuk seperti banteng kesetanan. Sementara itu Rangin yang sedari tadi sudah memisahkan diri tengah mengahadapi lima perampok sekaligus. Nyi Kupita yang hendak membantu Jalada juga tengah ditahan oleh Suli."Wulung, aku akan menghadapi Jalada! Kau urus anak buahnya." Tegas Janu."Tapi kak..." Ujar Wulung sedikit emosi. Dia juga ingin menghadapi Jalada.Janu menatap Wulung, matanya memancarkan keinginan yang sangat kuat. Beberapa saat Wulung mendesah. Dia pun mengangguk."Baik lah kak. Hati hati!" Ucap Wulung pelan. Dia kemudian berlari
"Kita bagi kelompok dalam empat penjuru! Aku ke utara, sisanya kalian bagi saja sendiri, siapa yang akan mengikutiku." Tegas Suli.Para murid pun langsung membagi menjadi empat kelompok, masing masing mengepung dari empat sudut bukit. Janu, Rangin, dan Wulung bergerak ke sisi timur. Sedangkan Malya, bersama murid murid yang lain mengepung dari arah selatan.Disini belum ada yang menyadari pergerakan para murid Perguruan Pinus Angin. Mereka melakukan penyergapan dengan sangat senyap dan tanpa suara, aura mereka pun bahkan dihilangkan. Dengan gesit mereka berjalan mengendap endap dari semak ke semak, pohon ke pohon.Setelah merasa cukup dekat dengan target, mereka langsung menghabisi para penjaga itu dengan senyap. Di luar, para penjaga yang berada di setiap sudut dihabisi tanpa sisa. Tidak ada suara apapun terdengar selain kematian.Para murid berhasil menyusup ke dalam menerobos pagar bambu. Mereka pun bergerak menuju ke pondok pondok yang tersebar disana
Melihat pemimpinnya kalah, para kera yang lain berhamburan ke segala arah. Bagai tubuh tak berkepala, kera kera itu seakan kembali ke sifatnya yang biasa, yang biasanya takut apabila melihat manusia. Dengan tewasnya Lutung Kasyapa, selesai pula tugas Janu dan kawan kawan di Masin. Para prajurit dan murid Perguruan Pinus Angin bisa bernafas lega, kewaspadaan mereka mengendor melihat para kera bergelantungan kabur dari lokasi itu. Para murid perguruan, termasuk Rakawan, terlihat kelelahan setelah bertempur dengan hebat dengan sang siluman. Murid murid dan prajurit yang terluka langsung diberikan pertolongan oleh para prajurit yang sehat. Dua minggu berlalu sejak penyerangan ke hutan Segorokayu, Janu dan ketiga rekannya kini sudah tiba di Lasem. Mereka tidak mau berlama lama di Masin, karena masih ada tugas yang harus dikerjakan di Lasem. Mereka harus membasmi komplotan perampok Tanduk Api yang bertahun tahun meresahkan warga. Di pusat kadipaten, mereka