Seperti janji Violet pada pak Sam. Tiga minggu setelah kunjungan terakhir ke rumah pak Sam, Violet pun bisa bernafas lega karena skripsinya sudah mencapai tahap akhir.
Violet berdendang ria, menyesap teh panasnya di cangkir. Tak menyadari ayah yang memperhatikan tingkahnya.
"Vio, duduk sini.""Iya, yah. Ada apa?""Kakak kamu, Viana sebentar lagi nikah. Kamu bantu urus pernikahannya yaa""Ok deh, yah...gampang itu..." Violet mengambil singkong rebus dimeja untuk sarapan. Dia tak biasa makan nasi goreng. Maghnya tidak bagus. Hari ini banyak menu sarapan yang tersaji. Singkong rebus, pisang kukus dan nasi goreng. Sederhana tapi menarik."Gimana skripsi kamu?""Oh, tenang yah...hari demi hari berlalu, bulan demi bulan berganti, dan...""Vioo jangan ngada-ngada! Jawab aja pertanyaan ayahmu." sahut ibu kesal dari dapur. Adiknya turun dari tangga dengan rambut berantakan, menyampirkan handuk di leher."Pertanyaan apa, bu? Frans kan belum nanya.""Eleuh...ni lagi. Bagus kamu mandi, sikat gigi biar ngigaunya gak kelamaan." kata Viana kepada Frans si bungsu. Viana adalah kakaknya Violet. Cerdas, aktif dan ceria seperti motto anak PAUD."Bu, hari ini Via pulang agak malam ya! Pulang kerja, Via mau ke rumah sakit kanker. Kakaknya teman Via sakit, ma.""Oh ya? Sakit apa?""Kanker rahim, bu...""Astaghfirullah..." Ibu dan Violet mengelus dada kaget. Banyak sekali penyakit menyeramkan yang tak disadari manusia sampai berkembang menjadi lebih parah."Baik, nanti pulang sama siapa?""Dio yang antar, bu...""Kak, calon pengantin yang mau dekat pernikahan. Gak boleh ketemuan dulu. PAMALI!""Pamali itu kalau diucapkan, dipercayai dan dilaksanakan maka terjadi. Tawakkal, percaya sama Allah. Emang kamu mau, kakakmu yang cantik jelita mewangi sepanjang hari ini pulang sendiri terus dibawa lari orang lain?""Beuu siapa juga yang mau melakukan hal tercela begitu," Violet pindah duduk ke sebelah ayah."Nah, udah sampai mana skripsi kamu?""Vio udah masukkan surat untuk sidang, yah. Insyaallah sebentar lagi ada panggilan sidang," Violet mengunyah singkong rebus kesukaannya."Hmm ok...besok ayah pergi dulu ya, bu! Ada urusan di Bogor,""Apa, yah?""Seminar pendidikan.""Violet boleh ikut, yah?""Boleh aja kalau gak ganggu kuliah kamu.""Sip lah. Kita berangkat jam berapa, yah?""Kita berangkat jam tujuh pagi. Nanti ada yang jemput.""Ok, yah...Vio masuk kamar dulu yaa"Violet pun menyiapkan keperluan untuk besok. Buku catatan, alat tulis, dan baju ganti, juga alat mandi. Kata mama, kemanapun pergi...jangan lupa membawa semua itu. Jadi tidak repot, jika sesuatu hal terjadi.
Violet tiduran dikasurnya, dia sudah tak sabar menunggu pagi. Berpergian bersama ayahnya, adalah hal yang selalu Violet nantikan. Ayahnya seorang dosen di universitas swasta terkenal di Jakarta, panutan bagi banyak orang. Bagi Violet yang masih sendiri alias single, dia akan mencari sosok paduan dari ayah dan adiknya. Sifat berpendidikan ayah sebagai guru dan sifat tenang adiknya dalam menghadapi masalah menjadi kriteria Violet dalam menentukan pasangan hidupnya. Boleh dong...? Boleh lah.Violet tidak pernah melakukan hubungan serius dengan lelaki lain, tetapi dia punya banyak teman lelaki. Violet ingin menunggu sosok lelaki perpaduan ayah dan adiknya. Semoga menjadi kenyataan. Aamiin.Dia merebahkan dirinya di kasur, pikirannya terus menjelajah kemana-mana sampai dia tertidur pulas, dan pagi menjelang. Sinar pagi masuk melalui celah jendela, menyilaukan pandangan Violet.
