Proyek Mario mulai meningkat, dan loundry Violet pun mulai beroperasi kembali. Bulan demi bulan berlalu, sudah dua pernikahan mereka lewati. Pernikahan Riri dan Reno, ala hawaii. Berkumpul di pantai Pangandaran saat liburan panjang.
Sebulan setelahnya, pernikahan Evy dan Gilang. Di rumah ibu. Ibunya Violet! Yah…mereka hanya pasrah jika memang itu maunya Evy, toh ibu memang dianggapnya orang tua kandung.
Tapi setelah semua itu berlalu, mereka menyebar. Cintya mengikuti Edo ke Brunei, Evy mengikuti Gilang ke Bandung dan Riri kembali ke kampungnya Reno di Medan. Mereka semua memulai usahanya. Tinggallah Violet dengan Mario di Jakata, benar-benar menghabiskan waktu bersama para pelanggan loundry dan keluarga mereka.
Matahari siang itu sangat menyengat, Violet melap peluh yang mengalir dari dahinya sambil merapikan pakaian loundry dan sesekali melihat Gaffin yang asyik bermain di depan tv dengan mainan yang hampir tak terhitung.
Entah kenapa perasaan
Mario terdiam, "Maaf, aku menyembunyikan keadaanku, sayang ...." gumamnya.
Kamar bernuansa putih orange itu sangat indah dan bersih, hanya ada Mario sendiri. Jadi rumayanlah, dia bisa tenang. Violet berbicara di luar dengan dokter selagi Mario menonton tv sambil meminum jus jeruknya. “bu, bapak harus rutin kontrol ya kalau sudah keluar dari sini. Dan…andainya ada sesak napas, dada nyeri cepat bawa ke rumah sakit khusus jantung. Di sini adalah rumah sakit umum. Sejauh ini kondisinya bagus, kalau masih stabil…besok pun bisa pulang hanya harus rawat jalan. Bisa kan, usahakan?” Violet mengangguk mendengar kata-kata dokter. Menunggu memang membosankan, tapi setidaknya dia bisa mengamati perkembangan suaminya. Bulan makin tinggi, Violet tertidur di sebelah Mario, memeluk lengan putihnya yang dipenuhi bulu halus. “Terimakasih, sayang. I love you much.” Mario mencium dahi Violet. “Hmm i love you more…” suara Violet berganti dengan tarikan napas lembut. Selembut hatinya, Mario mengusap rambut Violet dan tertidur dengan harapan baik.
Sarah berdiri bingung di luar bandara. Yang mana ya, kak Violet? Selama 3 tahun mereka menikah, Sarah hanya mengetahui Violet dari video call dan photo. “Halo, dek,” seseorang menepuk pundak Sarah. Mata Sarah membulat melihat orang yang dirindukan ada di hadapannya. “Abang!” mereka berpelukan dan tertawa bahagia karena sudah lebih 8 tahun tidak bertemu.Mario mengenalkan Violet pada Sarah, jelingan Sarah membuat Violet malu. Kakak iparnya ternyata begitu cantik dan baik. Pantaslah Mario begitu ingin menikah dengan Violet. Sepeninggal isteri pertama, Mario tidak pernah mengenalkan wanita manapun pada keluarganya kecuali Violet. Mobil yang dikendarai Mario melaju pelan. Mobil pinjaman dari kantor lama Edo. Ya, akhirnya Mario menerima permintaan Edo untuk kembali mengelola kantornya. Bahkan Edo memberikan surat pengalihan kekuasaan dan kepemilikan kepada Mario. Edo menyadari kalau pasangan itu adalah pasangan tertulus yang pernah dia kenal, setelah seki
“Kita mau kemana, kakak?” leher Sarah bergerak ke kanan dan ke kiri, memperhatikan bangunan tinggi tetapi akhirnya memasuki wilayah yang sangat padat dengan jalan hanya muat untuk satu mobil. Gaffin tepuk tangan kegirangan di jok belakang, makin membuat Sarah bingung. Dia melirik Violet yang hanya diam sambil tersenyum. Akhirnya mobil memasuki halaman yang luas dengan rumah sederhana dan beberapa pondok kecil yang berjejer di samping kiri. Mereka turun dari mobil, membawa beberapa bungkus makanan dan minuman. Beberapa anak berlarian menyambut mereka, memeluk Violet dan menggendong Gaffin juga, lalu mereka berjalan beriringan masuk ke dalam rumah, langsung ke ruang kreativitas. “Kenalkan, ini Sarah. Adik ipar kakak yang baru datang dari Medan.” Violet mengenalkan Sarah pada mereka yang berjumlah hampir tiga puluh orang. Mereka menyalami Sarah yang terlihat sangat takjub dengan keakraban yang mereka perlihatkan. “Rumah ini namanya Rumah
