Gumpalan awan hitam menutupi seluruh cakrawala. Berkas sinar matahari bahkan kesusahan menembusnya. Angin berembus kencang, mengantarkan tetesan air hujan menggedor-gedor jendela kaca sekaligus menambah parah hawa dingin yang sejak pagi tadi menyelimuti kota Jogja.
Aina termenung di kursinya, memandangi derasnya air yang mengguyur bumi di luar sana. Kilat dan petir bersahut-sahutan, seakan berebut untuk meramaikan suasana. Wanita yang mengenakan seragam abu-abu itu mendekap tubuh. Hawa dingin menusuk tulang. Teh hangat di cangkirnya tak mampu menolong. Jemarinya meraih ponsel, membuka aplikasi chatting, lalu mencari nomor sang suami.
Pukul setengah enam sore. Seharusnya Dipta sudah menjemput. Namun, hingga ruang guru hampir kosong, suaminya itu belum juga menghubungi. Padahal, lelaki itu biasanya menjemput sebelum pukul lima. Sebenarnya dia bisa saja pulang sendiri, kalau hujan di luar sana berhenti. Namun, derasnya air yang turun memaksanya
Dua hari Aina mendiamkan Dipta di rumah. Selama dua hari itu, dia sama sekali tidak berbicara, atau menanggapi apa pun yang dikatakan Dipta. Padahal lelaki itu sudah mengerahkan segala upaya untuk memenangkan hati wanitanya, tetapi hasilnya nihil.Sebenarnya Aina masih melakukan pekerjaan rumah, juga melayani Dipta seperti biasa. Dia hanya tidak mau bicara. Namun, bukankah itu sama saja seperti tinggal di kastil neraka? Megah, namun mencekam. Siapa juga laki-laki yang betah didiamkan lama-lama. Akhirnya Dipta memilih ikut diam. Bukan untuk balas dendam, tetapi lebih kepada ingin memberikan waktu untuk Aina menyendiri.Pukul setengah delapan pagi Dipta tiba di halaman parkir rumah sakit. Dia memilih parkiran belakang sebagai tempat istirahat mobilnya. Turun dan mengunci mobil, Dipta kemudian melanjutkan langkah menuju kafetaria untuk membeli kopi hitam panas dan membawanya ke ruangan.Di persimpangan sebelum sampai ke ruangannya, Dipta berpapasan dengan Yudi. Lel
Aina terbangun pukul lima karena dering alarm dari ponselnya mengganggu tidur pulasnya. Tangannya terulur ke nakas untuk mematikan alarm, kemudian dia meregangkan tubuh sambil menguap panjang. Saat menoleh ke samping, dia agak terkejut melihat Dipta masih terlelap di tempat. Aina mengernyit. Tidak biasanya Dipta seperti itu. Biasanya, sebelum subuh Dipta selalu bangun untuk kemudian berangkat ke masjid. Namun, lelaki itu sekarang masih bergelung dalam selimut. Ragu-ragu, Aina menyentuh kening Dipta. Panas. Dia demam? Ingatan Aina seketika memutar adegan tadi malam, sebelum tidur. Di mana Dipta yang mengira dirinya telah terlelap memeluk tubuhnya dari belakang dan menggumamkan kata maaf berkali-kali sembari mengelus-elus perutnya pelan. Lelaki itu juga mengatakan alasan dia terlambat menjemput Aina kemarin. Dia bilang tubuhnya terasa tidak enak, lalu saat berniat istirahat dengan rebahan sebentar di masjid, dia justru ketiduran. Seketika rasa bersalah me
Bumi masih sendu. Awan hitam menggantung rendah, seolah bersiap menumpahkan ribuan liter air dari pelupuknya. Butir-butir embun bergelayut di pucuk-pucuk dedaunan, membuatnya membungkuk rendah menghadap tanah.Aina membuka tirai coklat muda yang melingkupi jendela. Titik-titik embun memburamkan kaca. Setelah jendela itu dia buka, udara dingin seketika menerpa. Praktis, bulu-bulu halus di tubuhnya meremang. Angin yang berembus meriapkan rambutnya yang dibiarkan tergerai, setengah basah. Bagian bawah gaun tidurnya ikut melambai-lambai mengikuti embusan angin.Dalam belaian hawa dingin itu, Aina menghirup napas dalam-dalam. Udara pagi katanya bagus untuk ibu hamil. Meskipun tubuhnya sesekali menggigil saat angin yang berembus agak kencang, tapi dia senang menikmati udara bersih pagi hari.Setelah puas, dia beranjak meninggalkan kamar menuju dapur. Seperti biasa, setelah merapikan kamar, dia akan ke dapur untuk membuatkan kopi untuk suaminya. Setelah itu, barulah di
"Aina!" panggil Galih dari seberang jalan.Wanita yang tengah berdiri di depan gerbang itu mengangkat wajah, lalu tersenyum kecil. Sejak tadi, dia sudah berdiri di sana, semenjak Dipta mengirimkan pesan bahwa dia akan menjemput. Namun, sudah tiga puluh menit berlalu, Dipta masih belum datang juga. Bahkan barusan, lelaki itu justru mengirim pesan bahwa dia akan datang terlambat karena ada urusan mendadak. Ya Tuhan!Galih memutar kemudi untuk menyebrangi jalan, lalu menghentikan mobilnya di depan Aina. Tanpa harus bertanya pun dia tau, wanita itu pasti sedang menunggu suaminya. Namun, entah mengapa lidahnya ingin sekali menanyakan hal itu. Dalam hati dia berharap, semoga saja Dipta tidak bisa menjemput Aina, supaya dia punya kesempatan menawarkan tumpangan."Nunggu jemputan?"Wanita yang tengah hamil itu mengangguk lemah. "Tapi, sepertinya aku akan pulang sendiri. Mas Dipta tiba-tiba ada urusan."
