Cintya mengerjap-ngerjapkan matanya, kepalanya pusing tapi dia merasa enteng. Dia melihat perutnya, sudah datar Tak apalah...dia yakin Tuhan pasti akan memberikan buah hati yang lebih menarik dan dapat membahagiakan hidupnya beserta dengan suaminya kelak. Ya...kelak. Dia tak akan menyesali apa yang telah terjadi, itu kesalahannya.
Kini, dia sudah tinggal di kios kepunyaan Violet. Mengurus usaha loundry punya Violet, dia tersenyum melihat wajahnya di cermin kecil yang ada di atas lemari kayu kamarnya. Violet memang rendah hati, tempat ini lebih layak di sebut ruko daripada kios. Ruang atas adalah daerah kekuasaan Cintya, ada dapur mengarah ke halaman belakang yang bersebelahan dengan kamar kecil, satu kamar tidur yang cukup luas dengan ac, satu ruang terbuka beralaskan permadani dan tv juga balkon terbuka.Pintunya adalah kaca geser, kaca yang sangat tebal dan tidak tembus pandang. Saking tebalnya kaca tersebut, bila pintu ditutup maka suara bising pun tidak terdengar. Di ruangTernyata kehilangan anak begitu membuat Cintya tertekan sampai dia tak sadarkan diri...
Violet menyiapkan pakaiannnya untuk besok, dia akan menginap semalam di asrama yang berdekatan dengan masjid dan gedung tempat pernikahannya di laksanakan.Drrrtt drrrtttViolet meraih ponselnya, wajah Mario terpampang di ponsel datar Violet.“Hai, cewek...apa kabar?”“Hai, cowok...akyuh baik-baik aza. Jangan godain aku doong. Eh, duren lagi dimana nih?”“Di rumah nih sama keluarga besar yang akan datang ke gedung besok. Ada mama datang lho...ma, sini ma...”Violet menelan ludahnya. Kurang asem Mario! Niat mau ngerjain malah dia yang ngerjain Violet. Mana pakai loud speaker segala.“Nak Vio. Halo...assalamu’alaikum...”“Eh, wa.. ‘alaikum salam ma...kapan datang?”Jawab Violet gugup dan malu, Mario tertawa puas dibelakang mama.Obrolan ringan pun terjalin, Violet senang karena mama membawakan makanan kesukaan Violet yaitu Ikan Salai Arsik. Biasanya mama menggunakan ikan mas, lalu di asapi sampai kering setelah itu di gulai dengan asam siala. Makana
Akhirnya, sepasang pengantin bahagia tersebut melakukan janji suci di depan pak penghulu, orang tua dan saksi. Sebagai tanda kalau pernikahan mereka tidaklah main-main, kesungguhan terpatri di dalamnya. Membuat siapapun beranggapan bahwa acara akad adalah sakral.Sebelum melakukan akad, mereka mendengarkan khutbah nikah yang dibawakan oleh ayah Violet. Ya, selain guru ayahnya adalah penceramah. Violet sering mengikuti kemanapun ayahnya ceramah.Violet jadi ingat, tadi malam di asrama saat kantuk mulai menyerang. Dia tersenyum karena chatt Mario yang menggelikan,"Aku terima nikah dan kawinnya Violet binti Gusti dengan mas kawin lima gram emas dan alat shalat, dibayar tunai!"Tak lama setelah chatt, Mario mengirimkan pesan suara,"Violet, kita mungkin belum lama dekat tapi tolong dengarkan segala keluh kesahku saat aku terjatuh. Tak peduli semarah apapun kamu padaku, kuberharap semoga dihatimu masih ada aku.Segala tanggungjawab ayahmu, akan kugantikan dan kupastika
“Sudah jam delapan malam, kita belum pulang?” Violet menyandarkan tubuhnya ke kursi tamu paling depan, begitu juga Mario.“Belumlah, santai dulu. Lagipun mobil masih dipakai untuk antar barang."“Huffh untung mama udah pulang, sekarang mama dimana?”“Balik ke Cilodong, tempat bou.”“Oh iya, tadi pagi. Ada Cintya datang ke kamar rias. Abang ada liat Cintya datang, gak?”Mario ternganga menatap Violet,“Kenapa?” tanya Violet bingung.“Kamu menepati janji, manggil aku abang setelah menikah. Ih senang deh!”Violet tertawa lebar melihat Mario yang memeluk lengan Violet manja, sungguh ajaib duren ini. Seperti ABG yang baru jatuh cinta. Tapi tak apa, mungkin inilah sisi kekonyolan Mario yang tidak diketahui siapapun kecuali Violet. Mario memang terkenal tegas, disiplin dan cuek di tempat kerja bahkan dengan teman-temannya.Hp Violet berbunyi.“Ya, Frans? Kenapa? Ya, Allah…dimana?” wajah Violet tiba-tiba tegang.“Kenapa?” tanya Mario melirik Violet.“Adul
