Pelangi terlihat cerah melukis langit, Violet duduk di balkon rumah sakit. Menunggu Mario yang akan datang. Hari ini Cintya akan pulang, jadi Violet sudah minta izin pada Mario untuk menjaga Cintya semalam.
Violet menyandarkan tubuhnya memperhatikan pelangi yang membentang indah.Violet senang melihat Cintya yang tertidur pulas. Dia telah melalui hari yang berat, mungkin Violet tak akan mampu menghadapi cobaan seperti Cintya. Kehilangan semua yang disayang dalam sekejap.
Makanya Violet tak ingin melepaskan Cintya, saat ini Cintya sedang rapuh. Edo yang diharapkan, seperti perahu yang kehilangan arah, terombang-ambing di lautan.
Dia tersenyum melihat semua beberapa isi chattnya.
"Kak, Alhamdulillah Adul sudah bisa pulang kemarin. Sekarang dia kembali ke Kuningan, mau dirawat di sana aja. Sabir udah beraktivitas seperti biasa. -Frans-"Mbak Vio, kontrak drama kita akan berakhir lusa ya! Kalau bisa, kami harapkan kedatangan mbak Vio untukMerenda sebuah tali kasihKusimpul menjadi satu hatiGambaran cinta yang terlukaBagai langit meratap senduKala bias cinta menghilang Sakit itupun datang tanpa permisiRembulan tak menyisakan senyum Edo berdiri menatap lalu lalang kendaraan dari lantai sembilan kantornya. Alis tebalnya berkerut dan sesekali dia menghembuskan napas. Dia tidak tahu, seperti inikah takdir? Bayangan Violet yang tak lekang oleh waktu begitu menyiksa batinnya, terganti dengan penyesalan terhadap Cintya. Lima bulan tidak ada kabar, Edo melihat Violet begitu lincah mengelola usaha dan karirnya dalam dunia seni. Buku-bukunya mulai dilirik kalangan produser untuk dijadikan film. Mario pun sibuk dengan proyek bangunannya. Cintya? Dia sibuk mengelola usahanya yang mulai lancar dan melanglang buana, entah kemana. Edo tersenyum miris. Gila! Semua kegiatan mereka pun, Edo bisa tahu. Tapi apa mereka tahu bagaimana keadaannya kini? Dia menghela napas panjang, k
Mario mengecup perut buncit Violet, kandungannya sudah memasuki bulan melahirkan. Mungkin tinggal satu-dua minggu lagi, hingga saatnya tiba. Mario berjanji akan menjadi ayah yang baik. “Sayang, kamu harus berjanji untuk lebih menjaga kesehatan yaa. Pulang nanti mau dibelikan apa?” tanya Mario berjongkok di depan Violet yang duduk di teras. “Gak usah, ayah datang selamat aja sudah bagus,” Violet mengecup pipi Mario lembut. Dia memasukkan bekal makanan ke dalam tas Mario. “Makasih sayang. Rencana hari ini mau kemana?” tanya Mario memanaskan motornya. “Hmm kayaknya ke masjid Al-Azhar, ada pengajian dan sekalian mau mantau event. Katanya mau adakan bazaar buku. Mau ketemu sama EO nya, barangkali ada peluang untuk memperluas buku-buku ini,” jawab Violet meluruskan kakinya. “Aku jemput disana, ya?” Violet tersenyum menyalami tangan Mario. Dia masuk ke rukonya yang berlantai dua. Akhir-akhir ini usaha loundry nya sepi pelanggan, mungkin sudah
Tidak perlu waktu lama bagi Edo untuk mempersiapkan pernikahannya dengan Cintya, karena orang kaya seperti Edo mudah mengurus segala sesuatu. “Bu, kamu yakin mau pergi? Hpl masih lama, kan?” tanya Mario sambil merapikan jasnya, dan membetulkan jilbab Cintya. “Iya, lah yah…tenang aja, aman. Masih dua minggu lagi, nanti ibu duduk aja deh…biar ayah yang jadi seksi sibuk. Mario menghela napas kasar, Violet kalau sudah ada maunya pasti begini. Dia mengecek m-banking nya, tabungannya hanya segini. Ah…semoga cukup untuk biaya melahirkan nanti. Loundry sudah lama belum beroperasi, mungkin Violet belum sempat mengurus semuanya sendiri. “Kenapa, yah?” tanya Violet mengoleskan lipstik di bibir sensualnya. Bagian yang paling disukai Mario. “Oh, gak apa. Udah selesai? Yuk kita pergi. Eh, kak Via gak ikut?” “lagi di Bandung ama Dio. Mungkin agak lama. Yuk, yah!” Violet menggandeng Mario dan membawanya keluar ruangan. Merekapun pergi dengan t
Violet duduk di kursi taman perumahan ibu yang luas, menikmati minggu pagi sambil mengajak Gaffin mengenal dunia luar bersama Mario yang asik menikmati batagornya. “Yah, buncit itu perut lama-lama, gak berhenti makan.” Mario hanya tersenyum dan terus mengunyah batagor di piring kecilnya, tanpa ingin menawarkan pada Violet. Sinar mentari pagi menghangatkan tubuh mereka, begitu juga Gaffin yang sibuk bermain sendiri di keranjang dorong dekat Violet. Di kejauhan dia melihat dua pasangan yang sangat mereka kenal, berjalan santai sambil mendengarkan musik dengan satu headphone. “Yah, ssst yah…lihat itu!” Violet menimpuk Mario dengan batu kecil dan menunjukkannya pada pemandangan yang mulai tak asing semenjak persalinan dadakan di pesta pernikahan Edo dan Cintya. Mario menoleh, matanya membulat tak percaya. “Berarti benar, bu. Mereka ada apa-apanya,” kata Mario cepat menghabiskan makanannya lalu menunggu mereka mendekat dan menimpuk mereka den
