Tidak ada yang lebih membahagiakan selain kebersamaan yang penuh kasih sayang, itulah kini yang dirasakan pasangan baru. Dosen Juan dan Elisa. Setelah melalui dua tahun pernikahan kontrak, akhirnya kini mereka sepakat untuk menjadikannya resmi, meski ditentang kedua orang tuanya.
Bagi Profesor Martin, ayah Juan. Pernikahan bukanlah sementara, yang menjadikannya sementara adalah ego manusia. Manusia mudah berubah sampai lupa dengan makna pernikahan, bersama selamanya sampai maut memisahkan.
Seperti sidang paripurna, Juan dan Elisa duduk manis diantara banyak pasangan keluarga. Tante Anita sebagai wali dari Elisa duduk di depan mereka, di sebelahnya duduk Profesor Martin dan Bunda Mey. Di belakang mereka duduk keluarga kecil Edo beserta Cintya dan bu Nina sebagai keluarga dari tante Anita.
Mario dan Violet yang baru sampai di pintu ruang tamu, mundur dan memilih duduk di teras, sambil menunggu sidang selesai. Mereka tidak tahu kalau berita penting yang diberita
Melihat keromantisan Juan dan Elisa, membuat Mario ingin "ngamar"😁
Violet mematut dirinya di cermin, dia bersiap akan pergi ke mall untuk mengecek penjualan bukunya dan mengadakan bedah buku miliknya. Mario tersenyum di sofa samping ranjang, memperhatikan Violet yang membolak-balikkan badannya di depan cermin. “Bu…kamu itu udah cantik dari sananya, walaupun berbadan dua tetap aja tidak ada tandingannya dengan wanita seksi dimanapun,” celetuk Mario membuat Violet melirik sadis, dia membuka kembali jilbabnya dan semua pakaiannya lalu menghampiri Mario yang hanya terdiam. Mario menelan salivanya kasar saat Violet mendekat, memejamkan mata ketika Violet duduk di atas paha Mario dan mulai meraba semua bagian tubuh Mario lalu dia membuka satu persatu pakaian Mario. Ada napas tertahan saat Violet menempelkan perut buncitnya pada perut Mario yang sudah tak sedatar dulu, sebelum menikah. Violet melakukan semua dengan lembut dan hati-hati, karena kondisi Mario meskipun Mario tidak terlalu mengkhawatirkan penyakitnya. Vio
Sarah duduk sedih di depan kamar rawat Mario yang baru siuman setelah dua jam tak sadarkan diri, mungkin shock akibat terlalu khawatir dengan keadaannya dan mengetahui keadaan bahwa di hari yang sama, Violet akan melahirkan dengan operasi caesar untuk kedua kali. Selang infus yang sangat mengganggunya membuat dia kesal, tak ada apapun yang bisa dia lakukan selain berharap kepada-Nya tentang kebaikan-kebaikan yang akan terjadi. Dia duduk di kasur berwarna putih bersih tersebut, ac yang dingin tak mampu menghilangkan peluh yang terus saja membasahi telapak tangan dan dahinya, deras seperti debaran jantungnya. Mario berkali-kali mengusap kasar wajahnya, rasa kesal begitu menumpuk di hatinya. Satu-satunya yang dia punya adalah photonya bersama Violet dan Gaffin di dalam dompet. Air mata turun perlahan membasahi pipinya. Dia ingin berjalan, tetapi tubuhnya begitu lemah. Debaran jantungnya masih sangat kuat. Mario menepuk kasar kasur yang tidak bersalah. “Kenapa aku
Mario berdiri di sebelah Violet yang tertidur. Jam menunjukkan pukul sebelas saat Violet tertidur, tidak ada keinginan untuk membangunkan Violet jadi Mario hanya duduk memandang wajah tidur Violet. sedetikpun dia tidak ingin menghapus Violet dari ingatannya, betapa dia sangat mencintai wanita yang telah melahirkan dua anaknya ini. Bayi mungil keduanya masih tertidur pulas di ranjang kecil sebelah Violet. Tenang, nyaman dan tanpa masalah. “Ayah…ayah…” Violet mengigau. Mario memegang jemari Violet. panas! Dia berdiri panik, lalu memegang dahi Violet. Ya, Allah lebih panas! Mario berbalik ingin memanggil perawat, tapi tiba-tiba dia lemas, langkahnya terhuyung. Dia berusaha menggapai sofa. “Mario, ya Allah..kenapa?” Riri yang baru tiba langsung memapah Mario ke sofa. Mario menunjuk Violet, Riri pun menghampiri Violet yang berkeringat. Dia meletakkan tangannya di dahi Violet. “Ya, Allah panasnya!” Riri berbalik, dia memegang tangan Mario yang terkulai lema