Pagi yang cerah, tidak seperti beberapa hari kemarin. Hari ini, matahari bersinar terang, meskipun belum terlalu panas. Jam di pergelangan tangan Dipta masih menunjukkan pukul sembilan. Dia membuka data pasien yang harus dia periksa pagi ini."Jadwal untuk pagi ini sisa dua orang?" tanyanya kepada Karin untuk memastikan.Wanita itu mengangguk membenarkan.Ah, syukurlah. Dia bisa selesaikan pekerjaannya sebelum pukul sepuluh, lalu dia tinggalkan sebentar ruangannya untuk mengantar Aina periksa kandungan.Pagi tadi adalah kali pertama dia bisa merasakan kehidupan sang buah hati. Untuk pertama kalinya, janin dalam perut Aina bergerak. Dia bahkan bisa merasakannya sendiri. Sekarang, dia ingin cepat-cepat melakukan USG untuk melihat seberapa jauh perkembangan buah hatinya itu. Semoga Aina dan calon bayinya selalu sehat. Semoga dia bisa menjadi suami sekaligus ayah siaga untuk para malaikat tersayangnya itu.Satu per satu pasien dia tangani. Konsul
Entah berapa lama Aina terlelap, yang jelas saat dia bangun, punggung dan lehernya terasa begitu sakit. Dia menegakkan tubuh saat kesadarannya telah kembali, lalu melemparkan pandangan ke luar kaca jendela. Taksi sedang berhenti di depan lampu merah. Aina menilik angka di argomoter. Ternyata sudah hampir dua jam mereka berkeliling."Sudah bangun, Mbak?" Pak Supir bertanya seraya menginjak gas untuk kembali melajukan kendaraannya.Aina mengangguk pelan. "Sudah, Pak.""Bagaimana? Sudah tenang?"Aina tertegun. Pertanyaan Pak Supir membuat otaknya dengan cepat memutar memori sebelum dia tertidur. Tentang Dipta, tentang pengkhianatan yang dilakukan lelaki itu, sekaligus tentang rasa sakit yang dia derita.Maniknya kembali mengembun seiring rasa sesak yang kembali menghantam dada. Kaca-kaca bening dengan cepat menyebar dan memburamkan pandangan. Aina menunduk, berusaha menyingkirkan kristal bening yang berjejalan di pelupuknya. Bersiap jatuh.Sepe
Mobil yang ditumpangi Aina berhenti di halaman klinik tempat Galih membuka praktik. Wanita itu segera turun dari mobil sambil menggendong ranselnya, sementara tangan kanan menjinjing tas tangan. Galih ke belakang untuk mengambil koper dari bagasi lalu mengekori Aina masuk ke dalam."Maafkan aku jika sudah menganggumu, Kak. Aku tidak tau harus menghubungi siapa. Aku tidak punya saudara, juga belum ada teman dekat yang bisa dimintai tolong. Satu-satunya nama yang terlintas di benakku cuma namamu," ucap Aina panjang lebar seraya mendudukkan diri di sofa ruangan Galih.Galih mengulum senyum. "Tenang saja. Aku juga tidak sibuk, kok." Dia meletakkan koper Aina di samping meja kemudian ikut duduk di sofa, berhadapan dengan wanita cantik itu."Jadi, apa yang terjadi padamu?"Aina yang semula tengah menghidupkan laptop seketika tertunduk. Wajahnya nampak sendu dengan mata yang kembali berkaca-kaca. Dia
Lima hari sudah Aina tinggal di rumah orang tuanya. Selama lima hari itu pula, dia sama sekali tidak menghubungi Dipta. Dia juga tidak tau apakah Dipta berusaha menghubunginya atau tidak. Dia bahkan tidak yakin Dipta masih mengingatnya. Mungkin lelaki itu justru bahagia dia pergi?Mentari perlahan meninggi. Cahayanya menguapkan embun pagi di dedaunan, menciptakan hangat yang pelan-pelan melengserkan hawa dingin yang mendekap tubuh dari semalam.Aina ke dapur untuk membantu bundanya membuat sarapan. Sementara Fariz membantu ayahnya memetik sayuran di kebun belakang sebelum berangkat sekolah. Pemuda yang masih duduk di bangku SMA kelas tiga itu membantu memetik dedaunan hijau yang nantinya akan dimasak, lalu beranjak ke empang untuk membantu ayahnya menangkap beberapa ikan nila. Aina bilang dia ingin makan nila goreng, jadilah ayahnya mengambilkan.Dua wanita berbeda usia sedang sibuk meracik bumbu yang akan digunakan untuk mengolah apa yang dibawa oleh para lelak