"Tak ada kejahatan yang terus menang. Ada ujung yang membahagiakan bagi yang tersakiti. Seperti roda, selalu berputar. Meskipun tiap gerakannya selalu berbeda hambatannya."***"Saya rasa ada yang aneh sama diri saya, Ava. Padahal cuma beberapa jam, tetapi saya merasa ada belasan hari yang terbuang. Ternyata saya serindu itu sama kamu."Ava yang tengah mengupas apel untuk Biru langsung mendelik kesal. Sejak tadi yang dilakukan pria itu hanya berbicara gombal. Ava sampai bingung sendiri dibuatnya. Biru yang lebih banyak serius, berubah jadi lawak sehabis ditembak. Apel yang sudah Ava kupas dan potong, lalu ia berikan pada Biru yang langsung menerimanya. Pria itu tadi mengeluh lapar, dan Ava pun menawari buah sebagai cemilan. Jam makan yang ditentukan masih tiga puluh menit lagi, dan tidak ada makanan lain selain buah yang boleh dikonsumsi oleh orang sakit. "Saya rasa bukan bahu kamu deh, yang kena tembak. Tapi, kepala kamu," cibir Ava yang dibalas tawa oleh Biru. "Kamu enggak capek m
"Seseorang yang memegang tanganmu, dan berjanji membahagiakanmu, belum tentu menjadi yang paling akhir. Namun, seseorang yang menawarkanmu hidup bersama, bisa jadi adalah pilihan terakhir."***"Penjualan kayu kita mengalami peningkatan yang signifikan, Bang."Grafik mungkin tak bisa berbicara, namun mampu menjelaskan sebuah kerja keras. Senyum yang tak penuh, tetapi puas adalah gambaran nyata sebuah bahagia yang tak berkoar-koar. Djati menatap, menghembus sorak sorai dalam hatinya yang kini ramai oleh sebuah hasil yang Bernardio tampakkan padanya. Ia yakin, usahanya akan besar, meskipun terjal menghadang.Djati menaruh kembali grafik itu di atas meja. Ia menatap tangan kanannya dengan bangga. Ada sebuah rasa tak terjelaskan, namun Dio tahu bosnya sedang berterima kasih. Ini adalah salah satu kehebatan pria itu, mengerti balas budi, tanpa lihat posisi."Kamu yang paling luar biasa dalam membesarkan perusahaan ini. Tanpa kamu saya enggak bisa apa-apa. Terima kasih, Dio," ucap Djati sam
"Masa lalu bukanlah sebuah cerminan hidup seseorang. Masa lalu hanya sebuah garis waktu yang pernah terjadi, dan dilupakan saat tidak butuh untuk dikenang."***Petir menggelegar memekakkan telinga. Rintikan hujan disertai angin saling bertabrakan membuat suasana begitu mencekam. Ava hendak pergi, namun segala keadaan yang terpampang membuatnya takut. Ava tak pernah suka badai, selalu ribut dan membuatnya merinding setengah mati.Yeni membawa Ava kembali ke kamar, dan mempersilahkan dirinya untuk istirahat sampai hujan benar-benar reda. Yeni tahu kalau atasannya itu ketakutan. Jadi, Yeni tak pergi ke mana pun, dan tetap menjaga Ava di luar kamar."Ada apa Mbak?"Pertanyaan itu langsung terdengar, saat Yeni menelpon Dhani. "Dhan, maaf ya, bilang sama Mas Biru kalau Mbak Ava enggak bisa pergi. Mbak Ava sepertinya takut akan badai," ungkap Yeni dengan gamblang.Dhani melihat ke jendela. Di luar rumah sakit, hujan juga sangat deras. Sepertinya malam itu seluruh kota diserang badai yang sa
