"Jadi, Tomy udah ketangkap?" tanya Elisa penasaran, Violet mengangguk pelan.
"Hampir saja aku dicelakainya, tapi syukurlah Polisi cepat menangkap Tomy. Kadang, aku kasihan sama dia. sekilas tampak sempurna. Penampilan, kemahiran, pekerjaan dan apa yang dia punya. Makanya aku gak nyangka dia bisa berbuat sekejam itu,"Kata Violet sambil memperhatikan air di dalam gelas.
"Aku juga gak nyangka dia bisa seperti itu. Untung saja cepat diketahui sifatnya. Kalau tidak...aduh...akan lebih membahayakan lagi..."Elisa mengaduk-aduk es cendolnya. Kadang dia tersenyum, kadang dia cemberut. Perubahan wajahnya membuat Violet takut sendiri.Suasana sore di kafe dekat rumah sakit, tak seberapa ramai dibandingkan dengan kafe yang ada di kampus. Jadi cukup bisa membuat mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Sebentar lagi tante Anita akan datang menjenguk. Hari ini anaknya pak Sam yang akan jaga. Yah...paling besok juga udah pulang. Pak Sam kan hebat..."Kata Elisa menyeruput air minum Violet yang spontan menepuk hidung mancungnya.
"Sepertinya kamu cukup kenal dengan pak Sam, ya?"Tanya Violet penasaran, matanya menyipit ingin menyelidiki.
"Hmm gitu lah. Nah tuh, tante Anita datang."Elisa melambaikan tangannya pada bu Anita yang datang dengan seorang pemuda tampan bergaya seperti oppa-oppa korea. Tinggi, putih, rambut agak pirang. Dia menggunakan celana semata kaki dan baju kaus sepinggang dengan selop kulit berwarna coklat.
"Hmm keren," batin Violet.
"Halo anak gadis cantik... udah lama disini?" sapa bu Anita lalu bercipika-cipiki dengan Elisa dan menyelami Violet."Hmm rumayan lama, tan. Ini Edo?" Elisa menerima jabatan tangan Edo yang tersenyum ramah pada mereka berdua."Aduh, tanganku licin. Kasar pula, karena selalu nyuci pakai tangan bukan mesin cuci. Semoga dia gak merasa. Biar gini-gini, aku mah anak rajin dan gak terlalu percaya ama mesin cuci yang bisanya cuma bolak-balik cucian." gumam Violet dalam hati. Malu dia ketahuan anak rumahan banget."Ini Violet, sahabat saya," Elisa memperkenalkan Violet yang sebenarnya tak ingin. Edo menjabat tangan Violet."Gimana kondisi pak Sam?" Tanya tante Anita sambil memesan siomay bandung."Baik, tan...aman. Hanya perlu perawatan intensif. Karena kondisinya lemah. Tapi dokter terus memantau. Tante tenang saja.." jawab Elisa lancar."Memang benar-benar deh ya si Tomy. Kelewatan! Untung kamu putusin, sebelum janur kuning melengkung. Bisa gawat kan..."bu Anita berkata geram sambil menguncir rambut panjangnya.
"Hehehee feeling perempuan lebih peka, tan...Ya gak, Vio?"Elisa menyikut lengan Violet, membuat Violet tersadar dari lamunannya.
"Eh, iya...iya...peka banget." Violet hanya senyum-senyum salah tingkah, karena Edo terus memperhatikannya."Kamu gak liat mama, do?" tanya Anita pada Edo yang juga mengaduk-aduk es cendolnya sambil sesekali memperhatikan Violet."Tadi pagi udah, tan. Mama mulai berangsur baik, bisa menerima penjelasan dan merespon. Mama memang harus terus dimotivasi, tan..."Edo tersenyum tipis menceritakan kondisi mamanya, lalu melanjutkan minumnya. Sepertinya dia tidak ingin orang lain tahu dengan kondisi mamanya yang belum stabil.
"Betul. Karena mama melakukan semua itu atas hasutan orang lain. Eh..."Violet menutup mulutnya, tak sadar menyebut Nina dengan mama.
Mereka tersenyum mendengar kata-kata Violet. Sekali mau ngomong benar, malah salah.
"Mungkin kita harus lebih memahami permasalahan mereka. Entah itu mama, atau papa. Ya, kan Edo?" Edo mengangguk mendengar kata-kata bu Anita.Dering ponsel Elisa berbunyi, mereka terdiam membiarkan Elisa berbicara."Iya, saya dok. Apa? Sekarang, dok? Tapi...tadi gak apa-apa kok...Ba...baiklah, dok!" Elisa mematikan telpon genggamnya, ada kekhawatiran yang sangat dalam pada wajahnya."Ada apa?" tanya mereka bersamaan."Edo, papa kamu kena serangan jantung. Sekarang sedang ditindak,"Elisa menjelaskan dengan panik.