Jam menunjukkan pukul setengah enam pagi. Dia terkejut bangun dan bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu lalu melaksanakan shalat subuh. Setelah itu dia mandi dan mengganti pakaiannya. Violet memasukkan pakaian kotornya ke dalam mesin cuci, lalu mencuci sambil menulis novel digital. Ya, hobby tetaplah hobby. Bisa dilakukan saat ada kesempatan, dan kesempatan itu harus diadakan bukan hanya ditunggu. Benar, kan?Selesai mencuci, Violet pun segera mandi dan bersiap-siap. Dia menuruni anak tangga menuju ruang makan.
"Vio, sarapan dulu sebelum pergi. Jangan lupa ajak ayah dan tamunya ya!" Teriak ibu dari dapur."Iya, bu" Violet pun memanggil ayah dan seorang pemuda tampan di ruang tamu untuk sarapan bersama di ruang makan."Weteeuu ganteng bingits geeess,"Gumamnya dalam hati.
Mereka makan bersama tanpa banyak bicara, selesai makan mereka mengobrol di ruang tamu sampai memutuskan akan berangkat."Bu, Vio pergi dulu, ya!""Iya, hati-hati...be a good girl.""Always bu. Assalamu'alaikum...""Kami pergi, permisi bu. Assalamu'alaikum...""Oh iya. Hati-hati ya nak Tomy. Wa 'alaikum salam..." Ibu mengantar mereka ke mobil setelah mencium tangan ayah, mobilpun berjalan pelan menyusuri jalan.Selama perjalanan, Violet terus mengetik novel di laptopnya. Sambil menghayal, kadang tersenyum sendiri, kadang cemberut. Tomy yang menyetir jadi ikut senyum-senyum melihat tingkah Violet dari kaca.Dua jam, akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Kampus Negeri di Bogor itu tampak asri dengan berbagai tanaman dan pohon yang berbaris rapi.Tomy memarkirkan mobilnya tepat di depan kolam kecil yang ada pada parkiran aula kampus. Spanduk bertuliskan, "Mari, Mengkaji Linguistik Dalam Komunikasi" terpampang di hadapan mereka. Bersama nara sumber Prof. Drs. Syahbuddin yang diikuti oleh Forum Pemuda Kebahasaan, dengan sponsor berbagai macam buku penerbit dan stand karya para mahasiswa.
Mata Violet menyipit, memperhatikan seseorang yang mulai menyita perhatiannya. Tante cantik, dirumah dosennya. Pak Sam. Tapi Violet tidak berani menegurnya, jadi dia hanya memperhatikan dari jauh."Dia itu...wanita keren. Dosen pujaan para pemuda di kampus ini. Namanya Anita. Cantik, kan?" Violet tak sadar mengangguk."Eh, Tomy..kirain ikut bergabung kesana""Bu Anita itu masih muda. Lulusan Luar negeri, S2 disana. Pada akhirnya dia kembali ke Indonesia dan menyibukkan diri di kampus ini. Masih single lho...""Oh, kirain udah nikah. Soalnya, aku suka liat di kampus." Violet berbohong. Dia sedikit penasaran dengan status wanita tersebut. Karena bu Anita terlihat sangat akrab dengan pak Sam, dosen ganteng kesayangan Violet."Oh, ya?""Kamu kenal pak Sam gak? Dosen dari kampusku. Aku lihat, wanita itu dekat sama pak Sam. Saat mereka ada di kampus sih, bersama dosen lain." Violet berbohong lagi. Dia ingin memancing pendapat Tomy."Hmm wanita itu, istri keduanya pak Sam."Violet terkejut, apa benar yang dikatakan Tomy? Tahu darimana ya?"Oh, gitu. Mereka cocok. Ngomong-ngomong, kemana isteri lamanya?""Ada."Violet benar-benar suprise dengan perkataan-perkataan Tomy. Tapi mimik wajah Tomy biasa saja, sepertinya dia sangat mengetahui hal tersebut."Tau darimana, Tom?""Dari mantan pacarku. Elisa."Aiihh kebetulan yang mengejutkan. Violet tersenyum, tapi dia diam saja. Dia tidak akan menceritakan hal ini kepada siapapun, sampai Violet