Sampai di rumah sakit Kayla dan ibunya memasuki ruang pemeriksaan, putrinya di bius tanpa sepengetahuan Kayla. Memeriksa dan melakukan pengobatan dalam beberapa jam saat semuanya sudah selesai. Ibunya bicara berdua dengan dokter yang baru saja melakukan pengobatan pada putrinya, keluar dari ruangan dokter dengan wajah sedih.
Putrinya sadar memanggil ibunya.
"Mama," ucap Kayla suaranya terdengar lemas dan serak.
"Sayang kamu udah bangun." tanya ibunya dari kejauhan berlari kecil ke arahnya. Memegang tangan kanan Kayla.
"Kapan kita pulang, aku gak betah lama-lama di rumah sakit Mah." ia ingin turun dari ranjang.
"Sekarang sudah boleh pulang, ayo sini Mama bantu." ibunya memegang tangan Kayla perlahan mereka pergi keluar dari depan pintu rumah sakit.
Menuju parkiran pulang menaiki mobil Toyota berwarna biru. Sepanjang perjalanan Kayla menceritakan hari pertamanya masuk sekolah, hingga seorang lelaki yang duduk di sebelahnya berteriak.
Membuat ibunya tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita putrinya, bagaimana tidak? Dia memperagakan pada setiap bagian lelaki itu terus saja meneriakinya dengan wajah datar dan tatapannya yang sangat dingin.
"Dia berkata, 'Lo, kok ada di sini!' lalu setelahnya dia memanggilku, 'Si Toa Berjalan.' "
"Setelahnya apa yang terjadi?" tanya Ibunya penasaran dengan cerita putrinya.
"Kami pindah tempat duduk, aku dengan Tina. Dia duduk bersama Tino, meski demikian. Dia menggendongku sampai ke ruang uks, karena tiba-tiba pingsan," kata Kayla sambil tersenyum tipis.
Ibunya menghentikan mobil secara mendadak. Sampai tubuh keduanya sedikit condong ke depan. Kayla mengangkat wajahnya, menatapnya.
"Tapi kamu gak apa-apa kan? Kenapa gak bilang sama Mama kalau kamu pingsan?" tanya ibunya keningnya berkerut menatapnya.
"Mama kenapa? Aku baik-baik aja kok. Bukankah tadi sudah diperiksa oleh dokter Mala?" Kayla malah balik bertanya. Karena sungguh aneh, ibunya mendadak menghentikan mobilnya begitu saja.
"Walaupun begitu, kamu harus tetap memberi tahu Mama."
"Bagaimana caranya? Mama kan selalu sibuk. Jarang ada waktu, hanya untuk check up. Baru kita bisa bertemu, aku hanya tidak ingin membuat Mama khawatir- "
Ibunya memegang pundak Kayla. "Intinya apapun yang terjadi padamu, beri tahu Mama. Mama pasti ada waktu sayang, akan selalu ada buat kamu. Jadi, jangan khawatir. Maafkan Mama ya?"
"Mama gak perlu minta maaf, aku mengerti. Yang Mama lakukan demi aku, jadi jangan salahkan diri Mama sendiri."
"Terima kasih sayang." ia memeluk Kayla.
***
Mexsi memperhatikan pintu masuk kelas namun tidak ada tanda-tanda Kayla datang, tak sadar ia mengetuk-ngetuk meja. Bergidig merinding menghentikan ketukannya, dalam keadaan memegang tangan temannya.
Kenapa juga gue mikirin Toa. Dalam hatinya.
Mata Tino menyipit menatap teman sebangkunya yang sedari tadi memegang tangannya.
"Mexsi gue masih waras kali, lo pegang-pegang tangan gue," ucap Tino menatapnya sinis, mengarahkan pandangannya pada tangannya.
Mexsi mengikuti arah bola mata Tino, terkejut refleks membanting tangan Tino ke meja keras-keras.
"WADAAAW!" teriaknya kembali mengejutkan Mexsi sampai berdiri. "Jahat bener lo, sakit tahu, coba liat! Merah kan?"
