“Kita mau kemana, kakak?” leher Sarah bergerak ke kanan dan ke kiri, memperhatikan bangunan tinggi tetapi akhirnya memasuki wilayah yang sangat padat dengan jalan hanya muat untuk satu mobil.
Gaffin tepuk tangan kegirangan di jok belakang, makin membuat Sarah bingung. Dia melirik Violet yang hanya diam sambil tersenyum.
Akhirnya mobil memasuki halaman yang luas dengan rumah sederhana dan beberapa pondok kecil yang berjejer di samping kiri. Mereka turun dari mobil, membawa beberapa bungkus makanan dan minuman.
Beberapa anak berlarian menyambut mereka, memeluk Violet dan menggendong Gaffin juga, lalu mereka berjalan beriringan masuk ke dalam rumah, langsung ke ruang kreativitas.
“Kenalkan, ini Sarah. Adik ipar kakak yang baru datang dari Medan.” Violet mengenalkan
Sarah pada mereka yang berjumlah hampir tiga puluh orang. Mereka menyalami Sarah yang terlihat sangat takjub dengan keakraban yang mereka perlihatkan.
“Rumah ini namanya Rumah
Rumah adalah sekolah pertama. Setuju?
Mereka kembali lagi ke Rumah Jalanan untuk menyaksikan pembangunan yang telah berjalan, kini Rumah Jalanan terlihat sesak karena pemuda dan bapak-bapak di kampung bergotong royong mengerjakan, para pemudi dan ibu-ibu sibuk menyiapkan makan siang di dapur, sedangkan anak-anak mereka dialihkan untuk berkreativitas dan memainkan mainan yang tersedia. Kepala tukang yang diambil dari perusahaan konstruksi Edo, mengawasi jalannya pembangunan. Dua minggu, pondasi sudah berdiri dan siap dibentuk menjadi bangunan lain. Violet terlihat sibuk bersama para Gengs Cuantiq, membicarakan program pembelajaran. Mereka ingin membuat suasana pembelajaran yang berbeda dari yang lain.Sarah seperti biasa, bermain dengan permainan edukatif bersama anak-anak usia TK dan sekitarnya. Suasana yang penuh dengan canda tawa riang mereka,membuat Edo dan Violet tersenyum. “Cantik, seperti pelangi…” gumam Edo pelan, memperhatikan Violet yang mengobrol dengan beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak
Setelah beberapa kali pertemuan di villa Riri,akhirnya Riri dan Evy memutuskan tinggal di villa mereka agar dapat terus berkumpul dengan Gengs Cuantiq. Sebulan sekali, mereka akan memantau kegiatan di Rumah Jalanan dan Rumah Calistung. Mengikuti hampir semua kegiatan yang dilaksanakan di tempat tersebut dan selalu meluangkan waktu untuk menghabiskan waktu senggang. Semua kegiatan berjalan lancar. Sarah sibuk di Rumah Calistung, Evy masih menjadi pelatih tari seminggu sekali dan seringkali mengadakan pementasan, begitu juga dengan Riri yang sudah memiliki studio rekaman sendiri, Elisa masih fokus ke job MC dan kelas Public Relation. Dia menjadi pimpinan di klubnya, dibantu dengan pak Juan. Dosen muda idaman para mahasiswi di kampusnya. Sekarang sudah menjadi dosen tua, karena sudah tua belum menikah. Ahaay. “Hei Elisa, kamu benar-benar gak tertarik apa sama dosen ganteng sejagat raya itu?” tanya Evy di acara nujuh bulanan Violet. Elisa mengikuti ar
Tidak ada yang lebih membahagiakan selain kebersamaan yang penuh kasih sayang, itulah kini yang dirasakan pasangan baru. Dosen Juan dan Elisa. Setelah melalui dua tahun pernikahan kontrak, akhirnya kini mereka sepakat untuk menjadikannya resmi, meski ditentang kedua orang tuanya. Bagi Profesor Martin, ayah Juan. Pernikahan bukanlah sementara, yang menjadikannya sementara adalah ego manusia. Manusia mudah berubah sampai lupa dengan makna pernikahan, bersama selamanya sampai maut memisahkan. Seperti sidang paripurna, Juan dan Elisa duduk manis diantara banyak pasangan keluarga. Tante Anita sebagai wali dari Elisa duduk di depan mereka, di sebelahnya duduk Profesor Martin dan Bunda Mey. Di belakang mereka duduk keluarga kecil Edo beserta Cintya dan bu Nina sebagai keluarga dari tante Anita. Mario dan Violet yang baru sampai di pintu ruang tamu, mundur dan memilih duduk di teras, sambil menunggu sidang selesai. Mereka tidak tahu kalau berita penting yang diberita