"Bersama orang yang kamu cintai, kamu bahagia. Bersama orang yang mencintaimu, kamu tidak hanya bahagia, tapi juga beruntung."***"Perkenalkan Ibu, nama saya Olivia Marwa. Saya ditugaskan oleh Ibu Tarissa untuk menjelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan Ibu Pertiwi Foundation. Saya nantinya akan bertugas sebagai sekretaris Ibu Ava. Mohon maaf sebelumnya, saya menemui Ibu di waktu yang tidak tepat, ya?"Pertanyaan dari seorang gadis bernama Olivia Marwa ini membuat Ava mengernyit. Ava menoleh pada Biru, saat Olivia meminta maaf atas kehadirannya. Ava memberi kode agar Biru tersenyum atau melakukan sesuatu yang membuat perasaan Olivia lebih baik. Pria itu memilih mengedikkan bahu, dan kembali menyantap buburnya yang hambar.Ava mendelik, Biru memang selalu payah kalau harus beramah tamah pada orang lain. Ava lalu mengalihkan tatapannya, dan tersenyum sungkan pada Olivia. Olivia pun balas tersenyum, dan kemudian mengedipkan matanya sekali pertanda bahwa ia sudah terbiasa dengan si
"Bahkan yang jahat saja bisa luluh dengan cinta. Bahkan yang kesepian saja masih butuh sebuah ketulusan. Lalu mengapa kamu tetap bertahan di tengah gempuran kebencian?"***"Pak, saya meminta maaf. Tetapi Ini sudah hari kesepuluh, dan kami belum bisa menemukan keluarga Purwanto. Setelah surat panggilan untuk Bu Ava dilayangkan, maka dalam waktu tiga puluh hari, kasus ini akan dilimpahkan ke pengadilan. Pak Praba sendiri statusnya masih saksi hingga hari ini."Biru murka. Ia hampir membanting ponselnya, kalau tidak ingat begitu banyak data penting di sana. Setelah kembali bekerja, banyak kasus terbengkalai, dan yang paling parah mereka hanya menemukan kasus-kasus kecil di klub malam. Hal yang paling gila lainnya, dia kehilangan Praba sebagai tersangka.Ia tahu akan begini jadinya. Namun ia sudah berusaha, tapi tetap kalah juga dengan orang dalam. Rasanya begitu menyiksa. Kekalahan berkali-kali bukanlah satu hal yang membanggakan."Bagaimana sekarang, Pak?" Pertanyaan Althaf membuat Bir
"Usaha tidak akan mengkhinati hasil. Saat kamu berusaha sekuat apa pun, dan masih belum berhasil, berarti memang bukan rezekimu di sana. Rezekimu mungkin di tempat lain, dan sedang menantimu untuk meraihnya."***"Mengapa Anda ingin bertemu Purwanto? Mengapa Anda menyuruh kami untuk mengawasi Purwanto? Ada apa, Pak?"Althaf masih bingung. Pria muda itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi namun kemarin pagi tiba-tiba saja Biru menyuruhnya mengubah rencana. Ia ingin menyelidiki Purwanto di penjara, bahkan dengan lugas berkata ingin menemuinya juga. Padahal di hari sebelumnya Biru ingin berhenti.Karena pertanyaannya tidak dijawab, Althaf pun pada akhirnya menyerah. Ia memberikan video CCTV yang telah Biru minta. Ia tidak paham, di dalamnya tak ada yang mencurigakan. Untuk apa atasannya itu capek-capek menyelidiki sebuah CCTV yang tak punya hasil?"Saya sudah memeriksa. Di sana tidak ada apa-apa, Pak." Biru tidak menanggapi. Ia colok flashdisk yang Althaf berikan, dan mulai menelisik
"Ada banyak jalan menuju keberhasilan. Bila satu gagal, maka jalan lain akan terbuka untukmu. Namun dengan satu catatan: berusahalah sampai kamu rasanya ingin mati!"***"Kamu benar. Ada tahanan yang sepertinya bertugas sebagai informan. Besok, saya akan menemui Purwanto. Tolong do'akan saya agar dia terpancing dengan apa pun yang saya katakan."Ava yang sedang memakai krim perawatan wajah langsung melirik suaminya lewat kaca. Ia mengangguk, membuat Biru tersenyum. Dari sudut matanya, ia memperhatikan Biru yang sejak tadi menelisik kegiatannya sambil bicara. Pria itu begitu cerewet sejak Ava sampai di rumah.Ada yang berbeda memang dengan Biru hari ini. Suaminya yang terbiasa pulang di atas jam tujuh malam, mendadak telah sampai sebelum pukul lima. Tentu saja Ava kaget. Pemandangan Biru di rumah, dan sedang menunggunya adalah sesuatu yang sangat amat langka."Ava," panggil Biru tiba-tiba. Ava lagi-lagi melirik suaminya. Proses perawatan wajahnya hampir beres."Ya, kenapa?""Kamu kan,
