Akhirnya, sepasang pengantin bahagia tersebut melakukan janji suci di depan pak penghulu, orang tua dan saksi. Sebagai tanda kalau pernikahan mereka tidaklah main-main, kesungguhan terpatri di dalamnya. Membuat siapapun beranggapan bahwa acara akad adalah sakral.
Sebelum melakukan akad, mereka mendengarkan khutbah nikah yang dibawakan oleh ayah Violet. Ya, selain guru ayahnya adalah penceramah. Violet sering mengikuti kemanapun ayahnya ceramah.Violet jadi ingat, tadi malam di asrama saat kantuk mulai menyerang. Dia tersenyum karena chatt Mario yang menggelikan,"Aku terima nikah dan kawinnya Violet binti Gusti dengan mas kawin lima gram emas dan alat shalat, dibayar tunai!"Tak lama setelah chatt, Mario mengirimkan pesan suara,"Violet, kita mungkin belum lama dekat tapi tolong dengarkan segala keluh kesahku saat aku terjatuh. Tak peduli semarah apapun kamu padaku, kuberharap semoga dihatimu masih ada aku.Segala tanggungjawab ayahmu, akan kugantikan dan kupastikaHappy wedding for you all....
“Sudah jam delapan malam, kita belum pulang?” Violet menyandarkan tubuhnya ke kursi tamu paling depan, begitu juga Mario.“Belumlah, santai dulu. Lagipun mobil masih dipakai untuk antar barang."“Huffh untung mama udah pulang, sekarang mama dimana?”“Balik ke Cilodong, tempat bou.”“Oh iya, tadi pagi. Ada Cintya datang ke kamar rias. Abang ada liat Cintya datang, gak?”Mario ternganga menatap Violet,“Kenapa?” tanya Violet bingung.“Kamu menepati janji, manggil aku abang setelah menikah. Ih senang deh!”Violet tertawa lebar melihat Mario yang memeluk lengan Violet manja, sungguh ajaib duren ini. Seperti ABG yang baru jatuh cinta. Tapi tak apa, mungkin inilah sisi kekonyolan Mario yang tidak diketahui siapapun kecuali Violet. Mario memang terkenal tegas, disiplin dan cuek di tempat kerja bahkan dengan teman-temannya.Hp Violet berbunyi.“Ya, Frans? Kenapa? Ya, Allah…dimana?” wajah Violet tiba-tiba tegang.“Kenapa?” tanya Mario melirik Violet.“Adul
Mama mengepak barang-barangnya dalam koper besar. Cukuplah tiga hari di Jakarta untuk menghadiri pernikahan anaknya, Mario. Kini mama harus kembali ke Medan karena tidak ada yang mengurus sawah, dan Sarah tinggal sendiri mengurus rumah.“Ma, sampai sana kabarkan kami, yaa. Hati-hati kecapean, kami cuma mampu beli oleh-oleh benda begini. Mudah-mudahan suka,” kata ibu sambil membantu mama menyusun oleh-oleh dalam kardus mie.“Makasih banyak, bu. Alhamdulillah ini lebih dari cukup,” kata mama, senyum terukir dari bibirnya.Ada daster, celana pendek hawaii, jilbab dengan berbagai corak bunga yang cantik, ada juga gantungan kunci berbentuk guci dari kayu, hasil menjelajah di Kota dan sisa souvenir pernikahan berbentuk kipas bertuliskan photo Mario dan Violet dengan inisial nama mereka.“Sudah jam satu, ayok kami antar ke terminal, ma.”Mario membawa tas mama dan memasukkannya dalam mobil,“Ma, hati-hati yaa.” Viana menyalami tangan mama.“Jaga kandungan kamu ya, Via…
Pelangi terlihat cerah melukis langit, Violet duduk di balkon rumah sakit. Menunggu Mario yang akan datang. Hari ini Cintya akan pulang, jadi Violet sudah minta izin pada Mario untuk menjaga Cintya semalam.Violet menyandarkan tubuhnya memperhatikan pelangi yang membentang indah.Violet senang melihat Cintya yang tertidur pulas. Dia telah melalui hari yang berat, mungkin Violet tak akan mampu menghadapi cobaan seperti Cintya. Kehilangan semua yang disayang dalam sekejap.Makanya Violet tak ingin melepaskan Cintya, saat ini Cintya sedang rapuh. Edo yang diharapkan, seperti perahu yang kehilangan arah, terombang-ambing di lautan.Dia tersenyum melihat semua beberapa isi chattnya."Kak, Alhamdulillah Adul sudah bisa pulang kemarin. Sekarang dia kembali ke Kuningan, mau dirawat di sana aja. Sabir udah beraktivitas seperti biasa. -Frans-"Mbak Vio, kontrak drama kita akan berakhir lusa ya! Kalau bisa, kami harapkan kedatangan mbak Vio untuk