Violet mematut dirinya di cermin, dia bersiap akan pergi ke mall untuk mengecek penjualan bukunya dan mengadakan bedah buku miliknya. Mario tersenyum di sofa samping ranjang, memperhatikan Violet yang membolak-balikkan badannya di depan cermin. “Bu…kamu itu udah cantik dari sananya, walaupun berbadan dua tetap aja tidak ada tandingannya dengan wanita seksi dimanapun,” celetuk Mario membuat Violet melirik sadis, dia membuka kembali jilbabnya dan semua pakaiannya lalu menghampiri Mario yang hanya terdiam. Mario menelan salivanya kasar saat Violet mendekat, memejamkan mata ketika Violet duduk di atas paha Mario dan mulai meraba semua bagian tubuh Mario lalu dia membuka satu persatu pakaian Mario. Ada napas tertahan saat Violet menempelkan perut buncitnya pada perut Mario yang sudah tak sedatar dulu, sebelum menikah. Violet melakukan semua dengan lembut dan hati-hati, karena kondisi Mario meskipun Mario tidak terlalu mengkhawatirkan penyakitnya. Vio
Sarah duduk sedih di depan kamar rawat Mario yang baru siuman setelah dua jam tak sadarkan diri, mungkin shock akibat terlalu khawatir dengan keadaannya dan mengetahui keadaan bahwa di hari yang sama, Violet akan melahirkan dengan operasi caesar untuk kedua kali. Selang infus yang sangat mengganggunya membuat dia kesal, tak ada apapun yang bisa dia lakukan selain berharap kepada-Nya tentang kebaikan-kebaikan yang akan terjadi. Dia duduk di kasur berwarna putih bersih tersebut, ac yang dingin tak mampu menghilangkan peluh yang terus saja membasahi telapak tangan dan dahinya, deras seperti debaran jantungnya. Mario berkali-kali mengusap kasar wajahnya, rasa kesal begitu menumpuk di hatinya. Satu-satunya yang dia punya adalah photonya bersama Violet dan Gaffin di dalam dompet. Air mata turun perlahan membasahi pipinya. Dia ingin berjalan, tetapi tubuhnya begitu lemah. Debaran jantungnya masih sangat kuat. Mario menepuk kasar kasur yang tidak bersalah. “Kenapa aku
Mario berdiri di sebelah Violet yang tertidur. Jam menunjukkan pukul sebelas saat Violet tertidur, tidak ada keinginan untuk membangunkan Violet jadi Mario hanya duduk memandang wajah tidur Violet. sedetikpun dia tidak ingin menghapus Violet dari ingatannya, betapa dia sangat mencintai wanita yang telah melahirkan dua anaknya ini. Bayi mungil keduanya masih tertidur pulas di ranjang kecil sebelah Violet. Tenang, nyaman dan tanpa masalah. “Ayah…ayah…” Violet mengigau. Mario memegang jemari Violet. panas! Dia berdiri panik, lalu memegang dahi Violet. Ya, Allah lebih panas! Mario berbalik ingin memanggil perawat, tapi tiba-tiba dia lemas, langkahnya terhuyung. Dia berusaha menggapai sofa. “Mario, ya Allah..kenapa?” Riri yang baru tiba langsung memapah Mario ke sofa. Mario menunjuk Violet, Riri pun menghampiri Violet yang berkeringat. Dia meletakkan tangannya di dahi Violet. “Ya, Allah panasnya!” Riri berbalik, dia memegang tangan Mario yang terkulai lema
