"Setiap manusia memiliki masalah. Tidak akan ada satu pun manusia yang bisa lari. Mereka akan dikejar, lalu dikungkung. Bila berhasil melarikan diri, bukannya hilang. Masalah itu tetap ada, hingga benar-benar selesai menjadi sebuah pembelajaran."***Praba tertawa begitu keras. Saking kerasnya ia bahkan ingin menangis karenanya. Ya, sebingung itu deskripsi hati Praba. Di satu sisi ia murka karena beberapa koleganya berhasil tertangkap, namun di sisi lain ia senang karena ada salah satu yang begitu pintar menumpahkan kesalahan pada kerabat wakil presiden."Ini adalah sebuah jalur hidup yang begitu menyenangkan." Praba mengalihkan mata dari televisi ke Radja yang justru tidak senang dengan pemberitaan tersebut. "Kenapa tegang begitu?""Empat dari sepuluh yang tertangkap adalah kolega bapak. Bapak tidak takut?"Praba menggeleng. "Kan yang enam, tidak. Mereka sepertinya sukses melobi. Mencari tumbal, lalu dengan bodohnya menyasar pada Gunadhi Adinegara. Pasti keluarga Berdaya Adinegara se
"Setelah malam, ada siang. Seperti kebimbangan yang akan menemui tujuan. Seperti kegaduhan yang pada akhirnya membiarkan kesunyian mampir."***"Kok bisa sih, Om Gunadi terseret kasus korupsi? Ya, maksud saya semua orang tahu Om Gunadi itu dari keluarga Adinegara. Keluarga konglomerat lho! Jadi, mana mungkin sih, korupsi?"Tak ada yang bisa menyangkal. Pernyataan Ava benar adanya. Keluarga Adinegara adalah keluarga konglomerat, tapi tak lantas bisa lepas dari jerat korupsi. Namun sekali lagi pernyataan Ava tidaklah salah, Gunadi bersih, tidak mungkin ia terlibat kasus murahan seperti korupsi.Biru sendiri tak habis pikir. Sungguh tak masuk akal seorang pria kaya yang sejak kecil memiliki saldo miliaran diseret dalam kasus korupsi. Padahal kalau pun mau bersenang-senang, dan pamer, Gunadi tinggal ambil saldo itu tanpa perlu capek-capek mencuri."Om Gunadi yang menandatangani proposal pembangunan Yayasan Orang Tua Asuh. Jadi, ia juga yang bertanggung jawab, meskipun uang hasil korupsiny
"Ada banyak kata, dan tindakan yang mampu melumpuhkan hati. Tapi, tak ada yang bisa menandingi sebuah cumbuan. Hanya sedetik, tapi mampu membuatmu terbang, tanpa ingat untuk menapak."***"Biru."Desahan itu menghilangkan akal. Menghapus segala jarak diantara kedua insan. Biru meraih tubuh Ava ke dalam pangkuannya, mendekapnya erat agar ia tak kemana-mana. Jarinya sudah bergerilya, mengelus lembut punggung hingga tengkuk.Tak ada bedanya dengan Biru, Ava rasa sebentar lagi ia akan gila. Bukannya mendorong pria itu menjauh, tapi justru mengalungkan tanganya ke leher Biru. Sesekali ditelusurinya rambut Biru yang lebat, seraya saling memagut dalam panasnya suasana. Biru sudah akan memasuki fase yang lebih dalam, namun ketukan di pintu membuat segala hal yang mereka lakukan jadi terhenti dalam sekejap."Ya, sebentar," sahut Ava dengan suara serak yang begitu kentara. Ava hendak bangun dari pangkuan Biru, namun pria itu menghalanginya. "Biru, ada yang memanggil."Biru tidak menyahut. Ia mer
"Hidup nyatanya penuh dengan teka-teki. Saat kamu mengharap A, maka ada B yang Tuhan berikan sebagai gantinya. Bukan tanpa sebab, tapi ada alasan pasti, dan sebuah hikmah dari teka-teki itu."***"Siapa bilang kalau saya belum mencintai kamu?"Pertanyaan itu nyatanya mampu membuat Biru tersentak. Ia melepas pelukannya, lalu memandangi Ava dengan intens. Ia cari kebenaran dalam setiap binar yang tergambar jelas. Di kedua tangan yang meraup lengan Ava dengan erat, terdapat sebuah kekuatan kecil yang memaksa gadis itu untuk tersenyum. Ava tahu Biru pasti terkejut."Maksud kamu apa?"Ava mengangkat tangannya, meraih wajah Biru, dan mengusapnya lembut. "Saya sudah pernah bilang kan, saya takut kehilangan kamu saat kamu tertembak? Itu mungkin bukan pernyataan cinta, tapi sebuah bentuk rasa yang sama dengan cinta. Kalau saya enggak punya rasa ke kamu, mungkin saya enggak akan membalas ciuman kamu. Saya mungkin akan mendorong kamu.""Jadi?" tanya Biru lagi dengan ekspresi yang begitu heran. "