Mama mengepak barang-barangnya dalam koper besar. Cukuplah tiga hari di Jakarta untuk menghadiri pernikahan anaknya, Mario. Kini mama harus kembali ke Medan karena tidak ada yang mengurus sawah, dan Sarah tinggal sendiri mengurus rumah.“Ma, sampai sana kabarkan kami, yaa. Hati-hati kecapean, kami cuma mampu beli oleh-oleh benda begini. Mudah-mudahan suka,” kata ibu sambil membantu mama menyusun oleh-oleh dalam kardus mie.“Makasih banyak, bu. Alhamdulillah ini lebih dari cukup,” kata mama, senyum terukir dari bibirnya.Ada daster, celana pendek hawaii, jilbab dengan berbagai corak bunga yang cantik, ada juga gantungan kunci berbentuk guci dari kayu, hasil menjelajah di Kota dan sisa souvenir pernikahan berbentuk kipas bertuliskan photo Mario dan Violet dengan inisial nama mereka.“Sudah jam satu, ayok kami antar ke terminal, ma.”Mario membawa tas mama dan memasukkannya dalam mobil,“Ma, hati-hati yaa.” Viana menyalami tangan mama.“Jaga kandungan kamu ya, Via…
Pelangi terlihat cerah melukis langit, Violet duduk di balkon rumah sakit. Menunggu Mario yang akan datang. Hari ini Cintya akan pulang, jadi Violet sudah minta izin pada Mario untuk menjaga Cintya semalam.Violet menyandarkan tubuhnya memperhatikan pelangi yang membentang indah.Violet senang melihat Cintya yang tertidur pulas. Dia telah melalui hari yang berat, mungkin Violet tak akan mampu menghadapi cobaan seperti Cintya. Kehilangan semua yang disayang dalam sekejap.Makanya Violet tak ingin melepaskan Cintya, saat ini Cintya sedang rapuh. Edo yang diharapkan, seperti perahu yang kehilangan arah, terombang-ambing di lautan.Dia tersenyum melihat semua beberapa isi chattnya."Kak, Alhamdulillah Adul sudah bisa pulang kemarin. Sekarang dia kembali ke Kuningan, mau dirawat di sana aja. Sabir udah beraktivitas seperti biasa. -Frans-"Mbak Vio, kontrak drama kita akan berakhir lusa ya! Kalau bisa, kami harapkan kedatangan mbak Vio untuk
Merenda sebuah tali kasihKusimpul menjadi satu hatiGambaran cinta yang terlukaBagai langit meratap senduKala bias cinta menghilang Sakit itupun datang tanpa permisiRembulan tak menyisakan senyum Edo berdiri menatap lalu lalang kendaraan dari lantai sembilan kantornya. Alis tebalnya berkerut dan sesekali dia menghembuskan napas. Dia tidak tahu, seperti inikah takdir? Bayangan Violet yang tak lekang oleh waktu begitu menyiksa batinnya, terganti dengan penyesalan terhadap Cintya. Lima bulan tidak ada kabar, Edo melihat Violet begitu lincah mengelola usaha dan karirnya dalam dunia seni. Buku-bukunya mulai dilirik kalangan produser untuk dijadikan film. Mario pun sibuk dengan proyek bangunannya. Cintya? Dia sibuk mengelola usahanya yang mulai lancar dan melanglang buana, entah kemana. Edo tersenyum miris. Gila! Semua kegiatan mereka pun, Edo bisa tahu. Tapi apa mereka tahu bagaimana keadaannya kini? Dia menghela napas panjang, k