Merenda sebuah tali kasihKusimpul menjadi satu hatiGambaran cinta yang terlukaBagai langit meratap senduKala bias cinta menghilang Sakit itupun datang tanpa permisiRembulan tak menyisakan senyum Edo berdiri menatap lalu lalang kendaraan dari lantai sembilan kantornya. Alis tebalnya berkerut dan sesekali dia menghembuskan napas. Dia tidak tahu, seperti inikah takdir? Bayangan Violet yang tak lekang oleh waktu begitu menyiksa batinnya, terganti dengan penyesalan terhadap Cintya. Lima bulan tidak ada kabar, Edo melihat Violet begitu lincah mengelola usaha dan karirnya dalam dunia seni. Buku-bukunya mulai dilirik kalangan produser untuk dijadikan film. Mario pun sibuk dengan proyek bangunannya. Cintya? Dia sibuk mengelola usahanya yang mulai lancar dan melanglang buana, entah kemana. Edo tersenyum miris. Gila! Semua kegiatan mereka pun, Edo bisa tahu. Tapi apa mereka tahu bagaimana keadaannya kini? Dia menghela napas panjang, k
Mario mengecup perut buncit Violet, kandungannya sudah memasuki bulan melahirkan. Mungkin tinggal satu-dua minggu lagi, hingga saatnya tiba. Mario berjanji akan menjadi ayah yang baik. “Sayang, kamu harus berjanji untuk lebih menjaga kesehatan yaa. Pulang nanti mau dibelikan apa?” tanya Mario berjongkok di depan Violet yang duduk di teras. “Gak usah, ayah datang selamat aja sudah bagus,” Violet mengecup pipi Mario lembut. Dia memasukkan bekal makanan ke dalam tas Mario. “Makasih sayang. Rencana hari ini mau kemana?” tanya Mario memanaskan motornya. “Hmm kayaknya ke masjid Al-Azhar, ada pengajian dan sekalian mau mantau event. Katanya mau adakan bazaar buku. Mau ketemu sama EO nya, barangkali ada peluang untuk memperluas buku-buku ini,” jawab Violet meluruskan kakinya. “Aku jemput disana, ya?” Violet tersenyum menyalami tangan Mario. Dia masuk ke rukonya yang berlantai dua. Akhir-akhir ini usaha loundry nya sepi pelanggan, mungkin sudah
Tidak perlu waktu lama bagi Edo untuk mempersiapkan pernikahannya dengan Cintya, karena orang kaya seperti Edo mudah mengurus segala sesuatu. “Bu, kamu yakin mau pergi? Hpl masih lama, kan?” tanya Mario sambil merapikan jasnya, dan membetulkan jilbab Cintya. “Iya, lah yah…tenang aja, aman. Masih dua minggu lagi, nanti ibu duduk aja deh…biar ayah yang jadi seksi sibuk. Mario menghela napas kasar, Violet kalau sudah ada maunya pasti begini. Dia mengecek m-banking nya, tabungannya hanya segini. Ah…semoga cukup untuk biaya melahirkan nanti. Loundry sudah lama belum beroperasi, mungkin Violet belum sempat mengurus semuanya sendiri. “Kenapa, yah?” tanya Violet mengoleskan lipstik di bibir sensualnya. Bagian yang paling disukai Mario. “Oh, gak apa. Udah selesai? Yuk kita pergi. Eh, kak Via gak ikut?” “lagi di Bandung ama Dio. Mungkin agak lama. Yuk, yah!” Violet menggandeng Mario dan membawanya keluar ruangan. Merekapun pergi dengan t
Violet duduk di kursi taman perumahan ibu yang luas, menikmati minggu pagi sambil mengajak Gaffin mengenal dunia luar bersama Mario yang asik menikmati batagornya. “Yah, buncit itu perut lama-lama, gak berhenti makan.” Mario hanya tersenyum dan terus mengunyah batagor di piring kecilnya, tanpa ingin menawarkan pada Violet. Sinar mentari pagi menghangatkan tubuh mereka, begitu juga Gaffin yang sibuk bermain sendiri di keranjang dorong dekat Violet. Di kejauhan dia melihat dua pasangan yang sangat mereka kenal, berjalan santai sambil mendengarkan musik dengan satu headphone. “Yah, ssst yah…lihat itu!” Violet menimpuk Mario dengan batu kecil dan menunjukkannya pada pemandangan yang mulai tak asing semenjak persalinan dadakan di pesta pernikahan Edo dan Cintya. Mario menoleh, matanya membulat tak percaya. “Berarti benar, bu. Mereka ada apa-apanya,” kata Mario cepat menghabiskan makanannya lalu menunggu mereka mendekat dan menimpuk mereka den
Proyek Mario mulai meningkat, dan loundry Violet pun mulai beroperasi kembali. Bulan demi bulan berlalu, sudah dua pernikahan mereka lewati. Pernikahan Riri dan Reno, ala hawaii. Berkumpul di pantai Pangandaran saat liburan panjang. Sebulan setelahnya, pernikahan Evy dan Gilang. Di rumah ibu. Ibunya Violet! Yah…mereka hanya pasrah jika memang itu maunya Evy, toh ibu memang dianggapnya orang tua kandung. Tapi setelah semua itu berlalu, mereka menyebar. Cintya mengikuti Edo ke Brunei, Evy mengikuti Gilang ke Bandung dan Riri kembali ke kampungnya Reno di Medan. Mereka semua memulai usahanya. Tinggallah Violet dengan Mario di Jakata, benar-benar menghabiskan waktu bersama para pelanggan loundry dan keluarga mereka. Matahari siang itu sangat menyengat, Violet melap peluh yang mengalir dari dahinya sambil merapikan pakaian loundry dan sesekali melihat Gaffin yang asyik bermain di depan tv dengan mainan yang hampir tak terhitung. Entah kenapa perasaan