Tino memegang tangannya, ikut berdiri, meringis kesakitan, mengibas-ngibas tangannya ke udara.
PLAK!
Tangan Tino terasa menampar sesuatu, keras namun terasa empuk. Saat melirik, ia terkejut, melihat wajah Tina berubah merah. Ternyata Tino tidak sengaja menabrakan tangannya ke wajah Tina, sebelum amarah Tina meledak ia secepatnya mencari alasan.
"Gue yakin, lo dateng ke sini pasti membawa kabar atau berita bagus, katakanlah," kata Tino memutar kepalanya untuk menatap Mexsi yang diam memperhatikan mereka.
"TI... " menarik napas berat, mengatur pernapasannya, menghembuskan sekeras mungkin. "NOOO!"
Membuat Tino menutup telinga, dengan kedua telapak tangannya.
Mexsi ikut menutup telinganya, tapi sesuatu mengganggu pikirannya. Teriakan Tina belum bisa menandingi Toa, mungkinkah dia merindukan sifat buruk musuh bebuyutannya.
Tina menjewer kuping sebelah kiri Tino, sampai memerah.
"Ampun Tina! Gue gak sengaja, serius." Tino meringis kesakitan.
Tina mulai menghembuskan napas sabar, melepaskan telinga sepupunya itu.
"Tino, di panggil sama guru BK," ucapnya singkat. "Lo gak ada habis-habisnya bikin masalah, gue yakin hukuman kali ini pasti berat satu kata buat lo... SUKURIN!"
"Terserah gue dong, masalah?!" Tino pergi dari sana dengan sangat bersemangat.
Amarah Tina hampir keluar dari batasannya, melihat Padil membuat Tina tersenyum. Mexsi melangkah pergi dari sana, hampir mendekati pintu keluar.
Padil membawa buku tugas teman sekelasnya, buku yang di bawanya hampir berjatuhan. Kayla memegang buku itu, Padil tersenyum padanya. Mexsi terdiam pada samping pintu sedikit lebih jauh dari mereka.
"Sini biar gue yang bawa setengahnya," pinta Kayla menatapnya.
Padil memberikan setengahnya pada Kayla yang bersedia membantunya, Tina ingin melangkah mendekati pujaan hatinya. Namun kebelet pipis, panggilan alam tidak bisa diganggu gugat.
Lelaki itu membulatkan matanya tak percaya. Toa membantu orang lain? Gak salah.
Menaruh buku-buku di atas meja guru.
"Thanks, udah bantuin gue, selama ini gak ada yang bantuin. Jadi beruntung banget lo ada di kelas ini," kata Padil menatapnya.
"Iya sama-sama, jangan bilang begitu gue gak sebaik itu. Karena ada seseorang yang menilai gue gak baik." matanya menatap ke arah Mexsi sangat tajam.
"Siapa sih yang nilai lo tanpa liat sisi baik lo, dia pasti buta mata,"-ia menunjuk kematanya-"sama buta hati,"-menunjuk ke dadanya-"lo udah baik, suka menolong dan cantik. Kenapa orang itu bego ya?"
Kayla mengangguk-angguk dengan senyuman, lalu berubah menjadi datar saat menatap Mexsi. Sedangkan yang ditatap, mengangkat sebelah alisnya kesal menatap Padil.
"Kemarin kenapa gak masuk?"
Pertanyaan Padil membuat Mexsi ingin membuka telinganya lebar-lebar, ingin tahu apa alasannya. Bukannya ia kepo, tapi ingin tahu saja. Jika gadis itu sampai sakit, ia akan menjadi orang yang pertama paling bahagia.
"Gue harus rutin check up."
Mexsi semakin penasaran. Tentu saja penasaran, bagaimana pun juga. Gadis itu adalah musuh bebuyutannya dari kecil, jika terjadi sesuatu padanya. Ia akan tertawa di atas penderitaannya.
"Ko check up, emang lo sakit apaan?"
"Gue juga gak tahu, yang jelas kata ibu gue 'Cuma jaga-jaga aja kalau sakit langsung diobatin.' "
"Oh gitu sebentar," Padil memandangi satu kelas. "Kita semua di suruh kumpul di tengah lapangan, jangan banyak tanya karena gue juga gak tahu ayo!"
