Dua hari Aina mendiamkan Dipta di rumah. Selama dua hari itu, dia sama sekali tidak berbicara, atau menanggapi apa pun yang dikatakan Dipta. Padahal lelaki itu sudah mengerahkan segala upaya untuk memenangkan hati wanitanya, tetapi hasilnya nihil.
Sebenarnya Aina masih melakukan pekerjaan rumah, juga melayani Dipta seperti biasa. Dia hanya tidak mau bicara. Namun, bukankah itu sama saja seperti tinggal di kastil neraka? Megah, namun mencekam. Siapa juga laki-laki yang betah didiamkan lama-lama. Akhirnya Dipta memilih ikut diam. Bukan untuk balas dendam, tetapi lebih kepada ingin memberikan waktu untuk Aina menyendiri.
Pukul setengah delapan pagi Dipta tiba di halaman parkir rumah sakit. Dia memilih parkiran belakang sebagai tempat istirahat mobilnya. Turun dan mengunci mobil, Dipta kemudian melanjutkan langkah menuju kafetaria untuk membeli kopi hitam panas dan membawanya ke ruangan.
Di persimpangan sebelum sampai ke ruangannya, Dipta berpapasan dengan Yudi. Lel
Aina terbangun pukul lima karena dering alarm dari ponselnya mengganggu tidur pulasnya. Tangannya terulur ke nakas untuk mematikan alarm, kemudian dia meregangkan tubuh sambil menguap panjang. Saat menoleh ke samping, dia agak terkejut melihat Dipta masih terlelap di tempat. Aina mengernyit. Tidak biasanya Dipta seperti itu. Biasanya, sebelum subuh Dipta selalu bangun untuk kemudian berangkat ke masjid. Namun, lelaki itu sekarang masih bergelung dalam selimut. Ragu-ragu, Aina menyentuh kening Dipta. Panas. Dia demam? Ingatan Aina seketika memutar adegan tadi malam, sebelum tidur. Di mana Dipta yang mengira dirinya telah terlelap memeluk tubuhnya dari belakang dan menggumamkan kata maaf berkali-kali sembari mengelus-elus perutnya pelan. Lelaki itu juga mengatakan alasan dia terlambat menjemput Aina kemarin. Dia bilang tubuhnya terasa tidak enak, lalu saat berniat istirahat dengan rebahan sebentar di masjid, dia justru ketiduran. Seketika rasa bersalah me
Bumi masih sendu. Awan hitam menggantung rendah, seolah bersiap menumpahkan ribuan liter air dari pelupuknya. Butir-butir embun bergelayut di pucuk-pucuk dedaunan, membuatnya membungkuk rendah menghadap tanah.Aina membuka tirai coklat muda yang melingkupi jendela. Titik-titik embun memburamkan kaca. Setelah jendela itu dia buka, udara dingin seketika menerpa. Praktis, bulu-bulu halus di tubuhnya meremang. Angin yang berembus meriapkan rambutnya yang dibiarkan tergerai, setengah basah. Bagian bawah gaun tidurnya ikut melambai-lambai mengikuti embusan angin.Dalam belaian hawa dingin itu, Aina menghirup napas dalam-dalam. Udara pagi katanya bagus untuk ibu hamil. Meskipun tubuhnya sesekali menggigil saat angin yang berembus agak kencang, tapi dia senang menikmati udara bersih pagi hari.Setelah puas, dia beranjak meninggalkan kamar menuju dapur. Seperti biasa, setelah merapikan kamar, dia akan ke dapur untuk membuatkan kopi untuk suaminya. Setelah itu, barulah di
"Aina!" panggil Galih dari seberang jalan.Wanita yang tengah berdiri di depan gerbang itu mengangkat wajah, lalu tersenyum kecil. Sejak tadi, dia sudah berdiri di sana, semenjak Dipta mengirimkan pesan bahwa dia akan menjemput. Namun, sudah tiga puluh menit berlalu, Dipta masih belum datang juga. Bahkan barusan, lelaki itu justru mengirim pesan bahwa dia akan datang terlambat karena ada urusan mendadak. Ya Tuhan!Galih memutar kemudi untuk menyebrangi jalan, lalu menghentikan mobilnya di depan Aina. Tanpa harus bertanya pun dia tau, wanita itu pasti sedang menunggu suaminya. Namun, entah mengapa lidahnya ingin sekali menanyakan hal itu. Dalam hati dia berharap, semoga saja Dipta tidak bisa menjemput Aina, supaya dia punya kesempatan menawarkan tumpangan."Nunggu jemputan?"Wanita yang tengah hamil itu mengangguk lemah. "Tapi, sepertinya aku akan pulang sendiri. Mas Dipta tiba-tiba ada urusan."
