Hari Anak Sedunia.
Violet dan teman-temannya berkumpul di Rumah Calistung membawa masing-masing anak untuk melakukan suatu kegiatan. Sarah mengatur program anak Calistung binaannya, menaruh bazaar kreativitas anak di halaman terbuka dan mengumpulkan para orang tua asuh juga penduduk sekitar.
Elisa berdiri di atas pentas kecil, samping Rumah Calistung bersama para tamu undangan. Dia berdandan layaknya putri salju sebagai mc, 3-i dengan ketuanya Ihsan sebagai penata panggung sibuk menata panggung dan memberi arahan untuk para peserta yang akan tampil pada acara Hari Anak Sedunia.
“Halo teman-teman di belakang panggung, kalian sudah siap menyaksikan acara Hari Anak Sedunia belum, yaa?” suara lantang Elisa terdengar memenuhi tempat acara.
“Siiiaaaapp, bundaaa,” sahut mereka kompak.
Semua penonton yang terdiri dari para orang tua dan anak mereka yang sudah besar tertawa kompak, karena ada yang mencoba menerobos keluar hanya untuk menjawab pertanyaa
"Rio Anhar Dani kan, tidak ada orangtuanya?" Batin Violet bingung.
Mario duduk di tepi ranjangnya yang empuk. Dia berusaha berpikir tentang wanita muda yang usianya di atas Violet beberapa tahun tersebut. Benarkah itu dia? Dimana dan kapan, ya? Jadi…selama ini kami merawat anak itu? Anak yang keberadaannya memang tidak diinginkan. “Sayang, ada apa?” tanya Violet bingung melihat Mario yang tidak menyadari kehadiran Violet. “Ibu itu…apa benar ibunya Dani?” tanya Mario heran. “Iya, memang ada apa?” tanya Violet makin bingung dengan sikap Mario. “Aku hanya pernah bertemu dia, tapi lupa. Dimana dan kapan?” dia bertanya pada diri sendiri. “Begitu, kah? Hmm, aneh juga sih. Dia memberikan photo Dani masih bayi, dan…dia bukan warga sini, jadi kenapa dia ada di sini? Kan dia tukang masak, bukan pemulung yang biasa berkeliaran.” Gumam Violet seperti bergumam pada diri sendiri. “Nah, itu dia bu…ibu nih mudah sekali percaya dengan orang lain yang baru dikenal. Bagus ibu awasi tingkah laku bu Ita, jaga Rio dan anak
“Ada apa, Dani? Kemana Ghefira?” tanya Mario bertanya lagi, sambil memegang pundak Dani. Tapi Dani hanya menggelengkan kepalanya. Mario berdiri gusar, lalu berjongkok lagi. Kali ini dia bertanya dengan nada agak tinggi sehingga Dani ketakutan dan menutup wajahnya. “Ayah, ada apa?” tanya Violet kaget mendengar bentakan Mario. “Dani, dia…dia tidak tahu kemana Ghefira! Bagaimana ini, bu?” jawab Mario kesal. Dia bertolak pinggang di depan Dani yang masih terduduk sambil menutup wajahnya. Isak tangis terdengar lagi, membuat Mario makin kesal. Dia meninju dinding kantor, napasnya memburu. Violet mendekati Mario dan berdiri di sampingnya, “sabar, yah…duduk yaa. Biar ibu tanyakan semua orang di kantor ini.” Violet merangkul Mario dan membawanya duduk di sofa. Lalu dia berlari ke lobi kantor. “Pak, ada lihat seseorang membawa Ghefira anak saya?” tanya Violet pada dua satpam yang berdiri di depan pintu. “Gak ada, bu. Dari tadi yang saya lihat ha
Violet menelpon Ihsan di Rumah Jalanan, meminta mereka menyelidiki apakah Ita masih ada di sana. Ternyata Ita pun pergi, dan tidak ada yang tahu. Jadi Violet menyuruh mereka untuk mencari keberadaan Ita, ibunya Dani. Lima jam berlalu sejak menghilangnya Ghefira, Violet hampir putus asa karena tidak ada petunjuk sama sekali tentang keberadaan Ghefira. Mario pun kesal, berkali-kali dia mencoba tenang, menyandarkan tubuhnya di kursi kantor lalu berdiri lagi dan bolak-balik sambil sibuk memainkan ponselnya. Polisi pun belum bisa memberikan kabar. Kemana Ghefira sebenarnya? Lalu, ada hubungan apa antara Ita dan Michella? Dan kenapa mereka menginginkan Ghefira? “Sayang, kita jalan-jalan sebentar, yuk? Taruh Dani di Rumah Jalanan, lalu kita pergi. Dani pasti belum makan siang, kan?” tanya Violet pada Mario dan Dani. Mario hendak protes, tapi Violet menggelengkan kepalanya. Jadi, dia pun menuruti kemauan Violet. Dani berjalan di sebelah Violet. Sepertin