Padil langsung keluar dari kelas. Kayla hanya melongo, bingung melihat Padil pergi ke tengah lapangan.
Belum juga beres bicara dengannya, main tinggal saja. Sifat Kayla yang dari dulu tak akan pernah mau di tinggalkan. Semua itu terjadi karena ayahnya yang secara tiba-tiba meninggalkannya.
Jadi wajar saja. Jika Kayla tak mau sampai di tinggalkan lagi, untuk yang kedua kalinya.
"Ada apa sih, sampai di suruh kumpul ke tengah lapangan?" Kayla ngedumel sendiri menatap yang lain keluar kelas.
Wah ada apa ya? Kira-kira ada yang tahu mereka disuruh ngapain? See you, next part
Semua siswa IPA mau pun IPS berkumpul di tengah lapangan, terdengar suara gemuruh bisikan dari berbagai sudut. Bertanya-tanya ke teman-temannya, mengapa mereka di kumpulkan? Tidak lama kemudian pak Selamet mengumumkan menggunakan toa. "Siswa XI IPA yang bernama Tino suka isengin temannya. Kali ini benar-benar keterlaluan, coba lihat ke atas atap lantai tiga di belakang kalian." pak Selamet menunjuk dengan telunjuk jari. Semua siswa dengan kompak menengok mengikuti telunjuk jari tangan pak Selamet. "Dia akan di hukum mengambil sepatu teman-temannya yang sengaja di lempar ke atas genteng, ini adalah contoh anak bader jangan kalian tiru. Tugas kalian, awasi dia sebagai pembelajaran bagi siswa yang suka mengerjai temannya." pak Selamet pergi ke ruang guru. Tidak lama kemudian.
Teeet, teeet, teeet. Suara bel istirahat baru saja terdengar Tina bergegas membereskan buku dan pulpennya, seperti biasa mengajak teman sebangkunya ke kantin. Tapi Kayla menolak ajakannya kali ini. Kapok mendengar suara Kawal, Kiwil, Kawul. Tina memakluminya ia mengajak Ino, dan tidak akan pernah lupa pada Padil sang pangeran pujaannya. Kayla memilih mengelilingi sekolah sendirian, saat menuju kelas ujung paling pojok. Tak sengaja melihat pemandangan yang jarang terjadi, ketiga lelaki yang suka nanyi-nyanyi tidak jelas berada di depan matanya sekarang, mereka mengganggu salah satu siswa. Menarik kerah siswa itu didorong hingga tersungkur di atas tanah, Kawal mengepalkan tangan kanannya menonjok wajah lelaki yang terlihat pasrah. Kayla terkejut tanpa sadar kakinya berlari ke depan lelaki yang sedang di kroyok habis-habisan sama mereka, melentangkan kedua tangannya sembari menutup mata.
Mexsi menyadari dari tadi mereka tatapan cukup lama. "Biasa aja kali liatnya, entar suka lagi... bisa jadi ribet masalahnya.""Idih!" Kayla bergidik merinding membelakanginya. "Sorry-Sorry aja deh, jangan ke GR-an." melipat kedua tangannya.Lelaki itu menatapnya."Gue gak mungkin suka sama lo, orang yang gak bisa menilai seseorang baik atau buruk." melanjutkan perkataannya."Apa!" meringis kesakitan saat mencoba berteriak. "Harusnya kata-kata itu buat lo, bukan buat gue."Merasa kesal Kayla pergi dari hadapannya."Sialan! Dia pergi gitu aja. Tapi... sifatnya udah mulai berubah, Toa kayanya bener-bener kepentok becak terus hilang ingatan." tertawa sendiri, lalu memegang bagian kiri bibirnya menahan sakit.***Satu masalah lagi dalam beberapa hari Kayla masuk sekolah, Tino memasang ember kecil di atas pintu kelas
"Tunggu!" ucap Mexsi mengejar tak sengaja memegang lengannya. Mendadak jantung Kayla berdegup dahsyat, langkahnya terhenti. Ia menatap Mexsi dengan berani, berharap dia tak mendengar detak jantungnya yang hampir copot. "Gue... g-gue," jawabnya terdengar sulit mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, menarik napas berat menghembuskan dengan keras. Kayla menatapnya. "Gue gak tahu caranya bersihin toilet." melepaskan tangan Kayla. "Apa?! Hahaa... " ia tertawa geli, memegang perutnya lalu tak sengaja menepuk-nepuk bahu Mexsi sampai terdorong lemah. "Pantesan dari tadi diam aja, cemberut aja, ternyata lo." Mexsi mengangkat wajahnya dengan sedikit suram. "Lo gak tahu caranya bersih-bersih... hahaha." tertawanya kembali terdengar. Membuat Mexsi melempar kain pel dan sikat, ia akan segera pergi saat melangkah kesamping gadis itu.