Pagi yang cerah, tidak seperti beberapa hari kemarin. Hari ini, matahari bersinar terang, meskipun belum terlalu panas. Jam di pergelangan tangan Dipta masih menunjukkan pukul sembilan. Dia membuka data pasien yang harus dia periksa pagi ini."Jadwal untuk pagi ini sisa dua orang?" tanyanya kepada Karin untuk memastikan.Wanita itu mengangguk membenarkan.Ah, syukurlah. Dia bisa selesaikan pekerjaannya sebelum pukul sepuluh, lalu dia tinggalkan sebentar ruangannya untuk mengantar Aina periksa kandungan.Pagi tadi adalah kali pertama dia bisa merasakan kehidupan sang buah hati. Untuk pertama kalinya, janin dalam perut Aina bergerak. Dia bahkan bisa merasakannya sendiri. Sekarang, dia ingin cepat-cepat melakukan USG untuk melihat seberapa jauh perkembangan buah hatinya itu. Semoga Aina dan calon bayinya selalu sehat. Semoga dia bisa menjadi suami sekaligus ayah siaga untuk para malaikat tersayangnya itu.Satu per satu pasien dia tangani. Konsul
Entah berapa lama Aina terlelap, yang jelas saat dia bangun, punggung dan lehernya terasa begitu sakit. Dia menegakkan tubuh saat kesadarannya telah kembali, lalu melemparkan pandangan ke luar kaca jendela. Taksi sedang berhenti di depan lampu merah. Aina menilik angka di argomoter. Ternyata sudah hampir dua jam mereka berkeliling."Sudah bangun, Mbak?" Pak Supir bertanya seraya menginjak gas untuk kembali melajukan kendaraannya.Aina mengangguk pelan. "Sudah, Pak.""Bagaimana? Sudah tenang?"Aina tertegun. Pertanyaan Pak Supir membuat otaknya dengan cepat memutar memori sebelum dia tertidur. Tentang Dipta, tentang pengkhianatan yang dilakukan lelaki itu, sekaligus tentang rasa sakit yang dia derita.Maniknya kembali mengembun seiring rasa sesak yang kembali menghantam dada. Kaca-kaca bening dengan cepat menyebar dan memburamkan pandangan. Aina menunduk, berusaha menyingkirkan kristal bening yang berjejalan di pelupuknya. Bersiap jatuh.Sepe
Mobil yang ditumpangi Aina berhenti di halaman klinik tempat Galih membuka praktik. Wanita itu segera turun dari mobil sambil menggendong ranselnya, sementara tangan kanan menjinjing tas tangan. Galih ke belakang untuk mengambil koper dari bagasi lalu mengekori Aina masuk ke dalam."Maafkan aku jika sudah menganggumu, Kak. Aku tidak tau harus menghubungi siapa. Aku tidak punya saudara, juga belum ada teman dekat yang bisa dimintai tolong. Satu-satunya nama yang terlintas di benakku cuma namamu," ucap Aina panjang lebar seraya mendudukkan diri di sofa ruangan Galih.Galih mengulum senyum. "Tenang saja. Aku juga tidak sibuk, kok." Dia meletakkan koper Aina di samping meja kemudian ikut duduk di sofa, berhadapan dengan wanita cantik itu."Jadi, apa yang terjadi padamu?"Aina yang semula tengah menghidupkan laptop seketika tertunduk. Wajahnya nampak sendu dengan mata yang kembali berkaca-kaca. Dia
Lima hari sudah Aina tinggal di rumah orang tuanya. Selama lima hari itu pula, dia sama sekali tidak menghubungi Dipta. Dia juga tidak tau apakah Dipta berusaha menghubunginya atau tidak. Dia bahkan tidak yakin Dipta masih mengingatnya. Mungkin lelaki itu justru bahagia dia pergi?Mentari perlahan meninggi. Cahayanya menguapkan embun pagi di dedaunan, menciptakan hangat yang pelan-pelan melengserkan hawa dingin yang mendekap tubuh dari semalam.Aina ke dapur untuk membantu bundanya membuat sarapan. Sementara Fariz membantu ayahnya memetik sayuran di kebun belakang sebelum berangkat sekolah. Pemuda yang masih duduk di bangku SMA kelas tiga itu membantu memetik dedaunan hijau yang nantinya akan dimasak, lalu beranjak ke empang untuk membantu ayahnya menangkap beberapa ikan nila. Aina bilang dia ingin makan nila goreng, jadilah ayahnya mengambilkan.Dua wanita berbeda usia sedang sibuk meracik bumbu yang akan digunakan untuk mengolah apa yang dibawa oleh para lelak