"Hanya butuh waktu, segala hal bisa terwujud. Sayangnya manusia suka tidak sabar, lalu berusaha mengakhiri penantian dengan curang. Padahal menunggu sedikit lebih lama, akan membuatmu dua kali lipat lebih bahagia."***"Saya akan berdiri di belakang Anda."Biru tersenyum lega. Begitu pun dengan Althaf. Mereka bahkan memberi Purwanto hadiah. Padahal pria itu belum sama sekali memberi Biru dan Althaf informasi yang menguntungkan.Purwanto menerima amplop yang Biru berikan. Ia lalu membukanya, dan langsung tersenyum haru saat melihat kertas-kertas berisi foto keluarganya. Hati Biru menghangat. Ia bersyukur bahwa keluarga pria itu selamat, dan tidak kekurangan satu apa pun."Anda menjaga keluarga saya, kan? Mereka semua akan aman, kan?" cerca Purwanto pada Biru yang langsung menjawab dengan anggukan pasti. Ia akan berjanji, tentu saja. "Terima kasih, Pak.""Petugas saya menyamar, dan melindungi keluarga kamu dua puluh empat jam full. Saya menjamin keselamatan mereka 95%. Lima persen sisan
"Hidup manusia selalu berputar. Setelah badai, ada pelangi. Lalu kembali cerah, dan bertemu badai lagi. Seterusnya seperti itu hingga mati, tak bernyawa."***Setelah bangun tidur, hati Ava jauh lebih baik. Hari itu ia akan ke kantor polisi untuk memenuhi panggilan atas kasus rencana pembunuhannya. Biru kemarin sengaja datang ke kantor yayasan untuk memberi surat tersebut. Di luar perkiraannya, Biru justru sibuk menenangkan hatinya yang sedang gundah gulana."Kayaknya kamu mesti ganti baju deh," ujar Biru kepada Ava yang tengah menyisir rambutnya, dan kemudian mengikatnya setengah. Ava melirik suaminya dari balik cermin. Memberi kode lewat mata, mengapa ia perlu melakukan hal itu. "Kamu terlalu cantik, Ava. Bagaimana bisa kamu secantik itu hanya untuk datang ke kandang buaya?"Ava menggeleng. Ia berbalik, menghadap suaminya, dan memicing. "Jangan bercanda deh! Polwan sekarang bahkan secantik bidadari. Kamu nih, suka melebih-lebihkan sesuatu, tahu enggak."Biru tertawa. Ava benar, polwa
"Ada hal yang sudah terencana, tapi sudah mati-matian tidak terlaksana. Lalu ada hal yang tidak terencana, tapi dengan mulus terlaksana tanpa hambatan."***"Saya Ava Kinandhita, ketua Yayasan Ibu Pertiwi yang baru. Sekretaris saya, Olivia sudah membuat janji dengan Pak Djati hari ini. Bagaimana? Bisa saya bertemu beliau sekarang?"Sang resepsionis pun mengangguk. Ia menyuruh Ava untuk menunggu sebentar. Ava pun mengiyakan, dia duduk di bangku yang tersedia di lobi, dan kembali memeriksa ponselnya. Biru belum menghubunginya juga.Ava sudah sangat cemas saat mendengar kabar kalau Purwanto tewas, karena bunuh diri. Ia sudah membayangkan wajah kecewa Biru. Ia ingin menemui suaminya, tapi pria itu sudah pergi ke TKP. Ava harap Biru baik-baik saja saat ini."Mbak Ava, kok di sini?" tanya seorang perempuan yang Ava tahu sebagai sekretaris Djati, Ningsih. Gadis berparas manis itu mendekati Ava, dan merangkul bahunya untuk berdiri. Tampaknya Ningsih belum tahu kalau Ava sudah menikah dengan p
"Segala hal tentang orang yang kita cintai memang terasa menyenangkan. Entah bagian buruk, dan baiknya. Semua terasa indah bila dilalui bersama."***"Kali ini mau ada yang ketuk pintu, atau badai sekali pun, abaikan saja. Jangan ditanggapi!"Ava terkekeh, lalu mengangguk. Kulitnya yang cantik sudah merah, karena gairah. Biru sangat menyukainya. Avanya terlihat sangat cantik, membuatnya begitu sumringah melihatnya.Dengan lembut, ia cium kening Ava. Ciumannya merambah ke bagian wajahnya yang lain, seperti hidung, pipi, pelipis, dagu, hingga yang paling akhir bibir. Ia lumat dengan penuh perasaan, menorehkan segala cinta yang pria itu punya.Ava pun membalasnya. Dengan segenap rasa yang mulai tumbuh di hatinya, ia dekap Biru dengan erat. Ia biarkan pria itu menerima haknya. Ia terima segala kecupan di setiap lekuk wajahnya."Biru," lirih Ava saat Biru mulai menciumi lehernya. Pria itu bahkan sudah mulai berdiri. Menggendong Ava dengan mudah menuju tempat tidur."Ava, maaf." Ucapan itu t