Sarah duduk sedih di depan kamar rawat Mario yang baru siuman setelah dua jam tak sadarkan diri, mungkin shock akibat terlalu khawatir dengan keadaannya dan mengetahui keadaan bahwa di hari yang sama, Violet akan melahirkan dengan operasi caesar untuk kedua kali. Selang infus yang sangat mengganggunya membuat dia kesal, tak ada apapun yang bisa dia lakukan selain berharap kepada-Nya tentang kebaikan-kebaikan yang akan terjadi. Dia duduk di kasur berwarna putih bersih tersebut, ac yang dingin tak mampu menghilangkan peluh yang terus saja membasahi telapak tangan dan dahinya, deras seperti debaran jantungnya.
Mario berkali-kali mengusap kasar wajahnya, rasa kesal begitu menumpuk di hatinya. Satu-satunya yang dia punya adalah photonya bersama Violet dan Gaffin di dalam dompet. Air mata turun perlahan membasahi pipinya. Dia ingin berjalan, tetapi tubuhnya begitu lemah. Debaran jantungnya masih sangat kuat. Mario menepuk kasar kasur yang tidak bersalah.
“Kenapa aku
Mario bergumam lirih, "aku adalah ayahmu dan akan tetap menjadi ayahmu..."
Mario berdiri di sebelah Violet yang tertidur. Jam menunjukkan pukul sebelas saat Violet tertidur, tidak ada keinginan untuk membangunkan Violet jadi Mario hanya duduk memandang wajah tidur Violet. sedetikpun dia tidak ingin menghapus Violet dari ingatannya, betapa dia sangat mencintai wanita yang telah melahirkan dua anaknya ini. Bayi mungil keduanya masih tertidur pulas di ranjang kecil sebelah Violet. Tenang, nyaman dan tanpa masalah. “Ayah…ayah…” Violet mengigau. Mario memegang jemari Violet. panas! Dia berdiri panik, lalu memegang dahi Violet. Ya, Allah lebih panas! Mario berbalik ingin memanggil perawat, tapi tiba-tiba dia lemas, langkahnya terhuyung. Dia berusaha menggapai sofa. “Mario, ya Allah..kenapa?” Riri yang baru tiba langsung memapah Mario ke sofa. Mario menunjuk Violet, Riri pun menghampiri Violet yang berkeringat. Dia meletakkan tangannya di dahi Violet. “Ya, Allah panasnya!” Riri berbalik, dia memegang tangan Mario yang terkulai lema
Hari Anak Sedunia. Violet dan teman-temannya berkumpul di Rumah Calistung membawa masing-masing anak untuk melakukan suatu kegiatan. Sarah mengatur program anak Calistung binaannya, menaruh bazaar kreativitas anak di halaman terbuka dan mengumpulkan para orang tua asuh juga penduduk sekitar. Elisa berdiri di atas pentas kecil, samping Rumah Calistung bersama para tamu undangan. Dia berdandan layaknya putri salju sebagai mc, 3-i dengan ketuanya Ihsan sebagai penata panggung sibuk menata panggung dan memberi arahan untuk para peserta yang akan tampil pada acara Hari Anak Sedunia. “Halo teman-teman di belakang panggung, kalian sudah siap menyaksikan acara Hari Anak Sedunia belum, yaa?” suara lantang Elisa terdengar memenuhi tempat acara. “Siiiaaaapp, bundaaa,” sahut mereka kompak. Semua penonton yang terdiri dari para orang tua dan anak mereka yang sudah besar tertawa kompak, karena ada yang mencoba menerobos keluar hanya untuk menjawab pertanyaa
Mario duduk di tepi ranjangnya yang empuk. Dia berusaha berpikir tentang wanita muda yang usianya di atas Violet beberapa tahun tersebut. Benarkah itu dia? Dimana dan kapan, ya? Jadi…selama ini kami merawat anak itu? Anak yang keberadaannya memang tidak diinginkan. “Sayang, ada apa?” tanya Violet bingung melihat Mario yang tidak menyadari kehadiran Violet. “Ibu itu…apa benar ibunya Dani?” tanya Mario heran. “Iya, memang ada apa?” tanya Violet makin bingung dengan sikap Mario. “Aku hanya pernah bertemu dia, tapi lupa. Dimana dan kapan?” dia bertanya pada diri sendiri. “Begitu, kah? Hmm, aneh juga sih. Dia memberikan photo Dani masih bayi, dan…dia bukan warga sini, jadi kenapa dia ada di sini? Kan dia tukang masak, bukan pemulung yang biasa berkeliaran.” Gumam Violet seperti bergumam pada diri sendiri. “Nah, itu dia bu…ibu nih mudah sekali percaya dengan orang lain yang baru dikenal. Bagus ibu awasi tingkah laku bu Ita, jaga Rio dan anak