"Susunan hidup yang sempurna bisa saja gagal dengan mudah, bila Tuhan tidak menginginkannya. Sama halnya dengan susunan hidup yang tidak manusia inginkan, tapi Tuhan justru memberikannya dengan sangat mudah." *** "Saya sudah katakan pada Anda bahwa tidak ada siapa pun yang berdiri di belakang saya. Mengapa Anda masih ingin menemui saya?" Purwanto lelah. Setelah kejahatannya tertangkap tangan, ia seperti dikejar oleh malaikat maut. Hidupnya tidak tenang. Di satu sisi, ia ingin menyerah karena takut dosa, tapi di sisi lain ada keluarga yang patut ia jaga keselamatannya. Biru tersenyum. Seringainya menakutkan, dan aura pria itu begitu dingin menusuk. Purwanto tahu, Biru bukanlah seorang polisi biasa. Bila ia hanya berkedudukan rendah, pastilah tidak memiliki akses untuk menemuinya, dan menekannya seperti sekarang. "Anda yakin mau terus seperti ini?" tanya Biru dengan nada yang begitu rendah. Purwanto tahu ini bentuk tekanan paling berbahaya. Bila nadanya makin mendesis, maka makin b
"Lepasin tangan gue! Lo tuh, sudah punya istri. Mau apa lagi sih?"Padma memaksa Travis untuk melepas tangannya. Tapi, pria itu seperti menolak permintaannya. Padahal Travis sudah menjadi suami Ayunda, tapi mengapa masih saja mengemis untuk menjelaskan hal yang sudah berlalu. Padma tak segila itu untuk mendengarkan, dan membuang waktunya hanya untuk pria itu.Travis masih kencang memeganginya, padahal tangan Padma sudah merah karena terus dipaksa. Padma ingin berteriak, tapi di tangga darurat itu tak ada siapa pun. Pria itu sengaja menariknya ke sini untuk menyudutkannya, dan melakukan apa pun yang pria itu ingin lakukan. Namun Padma jelas tak akan membiarkannya."Dia minta dilepasin, lo enggak dengar memangnya? Apa karena lo bule, makanya harus pakai bahasa Inggris? Cepat lepasin, sebelum gue terpaksa mematahkan tangan itu."Padma, dan Travis kaget. Ternyata ada orang lain di koridor tersebut. Ia sedang duduk tak jauh dari kami, dan sepertinya sudah memperhatikan kami sejak tadi. Tra
"Maaf, anda siapa ya?"Istri dari Radjarta bertanya, saat Bernardio berdiri di depan rumahnya. Ia sengaja langsung bertemu sang pemilik untuk memberikan aset yang sedianya dititipkan Praba padanya kepada keluarga Radjarta. Karena amanat, Bernardio pun langsung melakukannya, dan menjalankan tugasnya secepat ia bisa."Maaf, kalau saya mengganggu." Bernardio pun menyodorkan tangannya, dan istri Radjarta langsung menjabatnya. "Saya Bernardio. Saya tangan kanannya Pak Djati, anaknya Pak Praba. Saya ingin menyampaikan pesan dari Pak Praba untuk anda.""Oh, ya, silahkan masuk."Bernardio pun masuk, dan diminta duduk di salah satu kursi di ruang tamu tersebut. "Mohon maaf sebelumnya, Ibu. Karena saya tidak tahu nomor rekening Ibu, atau pun Pak Radja. Jadi, saya memberikannya dalam bentuk cek. Jadi, nanti anda bisa datang ke bank terdekat, dan meminta untuk mentransfernya ke rekening yang Ibu miliki.""Aduh, maaf Mas Bernard, tapi ini tuh, maksudnya apa ya? Bisa bicaranya pelan-pelan. Saya ini