Sarah mendatangi kantin ibu Ino pada saat jam pulang sekolah, pada hal sudah mau tutup tapi Sarah dengan sangat tidak sopan menaikan kedua kakinya ke atas meja. Kawal, Kiwil dan Kawul menemaninya.Ino dan ibunya yang sedang bebenah, saling pandang.Ibunya mengerjapkan mata, Ino mengangguk tidak jadi tutup, mereka menuruti kemauan Sarah dengan sopan. Memesan bakso, tak lama kemudian putri kepala sekolah itu berteriak. Ino dan ibunya panik, secepatnya memastikan keadaan putri kepala sekolah."Aaaa!" teriaknya."Ada apa Non?" tanya ibu Ino."Lo gak punya mata!" bentaknya pada ibu Ino. "Coba liat, di dalam bakso gue ada kecoanya." Sarah menunjuk ke arah mangkuk yang ada di depannya.Kawul memotretnya dan memposting di instagram."Pokoknya gue gak mau tahu, kalian harus keluar dari kantin ini, gue gak mau tahu. Besok harus gak ada muka k
Kayla berdiri memegang bahu atap lantai tiga, menangis tidak memedulikan luka di tangannya. Darah terus mengalir dari telapak tangannya. Mexsi melihatnya di sana. Ia mendekat, kakinya kaku, apa yang sebenarnya ia lakukan? Apa pedulinya pada gadis itu, akhir-akhir ini ia begitu peduli terhadapnya. Peraturan di dalam dokumen kebencian yang telah Mexsi buat, kini satu demi satu dilanggarnya sendiri, mulutnya berkata untuk apa memedulikan Toa, bukannya bagus! Jika dia menderita? Namun, hatinya berkata sebaliknya. Saat teringat permintaan Toa yang meminta agar memaafkan dirinya, dan menjadi teman bukan musuh. Perlahan langkah kakinya yang panjang, mendekat memegang tangan gadis itu secara tiba-tiba. Seketika membuat Kayla menengok ke sebelah kanan, matanya membulat, mulutnya terbuka lebar, jantungnya seketika berhenti dalam sedetik m
Pukul 20.00 WIB.Seseorang memakai tudung jaket berwarna biru gelap, menutup wajah menerobos masuk ke dalam sekolah. Mexsi berada di sana menyempatkan diri membaca di ruang perpustakaan. Salah satu hobinya membaca tanpa ada orang lain yang mengganggu di sekelilingnya, apalagi para gadis yang mengejarnya. Anggap saja angin puting beliung yang lagi lewat.Seseorang yang bertudung itu melewati perpustakaan menuju ruang guru, Mexsi melihat ada orang yang terlihat mencurigakan. Mengikuti dari belakang secara perlahan-lahan, orang yang bertudung itu mendekati meja salah satu guru yang mengajar di sekolah.Membungkuk, perlahan membuka laci mengambil ponsel yang ada di dalam sana. Saat orang itu berdiri lampu tiba-tiba menyala, matanya membulat, wajahnya berubah ambigu tidak berani menengok ke belakang. Terpaku diam sembari memegang ponsel, keringat mulai menetes turun dari dahinya.Mexsi mendekat ke arahnya, meme
Tiba di depan ruang guru, Kayla menarik napas berat, melangkah masuk menemui pak Selamet. Membawa bukti, ketika berhadapan dengan guru yang ditujunya ia terdiam cukup lama. Sampai pak Selamet menggebrak meja, tentu saja Kayla terkejut, mengelus dada. "Sa-saya... ingin membuktikan kantin ibu Ino itu bersih Pak, gak ada kecoanya." gumamnya mengerutkan kening. "Kamu punya bukti? Jika tidak ada, jangan ganggu Bapak!" pak Selamet berteriak. "Ada ko Pak, ini." Kayla menyodorkan ponselnya. Pak Selamet meraih ponselnya, mulai mendengar suara dari dalam sana. "Kawul, lo jaga di depan pintu. Jangan ada yang sampai masuk, gue mau konsentrasi," kata Kawal menyuruhnya berjaga di depan pintu. "Lo tenang aja Kawal," jawab Kawul bersemangat. "Dan lo, Kiwil. Karena air kerannya sering macet, lo harus ikut gue ke dalam." perintah Kawal. "Kawal, gak
