"Seseorang yang memegang tanganmu, dan berjanji membahagiakanmu, belum tentu menjadi yang paling akhir. Namun, seseorang yang menawarkanmu hidup bersama, bisa jadi adalah pilihan terakhir."***"Penjualan kayu kita mengalami peningkatan yang signifikan, Bang."Grafik mungkin tak bisa berbicara, namun mampu menjelaskan sebuah kerja keras. Senyum yang tak penuh, tetapi puas adalah gambaran nyata sebuah bahagia yang tak berkoar-koar. Djati menatap, menghembus sorak sorai dalam hatinya yang kini ramai oleh sebuah hasil yang Bernardio tampakkan padanya. Ia yakin, usahanya akan besar, meskipun terjal menghadang.Djati menaruh kembali grafik itu di atas meja. Ia menatap tangan kanannya dengan bangga. Ada sebuah rasa tak terjelaskan, namun Dio tahu bosnya sedang berterima kasih. Ini adalah salah satu kehebatan pria itu, mengerti balas budi, tanpa lihat posisi."Kamu yang paling luar biasa dalam membesarkan perusahaan ini. Tanpa kamu saya enggak bisa apa-apa. Terima kasih, Dio," ucap Djati sam
"Masa lalu bukanlah sebuah cerminan hidup seseorang. Masa lalu hanya sebuah garis waktu yang pernah terjadi, dan dilupakan saat tidak butuh untuk dikenang."***Petir menggelegar memekakkan telinga. Rintikan hujan disertai angin saling bertabrakan membuat suasana begitu mencekam. Ava hendak pergi, namun segala keadaan yang terpampang membuatnya takut. Ava tak pernah suka badai, selalu ribut dan membuatnya merinding setengah mati.Yeni membawa Ava kembali ke kamar, dan mempersilahkan dirinya untuk istirahat sampai hujan benar-benar reda. Yeni tahu kalau atasannya itu ketakutan. Jadi, Yeni tak pergi ke mana pun, dan tetap menjaga Ava di luar kamar."Ada apa Mbak?"Pertanyaan itu langsung terdengar, saat Yeni menelpon Dhani. "Dhan, maaf ya, bilang sama Mas Biru kalau Mbak Ava enggak bisa pergi. Mbak Ava sepertinya takut akan badai," ungkap Yeni dengan gamblang.Dhani melihat ke jendela. Di luar rumah sakit, hujan juga sangat deras. Sepertinya malam itu seluruh kota diserang badai yang sa
"Bersama orang yang kamu cintai, kamu bahagia. Bersama orang yang mencintaimu, kamu tidak hanya bahagia, tapi juga beruntung."***"Perkenalkan Ibu, nama saya Olivia Marwa. Saya ditugaskan oleh Ibu Tarissa untuk menjelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan Ibu Pertiwi Foundation. Saya nantinya akan bertugas sebagai sekretaris Ibu Ava. Mohon maaf sebelumnya, saya menemui Ibu di waktu yang tidak tepat, ya?"Pertanyaan dari seorang gadis bernama Olivia Marwa ini membuat Ava mengernyit. Ava menoleh pada Biru, saat Olivia meminta maaf atas kehadirannya. Ava memberi kode agar Biru tersenyum atau melakukan sesuatu yang membuat perasaan Olivia lebih baik. Pria itu memilih mengedikkan bahu, dan kembali menyantap buburnya yang hambar.Ava mendelik, Biru memang selalu payah kalau harus beramah tamah pada orang lain. Ava lalu mengalihkan tatapannya, dan tersenyum sungkan pada Olivia. Olivia pun balas tersenyum, dan kemudian mengedipkan matanya sekali pertanda bahwa ia sudah terbiasa dengan si
"Bahkan yang jahat saja bisa luluh dengan cinta. Bahkan yang kesepian saja masih butuh sebuah ketulusan. Lalu mengapa kamu tetap bertahan di tengah gempuran kebencian?"***"Pak, saya meminta maaf. Tetapi Ini sudah hari kesepuluh, dan kami belum bisa menemukan keluarga Purwanto. Setelah surat panggilan untuk Bu Ava dilayangkan, maka dalam waktu tiga puluh hari, kasus ini akan dilimpahkan ke pengadilan. Pak Praba sendiri statusnya masih saksi hingga hari ini."Biru murka. Ia hampir membanting ponselnya, kalau tidak ingat begitu banyak data penting di sana. Setelah kembali bekerja, banyak kasus terbengkalai, dan yang paling parah mereka hanya menemukan kasus-kasus kecil di klub malam. Hal yang paling gila lainnya, dia kehilangan Praba sebagai tersangka.Ia tahu akan begini jadinya. Namun ia sudah berusaha, tapi tetap kalah juga dengan orang dalam. Rasanya begitu menyiksa. Kekalahan berkali-kali bukanlah satu hal yang membanggakan."Bagaimana sekarang, Pak?" Pertanyaan Althaf membuat Bir