Mario mengecup perut buncit Violet, kandungannya sudah memasuki bulan melahirkan. Mungkin tinggal satu-dua minggu lagi, hingga saatnya tiba. Mario berjanji akan menjadi ayah yang baik. “Sayang, kamu harus berjanji untuk lebih menjaga kesehatan yaa. Pulang nanti mau dibelikan apa?” tanya Mario berjongkok di depan Violet yang duduk di teras. “Gak usah, ayah datang selamat aja sudah bagus,” Violet mengecup pipi Mario lembut. Dia memasukkan bekal makanan ke dalam tas Mario. “Makasih sayang. Rencana hari ini mau kemana?” tanya Mario memanaskan motornya. “Hmm kayaknya ke masjid Al-Azhar, ada pengajian dan sekalian mau mantau event. Katanya mau adakan bazaar buku. Mau ketemu sama EO nya, barangkali ada peluang untuk memperluas buku-buku ini,” jawab Violet meluruskan kakinya. “Aku jemput disana, ya?” Violet tersenyum menyalami tangan Mario. Dia masuk ke rukonya yang berlantai dua. Akhir-akhir ini usaha loundry nya sepi pelanggan, mungkin sudah
Tidak perlu waktu lama bagi Edo untuk mempersiapkan pernikahannya dengan Cintya, karena orang kaya seperti Edo mudah mengurus segala sesuatu. “Bu, kamu yakin mau pergi? Hpl masih lama, kan?” tanya Mario sambil merapikan jasnya, dan membetulkan jilbab Cintya. “Iya, lah yah…tenang aja, aman. Masih dua minggu lagi, nanti ibu duduk aja deh…biar ayah yang jadi seksi sibuk. Mario menghela napas kasar, Violet kalau sudah ada maunya pasti begini. Dia mengecek m-banking nya, tabungannya hanya segini. Ah…semoga cukup untuk biaya melahirkan nanti. Loundry sudah lama belum beroperasi, mungkin Violet belum sempat mengurus semuanya sendiri. “Kenapa, yah?” tanya Violet mengoleskan lipstik di bibir sensualnya. Bagian yang paling disukai Mario. “Oh, gak apa. Udah selesai? Yuk kita pergi. Eh, kak Via gak ikut?” “lagi di Bandung ama Dio. Mungkin agak lama. Yuk, yah!” Violet menggandeng Mario dan membawanya keluar ruangan. Merekapun pergi dengan t
Malam yang dingin, Violet berdiri di depan taman kecil yang baru saja di bangun Dani dan Mario. Ada lampu bulat di tengah dengan air mancur cantik dan angsa putih dua ekor. Angsa putih simbol keindahan alam. Hari ini dia hanya ingin duduk di salah satu bangku taman sambil menunggu Mario pulang ngantor. Dia sungguh bingung dengan keputusan yang harus diambil secepatnya. Mario masih dalam perawatan, tidak bisa mengharapkannya bekerja seperti dulu. Ring yang dipasang di pembuluh darah jantung sebelah kiri kadang membuatnya susah bernapas bila melakukan gerakan mendadak. Apakah itu benar karena ring yang terpasang? Ah, apapun alasannya Violet tidak ingin menekan Mario untuk bekerja seperti dulu. “Kak, nunggu abang, ya?” suara Sarah membuyarkan lamunannya. “Iya, bingung nih…chatt belum dibalas, telpon gak diangkat. Abang tuh biasanya rajin ngasih kabar tapi udah jam sebelas gini belum pulang juga. Kemana sih, dia yaa…” Violet mondar-mandir di teras sambil melipat tangannya, air putih
Violet masuk ke ruang tamu memegang lengan Mario erat, seperti enggan melepaskan, membuat beberapa pasang mata menatap mereka haru. Violet menaruh tas di dekat pintu dan membawa Mario duduk di bangku panjang ruang tamu. Ada lelah yang teramat sangat di wajah mereka, mungkin buah penantian yang tak kunjung datang membuat mereka hampir putus asa. Tapi beberapa pasang mata yang kini ada di hadapan mereka, sungguh membuat mereka rindu. “Ibuuu, ayaaah…” Gaffin menghambur ke pelukan ibu, suara tangisnya begitu memilukan. Dia mencium kedua pipi Violet berkali-kali, lalu beralih ke Mario dan melakukan hal yang sama. “Ibu, ayah…ada pelangi di luar. Cantiiik banget! Bisa ayah ambilkan untuk Gaffin?” Gaffin menggelendot di kaki Mario. “Gak bisa, sayang. Pelangi itu biarpun indah tapi jauh dari jangkauan, jangan seperti pelangi, ya?” Mario mengusap lembut rambut Gaffin lalu memangku di pahanya. Mereka pun duduk bersama di ruang tamu, Viana yang kebetulan datang s