Kepala Keyla sulit sekali bergerak, ia tak mampu menengok ke belakang. Ia berjanji tidak akan menangis lagi, tetapi sulit baginya berhenti. Lelaki itu melingkarkan tangannya pada tubuh Keyla, lalu mendekapnya tanpa ragu dari belakang."Kau jahat sekali, kenapa berpura-pura tidak mengenaliku?" tanya Mexsi menopang dagunya di atas pundak Keyla. "Kau tahu aku begitu menderita, setiap hari harus meminum obat dan melupakan semua hal tentangmu." "Ba .. gaimana mungkin, kau mengingatku kembali. Harusnya kau tetap melupakanku, Mexsi!" Jerit Keyla dengan wajah sedih."Itu kah maumu?" tanya Mexsi mundur selangkah. Keyla tetap tidak berani berbalik, apalagi menatap wajahnya. "Baik kalau begitu, aku pergi .... "Keyla tiba-tiba saja memegang lengannya sambil menunduk, tangannya bergerak sendiri tanpa meminta izin pada pemiliknya. "Aku ... Aku takut menembakmu, aku sangat takut kehilanganmu.""Tatap mataku, Keyla," kata Mexsi. Gadis itu hanya dapat menggeleng. "Kubilang tatap mataku, Keyla!" Teri
Tina dan Ino terdiam sesaat, mereka berharap kalau Keyla tidak memikirkan perkataan Tino. Mereka meyakini jika sampai percaya maka apa yang akan terjadi pada sahabatnya, tiba-tiba saja Keyla berdiri, menatap segan ke arah Tino. "Keyla mau ke mana?" tanya Ino pelan."Keyla, di sini aja ya. Gak usah dengerin apa yang barusan Tino bilang, kita kan tahu kalau dia suka bercanda. Dan selalu membangkitkan emosi kita, iya kan Ino?" kata Tina melirik pelan ke arah Ino."Oh iya haha." Ino sedikit tertawa sambil memukul pelan pundak Tino.Selama ini Mexsi yang menemani Kayla dalam keadaan sesulit apapun, bahkan sampai detik-detik terakhirnya saja. Mexsi mampu membuat bahagia di masa sulitnya, apakah Keyla menyadari hal itu. Tentu saja, Keyla sangat memahami hubungan mereka berdua. Satu hal lagi yang belum Keyla tahu. "Gue sama Mexsi udah saling benci pada saat usia kanak-kanak."Tina langsung bertanya. "Apa penyebab kalian saling membenci?"Ino dan Tino hanya menatap ke dalam mata Keyla sambil m
Hanyut dalam dekapan ibu Ino membuat Keyla semakin tak sanggup menahan air matanya. Cukup lama ia menahannya, terbendung sudah hampir meluap keluar. Air matanya mengalir deras turun melewati pipinya yang kini memerah, ia tidak tahu kalau selama ini ia butuh dipeluk oleh seseorang dalam keadaannya yang sedang mencari informasi terkait kematian kakaknya.Ibu Ino berniat menceritakan sedikit tentang semasa hidup Kayla, waktu itu di mana geng Sarah menghancurkan usahanya. Sebagai ibu pemilik kantin di sekolah Ino dulu, Ibu Ino melepaskan pelukannya. Menatap Keyla yang saat ini sedang mengusap air matanya. "Kakakmu Kayla adalah gadis yang sangat baik, dia sangat berjasa bagi kami." Tiba-tiba saja ibu Ino membahas tentang kakaknya."Benarkah?" Kedua bola mata Keyla berbinar-binar saat mengatakannya."Tentu saja, Kayla maju digaris paling depan. Saat kantin kami sedang diobrak-abrik oleh Sarah dan teman-temannya, Kayla sempat terluka dia tidak menyerah sedikit pun. Demi membantu kami, dia sa