Hari Anak Sedunia. Violet dan teman-temannya berkumpul di Rumah Calistung membawa masing-masing anak untuk melakukan suatu kegiatan. Sarah mengatur program anak Calistung binaannya, menaruh bazaar kreativitas anak di halaman terbuka dan mengumpulkan para orang tua asuh juga penduduk sekitar. Elisa berdiri di atas pentas kecil, samping Rumah Calistung bersama para tamu undangan. Dia berdandan layaknya putri salju sebagai mc, 3-i dengan ketuanya Ihsan sebagai penata panggung sibuk menata panggung dan memberi arahan untuk para peserta yang akan tampil pada acara Hari Anak Sedunia. “Halo teman-teman di belakang panggung, kalian sudah siap menyaksikan acara Hari Anak Sedunia belum, yaa?” suara lantang Elisa terdengar memenuhi tempat acara. “Siiiaaaapp, bundaaa,” sahut mereka kompak. Semua penonton yang terdiri dari para orang tua dan anak mereka yang sudah besar tertawa kompak, karena ada yang mencoba menerobos keluar hanya untuk menjawab pertanyaa
Mario duduk di tepi ranjangnya yang empuk. Dia berusaha berpikir tentang wanita muda yang usianya di atas Violet beberapa tahun tersebut. Benarkah itu dia? Dimana dan kapan, ya? Jadi…selama ini kami merawat anak itu? Anak yang keberadaannya memang tidak diinginkan. “Sayang, ada apa?” tanya Violet bingung melihat Mario yang tidak menyadari kehadiran Violet. “Ibu itu…apa benar ibunya Dani?” tanya Mario heran. “Iya, memang ada apa?” tanya Violet makin bingung dengan sikap Mario. “Aku hanya pernah bertemu dia, tapi lupa. Dimana dan kapan?” dia bertanya pada diri sendiri. “Begitu, kah? Hmm, aneh juga sih. Dia memberikan photo Dani masih bayi, dan…dia bukan warga sini, jadi kenapa dia ada di sini? Kan dia tukang masak, bukan pemulung yang biasa berkeliaran.” Gumam Violet seperti bergumam pada diri sendiri. “Nah, itu dia bu…ibu nih mudah sekali percaya dengan orang lain yang baru dikenal. Bagus ibu awasi tingkah laku bu Ita, jaga Rio dan anak
“Ada apa, Dani? Kemana Ghefira?” tanya Mario bertanya lagi, sambil memegang pundak Dani. Tapi Dani hanya menggelengkan kepalanya. Mario berdiri gusar, lalu berjongkok lagi. Kali ini dia bertanya dengan nada agak tinggi sehingga Dani ketakutan dan menutup wajahnya. “Ayah, ada apa?” tanya Violet kaget mendengar bentakan Mario. “Dani, dia…dia tidak tahu kemana Ghefira! Bagaimana ini, bu?” jawab Mario kesal. Dia bertolak pinggang di depan Dani yang masih terduduk sambil menutup wajahnya. Isak tangis terdengar lagi, membuat Mario makin kesal. Dia meninju dinding kantor, napasnya memburu. Violet mendekati Mario dan berdiri di sampingnya, “sabar, yah…duduk yaa. Biar ibu tanyakan semua orang di kantor ini.” Violet merangkul Mario dan membawanya duduk di sofa. Lalu dia berlari ke lobi kantor. “Pak, ada lihat seseorang membawa Ghefira anak saya?” tanya Violet pada dua satpam yang berdiri di depan pintu. “Gak ada, bu. Dari tadi yang saya lihat ha
Violet menelpon Ihsan di Rumah Jalanan, meminta mereka menyelidiki apakah Ita masih ada di sana. Ternyata Ita pun pergi, dan tidak ada yang tahu. Jadi Violet menyuruh mereka untuk mencari keberadaan Ita, ibunya Dani. Lima jam berlalu sejak menghilangnya Ghefira, Violet hampir putus asa karena tidak ada petunjuk sama sekali tentang keberadaan Ghefira. Mario pun kesal, berkali-kali dia mencoba tenang, menyandarkan tubuhnya di kursi kantor lalu berdiri lagi dan bolak-balik sambil sibuk memainkan ponselnya. Polisi pun belum bisa memberikan kabar. Kemana Ghefira sebenarnya? Lalu, ada hubungan apa antara Ita dan Michella? Dan kenapa mereka menginginkan Ghefira? “Sayang, kita jalan-jalan sebentar, yuk? Taruh Dani di Rumah Jalanan, lalu kita pergi. Dani pasti belum makan siang, kan?” tanya Violet pada Mario dan Dani. Mario hendak protes, tapi Violet menggelengkan kepalanya. Jadi, dia pun menuruti kemauan Violet. Dani berjalan di sebelah Violet. Sepertin
Dani berjalan menyusuri gang kecil menuju rumah lamanya. Rumah kecil ukuran 5x7 meter yang bersebelahan dengan rumah tukang gado-gado terenak di kampungnya itu terlihat seperti tak ada kehidupan. Semenjak Dani tinggalkan, kurang lebih lima tahun dan tidak pernah dia pantau, rumah kecil yang membesarkan Dani seperti ibu tua lusuh tak terawat. Pagi terang harusnya dapat membuat hati Dani tenang, tapi dia malah merasa sedih berkepanjangan. Orang-orang yang dia sayangi bercerai berai, ibu yang dia impikan hampir tiap malam tak mampu mengembalikan kegundahan hatinya. Dani menghentikan langkahnya tepat di ujung gang, duduk di tepi pagar batu tempat di mana Violet memanggil Dani yang berdiri sambil melihat Violet makan batagor. Tanpa basa-basi dan curiga, Violet mengajaknya ngobrol dan makan. Setelah itu mereka pergi ke rumah Dani, sambil mengajak bicara dan meminta persetujuan Dani untuk tinggal bersamanya di Rumah Jalanan. Ternyata, Dani setuju dan sudah men