Lima hari sudah Aina tinggal di rumah orang tuanya. Selama lima hari itu pula, dia sama sekali tidak menghubungi Dipta. Dia juga tidak tau apakah Dipta berusaha menghubunginya atau tidak. Dia bahkan tidak yakin Dipta masih mengingatnya. Mungkin lelaki itu justru bahagia dia pergi?
Mentari perlahan meninggi. Cahayanya menguapkan embun pagi di dedaunan, menciptakan hangat yang pelan-pelan melengserkan hawa dingin yang mendekap tubuh dari semalam.
Aina ke dapur untuk membantu bundanya membuat sarapan. Sementara Fariz membantu ayahnya memetik sayuran di kebun belakang sebelum berangkat sekolah. Pemuda yang masih duduk di bangku SMA kelas tiga itu membantu memetik dedaunan hijau yang nantinya akan dimasak, lalu beranjak ke empang untuk membantu ayahnya menangkap beberapa ikan nila. Aina bilang dia ingin makan nila goreng, jadilah ayahnya mengambilkan.
Dua wanita berbeda usia sedang sibuk meracik bumbu yang akan digunakan untuk mengolah apa yang dibawa oleh para lelak
Kamis malam, Aina duduk di ruang tamu rumah orang tuanya dengan gugup. Di sana, dia tidak sendiri. Ada ayah, bunda, serta adik perempuannya—Iva. Aina duduk di hadapan ayahnya, sementara bunda dan adiknya mengapit di masing-masing sisi. Membuatnya terlihat seperti pesakitan yang sedang menunggu vonis mati.Meskipun Aina memasang ekspresi datar di wajahnya, namun kegugupannya tetap tak dapat disembunyikan. Di bawah meja, jemarinya saling meremas untuk menghilangkan rasa gelisah yang melanda.Ayah dan bundanya sudah mendengar kabar bahwa Aina telah mengajukan gugatan cerai kepada Dipta. Dia sendiri yang mengatakannya. Jadwal sidangnya bahkan sudah keluar. Padahal, kedua orang tuanya sudah menyuruh Aina untuk menyelesaikan masalahnya baik-baik, berbicara dengan Dipta terlebih dahulu. Namun, entah bagaimana ceritanya, Aina justru memilih mengambil keputusan sepihak dengan menggugat cerai Dipta."Kamu benar-benar sudah mengajukan gugatan cerai kepada suamimu?" A
Dua bulan kemudian, hakim akhirnya mengetuk palu, mereka resmi bercerai. Seminggu setelahnya, Dipta datang ke pengadilan dengan langkah gontai untuk mengambil akta cerai. Selama persidangan yang memakan waktu dua bulan itu, Dipta selalu menghadiri sidang.Bukan hanya karena ingin menaati hukum, alasan utamanya justru karena dia berharap bisa bertemu Aina di sana. Namun, sayangnya Aina tidak pernah menghadiri sidang kecuali saat sidang perdana. Setelah proses mediasi gagal, proses sidang tetap dilanjutkan dan semenjak itu Aina tidak pernah datang ke pengadilan. Dia hanya mengirimkan kuasa hukum untuk menyelesaikan semua urusannya.Sudah segala cara Dipta lakukan untuk mencegah perceraian itu, tetapi apa daya jika Aina tetap bersikeras ingin berpisah darinya. Wanita itu mengirimkan beberapa rekannya sebagai saksi, bahkan Galih juga diminta menjadi saksi untuk persidangan mereka.Aina juga tidak lupa menyerahkan surat perjanjian pranikah yang dahulu tel
Hari Sabtu tiba. Aina keluar dari kamar mengenakan gamis putih berhias manik-manik di bagian dada dan mutiara di bagian pinggang. Jilbab putihnya yang panjang tergerai, melambai-lambai mengikuti gerakan tubuhnya. Senyum senantiasa menghiasi wajah. Tak ada gurat sedih ataupun kecewa, Aina terlihat baik-baik saja. Dia terlihat sangat bahagia.Pagi ini, Aina bersama keluarganya sedang menyiapkan berbagai hal untuk rangkaian prosesi Tingkeban —tujuh bulanan— yang diselenggarakan pukul sepuluh nanti. Halaman rumah yang akan dijadikan tempat dilaksanakannya rangkaian acara itu sudah dihias sejak kemarin sore. Sekarang mereka hanya sedang memeriksa perlengkapan yang lain sudah siap atau belum.Aina membantu bundanya menyiapkan sarapan untuk para rewang, dibantu buliknya dan juga Iva. Sementara para laki-laki sedang sibuk membenahi area samping rumah. Membuat bilik dari papan kayu dan jarik, tempat Aina akan berganti baju nanti setelah s