Teriakan Dani membuat wanita yang barusan memasuki ruang ICU menghentikan langkahnya, saat dia berbalik polisi sudah menahan langkahnya. Polisi langsung menjauhkan wanita tersebut dari sang bayi yang dikelilingi oleh banyak selang. Dani memperhatikan wanita itu dengan seksama, lalu dia meminjam ponsel Aci dan mencoba untuk menghubungi seseorang. Photo terkirim ke applikasi hijau lengkap dengan data dirinya. Kedua polisi dan Aci membelalakkan mata kaget melihat photo yang ada di ponsel Aci. Polisi satunya melapor ke meja perawat untuk meminta data, ternyata tidak ada perawat seperti yang mereka tahan. Malah perawat mereka kurang satu, setelah ditelusuri ternyata perawat mereka yang hilang terikat lemah di gudang dengan pakaian yang telah ditukar. Setelah beberapa polisi datang, mereka pun membawa wanita tersebut ke kantor polisi, diikuti oleh Dani dan Aci. “Tunggu, bang. Kasus hampir selesai, boleh kan kita makan dulu? Ini sudah siang menjelang sore. A
Hari yang naas bagi pria brewok. Saat dia melarikan diri bersama wanitanya, ternyata jejaknya sudah tercium polisi. Akhirnya, saat keluar tol dia harus pasrah ketika polisi menunggunya, mau menghindar pun tak bisa. Karena mereka menghampiri dari berbagai sisi. Dia saja bingung, daripada polisi bisa tahu kemana arah yang akan dia tuju setelah ini. Ahh, dia sudah bosan dengan hidupnya, jadi dia tak peduli lagi saat ini dan diapun mengikuti polisi ke kantor.Mereka memeriksa mobil, di bangku belakang terlihat wanita berambut pirang terbungkus asal-asalan, sudah tak bernyawa. Tapi, pria tersebut menggendong bayi cantik dan berkata lirih, “tolong selamatkan anak ini…” lalu menyerahkannya pada polisi yang langsung memeriksa keadaan sang bayi dan segera melarikan bayi tersebut ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.Sang pria yang pasrah hanya bisa mengikuti beberapa polisi ke suatu ruangan. Polisi memintanya untuk melakukan beberapa pemeriks
Seandainya bayi kecil itu bisa berbicara mungkin dia akan menangis sejadi-jadinya, tapi dia sudah terlalu lelah untuk menagis. Asi tidak ada, lalu dia minum apa? Tidak ada yang dapat menenangkannya, hanya ada teriakan untuk menyuruhnya diam. Ahh, apa salah dan dosaku? Aku hanya bayi berusia dua bulan, kata ibu. Kan aku tidak tahu persis berapa usiaku. Aku hanya tahu kalau aku telah dikeluarkan dari pembungkus berair selama berbulan-bulan. Dan aku didekap oleh tangan lembut yang terus-terusan mengecup semua wajahku, sambil mengucap syukur berkali-kali. Oh, ini pasti ibuku! Aku belum bisa berjalan, ya tentu saja. Aku hanya bisa menangis saat menginginkan atau mengalami sesuatu. Aku benar-benar tidak bisa apa-apa tanpa orang yang membantuku. Tapi, ibu, ayah, abang dan bou sangat perhatian padaku. Ah, sungguh beruntungnya aku! Sekarang, dimana mereka? Aku kehilangan mereka. Aku tidak mau berada di sini! Aku tidak kenal orang-orang ini! “Berisik banget sih, kamu? Ap