"Anda tahu kan, kesempatan anda sempit untuk tidak mendapat hukuman seumur hidup. Meskipun kita ajukan banding sekali pun, pastinya akan sulit untuk menang. Kesalahan anda terlalu banyak, dan itu tidak bisa ditukar hanya dengan kerja sama dengan pihak kepolisian sekali pun."Praba mengangguk, ia mengerti segala konsekuensi yang ia harus hadapi kedepannya. Semenjak Djati dinyatakan meninggal, dan Ava sudah mau menemuinya, segala keputusan yang diberikan padanya akan diterimanya dengan ikhlas. Praba tak akan pernah menuntut apa-apa. Apa pun yang diterimanya adalah ganjaran dari seluruh perbuatannya di masa lalu."Saya sudah bilang tidak apa-apa kan, Jeremy? Jadi, jangan tanya lagi. Apa pun yang diputuskan oleh hakim, saya akan menerimanya.""Tidak ada akan menyesal?"Praba menggeleng. "Jika saya takut menyesal, maka saya tidak akan melakukan semua kejahatan di masa lalu, Jeremy. Apa pun yang terjadi ke depannya, saya akan terima. Kamu tidak perlu takut. Kamu juga patutnya berubah. Pilih
"Ada permulaan, dan ada akhir. Ada pertemuan, dan juga perpisahan. Jadi, jangan pernah sesali apapun."***"Mama bahagia deh! Ava mau melahirkan, dan Asla dinyatakan hamil. Nah sat set begini dong. Dalam waktu yang enggak lama keluarga kita akan ramai dengan tangisan bayi. Ya Tuhan, terima kasih!"Ava tertawa sambil merangkul bahu mertuanya yang terlihat sangat bahagia. Kini, meskipun tantangan di hadapannya akan lebih berat, namun Tarissa lebih bahagia. Tidak hanya sebagai nenek, Tarissa akan menyandang status baru, yakni menjadi ibu negara. Perhitungan cepat dilakukan, dan untuk sementara hasil akhir menentukan kalau ayah mertuanya, Berdaya Adinegara unggul dengan enam puluh satu persen. Jauh mengungguli pesaingnya.Walaupun demikian, Tarissa tak peduli. Kebahagiaan anak-anaknya sekarang adalah hal utama. Ia sangatlah senang melihat kalau kedua putranya tak lama lagi akan menjadi ayah. Menjalani pernikahan yang bahagia bersama istri-istri mereka. Masalah negara, itu urusan nanti."K
"Tak ada yang pasti dalam hidup ini. Termasuk manusia yang tiap hari, jam, menit, dan detik bisa berubah pikiran, serta sikap."***"Wah, sudah berapa bulan, Mbak kehamilannya?"Seorang ibu yang mengantar putrinya cek kandungan bertanya, dan Ava hanya menjawab sekadarnya sambil tersenyum. Ia lalu menceritakan kalau putrinya juga hamil tak jauh dari usia kandungan Ava. Sayangnya tak sebahagia Ava yang bisa diantar kemana-mana oleh sang suami. Ava sebenarnya enggan mendengarkan masalah rumah tangga orang lain, tapi karena Biru tak juga kembali dari toilet membuat Ava akhirnya terpekur mendengar kisah cinta orang lain.Baru setengah jalan Ibu itu bercerita, terdapat keributan di ujung lorong lantai rumah sakit tempat Ava duduk menunggu untuk diperiksa dokter kandungan. Ava, dan sang ibu menoleh. Mereka mendapati seorang perempuan tengah berteriak, dan membentak si laki-laki dengan caci maki yang begitu keras. Awalnya Ava tak peduli, ia melengos, dan kembali melemparkan pandangan ke korid
“Setiap hal di muka bumi ini akan ada timbal balik. Setiap kejahatan yang manusia tanam, akan mendapat imbas yang serupa. Setiap kebaikan yang manusia berikan, maka akan mendapat hadiah yang besar, bahkan berlipat ganda nikmatnya.” *** “Apa anda yakin akan membongkar semuanya?” Praba mengangguk dengan yakin. Tak pernah ada sedikit pun kegundahan di hatinya yang membuat Praba tidak yakin dengan pernyataannya. Ia ingin mengungkapkan segalanya, seperti permintaan Biru, dan juga Ava. Bila mereka ingin Praba menghabiskan waktu untuk selamanya di penjara, maka akan ia lakukan semua itu dengan sukarela, dan juga ikhlas. Ia tahu kesalahannya sangatlah banyak, dan juga tak terbendung. Ia bahkan rela menanggung kesalahan Djati untuk ia tanggung, karena memang semua yang terjadi pada Djati adalah salahnya. Ia yang menjerumuskan Djati ke dunia ini. Ia pula yang memaksa, dan mengancam Djati untuk tetap menjual narkoba, meskipun anak itu tak menginginkannya sama sekali. “Tolong catat semua ora