sendiri yang akan mencari tahu.Tapi, apa urusan Violet ya? Ah...sutralah, bodo amat. Mungkin seperti inilah yang namanya fans.Sesi pertanyaan dibuka, begitu banyak yang antusias terhadap jalannya seminar. Violet tersenyum melihat ayahnya yang cepat tanggap menanggapi pertanyaan-pertanyaan para mahasiswa, tentunya dibantu dengan dosen cantik isteri kedua pak Sam. Dosen killer yang ternyata lembut hati. Kalau tak lembut hati, gimana wanita bisa tertarik. Betul apa benar??Violet berjalan menyusuri gang sempit menuju terminal depan kampusnya. Dua hari ke depan, dia akan melaksanakan sidang. Jadi, dia ingin kongkow dulu bersama Gengs Cewek Cuantiq. Begitu mereka menamai gengnya. Geng yang terdiri dari Elisa, Evy , Riri dan Violet.Contoh anak muda ceria, bersemangat, aktif, kreatif. Gimana tidak kreatif? Saat angkatan mereka sedang terfokus dengan skripsi, geng ini bisa membagi perhatiannya pada dua hal sekaligus. Skripsi dan kerja sambilan.Elisa, mempunyai job samping sebagai mc pada acara-acara yang diadakan oleh kampus mereka maupun di luar kampus. Baik itu seminar, bedah buku ataupun acara live music.Evy, sangat menyukai tari dan selalu berpartisipasi bila kampus mengadakan acara. Sering ikut pagelaran tari di berbagai kampus, terkadang dia menyelenggarakan konser tari sendiri yang digabung dengan musik modern dari band musiknya Riri.Riri, selalu menyukai hal yang berhubungan dengan band musik. Dan d
Dia bukan seorang yang tinggi hati, tapi karena wibawa dan kebaikannya, dia menjadi pihak yang paling tersakiti. Sepertinya itu yang bisa Violet simpulkan dari peristiwa antara Tomy, Elisa, pak Sam dan bu Anita. Dia siapa? Dia pak Sam. Karena beliau yang kurang aktif."Vio, masalah kemarin...jangan kamu ceritakan kemana-mana yaa. Malu ah aku...bisa-bisanya punya mantan kayak gitu.""Oh, jadi kalian udah putus beneran nih? Gak sepihak lagi?"Elisa mengangguk lemah, Violet tersenyum dan memegang tangan Elisa."Yah, namanya juga mantan. Mana ada yang gak malu-maluin. Lagian, aku juga gak terlalu peduli sama urusan intern kayak gitu. Cukup tahu aja lah...""Kamu benar, Vio...jangan sampai cerita ini makin melebar. Pada akhirnya, merugikan siapapun. Omong-omong Vio...kamu kenal Tomy dimana?""Aku pernah ikut acara seminar papaku di Bogor, Tomy yang jemput. Kupikir Tomy ikut bawakan acara juga, ternyata Tomy han
"Jadi, Tomy udah ketangkap?" tanya Elisa penasaran, Violet mengangguk pelan."Hampir saja aku dicelakainya, tapi syukurlah Polisi cepat menangkap Tomy. Kadang, aku kasihan sama dia. sekilas tampak sempurna. Penampilan, kemahiran, pekerjaan dan apa yang dia punya. Makanya aku gak nyangka dia bisa berbuat sekejam itu,"Kata Violet sambil memperhatikan air di dalam gelas."Aku juga gak nyangka dia bisa seperti itu. Untung saja cepat diketahui sifatnya. Kalau tidak...aduh...akan lebih membahayakan lagi..."Elisa mengaduk-aduk es cendolnya. Kadang dia tersenyum, kadang dia cemberut. Perubahan wajahnya membuat Violet takut sendiri.Suasana sore di kafe dekat rumah sakit, tak seberapa ramai dibandingkan dengan kafe yang ada di kampus. Jadi cukup bisa membuat mereka sibuk dengan pikiran masing-masing."Sebentar lagi tante Anita akan datang menjenguk. Hari ini anaknya pak Sam yang akan jaga. Yah...paling besok juga udah