Hari Anak Sedunia. Violet dan teman-temannya berkumpul di Rumah Calistung membawa masing-masing anak untuk melakukan suatu kegiatan. Sarah mengatur program anak Calistung binaannya, menaruh bazaar kreativitas anak di halaman terbuka dan mengumpulkan para orang tua asuh juga penduduk sekitar. Elisa berdiri di atas pentas kecil, samping Rumah Calistung bersama para tamu undangan. Dia berdandan layaknya putri salju sebagai mc, 3-i dengan ketuanya Ihsan sebagai penata panggung sibuk menata panggung dan memberi arahan untuk para peserta yang akan tampil pada acara Hari Anak Sedunia. “Halo teman-teman di belakang panggung, kalian sudah siap menyaksikan acara Hari Anak Sedunia belum, yaa?” suara lantang Elisa terdengar memenuhi tempat acara. “Siiiaaaapp, bundaaa,” sahut mereka kompak. Semua penonton yang terdiri dari para orang tua dan anak mereka yang sudah besar tertawa kompak, karena ada yang mencoba menerobos keluar hanya untuk menjawab pertanyaa
Mario duduk di tepi ranjangnya yang empuk. Dia berusaha berpikir tentang wanita muda yang usianya di atas Violet beberapa tahun tersebut. Benarkah itu dia? Dimana dan kapan, ya? Jadi…selama ini kami merawat anak itu? Anak yang keberadaannya memang tidak diinginkan. “Sayang, ada apa?” tanya Violet bingung melihat Mario yang tidak menyadari kehadiran Violet. “Ibu itu…apa benar ibunya Dani?” tanya Mario heran. “Iya, memang ada apa?” tanya Violet makin bingung dengan sikap Mario. “Aku hanya pernah bertemu dia, tapi lupa. Dimana dan kapan?” dia bertanya pada diri sendiri. “Begitu, kah? Hmm, aneh juga sih. Dia memberikan photo Dani masih bayi, dan…dia bukan warga sini, jadi kenapa dia ada di sini? Kan dia tukang masak, bukan pemulung yang biasa berkeliaran.” Gumam Violet seperti bergumam pada diri sendiri. “Nah, itu dia bu…ibu nih mudah sekali percaya dengan orang lain yang baru dikenal. Bagus ibu awasi tingkah laku bu Ita, jaga Rio dan anak
Malam yang dingin, Violet berdiri di depan taman kecil yang baru saja di bangun Dani dan Mario. Ada lampu bulat di tengah dengan air mancur cantik dan angsa putih dua ekor. Angsa putih simbol keindahan alam. Hari ini dia hanya ingin duduk di salah satu bangku taman sambil menunggu Mario pulang ngantor. Dia sungguh bingung dengan keputusan yang harus diambil secepatnya. Mario masih dalam perawatan, tidak bisa mengharapkannya bekerja seperti dulu. Ring yang dipasang di pembuluh darah jantung sebelah kiri kadang membuatnya susah bernapas bila melakukan gerakan mendadak. Apakah itu benar karena ring yang terpasang? Ah, apapun alasannya Violet tidak ingin menekan Mario untuk bekerja seperti dulu. “Kak, nunggu abang, ya?” suara Sarah membuyarkan lamunannya. “Iya, bingung nih…chatt belum dibalas, telpon gak diangkat. Abang tuh biasanya rajin ngasih kabar tapi udah jam sebelas gini belum pulang juga. Kemana sih, dia yaa…” Violet mondar-mandir di teras sambil melipat tangannya, air putih
Violet masuk ke ruang tamu memegang lengan Mario erat, seperti enggan melepaskan, membuat beberapa pasang mata menatap mereka haru. Violet menaruh tas di dekat pintu dan membawa Mario duduk di bangku panjang ruang tamu. Ada lelah yang teramat sangat di wajah mereka, mungkin buah penantian yang tak kunjung datang membuat mereka hampir putus asa. Tapi beberapa pasang mata yang kini ada di hadapan mereka, sungguh membuat mereka rindu. “Ibuuu, ayaaah…” Gaffin menghambur ke pelukan ibu, suara tangisnya begitu memilukan. Dia mencium kedua pipi Violet berkali-kali, lalu beralih ke Mario dan melakukan hal yang sama. “Ibu, ayah…ada pelangi di luar. Cantiiik banget! Bisa ayah ambilkan untuk Gaffin?” Gaffin menggelendot di kaki Mario. “Gak bisa, sayang. Pelangi itu biarpun indah tapi jauh dari jangkauan, jangan seperti pelangi, ya?” Mario mengusap lembut rambut Gaffin lalu memangku di pahanya. Mereka pun duduk bersama di ruang tamu, Viana yang kebetulan datang s