"Apa??" Mereka pun berlari ke ruangan pak Sam, tanpa peduli dengan tatapan heran orang-orang disekitar mereka.Kamar ditutup, dua perawat dan dokter berlarian ke kamar membawa beberapa alat. Ada alat pacu jantung dan entah, apalagi yang Violet tak tahu.
Mereka berdiri khawatir di depan kamar yang tertutup rapat, menunggu sekitar lima belas menit, setelah itu dokter keluar menatap wajah Anita, Edo, Violet dan Elisa pasrah."Maaf...kami tak bisa membantu menyelamatkan nyawa beliau. Beliau meninggal karena serangan jantung...""Tidaakk, papa...." Edo menangis terduduk di lantai, bersama bu Anita yang coba menenangkan Edo juga Elisa. Hanya Violet yang terpaku, berdiri dengan bibir sedikit terbuka."Ke...kenapa bisa kena serangan jantung, dok?" Tanya Elisa heran sambil memegang tangan bu Anita."Pasien ternyata punya riwayat penyakit jantung, dan kebetulan peristiwa kemarin membuatnya shock. Itulah kenapa perawatannya intensif. Kecurigaan saya benar, tapi beliau tidak dapat bertahan..."Suara dokter melemah di akhir kata, membuat mereka lemas.
"Tapi...tapi sebelumnya beliau sudah sadar kan, dok?"Air mata mengalir dari pipi Violet saat menanyakan keadaan pak Sam terakhir kali.
"Ya...sadar penuh hanya belum stabil. Karena beliau tidak mengalami koma. Saya permisi, sekali lagi...saya mohon maaf sebesar-besarnya karena tidak bisa membantu lebih jauh..."Dokter menundukkan kepala dalam, Violet terdiam menyadari percakapan dengan dokter. Setelah dokter berlalu, mereka hanya bisa terduduk lemas di bangku.Edo melangkahkan kakinya pelan ke kamar, melihat papanya yang telah terbujur kaku dengan tenang. Mata yang terpejam rapat dan bibir yang tersenyum. Dia pergi, seolah inilah yang seharusnya terjadi. Ternyata, Tuhan lebih sayang kepada pam Sam. Dosen killer ganteng yang Violet idolakan.Edo berdiri di sebelah pak Sam, dia menunduk memegang tangan papanya yang masih hangat. Memegang nadi, sekiranya masih berdenyut. Tapi sia-sia...semua sudah terjadi. Kini, papanya benar-benar telah pergi. Bu Anita masih terisak sedih, dia tak menyangka akan seperti ini akhir kisah pak Sam. Suami dari kakaknya, Nina."Sam, ketahuilah...aku hanya ingin menyatukanmu dengan Nina seperti dulu. Karena kebahagiaan kalian lebih penting dari apapun. Kalian sudah terlalu banyak berkorban untuk kepentinganku. Maafkan aku, Sam...aku tidak dapat membantumu melewati semua ini...""Tante, yang sabar...sudah tante..."Elisa mengelus punggung bu Anita lalu memeluknya, sedangkan Violet hanya terdiam sambil menghapus air mata.
"Tomy, benar-benar harus dihukum berat atas perbuatannya!" Edo mengepalkan tangannya geram.
"Sudah...dia akan mendapat hukuman yang setimpal. Karena ini bisa jadi bukti yang memberatkannya. Percayalah Edo, mungkin disana...pak Sam tidak ingin masalah berlarut-larut. Jadi, Tuhan memanggilnya. Yang harus kita lakukan adalah...tetap memberikan motivasi untuk mama Nina. Mama pasti bisa menerimanya..."Violet mengelus punggung Edo yang tiba-tiba memeluk Violet, lalu menangis.
Elisa hanya menundukkan kepala, dan berbicara sebentar dengan perawat. Lalu kembali berbicara dengan Edo, Anita dan Violet bahwa jenazah akan dimandikan. Jadi, mereka mengikuti ranjang pak Sam ke ruang jenazah, untuk dimandikan dan menunggu di luar ruang jenazah.Tidak ada yang berkata, hanya saling melirik dan menunduk. Edo menangkupkan kedua tangannya di wajah, berkali-kali dia berdoa dan berharap yang terbaik untuk ayahnya.Mungkin setelah papa gak ada, aku akan kembali bolak-balik ke luar urus restoran disana..."
Edo berkata pelan, kepalanya masih tertunduk di paha.
"Lalu...mama gimana, do? Kondisinya masih labil..."
Edo hanya diam mendengar pertanyaan Violet.