"Usaha tidak akan mengkhinati hasil. Saat kamu berusaha sekuat apa pun, dan masih belum berhasil, berarti memang bukan rezekimu di sana. Rezekimu mungkin di tempat lain, dan sedang menantimu untuk meraihnya."***"Mengapa Anda ingin bertemu Purwanto? Mengapa Anda menyuruh kami untuk mengawasi Purwanto? Ada apa, Pak?"Althaf masih bingung. Pria muda itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi namun kemarin pagi tiba-tiba saja Biru menyuruhnya mengubah rencana. Ia ingin menyelidiki Purwanto di penjara, bahkan dengan lugas berkata ingin menemuinya juga. Padahal di hari sebelumnya Biru ingin berhenti.Karena pertanyaannya tidak dijawab, Althaf pun pada akhirnya menyerah. Ia memberikan video CCTV yang telah Biru minta. Ia tidak paham, di dalamnya tak ada yang mencurigakan. Untuk apa atasannya itu capek-capek menyelidiki sebuah CCTV yang tak punya hasil?"Saya sudah memeriksa. Di sana tidak ada apa-apa, Pak." Biru tidak menanggapi. Ia colok flashdisk yang Althaf berikan, dan mulai menelisik
"Ada banyak jalan menuju keberhasilan. Bila satu gagal, maka jalan lain akan terbuka untukmu. Namun dengan satu catatan: berusahalah sampai kamu rasanya ingin mati!"***"Kamu benar. Ada tahanan yang sepertinya bertugas sebagai informan. Besok, saya akan menemui Purwanto. Tolong do'akan saya agar dia terpancing dengan apa pun yang saya katakan."Ava yang sedang memakai krim perawatan wajah langsung melirik suaminya lewat kaca. Ia mengangguk, membuat Biru tersenyum. Dari sudut matanya, ia memperhatikan Biru yang sejak tadi menelisik kegiatannya sambil bicara. Pria itu begitu cerewet sejak Ava sampai di rumah.Ada yang berbeda memang dengan Biru hari ini. Suaminya yang terbiasa pulang di atas jam tujuh malam, mendadak telah sampai sebelum pukul lima. Tentu saja Ava kaget. Pemandangan Biru di rumah, dan sedang menunggunya adalah sesuatu yang sangat amat langka."Ava," panggil Biru tiba-tiba. Ava lagi-lagi melirik suaminya. Proses perawatan wajahnya hampir beres."Ya, kenapa?""Kamu kan,
"Susunan hidup yang sempurna bisa saja gagal dengan mudah, bila Tuhan tidak menginginkannya. Sama halnya dengan susunan hidup yang tidak manusia inginkan, tapi Tuhan justru memberikannya dengan sangat mudah." *** "Saya sudah katakan pada Anda bahwa tidak ada siapa pun yang berdiri di belakang saya. Mengapa Anda masih ingin menemui saya?" Purwanto lelah. Setelah kejahatannya tertangkap tangan, ia seperti dikejar oleh malaikat maut. Hidupnya tidak tenang. Di satu sisi, ia ingin menyerah karena takut dosa, tapi di sisi lain ada keluarga yang patut ia jaga keselamatannya. Biru tersenyum. Seringainya menakutkan, dan aura pria itu begitu dingin menusuk. Purwanto tahu, Biru bukanlah seorang polisi biasa. Bila ia hanya berkedudukan rendah, pastilah tidak memiliki akses untuk menemuinya, dan menekannya seperti sekarang. "Anda yakin mau terus seperti ini?" tanya Biru dengan nada yang begitu rendah. Purwanto tahu ini bentuk tekanan paling berbahaya. Bila nadanya makin mendesis, maka makin b
"Setiap manusia memiliki masalah. Tidak akan ada satu pun manusia yang bisa lari. Mereka akan dikejar, lalu dikungkung. Bila berhasil melarikan diri, bukannya hilang. Masalah itu tetap ada, hingga benar-benar selesai menjadi sebuah pembelajaran."***Praba tertawa begitu keras. Saking kerasnya ia bahkan ingin menangis karenanya. Ya, sebingung itu deskripsi hati Praba. Di satu sisi ia murka karena beberapa koleganya berhasil tertangkap, namun di sisi lain ia senang karena ada salah satu yang begitu pintar menumpahkan kesalahan pada kerabat wakil presiden."Ini adalah sebuah jalur hidup yang begitu menyenangkan." Praba mengalihkan mata dari televisi ke Radja yang justru tidak senang dengan pemberitaan tersebut. "Kenapa tegang begitu?""Empat dari sepuluh yang tertangkap adalah kolega bapak. Bapak tidak takut?"Praba menggeleng. "Kan yang enam, tidak. Mereka sepertinya sukses melobi. Mencari tumbal, lalu dengan bodohnya menyasar pada Gunadhi Adinegara. Pasti keluarga Berdaya Adinegara se