“Ada apa, Dani? Kemana Ghefira?” tanya Mario bertanya lagi, sambil memegang pundak Dani. Tapi Dani hanya menggelengkan kepalanya. Mario berdiri gusar, lalu berjongkok lagi. Kali ini dia bertanya dengan nada agak tinggi sehingga Dani ketakutan dan menutup wajahnya. “Ayah, ada apa?” tanya Violet kaget mendengar bentakan Mario. “Dani, dia…dia tidak tahu kemana Ghefira! Bagaimana ini, bu?” jawab Mario kesal. Dia bertolak pinggang di depan Dani yang masih terduduk sambil menutup wajahnya. Isak tangis terdengar lagi, membuat Mario makin kesal. Dia meninju dinding kantor, napasnya memburu. Violet mendekati Mario dan berdiri di sampingnya, “sabar, yah…duduk yaa. Biar ibu tanyakan semua orang di kantor ini.” Violet merangkul Mario dan membawanya duduk di sofa. Lalu dia berlari ke lobi kantor. “Pak, ada lihat seseorang membawa Ghefira anak saya?” tanya Violet pada dua satpam yang berdiri di depan pintu. “Gak ada, bu. Dari tadi yang saya lihat ha
Violet menelpon Ihsan di Rumah Jalanan, meminta mereka menyelidiki apakah Ita masih ada di sana. Ternyata Ita pun pergi, dan tidak ada yang tahu. Jadi Violet menyuruh mereka untuk mencari keberadaan Ita, ibunya Dani. Lima jam berlalu sejak menghilangnya Ghefira, Violet hampir putus asa karena tidak ada petunjuk sama sekali tentang keberadaan Ghefira. Mario pun kesal, berkali-kali dia mencoba tenang, menyandarkan tubuhnya di kursi kantor lalu berdiri lagi dan bolak-balik sambil sibuk memainkan ponselnya. Polisi pun belum bisa memberikan kabar. Kemana Ghefira sebenarnya? Lalu, ada hubungan apa antara Ita dan Michella? Dan kenapa mereka menginginkan Ghefira? “Sayang, kita jalan-jalan sebentar, yuk? Taruh Dani di Rumah Jalanan, lalu kita pergi. Dani pasti belum makan siang, kan?” tanya Violet pada Mario dan Dani. Mario hendak protes, tapi Violet menggelengkan kepalanya. Jadi, dia pun menuruti kemauan Violet. Dani berjalan di sebelah Violet. Sepertin
Dani berjalan menyusuri gang kecil menuju rumah lamanya. Rumah kecil ukuran 5x7 meter yang bersebelahan dengan rumah tukang gado-gado terenak di kampungnya itu terlihat seperti tak ada kehidupan. Semenjak Dani tinggalkan, kurang lebih lima tahun dan tidak pernah dia pantau, rumah kecil yang membesarkan Dani seperti ibu tua lusuh tak terawat. Pagi terang harusnya dapat membuat hati Dani tenang, tapi dia malah merasa sedih berkepanjangan. Orang-orang yang dia sayangi bercerai berai, ibu yang dia impikan hampir tiap malam tak mampu mengembalikan kegundahan hatinya. Dani menghentikan langkahnya tepat di ujung gang, duduk di tepi pagar batu tempat di mana Violet memanggil Dani yang berdiri sambil melihat Violet makan batagor. Tanpa basa-basi dan curiga, Violet mengajaknya ngobrol dan makan. Setelah itu mereka pergi ke rumah Dani, sambil mengajak bicara dan meminta persetujuan Dani untuk tinggal bersamanya di Rumah Jalanan. Ternyata, Dani setuju dan sudah men
“Mas, kita mau kemana? Dari tadi bolak-balik aja. Nunggu siapa dan apa, mas?” tanya Dani mengekor Aci. Hari sudah senja, hampir seluruh kota Bogor mereka susuri. Dari Istana Bogor, perumahan elit sampai pasar. Bila waktunya shalat, mereka akan singgah di masjid. Kota artistik yang menarik, sejuk dan asri. Dani tersenyum, baru kali ini dia pergi ke Bogor. Violet jarang membawanya jalan-jalan, hanya membawakan mereka oleh-oleh. Tidak ada yang spesial, karena memang Violet tidak pernah menspesialkan seseorang, bahkan Mario sekalipun. Hanya dia memang sangat spesial di hati mereka, termasuk Dani. Motor berhenti di penginapan sederhana, Aci memesan satu kamar dengan kasur dua untuk mereka. Setelah perut kenyang rasanya ingin sekali merebahkan diri di kasur. Padahal di atas meja, masih ada sebungkus gorengan dan beberapa minuman. “Mas.” “Ya?” “Kenapa kita harus tetap menjalani hidup ini meski seberat apapun cobaannya? Aci melirik Dani
Jajanan Bogor memang sederhana tapi nyaman di lidah. Pagi ini mereka menikmati Docla. Makanan seperti ketoprak yang terdiri dari lontong atau ketupat dan tahu yang disiram bumbu kacang dengan topping kentang dan telur rebus, bawang goreng dan kerupuk.Mereka menikmati sajian di Tanjakan Pasir Kuda sebelum pintu masuk Kebun Raya Residence, menunggu pesanan dengan sabar sambil melihat pemandangan di sekitar mereka. Sudah dua hari mereka di Bogor, bersyukur sudah ada petunjuk? Lebih tepatnya jalan terakhir, tapi Dani memang penasaran dengan motif penculik dan pembunuh di kamar sebelah. Eeh, pembunuh? Polisi kan belum bilang apapun. “Dan, kamu udah kasih kabar ke Rumah Jalanan?” tanya Dani sambil meminum air putih dalam botol 1,5 lt. Dia memang biasa menghabiskan air segitu banyak. Biasanya malah sampai 3 liter dalam satu hari. “Pesan pendek aja, mas sebelum pergi. Lagian mau kasih kabar ke mana? Semua orang kan sibuk. Bunda lagi jaga ayah dan bu Ita juga pergi gak ta