Brak!!!
Edo menutup pintu apartemennya di depan Cintya, saat Violet, Edu, Elisa, Evy dan Riri berada tak jauh dari Cintya. Mereka terdiam melihat Cintya yang mencoba berdiri setelah di dorong oleh Edo."Hai, Cintya..." Violet menepuk lembut bahu Cintya.Ada tangis tertahan di mata Cintya, membuat hati Violet iba. Dulu, saat bersamanya Edo sangat hangat dan lembut juga romantis tapi saat dengan Cintya, semua yang Violet lihat berubah total. Ah...kenapa jadi begini?Mario memencet bel apartemen Edo, baru dibuka saat bel ketiga. Terlihat wajah sumringah Edo dibalik balutan handuk di kepala."Hei, ayo masuk semua...aku baru abis mandi,"Mereka pun masuk dan langsung berkumpul di ruang tamu yang hanya ada satu sofa panjang dan kecil dengan lantai beralaskan permadani tebal.Edo melirik Cintya masam yang tertunduk di sebelah Violet, lalu menaruh beberapa minuman dan cemilan ringan diatas meja kayu dan dia masuk ke kamarnya."Hai, om...coffee?" secangkir kopi hangat"Aku juga tidak ingin seperti ini," gumam Cintya sedih. Sedih yang teramat dalam.
Cinta terbaring lemah di kasur UGD, dokter beberapa kali datang memantau kondisinya. Selang infus sudah masuk ke lengan, oksigen sudah terpasang di mulutnya. Darah yang mereka lihat di betis, sudah dibersihkan. Tapi mereka hanya bisa menunggu keputusan dokter tentang langkah selanjutnya.Terlihat Edo berjalan pelan ke rumah sakit, sepertinya dia turut bertanggungjawab terhadap keadaan Cintya saat ini."Keluarga ibu Cintya?" Dokter berdiri di depan pintu UGD.Mereka pun segera menghampiri dokter, Edo hanya terdiam di bangku."Iya, dok...kami keluarganya. Karena orang tua Cintya di luar negeri dan calon nya..." Mario menghentikan ucapannya saat Violet mencubit pinggang Mario."Ah, gimana kondisi Cintya, dok?" Violet memotong ucapan Violet."Dia mengalami pendarahan hebat, mungkin sebelumnya bu Cintya terjatuh tapi dia abaikan dan dia tahan. Akhirnya...drop."Violet memegang kuat tangan Mario. Kini dia benar-benar khawatir kalau sesuatu akan terjadi pada Cintya.
Riri , Evy, Elisa dan Violet berdiri di samping tempat tidur Cintya. Mereka menunggu Cintya sampai siuman, sambil menyiapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang akan terlontar dari bibirnya.Violet memperhatikan ponselnya pilu. Kiriman chatt dari Mario membuatnya sedih, di layar tertera nominal yang cukup besar untuk membayar biaya perawatan Cintya. Uang tersebut masuk ke rekening bank Violet, tanpa Violet tahu. Tadinya Violet pikir, ini adalah kesepakatan antara Edo dan Mario, ternyata...usaha Edo untuk menebus kesalahannya dan melarikan diri. Tenggelam dengan rasa bersalahnya, tanpa berusaha membiarkan Cintya tahu."Gadis yang malang...sendiri di Indonesia, terusir dari keluarga dan kini kehilangan calon ayah juga calon anak. Betapa menyakitkan..." Batin Violet.Mata Cintya perlahan terbuka, dia mengedarkan pandangannya dan melihat senyum dari keempat wanita cantik yang berdiri di sampingnya."Kalian...""Hai, Cin...lama juga tidurnya," (Elisa)"Ah...iya, rum
Cintya terbaring lemah di kamarnya, dokter beberapa kali datang memantau kondisinya. Selang infus sudah masuk ke lengan, oksigen sudah terpasang di mulutnya. Darah yang mereka lihat di betis, sudah dibersihkan. Tapi mereka hanya bisa menunggu keputusan dokter tentang langkah selanjutnya.Terlihat Edo berjalan pelan ke rumah sakit, sepertinya dia turut bertanggungjawab terhadap keadaan Cintya saat ini."Keluarga ibu Cintya?" Dokter berdiri di depan pintu kamar Cintya.Mereka pun segera menghampiri dokter, Edo hanya terdiam di bangku."Iya, dok...kami keluarganya. Karena orang tua Cintya di luar negeri dan calon nya..." Violet mencubit lengan Mario agar menghentikan perkataannya."Ah, gimana kondisi Cintya, dok?" Violet memotong ucapan Violet."Dia mengalami pendarahan hebat, mungkin sebelumnya bu Cintya terjatuh tapi dia abaikan dan dia tahan. Akhirnya...drop."Violet memegang kuat tangan Mario. Kini dia benar-benar khawatir kalau sesuatu akan terjadi pada Cintya