"Kata orang-orang, saat mencintai pria, standar pertama bagi seorang perempuan adalah ayahnya. Lalu bagaimana jika figur ayah tak pernah muncul dalam diri seorang perempuan?"***Ava meringis saat melihat ayah kandungnya sendiri. Lama tak melihat Praba, membuatnya lupa akan sosok itu. Sosok yang dahulu pernah sangat ia benci sedemikian rupa, sekarang terkurung menyedihkan di dalam jeruji besi yang dingin. Inilah yang Ava inginkan, meskipun kini rasa iba itu muncul, menyeruak memenuhi seluruh hatinya."Apakabar Pak Praba?" tanya Ava memulai pembicaraan. Ava menunggu, tapi Praba tak juga memulai pembicaraan, jadi ia mendahuluinya dengan suara bergetar. "Ini pertemuan pertama kita, setelah segala permasalahan dan plot twist yang tersaji di hidup kita."Praba diam, tapi ia tak mungkin duduk di situ, dan tak memulai apa pun. "Walau saya tak suka tempat ini, tapi saya baik-baik saja. Tempat ini tak seburuk pikiran saya. Kemungkinan saya mulai merasa nyaman di sini.""Ini serius, atau hanya
"Terkadang dalam hidup banyak hal yang tak terduga. Termasuk sebuah keinginan yang tak terwujud, tapi digantikan dengan hal lain yang lebih besar oleh Tuhan."***"Kalian bertengkar?"Biru melirik istrinya dari balik kertas-kertas berisi laporan keuangan perusahaannya. Biru benar-benar banyak sekali pekerjaan, selepas platform permainannya viral, dan brand pakaiannya mengalami peningkatan penjualan yang sangat drastis. Mengalahkan pekerjaannya sebagai seorang polisi, Biru hampir saja menghabiskan sisa dua puluh empat jam hanya untuk pekerjaan sampingannya. Belum lagi, kini ia harus membagi waktunya yang sudah sempit untuk istri, dan calon bayi mereka.Ava yang baru selesai mandi, dan tengah mengeringkan rambutnya tersebut juga hanya menghela napas. Ia tahu akan percuma membagi kisah ini pada suaminya, tapi selain Biru, Ava tak tahu lagi harus bercerita pada siapa. Jadi, meskipun Biru tak memahami alasannya marah pada Padma, ia tetap menjelaskan kronologi pertengkarannya dengan sahabat
"Tak ada yang sempurna dalam hidup, termasuk sebuah pernikahan. Pasti ada pasang surut yang membuat sebagian orang pasangan akhirnya berpisah, dan memilih jalan lain sendiri-sendiri."***"Selamat ya, Mas Samudera, dan Mbak Asla. Semoga kalian langgeng terus hingga maut memisahkan. Benar-benar deh, kalian berdua cocok banget!"Celetukan Irvin membuat beberapa keluarga tertawa saat mendengarnya. Namun apa yang dikatakan Irvin benar adanya. Samudera yang tampan sangat cocok bersanding dengan Asla yang sangat manis, dan cantik. Samudera yang hanya memakai kemeja putih, dan Asla yang memakai gaun putih selutut sangatlah padu bersama.Belum lagi dengan latar belakang pantai Anyer di Novus Jiva Villa, membuat suasana yang terasa begitu intim, serta indah. Dengan dihadiri oleh keluarga besar kedua mempelai, pernikahan Samudera, dan Asla terasa sangat berkesan. Keduanya seperti larut dalam bahagia bersama orang-orang yang mereka kenal dekat sejak kecil."Peenikahan yang indah, ya?" tanya Asta