Pagi yang terang, bekas sisa hujan masih terasa. Mereka berdiri di depan makam pak Sam. begitu juga dengan bu Nina yang terlihat begitu sedih. Setengah kesadarannya mulai kembali, dia mulai paham siapa dirinya dan pak Sam, serta apa peran bu Anita dan kenapa Edo begitu ingin mengakrabkan diri kepadanya."Sam adalah suamiku, Anita adalah adik Sam dan Edo adalah anakku satu-satunya. Kami bahagia. Yaa kami sangat bahagia. Tapi, sekarang Sam sudah dikubur. Apa kami bahagia?"Perkataan bu Nina yang diucapkan pelan, membuat bu Anita, Edo, Elisa dan Violet menatap iba.Edo mengusap punggung bu Nina pelan, "ya, kita bahagia ma...sangat bahagia. Papa sudah tenang disana, dan mama jangan bersedih lagi karena Edo tidak punya adik. Edo akan selalu bersama mama. Ya?"Bu Nina mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu berjongkok di tepi makam, dan mengelus batu nisan pak Sam."Papa..." katanya lirih, mereka berpandangan takjub. Papa, adalah pan
Hari yang dinantikan tiba. Ibu, ayah, Viana dan Frans sudah bersiap-siap dari pagi. Mereka memakai baju batik yang diseragamkan.Violet duduk dibarisan depan untuk barisan mahasiswa unggul di fakultasnya, dengan undangan khusus.Pasti dandan cantik, dong? Oh tidak...Violet adalah wanita yang hanya mengandalkan bedak dan lipstik tipis.Ketika namanya disebut untuk menerima penghargaan Mahasiswa Terbaik Fakultas Bahasa Asing dan diminta memberikan kata sambutan serta motivasi, perlahan dia menaiki pentas dengan gemetar, berkali-kali menghembuskan napas.Dia tersenyum kepada para dosen, menundukkan sedikit kepala agar mereka bisa memindahkan tali toga dan mengalungkan bunga serta memberikan piagam serta sertifikat dengan uang tunai yang wooow banget.Violet bersiap naik ke Podium. Tarik napas pelan-pelan dari hidung...keluarkan lewat mulut. Ayo, kamu bisa! Tepuk tangan riuh menggema memenuhi Auditorium. Tapi yang namanya grogi tetaplah grogi. Dia mena
Mereka berdiri di depan Rumah Jalanan yang sederhana dan luas, dengan tanah hibah dari pak Sam, almarhum."Pak Sam? Jadi...ini, kerjaan papa aku?" tanya Violet pada diri sendiri."Maksud looh..." Elisa menjitak kepala Violet,"Ini kerjaan papa? Aku gak nyangka papa mau berbuat begini..." sambung Violet tak percaya.Edo tersenyum melihat mereka yang saling menyikut karena Violet salah omong."Aku juga baru tau dari 3 in 1. Ihsan. Ah lupa siapa lagi..."Edo menaruh kedua tangannya di saku celananya. Dia sangat bangga pada papanya. Tak banyak omong tapi mengerti dan peduli dengan keadaan. Kelihatannya saja angkuh dan cuek tapi ternyata sangat perhatian.Edo menundukkan kepalanya mengenang sang ayah tercinta. Memang, ketika orang pergi meninggalkan kita. Semua baru terasa sangat berarti."Ayo, kita masuk." Violet tersenyum menarik ujung baju Edo. Mereka mengikuti langkah Riri, Evy dan Elisa. Yang sudah pasti heboh."Naah ini
Edo berdiri tegak ke arah taman di belakang Rumah Jalanan. Matanya menatap lurus ke depan, dengan mengantungkan kedua tangannya di saku celana. Hari sudah malam, tapi tak ada satupun dari mereka yang ingin beranjak pulang.Dosen Juan sudah pulang, dan mungkin besok dia akan kembali untuk mengarahkan anak-anak mengerjakan karya mereka. Anak-anak pun sudah tidur, beberapa karya mereka tersimpan rapi di rak dan kotak besar, baju pemain hasil jahitan sendiri untuk tampil di acara sudah digantung dan masih perlu dirapikan.Violet menatap bangga barang-barang kerajinan tangan mereka. Tapi, ada apa dengan Edo? seperti memikirkan sesuatu."Ada apa, do?" tanya Volet menatap Edo."Keterlaluan Elisa. masih saja dia temui Tomy, yang sudah menghasut mama dan melenyapkan nyawa papaku!""Maksudnya?" Violet mengerutkan alisnya bingung."Ya...dana ini semua. Kan gila...! Bisa saja aku ganti cuma-cuma, tapi apa dia akan melakukan hal yang sama lagi? Cih
