Kayla berdiri memegang bahu atap lantai tiga, menangis tidak memedulikan luka di tangannya. Darah terus mengalir dari telapak tangannya.
Mexsi melihatnya di sana. Ia mendekat, kakinya kaku, apa yang sebenarnya ia lakukan? Apa pedulinya pada gadis itu, akhir-akhir ini ia begitu peduli terhadapnya. Peraturan di dalam dokumen kebencian yang telah Mexsi buat, kini satu demi satu dilanggarnya sendiri, mulutnya berkata untuk apa memedulikan Toa, bukannya bagus! Jika dia menderita? Namun, hatinya berkata sebaliknya.
Saat teringat permintaan Toa yang meminta agar memaafkan dirinya, dan menjadi teman bukan musuh. Perlahan langkah kakinya yang panjang, mendekat memegang tangan gadis itu secara tiba-tiba.
Seketika membuat Kayla menengok ke sebelah kanan, matanya membulat, mulutnya terbuka lebar, jantungnya seketika berhenti dalam sedetik m
Silahkan tinggalkan jejak. Dengan cara komentar dan berikan bintang 5, supaya cerita ini bisa terus berlanjut 🙏
Pukul 20.00 WIB.Seseorang memakai tudung jaket berwarna biru gelap, menutup wajah menerobos masuk ke dalam sekolah. Mexsi berada di sana menyempatkan diri membaca di ruang perpustakaan. Salah satu hobinya membaca tanpa ada orang lain yang mengganggu di sekelilingnya, apalagi para gadis yang mengejarnya. Anggap saja angin puting beliung yang lagi lewat.Seseorang yang bertudung itu melewati perpustakaan menuju ruang guru, Mexsi melihat ada orang yang terlihat mencurigakan. Mengikuti dari belakang secara perlahan-lahan, orang yang bertudung itu mendekati meja salah satu guru yang mengajar di sekolah.Membungkuk, perlahan membuka laci mengambil ponsel yang ada di dalam sana. Saat orang itu berdiri lampu tiba-tiba menyala, matanya membulat, wajahnya berubah ambigu tidak berani menengok ke belakang. Terpaku diam sembari memegang ponsel, keringat mulai menetes turun dari dahinya.Mexsi mendekat ke arahnya, meme
Tiba di depan ruang guru, Kayla menarik napas berat, melangkah masuk menemui pak Selamet. Membawa bukti, ketika berhadapan dengan guru yang ditujunya ia terdiam cukup lama. Sampai pak Selamet menggebrak meja, tentu saja Kayla terkejut, mengelus dada. "Sa-saya... ingin membuktikan kantin ibu Ino itu bersih Pak, gak ada kecoanya." gumamnya mengerutkan kening. "Kamu punya bukti? Jika tidak ada, jangan ganggu Bapak!" pak Selamet berteriak. "Ada ko Pak, ini." Kayla menyodorkan ponselnya. Pak Selamet meraih ponselnya, mulai mendengar suara dari dalam sana. "Kawul, lo jaga di depan pintu. Jangan ada yang sampai masuk, gue mau konsentrasi," kata Kawal menyuruhnya berjaga di depan pintu. "Lo tenang aja Kawal," jawab Kawul bersemangat. "Dan lo, Kiwil. Karena air kerannya sering macet, lo harus ikut gue ke dalam." perintah Kawal. "Kawal, gak