Kamis malam, Aina duduk di ruang tamu rumah orang tuanya dengan gugup. Di sana, dia tidak sendiri. Ada ayah, bunda, serta adik perempuannya—Iva. Aina duduk di hadapan ayahnya, sementara bunda dan adiknya mengapit di masing-masing sisi. Membuatnya terlihat seperti pesakitan yang sedang menunggu vonis mati.Meskipun Aina memasang ekspresi datar di wajahnya, namun kegugupannya tetap tak dapat disembunyikan. Di bawah meja, jemarinya saling meremas untuk menghilangkan rasa gelisah yang melanda.Ayah dan bundanya sudah mendengar kabar bahwa Aina telah mengajukan gugatan cerai kepada Dipta. Dia sendiri yang mengatakannya. Jadwal sidangnya bahkan sudah keluar. Padahal, kedua orang tuanya sudah menyuruh Aina untuk menyelesaikan masalahnya baik-baik, berbicara dengan Dipta terlebih dahulu. Namun, entah bagaimana ceritanya, Aina justru memilih mengambil keputusan sepihak dengan menggugat cerai Dipta."Kamu benar-benar sudah mengajukan gugatan cerai kepada suamimu?" A
Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya
Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern
Dipta merebahkan diri dalam kamar apartemennya setelah pulang dari kampus. Sidang terbuka promosi doktornya telah selesai digelar siang tadi.Akhirnya, setelah berjibaku dengan berbagai buku-buku dan segala persiapan hingga dia tak punya waktu untuk mengunjungi putra dan wanita tercintanya, semua terbayar lunas dengan gelar Doktor —gelar akademik tertinggi dalam jenjang pendidikan formal— yang kini tersemat di depan namanya, bergabung bersama gelar-gelar lain untuk menambah panjang namanya.Dia menjalani ujian pra-kualifikasi, ujian komprehensif, ujian promosi disertasi, ujian tertutup, hingga ujian terbuka promosi doktor dengan lancar dan sukses. Semua pertanyaan para penguji bisa dia jawab dengan tepat.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di rumah sakit tentu menguntungkan baginya. Ditambah riset yang mendalam tentang topik yang dikajinya, membuat semua berjalan sesuai rencana.
Cuaca hari ini begitu cerah. Aina duduk di atas tikar yang digelar di bawah sebuah pohon besar. Daun-daunan yang tumbuh subur di setiap ranting pohon itu menjelma payung besar yang menaunginya dari terik matahari. Daun-daun lebat itu juga memproduksi banyak oksigen, hingga membuat siang hari yang panas ini terasa sejuk bagi aina.Sementara di seberang sana, beberapa meter dari tempat Aina duduk, Dipta sedang bersama Daffa, bermain ayunan.Kedua anak dan bapak itu begitu bersemangat. Daffa bersemangat menaiki ayunan, sedangkan Dipta bersemangat mendorongnya. Mereka terlihat begitu bahagia dengan tawa yang tak hilang setiap kali Dipta mendorong punggung Daffa hingga anak itu melayang di atas bangku ayunan.Melihat mereka bersama seperti itu, hati Aina terasa damai. Sudut bibirnya ikut tertarik setiap kali tawa putranya tertangkap telinga."Bunda, haus ...." seru Daffa seraya berlari ke arah Aina. Sedangkan Dipta melangkah perlahan di belakangnya
Suara ketukan di pintu depan membangunkan Aina dari tidur ayamnya. Dia baru saja merebahkan diri setelah pulang mengajar. Dia memejamkan mata, tetapi belum tertidur terlalu nyenyak. Sedangkan Daffa sudah keluar, bermain bersama teman-temannya."Assalamualaikum ...," ucap seseorang di luar.Aina menajamkan pendengaran. Dari suaranya, sepertinya Aina kenal. Dia memutar otak, mengais ingatan tentang seseorang pemilik suara tadi.Lalu, saat berhasil ingat, Aina segera menjawab, "Waalaikumussalaam ...."Dengan tergesa, Aina menyambar kerudung hitam di meja dan berjalan tertatih ke ruang tamu, membuka pintu.Wajah kedua mertuanya menyambut dengan senyum hangat kala pintu terbuka lebar. Aina memundurkan tubuh selangkah, mempersilakan mama dan papa Dipta masuk."Mama dan Papa kok mau ke sini tidak bilang-bilang? Aina jadi tidak bisa menyiapkan apa-apa," ujarnya seraya mengecup punggung tangan kakek dan neneknya Daffa bergantian.