Ibunya mendongak ke atas menatap wajah putranya. "Aku tahu betul, jika tangan Bunda bergetar seperti ini. Artinya Bunda berbohong, apakah sangat sulit bagi Bunda memberitahuku yang sebenarnya?" tanya Mexsi masih tetap memegang tangan ibunya."Bunda sudah memesan tiketnya, lebih baik kita bergegas. Nanti ketinggalan pesawat.""Cukup Bunda!" Mexsi sedikit meninggikan suaranya, tapi masih dalam batas wajar. Ia melangkah pergi ke depan pintu."Mau kemana?" tanya ayahnya yang baru saja sampai di depan pintu."Ayah, cegah dia Yah. Mexsi kita mau pergi, dia tidak ingin ikut bersama kita kembali ke Singapura. Ayo Ayah cegah dia," kata istrinya merasa ketakutan yang amat sangat dalam.Suaminya menggeleng. "Biarkan saja.""Apa maksud Ayah?""Biarkan saja Mexsi tinggal dan melanjutkan studynya di sini."Mexsi berhenti melangkah, membulatkan matanya, menengok ke arah ayahnya sedang bicara. Ternyata ayahnya malah memilih membela dirinya ketimbang ibunya sendiri. Selama ini, ayahnya selalu tunduk d
Puk. Sekotak kecil menimpa kepalanya, sampai Mexsi mengelus kepalanya beberapa kali tanpa bersuara. Kotak kecil itu patah, sehingga terlihat isinya sedikit. Ia memegang kotak itu lalu memperhatikannya dengan seksama, nampak tidak asing baginya. Ia mengambil buku diary ingin membuka selembar kertas. "Mexsi!" Jerit ibunya dari luar kamar. Mexsi sampai menjatuhkan buku diary milik kakaknya, ia jongkok mengambil buku diary itu. Ibunya langsung merebut buku itu darinya, ia mengangkat kedua alisnya."Bunda kembalikan, buku diary itu milikku." Pinta Mexsi merengek dengan sedikit bergurau."Nggak, mulai detik ini, buku diary ini. Milik Bunda," jawab ibunya tersenyum masam."Kenapa begitu?" Mexsi menaikan sebelah alisnya karena tak terima buku itu tiba-tiba diambil ibunya."Gak usah banyak tanya, kalau kamu mau buku diary ini. Maka kembalilah ke Singapura, Bunda pasti memberikannya padamu." Ibunya melangkah pergi dari sana setelah mengatakannya.Mexsi hanya terdiam sambil memikirkan segala ke
"Biar gue tarik kata-kata gue waktu itu, beres kan?" jawab Keyla lalu bertanya padanya."Bisa gak, jangan egois. Ambil keputusan secara sepihak begitu, kita.""Kenapa, kenapa, nyawa kalian bisa dalam bahaya jika terus bareng gue. Kalian tahu sendiri kan, ayah gue udah jadi korban. Dan gue gak mau kehilangan lagi, gue mohon sama kalian jangan pedulikan untuk kali ini saja, jangan menoleh. Cukup berpaling aja," ungkap Keyla yang bersungguh-sungguh takut kehilangan lagi.Tina dan Ino terdiam sesaat, lalu Tina maju selangkah menujunya. "Terus lo pikir kita juga mau gitu kehilangan sahabat kita lagi?""Kenapa kalian sampai segitunya, harusnya kalian gak usah melakukan hal ini.""Karena kita ini sahabat," jawab Ino dengan tersenyum sambil menutup matanya."Huaaaa!" Keyla menangis sejadi-jadinya di tempat itu. Tina dan Ino kembali saling pandang, mereka memeluk Keyla bersamaan. Mereka menumpahkan kesedihan, kerinduan, serta persahabatan menangis bersama di sana. Beberapa saat Ino menghapus a