"Satu jam lagi, gaeees. Siap-siap, yaaa" Elisa berteriak keliling ruangan sambil memantau persiapan anak didiknya.Dia melihat pak Juan yang berbicara dengan beberapa anak, memberikan arahan. Duduk diatas meja dengan kaki lurus dan dilipat, tangan kanan memegang buku, sedangkan tangan kiri masuk ke dalam kantung celana."Ganteng abis tu, cowok. Pantes jadi idola para mahasiswi," gumam Elisa dalam hati.Dia baru ingat, dulu waktu ada acara di kampus. Dosen Juan, adalah dosen muda yang bekerja di belakang layar. Membujuk para dekan untuk menyetujui kegiatan mahasiswa yang diadakan.Akhirnya, mereka pun luluh dan dosen Juan yang mengawasi. Tapi karena di belakang layar, ya...jadi tak banyak yang tahu peran dosen Juan demi kesuksesan suatu acara di kampus. Kok, dosen ikut campur?Itulah dosen Juan. Jiwa aktivisnya tetap ada walaupun sudah lewat masa kuliah. Bahkan, info punya info...beliau masih aktif sebagai alumni salah satu organisasi besar mahasiswa di negeri in
Malam yang dingin, Violet berdiri di depan taman kecil yang baru saja di bangun Dani dan Mario. Ada lampu bulat di tengah dengan air mancur cantik dan angsa putih dua ekor. Angsa putih simbol keindahan alam. Hari ini dia hanya ingin duduk di salah satu bangku taman sambil menunggu Mario pulang ngantor. Dia sungguh bingung dengan keputusan yang harus diambil secepatnya. Mario masih dalam perawatan, tidak bisa mengharapkannya bekerja seperti dulu. Ring yang dipasang di pembuluh darah jantung sebelah kiri kadang membuatnya susah bernapas bila melakukan gerakan mendadak. Apakah itu benar karena ring yang terpasang? Ah, apapun alasannya Violet tidak ingin menekan Mario untuk bekerja seperti dulu. “Kak, nunggu abang, ya?” suara Sarah membuyarkan lamunannya. “Iya, bingung nih…chatt belum dibalas, telpon gak diangkat. Abang tuh biasanya rajin ngasih kabar tapi udah jam sebelas gini belum pulang juga. Kemana sih, dia yaa…” Violet mondar-mandir di teras sambil melipat tangannya, air putih
Violet masuk ke ruang tamu memegang lengan Mario erat, seperti enggan melepaskan, membuat beberapa pasang mata menatap mereka haru. Violet menaruh tas di dekat pintu dan membawa Mario duduk di bangku panjang ruang tamu. Ada lelah yang teramat sangat di wajah mereka, mungkin buah penantian yang tak kunjung datang membuat mereka hampir putus asa. Tapi beberapa pasang mata yang kini ada di hadapan mereka, sungguh membuat mereka rindu. “Ibuuu, ayaaah…” Gaffin menghambur ke pelukan ibu, suara tangisnya begitu memilukan. Dia mencium kedua pipi Violet berkali-kali, lalu beralih ke Mario dan melakukan hal yang sama. “Ibu, ayah…ada pelangi di luar. Cantiiik banget! Bisa ayah ambilkan untuk Gaffin?” Gaffin menggelendot di kaki Mario. “Gak bisa, sayang. Pelangi itu biarpun indah tapi jauh dari jangkauan, jangan seperti pelangi, ya?” Mario mengusap lembut rambut Gaffin lalu memangku di pahanya. Mereka pun duduk bersama di ruang tamu, Viana yang kebetulan datang s