Teriakan Dani membuat wanita yang barusan memasuki ruang ICU menghentikan langkahnya, saat dia berbalik polisi sudah menahan langkahnya. Polisi langsung menjauhkan wanita tersebut dari sang bayi yang dikelilingi oleh banyak selang. Dani memperhatikan wanita itu dengan seksama, lalu dia meminjam ponsel Aci dan mencoba untuk menghubungi seseorang. Photo terkirim ke applikasi hijau lengkap dengan data dirinya. Kedua polisi dan Aci membelalakkan mata kaget melihat photo yang ada di ponsel Aci. Polisi satunya melapor ke meja perawat untuk meminta data, ternyata tidak ada perawat seperti yang mereka tahan. Malah perawat mereka kurang satu, setelah ditelusuri ternyata perawat mereka yang hilang terikat lemah di gudang dengan pakaian yang telah ditukar. Setelah beberapa polisi datang, mereka pun membawa wanita tersebut ke kantor polisi, diikuti oleh Dani dan Aci. “Tunggu, bang. Kasus hampir selesai, boleh kan kita makan dulu? Ini sudah siang menjelang sore. A
Hari yang naas bagi pria brewok. Saat dia melarikan diri bersama wanitanya, ternyata jejaknya sudah tercium polisi. Akhirnya, saat keluar tol dia harus pasrah ketika polisi menunggunya, mau menghindar pun tak bisa. Karena mereka menghampiri dari berbagai sisi. Dia saja bingung, daripada polisi bisa tahu kemana arah yang akan dia tuju setelah ini. Ahh, dia sudah bosan dengan hidupnya, jadi dia tak peduli lagi saat ini dan diapun mengikuti polisi ke kantor.Mereka memeriksa mobil, di bangku belakang terlihat wanita berambut pirang terbungkus asal-asalan, sudah tak bernyawa. Tapi, pria tersebut menggendong bayi cantik dan berkata lirih, “tolong selamatkan anak ini…” lalu menyerahkannya pada polisi yang langsung memeriksa keadaan sang bayi dan segera melarikan bayi tersebut ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.Sang pria yang pasrah hanya bisa mengikuti beberapa polisi ke suatu ruangan. Polisi memintanya untuk melakukan beberapa pemeriks
Seandainya bayi kecil itu bisa berbicara mungkin dia akan menangis sejadi-jadinya, tapi dia sudah terlalu lelah untuk menagis. Asi tidak ada, lalu dia minum apa? Tidak ada yang dapat menenangkannya, hanya ada teriakan untuk menyuruhnya diam. Ahh, apa salah dan dosaku? Aku hanya bayi berusia dua bulan, kata ibu. Kan aku tidak tahu persis berapa usiaku. Aku hanya tahu kalau aku telah dikeluarkan dari pembungkus berair selama berbulan-bulan. Dan aku didekap oleh tangan lembut yang terus-terusan mengecup semua wajahku, sambil mengucap syukur berkali-kali. Oh, ini pasti ibuku! Aku belum bisa berjalan, ya tentu saja. Aku hanya bisa menangis saat menginginkan atau mengalami sesuatu. Aku benar-benar tidak bisa apa-apa tanpa orang yang membantuku. Tapi, ibu, ayah, abang dan bou sangat perhatian padaku. Ah, sungguh beruntungnya aku! Sekarang, dimana mereka? Aku kehilangan mereka. Aku tidak mau berada di sini! Aku tidak kenal orang-orang ini! “Berisik banget sih, kamu? Ap