Mereka kembali lagi ke Rumah Jalanan untuk menyaksikan pembangunan yang telah berjalan, kini Rumah Jalanan terlihat sesak karena pemuda dan bapak-bapak di kampung bergotong royong mengerjakan, para pemudi dan ibu-ibu sibuk menyiapkan makan siang di dapur, sedangkan anak-anak mereka dialihkan untuk berkreativitas dan memainkan mainan yang tersedia. Kepala tukang yang diambil dari perusahaan konstruksi Edo, mengawasi jalannya pembangunan. Dua minggu, pondasi sudah berdiri dan siap dibentuk menjadi bangunan lain. Violet terlihat sibuk bersama para Gengs Cuantiq, membicarakan program pembelajaran. Mereka ingin membuat suasana pembelajaran yang berbeda dari yang lain.Sarah seperti biasa, bermain dengan permainan edukatif bersama anak-anak usia TK dan sekitarnya. Suasana yang penuh dengan canda tawa riang mereka,membuat Edo dan Violet tersenyum. “Cantik, seperti pelangi…” gumam Edo pelan, memperhatikan Violet yang mengobrol dengan beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak
Setelah beberapa kali pertemuan di villa Riri,akhirnya Riri dan Evy memutuskan tinggal di villa mereka agar dapat terus berkumpul dengan Gengs Cuantiq. Sebulan sekali, mereka akan memantau kegiatan di Rumah Jalanan dan Rumah Calistung. Mengikuti hampir semua kegiatan yang dilaksanakan di tempat tersebut dan selalu meluangkan waktu untuk menghabiskan waktu senggang. Semua kegiatan berjalan lancar. Sarah sibuk di Rumah Calistung, Evy masih menjadi pelatih tari seminggu sekali dan seringkali mengadakan pementasan, begitu juga dengan Riri yang sudah memiliki studio rekaman sendiri, Elisa masih fokus ke job MC dan kelas Public Relation. Dia menjadi pimpinan di klubnya, dibantu dengan pak Juan. Dosen muda idaman para mahasiswi di kampusnya. Sekarang sudah menjadi dosen tua, karena sudah tua belum menikah. Ahaay. “Hei Elisa, kamu benar-benar gak tertarik apa sama dosen ganteng sejagat raya itu?” tanya Evy di acara nujuh bulanan Violet. Elisa mengikuti ar
Tidak ada yang lebih membahagiakan selain kebersamaan yang penuh kasih sayang, itulah kini yang dirasakan pasangan baru. Dosen Juan dan Elisa. Setelah melalui dua tahun pernikahan kontrak, akhirnya kini mereka sepakat untuk menjadikannya resmi, meski ditentang kedua orang tuanya. Bagi Profesor Martin, ayah Juan. Pernikahan bukanlah sementara, yang menjadikannya sementara adalah ego manusia. Manusia mudah berubah sampai lupa dengan makna pernikahan, bersama selamanya sampai maut memisahkan. Seperti sidang paripurna, Juan dan Elisa duduk manis diantara banyak pasangan keluarga. Tante Anita sebagai wali dari Elisa duduk di depan mereka, di sebelahnya duduk Profesor Martin dan Bunda Mey. Di belakang mereka duduk keluarga kecil Edo beserta Cintya dan bu Nina sebagai keluarga dari tante Anita. Mario dan Violet yang baru sampai di pintu ruang tamu, mundur dan memilih duduk di teras, sambil menunggu sidang selesai. Mereka tidak tahu kalau berita penting yang diberita
Violet mematut dirinya di cermin, dia bersiap akan pergi ke mall untuk mengecek penjualan bukunya dan mengadakan bedah buku miliknya. Mario tersenyum di sofa samping ranjang, memperhatikan Violet yang membolak-balikkan badannya di depan cermin. “Bu…kamu itu udah cantik dari sananya, walaupun berbadan dua tetap aja tidak ada tandingannya dengan wanita seksi dimanapun,” celetuk Mario membuat Violet melirik sadis, dia membuka kembali jilbabnya dan semua pakaiannya lalu menghampiri Mario yang hanya terdiam. Mario menelan salivanya kasar saat Violet mendekat, memejamkan mata ketika Violet duduk di atas paha Mario dan mulai meraba semua bagian tubuh Mario lalu dia membuka satu persatu pakaian Mario. Ada napas tertahan saat Violet menempelkan perut buncitnya pada perut Mario yang sudah tak sedatar dulu, sebelum menikah. Violet melakukan semua dengan lembut dan hati-hati, karena kondisi Mario meskipun Mario tidak terlalu mengkhawatirkan penyakitnya. Vio
Sarah duduk sedih di depan kamar rawat Mario yang baru siuman setelah dua jam tak sadarkan diri, mungkin shock akibat terlalu khawatir dengan keadaannya dan mengetahui keadaan bahwa di hari yang sama, Violet akan melahirkan dengan operasi caesar untuk kedua kali. Selang infus yang sangat mengganggunya membuat dia kesal, tak ada apapun yang bisa dia lakukan selain berharap kepada-Nya tentang kebaikan-kebaikan yang akan terjadi. Dia duduk di kasur berwarna putih bersih tersebut, ac yang dingin tak mampu menghilangkan peluh yang terus saja membasahi telapak tangan dan dahinya, deras seperti debaran jantungnya. Mario berkali-kali mengusap kasar wajahnya, rasa kesal begitu menumpuk di hatinya. Satu-satunya yang dia punya adalah photonya bersama Violet dan Gaffin di dalam dompet. Air mata turun perlahan membasahi pipinya. Dia ingin berjalan, tetapi tubuhnya begitu lemah. Debaran jantungnya masih sangat kuat. Mario menepuk kasar kasur yang tidak bersalah. “Kenapa aku