Cintya mengerjap-ngerjapkan matanya, kepalanya pusing tapi dia merasa enteng. Dia melihat perutnya, sudah datar Tak apalah...dia yakin Tuhan pasti akan memberikan buah hati yang lebih menarik dan dapat membahagiakan hidupnya beserta dengan suaminya kelak. Ya...kelak. Dia tak akan menyesali apa yang telah terjadi, itu kesalahannya.Kini, dia sudah tinggal di kios kepunyaan Violet. Mengurus usaha loundry punya Violet, dia tersenyum melihat wajahnya di cermin kecil yang ada di atas lemari kayu kamarnya. Violet memang rendah hati, tempat ini lebih layak di sebut ruko daripada kios. Ruang atas adalah daerah kekuasaan Cintya, ada dapur mengarah ke halaman belakang yang bersebelahan dengan kamar kecil, satu kamar tidur yang cukup luas dengan ac, satu ruang terbuka beralaskan permadani dan tv juga balkon terbuka.Pintunya adalah kaca geser, kaca yang sangat tebal dan tidak tembus pandang. Saking tebalnya kaca tersebut, bila pintu ditutup maka suara bising pun tidak terdengar. Di ruang
Violet menyiapkan pakaiannnya untuk besok, dia akan menginap semalam di asrama yang berdekatan dengan masjid dan gedung tempat pernikahannya di laksanakan.Drrrtt drrrtttViolet meraih ponselnya, wajah Mario terpampang di ponsel datar Violet.“Hai, cewek...apa kabar?”“Hai, cowok...akyuh baik-baik aza. Jangan godain aku doong. Eh, duren lagi dimana nih?”“Di rumah nih sama keluarga besar yang akan datang ke gedung besok. Ada mama datang lho...ma, sini ma...”Violet menelan ludahnya. Kurang asem Mario! Niat mau ngerjain malah dia yang ngerjain Violet. Mana pakai loud speaker segala.“Nak Vio. Halo...assalamu’alaikum...”“Eh, wa.. ‘alaikum salam ma...kapan datang?”Jawab Violet gugup dan malu, Mario tertawa puas dibelakang mama.Obrolan ringan pun terjalin, Violet senang karena mama membawakan makanan kesukaan Violet yaitu Ikan Salai Arsik. Biasanya mama menggunakan ikan mas, lalu di asapi sampai kering setelah itu di gulai dengan asam siala. Makana
Akhirnya, sepasang pengantin bahagia tersebut melakukan janji suci di depan pak penghulu, orang tua dan saksi. Sebagai tanda kalau pernikahan mereka tidaklah main-main, kesungguhan terpatri di dalamnya. Membuat siapapun beranggapan bahwa acara akad adalah sakral.Sebelum melakukan akad, mereka mendengarkan khutbah nikah yang dibawakan oleh ayah Violet. Ya, selain guru ayahnya adalah penceramah. Violet sering mengikuti kemanapun ayahnya ceramah.Violet jadi ingat, tadi malam di asrama saat kantuk mulai menyerang. Dia tersenyum karena chatt Mario yang menggelikan,"Aku terima nikah dan kawinnya Violet binti Gusti dengan mas kawin lima gram emas dan alat shalat, dibayar tunai!"Tak lama setelah chatt, Mario mengirimkan pesan suara,"Violet, kita mungkin belum lama dekat tapi tolong dengarkan segala keluh kesahku saat aku terjatuh. Tak peduli semarah apapun kamu padaku, kuberharap semoga dihatimu masih ada aku.Segala tanggungjawab ayahmu, akan kugantikan dan kupastika
“Sudah jam delapan malam, kita belum pulang?” Violet menyandarkan tubuhnya ke kursi tamu paling depan, begitu juga Mario.“Belumlah, santai dulu. Lagipun mobil masih dipakai untuk antar barang."“Huffh untung mama udah pulang, sekarang mama dimana?”“Balik ke Cilodong, tempat bou.”“Oh iya, tadi pagi. Ada Cintya datang ke kamar rias. Abang ada liat Cintya datang, gak?”Mario ternganga menatap Violet,“Kenapa?” tanya Violet bingung.“Kamu menepati janji, manggil aku abang setelah menikah. Ih senang deh!”Violet tertawa lebar melihat Mario yang memeluk lengan Violet manja, sungguh ajaib duren ini. Seperti ABG yang baru jatuh cinta. Tapi tak apa, mungkin inilah sisi kekonyolan Mario yang tidak diketahui siapapun kecuali Violet. Mario memang terkenal tegas, disiplin dan cuek di tempat kerja bahkan dengan teman-temannya.Hp Violet berbunyi.“Ya, Frans? Kenapa? Ya, Allah…dimana?” wajah Violet tiba-tiba tegang.“Kenapa?” tanya Mario melirik Violet.“Adul
Mama mengepak barang-barangnya dalam koper besar. Cukuplah tiga hari di Jakarta untuk menghadiri pernikahan anaknya, Mario. Kini mama harus kembali ke Medan karena tidak ada yang mengurus sawah, dan Sarah tinggal sendiri mengurus rumah.“Ma, sampai sana kabarkan kami, yaa. Hati-hati kecapean, kami cuma mampu beli oleh-oleh benda begini. Mudah-mudahan suka,” kata ibu sambil membantu mama menyusun oleh-oleh dalam kardus mie.“Makasih banyak, bu. Alhamdulillah ini lebih dari cukup,” kata mama, senyum terukir dari bibirnya.Ada daster, celana pendek hawaii, jilbab dengan berbagai corak bunga yang cantik, ada juga gantungan kunci berbentuk guci dari kayu, hasil menjelajah di Kota dan sisa souvenir pernikahan berbentuk kipas bertuliskan photo Mario dan Violet dengan inisial nama mereka.“Sudah jam satu, ayok kami antar ke terminal, ma.”Mario membawa tas mama dan memasukkannya dalam mobil,“Ma, hati-hati yaa.” Viana menyalami tangan mama.“Jaga kandungan kamu ya, Via…