Pagi yang terang, bekas sisa hujan masih terasa. Mereka berdiri di depan makam pak Sam. begitu juga dengan bu Nina yang terlihat begitu sedih. Setengah kesadarannya mulai kembali, dia mulai paham siapa dirinya dan pak Sam, serta apa peran bu Anita dan kenapa Edo begitu ingin mengakrabkan diri kepadanya."Sam adalah suamiku, Anita adalah adik Sam dan Edo adalah anakku satu-satunya. Kami bahagia. Yaa kami sangat bahagia. Tapi, sekarang Sam sudah dikubur. Apa kami bahagia?"Perkataan bu Nina yang diucapkan pelan, membuat bu Anita, Edo, Elisa dan Violet menatap iba.Edo mengusap punggung bu Nina pelan, "ya, kita bahagia ma...sangat bahagia. Papa sudah tenang disana, dan mama jangan bersedih lagi karena Edo tidak punya adik. Edo akan selalu bersama mama. Ya?"Bu Nina mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu berjongkok di tepi makam, dan mengelus batu nisan pak Sam."Papa..." katanya lirih, mereka berpandangan takjub. Papa, adalah pan
Hari yang dinantikan tiba. Ibu, ayah, Viana dan Frans sudah bersiap-siap dari pagi. Mereka memakai baju batik yang diseragamkan.Violet duduk dibarisan depan untuk barisan mahasiswa unggul di fakultasnya, dengan undangan khusus.Pasti dandan cantik, dong? Oh tidak...Violet adalah wanita yang hanya mengandalkan bedak dan lipstik tipis.Ketika namanya disebut untuk menerima penghargaan Mahasiswa Terbaik Fakultas Bahasa Asing dan diminta memberikan kata sambutan serta motivasi, perlahan dia menaiki pentas dengan gemetar, berkali-kali menghembuskan napas.Dia tersenyum kepada para dosen, menundukkan sedikit kepala agar mereka bisa memindahkan tali toga dan mengalungkan bunga serta memberikan piagam serta sertifikat dengan uang tunai yang wooow banget.Violet bersiap naik ke Podium. Tarik napas pelan-pelan dari hidung...keluarkan lewat mulut. Ayo, kamu bisa! Tepuk tangan riuh menggema memenuhi Auditorium. Tapi yang namanya grogi tetaplah grogi. Dia mena
Mereka berdiri di depan Rumah Jalanan yang sederhana dan luas, dengan tanah hibah dari pak Sam, almarhum."Pak Sam? Jadi...ini, kerjaan papa aku?" tanya Violet pada diri sendiri."Maksud looh..." Elisa menjitak kepala Violet,"Ini kerjaan papa? Aku gak nyangka papa mau berbuat begini..." sambung Violet tak percaya.Edo tersenyum melihat mereka yang saling menyikut karena Violet salah omong."Aku juga baru tau dari 3 in 1. Ihsan. Ah lupa siapa lagi..."Edo menaruh kedua tangannya di saku celananya. Dia sangat bangga pada papanya. Tak banyak omong tapi mengerti dan peduli dengan keadaan. Kelihatannya saja angkuh dan cuek tapi ternyata sangat perhatian.Edo menundukkan kepalanya mengenang sang ayah tercinta. Memang, ketika orang pergi meninggalkan kita. Semua baru terasa sangat berarti."Ayo, kita masuk." Violet tersenyum menarik ujung baju Edo. Mereka mengikuti langkah Riri, Evy dan Elisa. Yang sudah pasti heboh."Naah ini
Edo berdiri tegak ke arah taman di belakang Rumah Jalanan. Matanya menatap lurus ke depan, dengan mengantungkan kedua tangannya di saku celana. Hari sudah malam, tapi tak ada satupun dari mereka yang ingin beranjak pulang.Dosen Juan sudah pulang, dan mungkin besok dia akan kembali untuk mengarahkan anak-anak mengerjakan karya mereka. Anak-anak pun sudah tidur, beberapa karya mereka tersimpan rapi di rak dan kotak besar, baju pemain hasil jahitan sendiri untuk tampil di acara sudah digantung dan masih perlu dirapikan.Violet menatap bangga barang-barang kerajinan tangan mereka. Tapi, ada apa dengan Edo? seperti memikirkan sesuatu."Ada apa, do?" tanya Volet menatap Edo."Keterlaluan Elisa. masih saja dia temui Tomy, yang sudah menghasut mama dan melenyapkan nyawa papaku!""Maksudnya?" Violet mengerutkan alisnya bingung."Ya...dana ini semua. Kan gila...! Bisa saja aku ganti cuma-cuma, tapi apa dia akan melakukan hal yang sama lagi? Cih
