"Bahkan yang jahat saja bisa luluh dengan cinta. Bahkan yang kesepian saja masih butuh sebuah ketulusan. Lalu mengapa kamu tetap bertahan di tengah gempuran kebencian?"***"Pak, saya meminta maaf. Tetapi Ini sudah hari kesepuluh, dan kami belum bisa menemukan keluarga Purwanto. Setelah surat panggilan untuk Bu Ava dilayangkan, maka dalam waktu tiga puluh hari, kasus ini akan dilimpahkan ke pengadilan. Pak Praba sendiri statusnya masih saksi hingga hari ini."Biru murka. Ia hampir membanting ponselnya, kalau tidak ingat begitu banyak data penting di sana. Setelah kembali bekerja, banyak kasus terbengkalai, dan yang paling parah mereka hanya menemukan kasus-kasus kecil di klub malam. Hal yang paling gila lainnya, dia kehilangan Praba sebagai tersangka.Ia tahu akan begini jadinya. Namun ia sudah berusaha, tapi tetap kalah juga dengan orang dalam. Rasanya begitu menyiksa. Kekalahan berkali-kali bukanlah satu hal yang membanggakan."Bagaimana sekarang, Pak?" Pertanyaan Althaf membuat Bir
"Usaha tidak akan mengkhinati hasil. Saat kamu berusaha sekuat apa pun, dan masih belum berhasil, berarti memang bukan rezekimu di sana. Rezekimu mungkin di tempat lain, dan sedang menantimu untuk meraihnya."***"Mengapa Anda ingin bertemu Purwanto? Mengapa Anda menyuruh kami untuk mengawasi Purwanto? Ada apa, Pak?"Althaf masih bingung. Pria muda itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi namun kemarin pagi tiba-tiba saja Biru menyuruhnya mengubah rencana. Ia ingin menyelidiki Purwanto di penjara, bahkan dengan lugas berkata ingin menemuinya juga. Padahal di hari sebelumnya Biru ingin berhenti.Karena pertanyaannya tidak dijawab, Althaf pun pada akhirnya menyerah. Ia memberikan video CCTV yang telah Biru minta. Ia tidak paham, di dalamnya tak ada yang mencurigakan. Untuk apa atasannya itu capek-capek menyelidiki sebuah CCTV yang tak punya hasil?"Saya sudah memeriksa. Di sana tidak ada apa-apa, Pak." Biru tidak menanggapi. Ia colok flashdisk yang Althaf berikan, dan mulai menelisik
"Ada banyak jalan menuju keberhasilan. Bila satu gagal, maka jalan lain akan terbuka untukmu. Namun dengan satu catatan: berusahalah sampai kamu rasanya ingin mati!"***"Kamu benar. Ada tahanan yang sepertinya bertugas sebagai informan. Besok, saya akan menemui Purwanto. Tolong do'akan saya agar dia terpancing dengan apa pun yang saya katakan."Ava yang sedang memakai krim perawatan wajah langsung melirik suaminya lewat kaca. Ia mengangguk, membuat Biru tersenyum. Dari sudut matanya, ia memperhatikan Biru yang sejak tadi menelisik kegiatannya sambil bicara. Pria itu begitu cerewet sejak Ava sampai di rumah.Ada yang berbeda memang dengan Biru hari ini. Suaminya yang terbiasa pulang di atas jam tujuh malam, mendadak telah sampai sebelum pukul lima. Tentu saja Ava kaget. Pemandangan Biru di rumah, dan sedang menunggunya adalah sesuatu yang sangat amat langka."Ava," panggil Biru tiba-tiba. Ava lagi-lagi melirik suaminya. Proses perawatan wajahnya hampir beres."Ya, kenapa?""Kamu kan,
"Susunan hidup yang sempurna bisa saja gagal dengan mudah, bila Tuhan tidak menginginkannya. Sama halnya dengan susunan hidup yang tidak manusia inginkan, tapi Tuhan justru memberikannya dengan sangat mudah." *** "Saya sudah katakan pada Anda bahwa tidak ada siapa pun yang berdiri di belakang saya. Mengapa Anda masih ingin menemui saya?" Purwanto lelah. Setelah kejahatannya tertangkap tangan, ia seperti dikejar oleh malaikat maut. Hidupnya tidak tenang. Di satu sisi, ia ingin menyerah karena takut dosa, tapi di sisi lain ada keluarga yang patut ia jaga keselamatannya. Biru tersenyum. Seringainya menakutkan, dan aura pria itu begitu dingin menusuk. Purwanto tahu, Biru bukanlah seorang polisi biasa. Bila ia hanya berkedudukan rendah, pastilah tidak memiliki akses untuk menemuinya, dan menekannya seperti sekarang. "Anda yakin mau terus seperti ini?" tanya Biru dengan nada yang begitu rendah. Purwanto tahu ini bentuk tekanan paling berbahaya. Bila nadanya makin mendesis, maka makin b