Dani berjalan menyusuri gang kecil menuju rumah lamanya. Rumah kecil ukuran 5x7 meter yang bersebelahan dengan rumah tukang gado-gado terenak di kampungnya itu terlihat seperti tak ada kehidupan. Semenjak Dani tinggalkan, kurang lebih lima tahun dan tidak pernah dia pantau, rumah kecil yang membesarkan Dani seperti ibu tua lusuh tak terawat. Pagi terang harusnya dapat membuat hati Dani tenang, tapi dia malah merasa sedih berkepanjangan. Orang-orang yang dia sayangi bercerai berai, ibu yang dia impikan hampir tiap malam tak mampu mengembalikan kegundahan hatinya. Dani menghentikan langkahnya tepat di ujung gang, duduk di tepi pagar batu tempat di mana Violet memanggil Dani yang berdiri sambil melihat Violet makan batagor. Tanpa basa-basi dan curiga, Violet mengajaknya ngobrol dan makan. Setelah itu mereka pergi ke rumah Dani, sambil mengajak bicara dan meminta persetujuan Dani untuk tinggal bersamanya di Rumah Jalanan. Ternyata, Dani setuju dan sudah men
“Mas, kita mau kemana? Dari tadi bolak-balik aja. Nunggu siapa dan apa, mas?” tanya Dani mengekor Aci. Hari sudah senja, hampir seluruh kota Bogor mereka susuri. Dari Istana Bogor, perumahan elit sampai pasar. Bila waktunya shalat, mereka akan singgah di masjid. Kota artistik yang menarik, sejuk dan asri. Dani tersenyum, baru kali ini dia pergi ke Bogor. Violet jarang membawanya jalan-jalan, hanya membawakan mereka oleh-oleh. Tidak ada yang spesial, karena memang Violet tidak pernah menspesialkan seseorang, bahkan Mario sekalipun. Hanya dia memang sangat spesial di hati mereka, termasuk Dani. Motor berhenti di penginapan sederhana, Aci memesan satu kamar dengan kasur dua untuk mereka. Setelah perut kenyang rasanya ingin sekali merebahkan diri di kasur. Padahal di atas meja, masih ada sebungkus gorengan dan beberapa minuman. “Mas.” “Ya?” “Kenapa kita harus tetap menjalani hidup ini meski seberat apapun cobaannya? Aci melirik Dani
Jajanan Bogor memang sederhana tapi nyaman di lidah. Pagi ini mereka menikmati Docla. Makanan seperti ketoprak yang terdiri dari lontong atau ketupat dan tahu yang disiram bumbu kacang dengan topping kentang dan telur rebus, bawang goreng dan kerupuk.Mereka menikmati sajian di Tanjakan Pasir Kuda sebelum pintu masuk Kebun Raya Residence, menunggu pesanan dengan sabar sambil melihat pemandangan di sekitar mereka. Sudah dua hari mereka di Bogor, bersyukur sudah ada petunjuk? Lebih tepatnya jalan terakhir, tapi Dani memang penasaran dengan motif penculik dan pembunuh di kamar sebelah. Eeh, pembunuh? Polisi kan belum bilang apapun. “Dan, kamu udah kasih kabar ke Rumah Jalanan?” tanya Dani sambil meminum air putih dalam botol 1,5 lt. Dia memang biasa menghabiskan air segitu banyak. Biasanya malah sampai 3 liter dalam satu hari. “Pesan pendek aja, mas sebelum pergi. Lagian mau kasih kabar ke mana? Semua orang kan sibuk. Bunda lagi jaga ayah dan bu Ita juga pergi gak ta
Violet berdiri di depan Rumah Jalanan. Dia benar-benar pasrah dengan keadaan Ghefira, karena ini sudah hari ke tiga dan belum ada kabar apapun tentang Ghefira. Polisi bilang sedang dalam penyelidikan, jadi Violet disuruh tenang. Saking tenangnya Violet, air mata pun sudah kering. Dia berjalan memasuki ruangan, siang panas menyengat membuat peluh di dahi Violet tak berhenti mengucur. Sepi, Violet melirik jam tangannya. Hmm pantas! Jam 1 siang, paling enak tidur apalagi setelah makan siang. Kali ini dia bisa meninggalkan Mario sebentar, karena ada ibu dan ayah yang jaga. Entah apa yang menarik hatinya ke sini, tapi begitu sampai dia hanya ingat satu anak. Dani. “Ihsan, bangun…” Violet membangunkan Ihsan yang tertidur di ruang tengah dengan beralaskan karpet. “Eh, kak. Tumben siang-siang di hari kerja begini kok, kesini? Ada apa?” tanya Ihsan mengucek matanya. Dia tersenyum melihat Violet yang selalu tampil cantik, bahkan saat dirundung kemelut sep
Seandainya bayi kecil itu bisa berbicara mungkin dia akan menangis sejadi-jadinya, tapi dia sudah terlalu lelah untuk menagis. Asi tidak ada, lalu dia minum apa? Tidak ada yang dapat menenangkannya, hanya ada teriakan untuk menyuruhnya diam. Ahh, apa salah dan dosaku? Aku hanya bayi berusia dua bulan, kata ibu. Kan aku tidak tahu persis berapa usiaku. Aku hanya tahu kalau aku telah dikeluarkan dari pembungkus berair selama berbulan-bulan. Dan aku didekap oleh tangan lembut yang terus-terusan mengecup semua wajahku, sambil mengucap syukur berkali-kali. Oh, ini pasti ibuku! Aku belum bisa berjalan, ya tentu saja. Aku hanya bisa menangis saat menginginkan atau mengalami sesuatu. Aku benar-benar tidak bisa apa-apa tanpa orang yang membantuku. Tapi, ibu, ayah, abang dan bou sangat perhatian padaku. Ah, sungguh beruntungnya aku! Sekarang, dimana mereka? Aku kehilangan mereka. Aku tidak mau berada di sini! Aku tidak kenal orang-orang ini! “Berisik banget sih, kamu? Ap