Teriakan Dani membuat wanita yang barusan memasuki ruang ICU menghentikan langkahnya, saat dia berbalik polisi sudah menahan langkahnya. Polisi langsung menjauhkan wanita tersebut dari sang bayi yang dikelilingi oleh banyak selang. Dani memperhatikan wanita itu dengan seksama, lalu dia meminjam ponsel Aci dan mencoba untuk menghubungi seseorang. Photo terkirim ke applikasi hijau lengkap dengan data dirinya. Kedua polisi dan Aci membelalakkan mata kaget melihat photo yang ada di ponsel Aci. Polisi satunya melapor ke meja perawat untuk meminta data, ternyata tidak ada perawat seperti yang mereka tahan. Malah perawat mereka kurang satu, setelah ditelusuri ternyata perawat mereka yang hilang terikat lemah di gudang dengan pakaian yang telah ditukar. Setelah beberapa polisi datang, mereka pun membawa wanita tersebut ke kantor polisi, diikuti oleh Dani dan Aci. “Tunggu, bang. Kasus hampir selesai, boleh kan kita makan dulu? Ini sudah siang menjelang sore. A
Hari yang naas bagi pria brewok. Saat dia melarikan diri bersama wanitanya, ternyata jejaknya sudah tercium polisi. Akhirnya, saat keluar tol dia harus pasrah ketika polisi menunggunya, mau menghindar pun tak bisa. Karena mereka menghampiri dari berbagai sisi. Dia saja bingung, daripada polisi bisa tahu kemana arah yang akan dia tuju setelah ini. Ahh, dia sudah bosan dengan hidupnya, jadi dia tak peduli lagi saat ini dan diapun mengikuti polisi ke kantor.Mereka memeriksa mobil, di bangku belakang terlihat wanita berambut pirang terbungkus asal-asalan, sudah tak bernyawa. Tapi, pria tersebut menggendong bayi cantik dan berkata lirih, “tolong selamatkan anak ini…” lalu menyerahkannya pada polisi yang langsung memeriksa keadaan sang bayi dan segera melarikan bayi tersebut ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.Sang pria yang pasrah hanya bisa mengikuti beberapa polisi ke suatu ruangan. Polisi memintanya untuk melakukan beberapa pemeriks
Seandainya bayi kecil itu bisa berbicara mungkin dia akan menangis sejadi-jadinya, tapi dia sudah terlalu lelah untuk menagis. Asi tidak ada, lalu dia minum apa? Tidak ada yang dapat menenangkannya, hanya ada teriakan untuk menyuruhnya diam. Ahh, apa salah dan dosaku? Aku hanya bayi berusia dua bulan, kata ibu. Kan aku tidak tahu persis berapa usiaku. Aku hanya tahu kalau aku telah dikeluarkan dari pembungkus berair selama berbulan-bulan. Dan aku didekap oleh tangan lembut yang terus-terusan mengecup semua wajahku, sambil mengucap syukur berkali-kali. Oh, ini pasti ibuku! Aku belum bisa berjalan, ya tentu saja. Aku hanya bisa menangis saat menginginkan atau mengalami sesuatu. Aku benar-benar tidak bisa apa-apa tanpa orang yang membantuku. Tapi, ibu, ayah, abang dan bou sangat perhatian padaku. Ah, sungguh beruntungnya aku! Sekarang, dimana mereka? Aku kehilangan mereka. Aku tidak mau berada di sini! Aku tidak kenal orang-orang ini! “Berisik banget sih, kamu? Ap
Violet berdiri di depan Rumah Jalanan. Dia benar-benar pasrah dengan keadaan Ghefira, karena ini sudah hari ke tiga dan belum ada kabar apapun tentang Ghefira. Polisi bilang sedang dalam penyelidikan, jadi Violet disuruh tenang. Saking tenangnya Violet, air mata pun sudah kering. Dia berjalan memasuki ruangan, siang panas menyengat membuat peluh di dahi Violet tak berhenti mengucur. Sepi, Violet melirik jam tangannya. Hmm pantas! Jam 1 siang, paling enak tidur apalagi setelah makan siang. Kali ini dia bisa meninggalkan Mario sebentar, karena ada ibu dan ayah yang jaga. Entah apa yang menarik hatinya ke sini, tapi begitu sampai dia hanya ingat satu anak. Dani. “Ihsan, bangun…” Violet membangunkan Ihsan yang tertidur di ruang tengah dengan beralaskan karpet. “Eh, kak. Tumben siang-siang di hari kerja begini kok, kesini? Ada apa?” tanya Ihsan mengucek matanya. Dia tersenyum melihat Violet yang selalu tampil cantik, bahkan saat dirundung kemelut sep