"Setiap manusia memiliki masalah. Tidak akan ada satu pun manusia yang bisa lari. Mereka akan dikejar, lalu dikungkung. Bila berhasil melarikan diri, bukannya hilang. Masalah itu tetap ada, hingga benar-benar selesai menjadi sebuah pembelajaran."***Praba tertawa begitu keras. Saking kerasnya ia bahkan ingin menangis karenanya. Ya, sebingung itu deskripsi hati Praba. Di satu sisi ia murka karena beberapa koleganya berhasil tertangkap, namun di sisi lain ia senang karena ada salah satu yang begitu pintar menumpahkan kesalahan pada kerabat wakil presiden."Ini adalah sebuah jalur hidup yang begitu menyenangkan." Praba mengalihkan mata dari televisi ke Radja yang justru tidak senang dengan pemberitaan tersebut. "Kenapa tegang begitu?""Empat dari sepuluh yang tertangkap adalah kolega bapak. Bapak tidak takut?"Praba menggeleng. "Kan yang enam, tidak. Mereka sepertinya sukses melobi. Mencari tumbal, lalu dengan bodohnya menyasar pada Gunadhi Adinegara. Pasti keluarga Berdaya Adinegara se
"Setelah malam, ada siang. Seperti kebimbangan yang akan menemui tujuan. Seperti kegaduhan yang pada akhirnya membiarkan kesunyian mampir."***"Kok bisa sih, Om Gunadi terseret kasus korupsi? Ya, maksud saya semua orang tahu Om Gunadi itu dari keluarga Adinegara. Keluarga konglomerat lho! Jadi, mana mungkin sih, korupsi?"Tak ada yang bisa menyangkal. Pernyataan Ava benar adanya. Keluarga Adinegara adalah keluarga konglomerat, tapi tak lantas bisa lepas dari jerat korupsi. Namun sekali lagi pernyataan Ava tidaklah salah, Gunadi bersih, tidak mungkin ia terlibat kasus murahan seperti korupsi.Biru sendiri tak habis pikir. Sungguh tak masuk akal seorang pria kaya yang sejak kecil memiliki saldo miliaran diseret dalam kasus korupsi. Padahal kalau pun mau bersenang-senang, dan pamer, Gunadi tinggal ambil saldo itu tanpa perlu capek-capek mencuri."Om Gunadi yang menandatangani proposal pembangunan Yayasan Orang Tua Asuh. Jadi, ia juga yang bertanggung jawab, meskipun uang hasil korupsiny
"Ada banyak kata, dan tindakan yang mampu melumpuhkan hati. Tapi, tak ada yang bisa menandingi sebuah cumbuan. Hanya sedetik, tapi mampu membuatmu terbang, tanpa ingat untuk menapak."***"Biru."Desahan itu menghilangkan akal. Menghapus segala jarak diantara kedua insan. Biru meraih tubuh Ava ke dalam pangkuannya, mendekapnya erat agar ia tak kemana-mana. Jarinya sudah bergerilya, mengelus lembut punggung hingga tengkuk.Tak ada bedanya dengan Biru, Ava rasa sebentar lagi ia akan gila. Bukannya mendorong pria itu menjauh, tapi justru mengalungkan tanganya ke leher Biru. Sesekali ditelusurinya rambut Biru yang lebat, seraya saling memagut dalam panasnya suasana. Biru sudah akan memasuki fase yang lebih dalam, namun ketukan di pintu membuat segala hal yang mereka lakukan jadi terhenti dalam sekejap."Ya, sebentar," sahut Ava dengan suara serak yang begitu kentara. Ava hendak bangun dari pangkuan Biru, namun pria itu menghalanginya. "Biru, ada yang memanggil."Biru tidak menyahut. Ia mer
"Hidup nyatanya penuh dengan teka-teki. Saat kamu mengharap A, maka ada B yang Tuhan berikan sebagai gantinya. Bukan tanpa sebab, tapi ada alasan pasti, dan sebuah hikmah dari teka-teki itu."***"Siapa bilang kalau saya belum mencintai kamu?"Pertanyaan itu nyatanya mampu membuat Biru tersentak. Ia melepas pelukannya, lalu memandangi Ava dengan intens. Ia cari kebenaran dalam setiap binar yang tergambar jelas. Di kedua tangan yang meraup lengan Ava dengan erat, terdapat sebuah kekuatan kecil yang memaksa gadis itu untuk tersenyum. Ava tahu Biru pasti terkejut."Maksud kamu apa?"Ava mengangkat tangannya, meraih wajah Biru, dan mengusapnya lembut. "Saya sudah pernah bilang kan, saya takut kehilangan kamu saat kamu tertembak? Itu mungkin bukan pernyataan cinta, tapi sebuah bentuk rasa yang sama dengan cinta. Kalau saya enggak punya rasa ke kamu, mungkin saya enggak akan membalas ciuman kamu. Saya mungkin akan mendorong kamu.""Jadi?" tanya Biru lagi dengan ekspresi yang begitu heran. "