Proyek Mario mulai meningkat, dan loundry Violet pun mulai beroperasi kembali. Bulan demi bulan berlalu, sudah dua pernikahan mereka lewati. Pernikahan Riri dan Reno, ala hawaii. Berkumpul di pantai Pangandaran saat liburan panjang. Sebulan setelahnya, pernikahan Evy dan Gilang. Di rumah ibu. Ibunya Violet! Yah…mereka hanya pasrah jika memang itu maunya Evy, toh ibu memang dianggapnya orang tua kandung. Tapi setelah semua itu berlalu, mereka menyebar. Cintya mengikuti Edo ke Brunei, Evy mengikuti Gilang ke Bandung dan Riri kembali ke kampungnya Reno di Medan. Mereka semua memulai usahanya. Tinggallah Violet dengan Mario di Jakata, benar-benar menghabiskan waktu bersama para pelanggan loundry dan keluarga mereka. Matahari siang itu sangat menyengat, Violet melap peluh yang mengalir dari dahinya sambil merapikan pakaian loundry dan sesekali melihat Gaffin yang asyik bermain di depan tv dengan mainan yang hampir tak terhitung. Entah kenapa perasaan
Kamar bernuansa putih orange itu sangat indah dan bersih, hanya ada Mario sendiri. Jadi rumayanlah, dia bisa tenang. Violet berbicara di luar dengan dokter selagi Mario menonton tv sambil meminum jus jeruknya. “bu, bapak harus rutin kontrol ya kalau sudah keluar dari sini. Dan…andainya ada sesak napas, dada nyeri cepat bawa ke rumah sakit khusus jantung. Di sini adalah rumah sakit umum. Sejauh ini kondisinya bagus, kalau masih stabil…besok pun bisa pulang hanya harus rawat jalan. Bisa kan, usahakan?” Violet mengangguk mendengar kata-kata dokter. Menunggu memang membosankan, tapi setidaknya dia bisa mengamati perkembangan suaminya. Bulan makin tinggi, Violet tertidur di sebelah Mario, memeluk lengan putihnya yang dipenuhi bulu halus. “Terimakasih, sayang. I love you much.” Mario mencium dahi Violet. “Hmm i love you more…” suara Violet berganti dengan tarikan napas lembut. Selembut hatinya, Mario mengusap rambut Violet dan tertidur dengan harapan baik.
Sarah berdiri bingung di luar bandara. Yang mana ya, kak Violet? Selama 3 tahun mereka menikah, Sarah hanya mengetahui Violet dari video call dan photo. “Halo, dek,” seseorang menepuk pundak Sarah. Mata Sarah membulat melihat orang yang dirindukan ada di hadapannya. “Abang!” mereka berpelukan dan tertawa bahagia karena sudah lebih 8 tahun tidak bertemu.Mario mengenalkan Violet pada Sarah, jelingan Sarah membuat Violet malu. Kakak iparnya ternyata begitu cantik dan baik. Pantaslah Mario begitu ingin menikah dengan Violet. Sepeninggal isteri pertama, Mario tidak pernah mengenalkan wanita manapun pada keluarganya kecuali Violet. Mobil yang dikendarai Mario melaju pelan. Mobil pinjaman dari kantor lama Edo. Ya, akhirnya Mario menerima permintaan Edo untuk kembali mengelola kantornya. Bahkan Edo memberikan surat pengalihan kekuasaan dan kepemilikan kepada Mario. Edo menyadari kalau pasangan itu adalah pasangan tertulus yang pernah dia kenal, setelah seki
“Kita mau kemana, kakak?” leher Sarah bergerak ke kanan dan ke kiri, memperhatikan bangunan tinggi tetapi akhirnya memasuki wilayah yang sangat padat dengan jalan hanya muat untuk satu mobil. Gaffin tepuk tangan kegirangan di jok belakang, makin membuat Sarah bingung. Dia melirik Violet yang hanya diam sambil tersenyum. Akhirnya mobil memasuki halaman yang luas dengan rumah sederhana dan beberapa pondok kecil yang berjejer di samping kiri. Mereka turun dari mobil, membawa beberapa bungkus makanan dan minuman. Beberapa anak berlarian menyambut mereka, memeluk Violet dan menggendong Gaffin juga, lalu mereka berjalan beriringan masuk ke dalam rumah, langsung ke ruang kreativitas. “Kenalkan, ini Sarah. Adik ipar kakak yang baru datang dari Medan.” Violet mengenalkan Sarah pada mereka yang berjumlah hampir tiga puluh orang. Mereka menyalami Sarah yang terlihat sangat takjub dengan keakraban yang mereka perlihatkan. “Rumah ini namanya Rumah