"Satu jam lagi, gaeees. Siap-siap, yaaa" Elisa berteriak keliling ruangan sambil memantau persiapan anak didiknya.Dia melihat pak Juan yang berbicara dengan beberapa anak, memberikan arahan. Duduk diatas meja dengan kaki lurus dan dilipat, tangan kanan memegang buku, sedangkan tangan kiri masuk ke dalam kantung celana."Ganteng abis tu, cowok. Pantes jadi idola para mahasiswi," gumam Elisa dalam hati.Dia baru ingat, dulu waktu ada acara di kampus. Dosen Juan, adalah dosen muda yang bekerja di belakang layar. Membujuk para dekan untuk menyetujui kegiatan mahasiswa yang diadakan.Akhirnya, mereka pun luluh dan dosen Juan yang mengawasi. Tapi karena di belakang layar, ya...jadi tak banyak yang tahu peran dosen Juan demi kesuksesan suatu acara di kampus. Kok, dosen ikut campur?Itulah dosen Juan. Jiwa aktivisnya tetap ada walaupun sudah lewat masa kuliah. Bahkan, info punya info...beliau masih aktif sebagai alumni salah satu organisasi besar mahasiswa di negeri in
Violet merapikan berkas lamaran kerjanya. Jurusan Bahasa, mentoknya ya, ngajar. Dan Violet, gak suka banget mengajar. Karena melelahkan! Huff...membayangkan banyak mata anak muda yang menatapnya saja membuatnya malas, apalagi mencoba menyelami pikiran mereka. Belum lagi mengurus penilaian, kadang baper karena kasihan dan faktor lain tapi bisa jadi bomerang. Kan, hanya siswa yang tahu apakah dia benar-benar akan berubah atau hanya ingin cari aman dengan status pelajar yang belum lulus sekolah.Baginya, mengajar itu berbeda dengan berkreasi bersama anak muda. Kenapa? Lebih bebas, tidak terikat waktu dan santai. Mereka bisa menciptakan hasil karya dalam bentuk apapun tapi dapat menghasilkan uang. Penulis novel, pelukis dan penyanyi contohnya atau pembuat handy craft.Ternyata, melamar pekerjaan memang melelahkan. Habis sudah kuota untuk mengirim surat lamaran, belum lagi interview yang tak ada hasil. Ongkos habis, biaya makan pun terkuras. Violet, bukan orang yang cukup hanya den
Violet membaringkan tubuhnya di kasur, dia benar-benar bingung. Kenapa Edo ada di bangunan setengah jadi tersebut? Dan Edu, kenapa dia bisa kenal dengan Edo? Untung saja Violet tidak ketahuan menguping. Dan siapa Mario? Chatt Edo dengan lelaki bernama Mario itu membuat Violet resah.Drrrtt drrrtttt. Violet melirik ponselnya. Ada chatt masuk ke group gengs Cuantiq."Viooleeett, kemana dikau? Di telpon, di chatt tapi tak ada kabar-kabare. Piye kabare?" - Elisa -"Berisik! Ada apa emang?" - Evy -"Ada kerjaan nih, rumayan lho...jut-jutan. Bikin terkejut!" - Elisa -"Apaan? Kasih tau, dong!" - Riri -"Kenal gak sama produser plus penerbit PT. Karya Jaya? oppa Gong yoo itu lhooo" - Elisa -"Prikitiiiw, tau lah. kenapa?" - Evy -"Dia...si ganteng, duren ituu mau ajak kita main ftv stripping yang naskahnyaa di tulis ama teman kita...ehm ehm, siapa lagi sih di antara kita yang hobby nulis selain..." - Elisa -"Violet? Seriously??" - Riri -"
Sudah sebulan Mario dan Violet dekat. Maaf yah pemirsah...atas request Edu, jadi kita panggil Mario. Setelah melalui perdebatan kecil, akhirnya Violet memberanikan diri membawa Mario ke rumahnya untuk dikenalkan dengan ibu dan ayahnya. Mereka menuju rumah Violet. Rumah Asri berdinding kayu dengan banyak tanaman gantung maupun rak yang berjejer rapi. Violet melirik Mario, tak sedikitpun dia melihat rasa canggung pada sikap dan wajah Mario. Semua biasa saja, seperti akan mengunjungi kawan lama. Malah dia menyetel lagu pop rock romantis koleksiannya. Mobil memasuki halaman rumah Violet yang cukup luas, berjalan beriringan ke dalam."Assalamu'alaikum, yah...bu..." Violet menyalami ayah dan ibu yang tengah duduk di ruang keluarga sambil menonton tv."Eh, wa 'alaikum salam. Ini nak Mario?" tanya ayah dan ibu bersamaan menerima uluran tangan Mario. Ibu dan ayah saling berpandangan melihat Mario yang tersenyum dan bersikap santai.