Daffa tertidur dalam pangkuan Dipta karena kelelahan setelah hampir setengah jam menangis. Bocah itu mengamuk, melempari Dipta dengan selimut dan bantal yang ada di kasur. Meskipun Dipta sudah berusaha menenangkan, Daffa tetap saja menangis sambil meneriaki Dipta bohong.Aina masuk ke kamar setelah mengganti gamisnya yang dipakai seharian dengan baju tidur panjang berwarna ungu. Dia memperhatikan wajah Dipta yang tampak kelelahan. Bajunya telah kusut di sana-sini karena dipakai untuk bermain seharian.Tidak tega, Aina membuka lemari dan mencari setelan training untuk baju ganti Dipta. Dia tidak punya baju untuk laki-laki dewasa. Dia hanya punya baju olahraga seragam guru di sekolah. Baju itu masih kebesaran untuk Aina, jadi mungkin akan pas dipakai Dipta."Mas, kamu ganti baju dulu." Aina menyerahkan baju olahraga tadi kepada Dipta. "Aku tidak punya baju ganti yang layak untukmu, kamu juga tidak bawa baju, kan?"Dipta menerima setelan tadi dengan senyum m
"Papa pulang?" Pertanyaan polos itu meluncur dari mulut mungil Daffa saat tiba di hadapan papanya. Kedua matanya berbinar.Dipta menunduk, mensejajarkan wajah dengan Daffa. "Iya, kan Daffa hari ini ulang tahun." Senyumnya merekah seketika saat melihat Daffa bersorak."Hore! Papa pulang!" Anak itu loncat-loncat kegirangan. Dipta menangkapnya dan menggendongnya."Papa punya kado banyak buat Daffa. Mau lihat tidak?""Mau, Pa!" jawab Daffa bersemangat. Tangannya melingkari leher Dipta yang masih menggendongnya."Kadonya ada di mobil. Sana, lihat," perintah Dipta sambil menurunkan Daffa dari gendongannya.Bocah itu segera menghambur ke arah mobil yang terparkir agak jauh, di depan TK. Sepeninggalnya Daffa, Dipta mengalihkan pandangan ke arah Aina."Kamu sudah selesai mengajar?"Aina mengangguk sambil membuang muka.
Aina tertegun sesaat, sorot matanya menatap tajam ke dalam kedua mata milik Galih, mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Lalu, tiba-tiba dia tertawa hambar. "Jangan bercanda, Kak. Tidak lucu.""Aku tidak bercanda, Aina. Aku serius!" tegas Galih. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,"Aku mencintaimu sejak lama. Sejak kita masih bersama-sama di desa. Sejak kamu merengek minta bersekolah di sekolah yang sama denganku meskipun belum cukup umur. Sejak kamu menemaniku di sungai sepanjang hari meski kamu kedinginan. Sejak kamu menangis tersedu saat aku akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Sejak dulu perasaanku tidak pernah berubah. Justru semakin besar saat kita akhirnya bertemu lagi," ujarnya berapi-api.Aina menatap Galih dalam-dalam. Kedua mata lelaki itu seakan berkobar. Namun, Aina justru membalasnya dengan tatapan sendu, seolah ingin mematikan kobaran
Lima tahun kemudian ...."Daffa ... bangun, Nak. Katanya mau sekolah?"Aina berseru dari arah dapur, memanggil bocah laki-laki yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah. Celemek masih melekat di pinggangnya saat dia berjalan tergesa menuju satu-satunya kamar di rumah itu.Benar saja. Di atas tempat tidur tanpa dipan itu, anaknya masih terlelap. Bergelung dengan nyaman dalam selimut beraroma parfum ibunya—vanilla rose.Aina duduk di tepi kasur busa itu, mengelus kepala pangeran kecilnya sambil setengah mengguncang, masih berusaha membangunkan."Nak, bangun. Ayo, berangkat sekolah."Bocah yang berusia belum genap lima tahun itu hanya menggeliat tanpa membuka mata. "Eugghh ... Daffa masih ngantuk, Bunda.""Tapi sudah siang. Katanya Daffa mau sekolah?""Sekolah?" Bocah itu seketika membuka mata. "Daffa sekolah jam berapa, Bunda?""Daffa berangkat jam setengah tujuh. Sekarang jam berapa? Coba lihat di dinding, jar