Seorang remaja tanggung sedang berusaha membakar kayu yang tersusun di bawah tungku. Asap tebal mengepul saat remaja itu berhasil menyalakan api, berusaha keluar mencari celah diantara pintu, jendela, atau atap rumah. Di luar rumah, seorang remaja lain tengah memotong kayu kecil kecil dan menumpuknya di dinding luar rumah.
"Kak Janu, apinya sudah nyala!" Teriak anak di dalam.
"Oh, aku ambil dulu ini berasnya. Kau jaga apinya biar tetap menyala!" Remaja diluar ikut berteriak.
"Baik kak!"
Sementara remaja yang diluar berlari mengumpulkan beras yang dijemur di pinggir rumah, remaja yang didalam duduk menunggu sambil mengamati kayu yang sedang terbakar. Dia tengah membayangkan masa lalunya hingga sekarang.
Kegiatan mereka berlangsung cukup lama. Hingga bubur nasi sudah tanak, seorang remaja lain datang membawa daging ayam yang sudah terpotong.
"Rangin, lama sekali kau!" Protes Janu.
"Mau bagaimana lagi, tugas dari Mpu Tirtamaya cukup lama
Diatas meja, tumpukan gulungan menggunung. Ada beberapa meja di sudut sudut aula.Ketiga remaja itu sudah tahu, dua meja di ujung aula adalah ditujukan bagi para pemula yang belum mencapai tahap keempat. Lalu lima meja berjejer di dekatnya adalah kelompok tugas bagi murid yang sudah mencapai tahap keempat hingga ke delapan. Dan sepuluh meja berjejer di seberang aula adalah dikhususkan bagi para murid yang sudah mencapai tingkat penguatan energi. Untuk mereka yang sudah mencapai tingkat konsep kebenaran, tugasnya diserahkan langsung oleh Mpu Kalya.Beberapa anak tampak sudah mengerumuni meja untuk tahap keempat dan seterusnya. Saatnya ketiganya berpencar mencari tugas yang cocok untuk mereka. Disini ketiganya segera membolak balikkan dan membuka tiap gulungan tugas."Janu, Wulung kemari!" Undang Rangin di salah satu meja."Ada apa?""Lihat ini!"Kedua remaja itu mendekati Rangin."Ini, ada tugas gampang. Melatih beladiri putra putra Tu
Hari ke tujuh sejak Janu dan kawan kawannya berangkat dari Perguruan Pinus Angin, ahirnya mereka pun tiba di perbatasan Kadipaten Masin."Akhirnya sampai juga! Hahaha, ayo kita ke rumahku!" Ajak Rangin tidak sabar."Kak Rangin, nanti saja. Kita ke desa terdekat dulu, cari makan. Aku masih lapar!" Rengek Wulung."Aku juga masih lelah, kita istirahat saja di desa terdekat." Saran Janu."Huft! Baiklah kalau begitu." Sedikit berat, Rangin mengiyakan.Sejenak mereka beristirahat di desa terdekat. Disana mereka hanya makan sebentar, lalu berjalan kaki lagi karena Rangin sudah tidak sabaran ingin segera sampai di pusat kadipaten.Malam hari pun tiba, ketiganya sampai di depan kediaman Rangin. Disana empat orang prajurit berjaga dengan ketat. Melihat Rangin yang tiba tiba mendatanginya, keempat penjaga itu pangling."Berhenti! Siapa kalian dan ada tujuan apa kemari?" Tanya salah satu penjaga."Paman Trucita, ini aku Rangin! Apa kau lup
Agak lama Rangin dan kedua orang tuanya bercengkerama. Sementara itu, kedua rekan Rangin berdiam diri dibalik pintu. Mereka seolah tidak berani masuk.Bukan masalah apa apa, tetapi keduanya masih belum terbiasa dengan kemewahan kediaman temannya itu. Mereka yang terbiasa hidup di rumah kayu atau bambu biasa, merasa kikuk berada di rumah tersebut.Walaupun dahulu sering berada di kediaman Demang Yasa, namun perbedaan luas dan isi rumah sangatlah banyak. Mereka disini hanya terpaku seakan takut mengotori kediaman Rangin."Oh iya, ayahanda, ibunda, Rangin kemari membawa dua teman Rangin. Janu, Wulung, ayo masuk!" Teriak Rangin dari dalam ruang makan.Kedua rekannya yang sedari tadi hanya diam sontak sedikit terkejut. Mereka dengan kikuk masuk ke dalam ruang makan. Wulung berjalan di belakang Janu, wajahnya merunduk ke bawah, seakan hendak dibenamkan ke bumi. Sementara Janu, dia berjalan berhati hati, membuat gerakan sesopan mungkin."Ini Janu, dan yan
Sudah empat hari sejak Janu tinggal di rumah Tumenggung Arya Mahanta. Selama empat hari itu dia dan kawan kawannya sibuk mencari informasi keberadaan pohon dewandaru. Selama empat hari itu pula mereka akhirnya mendapat dua informasi dari seorang pedagang dan seorang pemburu yang tinggal di kadipaten.Kabar pertama dari sang pedagang. Dia menyebutkan bahwa pernah membeli seikat kayu dari seorang pemburu di Desa Mangunjiwo sekitar tiga puluh tahun lalu. Dia mengatakan kalau dia tidak akan pernah melupakan kejadian itu, karena salah satu kayu yang dia beli itu sangat aneh. Kayu itu sulit patah saat dipotong, juga mengeluarkan bau yang sangat harum.Ketika pedagang itu menyebut ciri ciri kayu tersebut, Janu dan rekan rekannya yakin kalau kayu itu adalah kayu dewandaru.Kabar kedua datang dari seorang pemburu yang ternyata adalah anak dari sang pemburu yang dulu pernah menjual kayu kayuan kepada pedagang yang menceritakan cerita pertama. Saat ditanya perihal kayu yan