Violet berdiri di depan Rumah Jalanan. Dia benar-benar pasrah dengan keadaan Ghefira, karena ini sudah hari ke tiga dan belum ada kabar apapun tentang Ghefira. Polisi bilang sedang dalam penyelidikan, jadi Violet disuruh tenang. Saking tenangnya Violet, air mata pun sudah kering. Dia berjalan memasuki ruangan, siang panas menyengat membuat peluh di dahi Violet tak berhenti mengucur. Sepi, Violet melirik jam tangannya. Hmm pantas! Jam 1 siang, paling enak tidur apalagi setelah makan siang. Kali ini dia bisa meninggalkan Mario sebentar, karena ada ibu dan ayah yang jaga. Entah apa yang menarik hatinya ke sini, tapi begitu sampai dia hanya ingat satu anak. Dani. “Ihsan, bangun…” Violet membangunkan Ihsan yang tertidur di ruang tengah dengan beralaskan karpet. “Eh, kak. Tumben siang-siang di hari kerja begini kok, kesini? Ada apa?” tanya Ihsan mengucek matanya. Dia tersenyum melihat Violet yang selalu tampil cantik, bahkan saat dirundung kemelut sep
Jajanan Bogor memang sederhana tapi nyaman di lidah. Pagi ini mereka menikmati Docla. Makanan seperti ketoprak yang terdiri dari lontong atau ketupat dan tahu yang disiram bumbu kacang dengan topping kentang dan telur rebus, bawang goreng dan kerupuk.Mereka menikmati sajian di Tanjakan Pasir Kuda sebelum pintu masuk Kebun Raya Residence, menunggu pesanan dengan sabar sambil melihat pemandangan di sekitar mereka. Sudah dua hari mereka di Bogor, bersyukur sudah ada petunjuk? Lebih tepatnya jalan terakhir, tapi Dani memang penasaran dengan motif penculik dan pembunuh di kamar sebelah. Eeh, pembunuh? Polisi kan belum bilang apapun. “Dan, kamu udah kasih kabar ke Rumah Jalanan?” tanya Dani sambil meminum air putih dalam botol 1,5 lt. Dia memang biasa menghabiskan air segitu banyak. Biasanya malah sampai 3 liter dalam satu hari. “Pesan pendek aja, mas sebelum pergi. Lagian mau kasih kabar ke mana? Semua orang kan sibuk. Bunda lagi jaga ayah dan bu Ita juga pergi gak ta
“Mas, kita mau kemana? Dari tadi bolak-balik aja. Nunggu siapa dan apa, mas?” tanya Dani mengekor Aci. Hari sudah senja, hampir seluruh kota Bogor mereka susuri. Dari Istana Bogor, perumahan elit sampai pasar. Bila waktunya shalat, mereka akan singgah di masjid. Kota artistik yang menarik, sejuk dan asri. Dani tersenyum, baru kali ini dia pergi ke Bogor. Violet jarang membawanya jalan-jalan, hanya membawakan mereka oleh-oleh. Tidak ada yang spesial, karena memang Violet tidak pernah menspesialkan seseorang, bahkan Mario sekalipun. Hanya dia memang sangat spesial di hati mereka, termasuk Dani. Motor berhenti di penginapan sederhana, Aci memesan satu kamar dengan kasur dua untuk mereka. Setelah perut kenyang rasanya ingin sekali merebahkan diri di kasur. Padahal di atas meja, masih ada sebungkus gorengan dan beberapa minuman. “Mas.” “Ya?” “Kenapa kita harus tetap menjalani hidup ini meski seberat apapun cobaannya? Aci melirik Dani
Dani berjalan menyusuri gang kecil menuju rumah lamanya. Rumah kecil ukuran 5x7 meter yang bersebelahan dengan rumah tukang gado-gado terenak di kampungnya itu terlihat seperti tak ada kehidupan. Semenjak Dani tinggalkan, kurang lebih lima tahun dan tidak pernah dia pantau, rumah kecil yang membesarkan Dani seperti ibu tua lusuh tak terawat. Pagi terang harusnya dapat membuat hati Dani tenang, tapi dia malah merasa sedih berkepanjangan. Orang-orang yang dia sayangi bercerai berai, ibu yang dia impikan hampir tiap malam tak mampu mengembalikan kegundahan hatinya. Dani menghentikan langkahnya tepat di ujung gang, duduk di tepi pagar batu tempat di mana Violet memanggil Dani yang berdiri sambil melihat Violet makan batagor. Tanpa basa-basi dan curiga, Violet mengajaknya ngobrol dan makan. Setelah itu mereka pergi ke rumah Dani, sambil mengajak bicara dan meminta persetujuan Dani untuk tinggal bersamanya di Rumah Jalanan. Ternyata, Dani setuju dan sudah men