Para pelayan itu kembali setelah beberapa saat, Mexsi mulai bingung dengan dirinya sendiri. Terkejut dengan apa yang baru saja ia pesan, ternyata makanan itu sama dengan apa yang dipesan gadis itu. Tapi makanan itu sangat familiar untuknya, rasanya ia sudah pernah memberikan makanan itu pada seseorang tetapi siapa?Keyla bukan tanpa sebab memilih berada di lestoran itu, ia merindukan sahabatnya yaitu Ino berada di sana. Tanpa gadis itu sadari Ino telah berada dihadapannya, duduk di sana sembari terus memperhatikannya.Mexsi sedang mengunyah makanannya, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Ia menoleh dengan santai, setelah mengetahui siapa orang itu ia tetap melanjutkan makan. "Gue cari lo kemana-mana ternyata lo ada di sini, lagi enak makan lagi. Bla, bla." Dito ngedumel dengan seribu bahasanya.Dirasa cukup lelah membacot sendirian, akhirnya ia memilih duduk memesan minum. Kembali menatap wajah Mexsi. "Udah makannya kan?" tanya Dito sambil menyeruput segelas kopi hangat."Iya,"
"Iya Keyla, maksudku kanker itu kantong kering," jawab Dito sedikit membekap mulutnya sendiri. Terdengar cekikikan kecil di sana. Keyla mengerutkan keningnya. "Aku mau beli bunga buat dimakam, masalahnya aku gak bawa uang. Gimana ya?" lanjutnya kembali melirik Keyla dengan penuh harap.Tanpa berpikir panjang Keyla langsung mengambil dompetnya dari dalam tas selempangnya. Ia mengeluarkan beberapa sejumlah uang dari sana, memberikannya pada lelaki itu tentu saja sudah mengerti Dito tak mau mengambilnya. "Apa lagi, masalahnya?" tanya Keyla sedikit geram.Dito malah melangkah dengan cepat memegang tangan Keyla. Entah kenapa Mexsi merasa kesal setengah mati, ketika melihat Dito memegang tangan gadis itu. "Bisa tolong pilihkan, aku gak paham caranya memilih bunga yang bagus. Aku mohon banget sama kamu. Bantu aku untuk kali ini aja ya, ya." Dito mengatakannya dengan penuh harap. Dengan amat sangat terpaksa Keyla mengangguk. "Emang kamu mau ziarah ke makam siapa?""Kak Morgan, terus aku sam
Dito meraih daun pintu mobilnya, lalu menyuruh Mexsi masuk ke dalam. Ia langsung tancap gas, ditengah perjalanan menancap rem sampai tubuh Mexsi sedikit terpental ke depan. Lelaki itu menatapnya sinis, sedangkan Dito menoleh ke belakang dengan mengerutkan keningnya. "Ada apa?" tanya Mexsi sedikit kesal dibuatnya."Gue baru inget Mexsi," selorohnya dengan nada sombongnya."Inget apaan?" Kembali bertanya dengan menaikan sebelah alisnya."Mau pergi ke mana?""Ck," Mexsi berdecak heran. "Mangkannya tanya dulu, cari aja di Maps. Makam terdekat taman indah buana," katanya melipat kedua tangannya di atas dada."Oke!" Mereka kembali melanjutkan perjalanannya.Sesampainya mereka di tempat tujuan. Dito turun dari balik pintu mobil, ia mulai sigap membukakan pintu mobil untuk Mexsi. Kenapa demikian? Mexsi berpikir jika Dito tak membukakannya pintu nanti akan disuruh masuk kembali. Seperti kejadian di waktu yang lalu, saat mereka berada di Singapura. Ingatan Mexsi tajam mengenai hal itu, tapi ia