Violet berdiri di depan Rumah Jalanan. Dia benar-benar pasrah dengan keadaan Ghefira, karena ini sudah hari ke tiga dan belum ada kabar apapun tentang Ghefira. Polisi bilang sedang dalam penyelidikan, jadi Violet disuruh tenang. Saking tenangnya Violet, air mata pun sudah kering. Dia berjalan memasuki ruangan, siang panas menyengat membuat peluh di dahi Violet tak berhenti mengucur. Sepi, Violet melirik jam tangannya. Hmm pantas! Jam 1 siang, paling enak tidur apalagi setelah makan siang. Kali ini dia bisa meninggalkan Mario sebentar, karena ada ibu dan ayah yang jaga. Entah apa yang menarik hatinya ke sini, tapi begitu sampai dia hanya ingat satu anak. Dani. “Ihsan, bangun…” Violet membangunkan Ihsan yang tertidur di ruang tengah dengan beralaskan karpet. “Eh, kak. Tumben siang-siang di hari kerja begini kok, kesini? Ada apa?” tanya Ihsan mengucek matanya. Dia tersenyum melihat Violet yang selalu tampil cantik, bahkan saat dirundung kemelut sep
Jajanan Bogor memang sederhana tapi nyaman di lidah. Pagi ini mereka menikmati Docla. Makanan seperti ketoprak yang terdiri dari lontong atau ketupat dan tahu yang disiram bumbu kacang dengan topping kentang dan telur rebus, bawang goreng dan kerupuk.Mereka menikmati sajian di Tanjakan Pasir Kuda sebelum pintu masuk Kebun Raya Residence, menunggu pesanan dengan sabar sambil melihat pemandangan di sekitar mereka. Sudah dua hari mereka di Bogor, bersyukur sudah ada petunjuk? Lebih tepatnya jalan terakhir, tapi Dani memang penasaran dengan motif penculik dan pembunuh di kamar sebelah. Eeh, pembunuh? Polisi kan belum bilang apapun. “Dan, kamu udah kasih kabar ke Rumah Jalanan?” tanya Dani sambil meminum air putih dalam botol 1,5 lt. Dia memang biasa menghabiskan air segitu banyak. Biasanya malah sampai 3 liter dalam satu hari. “Pesan pendek aja, mas sebelum pergi. Lagian mau kasih kabar ke mana? Semua orang kan sibuk. Bunda lagi jaga ayah dan bu Ita juga pergi gak ta
“Mas, kita mau kemana? Dari tadi bolak-balik aja. Nunggu siapa dan apa, mas?” tanya Dani mengekor Aci. Hari sudah senja, hampir seluruh kota Bogor mereka susuri. Dari Istana Bogor, perumahan elit sampai pasar. Bila waktunya shalat, mereka akan singgah di masjid. Kota artistik yang menarik, sejuk dan asri. Dani tersenyum, baru kali ini dia pergi ke Bogor. Violet jarang membawanya jalan-jalan, hanya membawakan mereka oleh-oleh. Tidak ada yang spesial, karena memang Violet tidak pernah menspesialkan seseorang, bahkan Mario sekalipun. Hanya dia memang sangat spesial di hati mereka, termasuk Dani. Motor berhenti di penginapan sederhana, Aci memesan satu kamar dengan kasur dua untuk mereka. Setelah perut kenyang rasanya ingin sekali merebahkan diri di kasur. Padahal di atas meja, masih ada sebungkus gorengan dan beberapa minuman. “Mas.” “Ya?” “Kenapa kita harus tetap menjalani hidup ini meski seberat apapun cobaannya? Aci melirik Dani
Dani berjalan menyusuri gang kecil menuju rumah lamanya. Rumah kecil ukuran 5x7 meter yang bersebelahan dengan rumah tukang gado-gado terenak di kampungnya itu terlihat seperti tak ada kehidupan. Semenjak Dani tinggalkan, kurang lebih lima tahun dan tidak pernah dia pantau, rumah kecil yang membesarkan Dani seperti ibu tua lusuh tak terawat. Pagi terang harusnya dapat membuat hati Dani tenang, tapi dia malah merasa sedih berkepanjangan. Orang-orang yang dia sayangi bercerai berai, ibu yang dia impikan hampir tiap malam tak mampu mengembalikan kegundahan hatinya. Dani menghentikan langkahnya tepat di ujung gang, duduk di tepi pagar batu tempat di mana Violet memanggil Dani yang berdiri sambil melihat Violet makan batagor. Tanpa basa-basi dan curiga, Violet mengajaknya ngobrol dan makan. Setelah itu mereka pergi ke rumah Dani, sambil mengajak bicara dan meminta persetujuan Dani untuk tinggal bersamanya di Rumah Jalanan. Ternyata, Dani setuju dan sudah men