Di hari kelima, ketiga remaja itu menghentikan perjalanannya. Mereka beristirahat di bawah sebatang pohon beringin sambil berusaha mengobati luka mereka kembali.Sore hari, Janu yang mendapat luka paling sedikit, bertugas mencari buruan untuk makan malam. Dia berjalan menembus hutan tidak jauh dari lokasi temannya beristirahat."Ampun tuan! Aaarrgggghhhh.........!!"Belum sempat Janu mendapat buruan, terdengar dari agak jauh suara orang berteriak.Janu segera berlari mendekati sumber suara. Saat dia sampai, didepannya tergeletak sesosok tubuh yang sudah tidak bernyawa. Mulutnya mengeluarkan busa, sementara matanya membelalak ketakutan.'Orang ini baru saja mati, apa yang terjadi sebenarnya? Apa dia mati dibunuh?' Batin Janu.Dia lantas menoleh kekanan kekiri. Tidak jauh dari sana ada bekas semak belukar yang baru saja terinjak sesuatu. Reflek, Janu segera berlari mengikuti jejak tersebut.Dari arah depan Janu melihat sekelebat bayanga
Ketiga remaja itu meyakini bahwa yang mereka lihat adalah pohon dewandaru setelah melihat ciri ciri yang sama dengan yang dijelaskan di dalam kitab. Mereka pun bergegas mendekati pohon tersebut."Akhirnya ketemu juga! Ayo kita panjat."Tanpa basa basi lagi, mereka memanjat pohon dewandaru raksasa itu. Mereka tidak peduli berapa usia pohon dewandaru tersebut. Yang terpenting, ambil dulu buahnya, serahkan kepada Ki Sura Yudha, baru ketahuan usia dari pohon itu. Kalaupun salah, mereka bisa mencari lagi, pikirnya.Lincah bagai monyet, ketiganya sangat cekatan memanjat dari satu cabang ke cabang yang lain.Puluhan buah berwarna merah dikumpulkan ke dalam kantung kain. Dari satu pohon yang tampak subur, kini yang tersisa adalah buah yang masih mentah dan berwarna hijau.Ketiganya pun akhirnya selesai, mereka beristirahat di bawah pohon di pinggir aliran sungai. Ditemani suara air terjun yang serasa seperti musik, mereka mengobrol. Sambil mengobrol, Rangi
Janu sangat terkejut melihat pemandangan kerangka dan daging busuk binatang mati menggunung di hadapannya. Dia juga penasaran dengan sosok yang berada di tengah lorong gua.Menghela nafas, Janu menghampiri stalagmit tersebut.Saat cahaya obor menerangi stalagmit, terpampang jelas apa yang melilit stalagmit tersebut. Sebuah kerangka dari seekor ular raksasa tampak mengerikan melilit stalagmit itu. Kepala sang ular menghadap atas sambil memperlihatkan taringnya, tampak seperti sedang menantang langit. Sebuah tanduk menonjol di ujung tengkorak sang ular.Dari bentuk kerangkanya, Janu kini menduga kalau itu bukanlah kerangka seekor ular biasa. Dia menduga kalau itu adalah kerangka seekor naga yang mati disana, berdasarkan ukuran dan tanduk yang berada di ujung kepala.Dibawah, di dekat stalagmit, dua buah kilauan terpantul dari cahaya obor. Janu penasaran, diambilnya dua benda mengkilap tersebut. Dua benda itu seperti sisik tajam berbentuk pipih dengan ujung
Janu berhasil mencapai tahap kelima, yaitu tahap aliran darah. Beberapa tahap lagi hingga mencapai tahap terakhir.Bermeditasi di dalam mata air tersebut sangatlah ajaib. Padahal belum ada satu bulan Janu mencapai tahap ke empat, dia kini dengan cepat mencapai tahap ke lima. Kemampuannya sekarang tiga kali lipat dibandingkan sebelumnya. Kini pergerakannya lebih cepat lagi, kekuatan ototnya pun juga meningkat."Kita semua mencapai tahap ke lima kak! Sungguh beruntung kita kali ini." Komentar Wulung."Hahaha... Akhirnya kita bisa menyusul Malya! Sekarang kita lihat nanti, siapa yang paling berbakat, apakah aku atau gadis itu?" Meringis, Rangin berbicara sendiri."Kawan kawan, kita harus merahasiakan tempat ini. Jangan sampai ada orang lain yang tahu. Kalau tidak, nanti kita akan mendapat masalah." Tegas Janu memperingatkan. Keduanya mengangguk pelan."Kak, aku haus. Bagaimana kalau aku minum dari mata air ini?" Wulung menjulurkan kepala mencoba meneg