Jajanan Bogor memang sederhana tapi nyaman di lidah. Pagi ini mereka menikmati Docla. Makanan seperti ketoprak yang terdiri dari lontong atau ketupat dan tahu yang disiram bumbu kacang dengan topping kentang dan telur rebus, bawang goreng dan kerupuk.Mereka menikmati sajian di Tanjakan Pasir Kuda sebelum pintu masuk Kebun Raya Residence, menunggu pesanan dengan sabar sambil melihat pemandangan di sekitar mereka. Sudah dua hari mereka di Bogor, bersyukur sudah ada petunjuk? Lebih tepatnya jalan terakhir, tapi Dani memang penasaran dengan motif penculik dan pembunuh di kamar sebelah. Eeh, pembunuh? Polisi kan belum bilang apapun. “Dan, kamu udah kasih kabar ke Rumah Jalanan?” tanya Dani sambil meminum air putih dalam botol 1,5 lt. Dia memang biasa menghabiskan air segitu banyak. Biasanya malah sampai 3 liter dalam satu hari. “Pesan pendek aja, mas sebelum pergi. Lagian mau kasih kabar ke mana? Semua orang kan sibuk. Bunda lagi jaga ayah dan bu Ita juga pergi gak ta
“Mas, kita mau kemana? Dari tadi bolak-balik aja. Nunggu siapa dan apa, mas?” tanya Dani mengekor Aci. Hari sudah senja, hampir seluruh kota Bogor mereka susuri. Dari Istana Bogor, perumahan elit sampai pasar. Bila waktunya shalat, mereka akan singgah di masjid. Kota artistik yang menarik, sejuk dan asri. Dani tersenyum, baru kali ini dia pergi ke Bogor. Violet jarang membawanya jalan-jalan, hanya membawakan mereka oleh-oleh. Tidak ada yang spesial, karena memang Violet tidak pernah menspesialkan seseorang, bahkan Mario sekalipun. Hanya dia memang sangat spesial di hati mereka, termasuk Dani. Motor berhenti di penginapan sederhana, Aci memesan satu kamar dengan kasur dua untuk mereka. Setelah perut kenyang rasanya ingin sekali merebahkan diri di kasur. Padahal di atas meja, masih ada sebungkus gorengan dan beberapa minuman. “Mas.” “Ya?” “Kenapa kita harus tetap menjalani hidup ini meski seberat apapun cobaannya? Aci melirik Dani
Dani berjalan menyusuri gang kecil menuju rumah lamanya. Rumah kecil ukuran 5x7 meter yang bersebelahan dengan rumah tukang gado-gado terenak di kampungnya itu terlihat seperti tak ada kehidupan. Semenjak Dani tinggalkan, kurang lebih lima tahun dan tidak pernah dia pantau, rumah kecil yang membesarkan Dani seperti ibu tua lusuh tak terawat. Pagi terang harusnya dapat membuat hati Dani tenang, tapi dia malah merasa sedih berkepanjangan. Orang-orang yang dia sayangi bercerai berai, ibu yang dia impikan hampir tiap malam tak mampu mengembalikan kegundahan hatinya. Dani menghentikan langkahnya tepat di ujung gang, duduk di tepi pagar batu tempat di mana Violet memanggil Dani yang berdiri sambil melihat Violet makan batagor. Tanpa basa-basi dan curiga, Violet mengajaknya ngobrol dan makan. Setelah itu mereka pergi ke rumah Dani, sambil mengajak bicara dan meminta persetujuan Dani untuk tinggal bersamanya di Rumah Jalanan. Ternyata, Dani setuju dan sudah men