Aina masih terpaku, pikirannya tiba-tiba kosong. Dia tidak tau harus bagaimana, tak tau harus mengatakan apa. Fakta yang baru saja dia saksikan benar-benar membuatnya tercengang.Rekaman CCTV yang baru saja Aina lihat adalah rekaman seluruh peristiwa yang terjadi di ruangan Dipta kala itu, saat dirinya tak sengaja mendapati Dipta bermesraan dengan wanita lain di ruangannya. Rekaman dari CCTV di ruangan Dipta itu menunjukkan dengan jelas, bagaimana wanita bernama Sabrina 'menyerang' Dipta dengan tiba-tiba."Lalu, kenapa Mas Dipta tidak menjadikan ini sebagai bukti di persidangan kemarin?" tanya Aina, penyesalan perlahan menelusup ke hatinya.Yudi menggeleng. "Nggak bisa. Wanita di video itu, Sabrina namanya, dia nyogok penjaga keamanan yang bertugas menjaga CCTV dan menyuruhnya menghapus rekaman itu. Untungnya Pak Budi nggak hapus rekaman itu, cuma saat Dipta minta rekamannya, Pak Budi bilang CCTV di ruangannya rusa
Suara decit ban terdengar nyaring saat Dipta menginjak rem tepat saat mobilnya memasuki halaman rumah lamanya di Semarang. Kedua matanya menyorot tajam, memindai sekeliling.Rumah itu masih sepi. Di halamannya bahkan masih berserakan dedaunan kering dari pohon-pohon di sekitar rumah. Pintunya masih tertutup, Dipta bahkan sangsi pintu itu sempat dibuka dalam waktu dekat.Meski begitu, dia tetap turun, memastikan bahwa rumah itu benar-benar kosong atau tidak. Tangannya terulur memutar kenop pintu, dan benar saja, masih terkunci. Beberapa kali dia coba untuk membuka lebih kuat, tetapi hasilnya tetap sama. Aina tidak ada di rumah ini. Lalu di mana?Tadi Dipta sudah menunggu satu jam di terminal sambil memutari tempat itu untuk mencari keberadaan Aina. Siapa tau wanita itu masih di sana. Ternyata nihil. Lalu sekarang, saat dia akhirnya mendatangi rumah yang katanya akan ditempati Aina lagi, mengapa kosong? Lalu di mana
Lima tahun kemudian ...."Daffa ... bangun, Nak. Katanya mau sekolah?"Aina berseru dari arah dapur, memanggil bocah laki-laki yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah. Celemek masih melekat di pinggangnya saat dia berjalan tergesa menuju satu-satunya kamar di rumah itu.Benar saja. Di atas tempat tidur tanpa dipan itu, anaknya masih terlelap. Bergelung dengan nyaman dalam selimut beraroma parfum ibunya—vanilla rose.Aina duduk di tepi kasur busa itu, mengelus kepala pangeran kecilnya sambil setengah mengguncang, masih berusaha membangunkan."Nak, bangun. Ayo, berangkat sekolah."Bocah yang berusia belum genap lima tahun itu hanya menggeliat tanpa membuka mata. "Eugghh ... Daffa masih ngantuk, Bunda.""Tapi sudah siang. Katanya Daffa mau sekolah?""Sekolah?" Bocah itu seketika membuka mata. "Daffa sekolah jam berapa, Bunda?""Daffa berangkat jam setengah tujuh. Sekarang jam berapa? Coba lihat di dinding, jar
Aina tertegun sesaat, sorot matanya menatap tajam ke dalam kedua mata milik Galih, mencari kebenaran dari apa yang baru saja dia dengar. Lalu, tiba-tiba dia tertawa hambar. "Jangan bercanda, Kak. Tidak lucu.""Aku tidak bercanda, Aina. Aku serius!" tegas Galih. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan,"Aku mencintaimu sejak lama. Sejak kita masih bersama-sama di desa. Sejak kamu merengek minta bersekolah di sekolah yang sama denganku meskipun belum cukup umur. Sejak kamu menemaniku di sungai sepanjang hari meski kamu kedinginan. Sejak kamu menangis tersedu saat aku akan meninggalkanmu. Aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Sejak dulu perasaanku tidak pernah berubah. Justru semakin besar saat kita akhirnya bertemu lagi," ujarnya berapi-api.Aina menatap Galih dalam-dalam. Kedua mata lelaki itu seakan berkobar. Namun, Aina justru membalasnya dengan tatapan sendu, seolah ingin mematikan kobaran
"Papa pulang?" Pertanyaan polos itu meluncur dari mulut mungil Daffa saat tiba di hadapan papanya. Kedua matanya berbinar.Dipta menunduk, mensejajarkan wajah dengan Daffa. "Iya, kan Daffa hari ini ulang tahun." Senyumnya merekah seketika saat melihat Daffa bersorak."Hore! Papa pulang!" Anak itu loncat-loncat kegirangan. Dipta menangkapnya dan menggendongnya."Papa punya kado banyak buat Daffa. Mau lihat tidak?""Mau, Pa!" jawab Daffa bersemangat. Tangannya melingkari leher Dipta yang masih menggendongnya."Kadonya ada di mobil. Sana, lihat," perintah Dipta sambil menurunkan Daffa dari gendongannya.Bocah itu segera menghambur ke arah mobil yang terparkir agak jauh, di depan TK. Sepeninggalnya Daffa, Dipta mengalihkan pandangan ke arah Aina."Kamu sudah selesai mengajar?"Aina mengangguk sambil membuang muka.