Matahari sore menggantung rendah dilangit, angin bertiup pelan, duduk di atas bangku taman, kedua tangan tanpa memakai perban perlahan mulai sembuh. Kayla menggenggam sebuah foto, terdapat dua anak kecil yang sedang tersenyum bersama di sana. Dirinya dan juga seseorang yang sedang ia tunggu, anak lelaki yang berjanji mengatakan sesuatu padanya. Gadis itu menunggu di taman, namun... seseorang yang ia tunggu, tak kunjung datang. Saat itu usianya menginjak sebelas tahun, entah mengapa, Kayla sangat membenci saat-saat itu. Ditinggalkan oleh seseorang yang berarti dihidupnya satu demi satu mereka pergi, dan belum kembali. Terpuruk dalam kesedihan, anak lelaki yang di foto menghampirinya. Memberikan Kayla semangat dalam menjalani hidup, yang bernama Mexsi perlahan membuatnya tersenyum kembali. Membawa kehangatan di dalam hatinya. Namun sayang, tidak kunjung datang, seperti menghilang ditelan bumi. Sampai matahari tenggelam, ditelan malam. Seti
Mexsi duduk santai, kedua tangannya memegang pistol dengan posisi kepala di miringkan ke kiri sedikit. Membidik secara fokus dan langsung mengenai sasaran. Memasukan umpan, ceklek, mengetes. Kedua bola matanya serius menatap sasaran, tatapannya menajam setajam silet, keringat mulai menetes turun dari dahinya. DOR! Satu tembakan mengenai sasaran... Mexsi tersenyum licik, menurunkan kedua lengannya perlahan. 'Aaaa!' suara teriakan gadis itu langsung terdengar, Mexsi berhasil membidik hidung Toa. Dengan pistol mainan, pada ujung umpannya terdapat bulatan karet, jika di arahkan menempel pada sasaran. Suara teriakan berasal dari leptopnya, yang sengaja memutar suara teriakan seorang gadis. Sedangkan sasarannya hanyalah sebuah foto, hasil karyanya sendiri. Beginilah Mexsi saat sedang di dalam kamarnya, apalagi saat sedang marah. Melampiaskan amarahnya pada foto gadis kecil yang sangat ia benci, siap
Mexsi melewati lorong sekolah. Biasanya terdengar suara atau gosip tapi tumben sekali sepi sampai berada di dalam kelas. Belum ada perbincangan apapun dari mereka, berarti mereka belum mengetahui kalau Kayla berada di rumah sakit. Pak Selamet mulai mengabsen satu persatu, Mexsi sudah siap jika mendengar nama asli Toa. Ia melepaskan headsetnya, tiba-tiba Padil bangkit. Padil mendekati Pak Selamet. "Ada apa Padil? tanya Pak Selamet menatapnya. "Tadi saya baru saja mendapatkan kabar, bahwa saya disuruh memberi tahu Bapak. Bahwa salah satu siswi yang bernama Kayla Prawijaya sedang di rawat di rumah sakit." ia berbisik pada gurunya. "Baiklah, kenapa kamu bisik-bisik?" tanya kembali pak Selamet. "Gimana jawabnya ya Pak. Soalnya ada tukang kepo, nanti saya ditanyain habis-habisan. Apalagi kalau pas Bapak lagi mengajar, kan mengganggu yang lain." "
Hari yang cukup indah, matahari pagi yang cerah, langit-langit begitu biru, angin berhembus pelan.Tapi tidak dengan suasana hati Kayla, perasaannya dipenuhi secercah kebencian. Tak biasanya bersikap begini, mungkin ia merasa sedang menjadi mainan di dalam lingkup kehidupan Mexsi.Apa salahnya? Apa yang sebenarnya dia inginkan darinya? Apa? Apa? Berikan dia kesabaran.Bu Riska mulai mengabsen. Kali ini Mexsi tidak membawa headset, kapas. Tak berlari ke belakang ngumpet dipojokan, hanya menatap ke tempat duduk gadis itu sambil memasang kedua telinganya lebar-lebar."Kayla Prawijaya," sebut bu Riska."Hadir Bu," ucap Kayla.Kayla, nama yang cukup indah. Jadi namanya Kayla Prawijaya...Salah satu siswa berada pada tengah lapangan, dia digosipkan merokok di dalam kamar mandi. Bekas rokoknya dia lempar ke kamar mandi sebelah, orang yang berada
Bel istirahat berbunyi, Kayla berlarian. Di tengah lapangan ia melihat seseorang, langsung memeluknya di hadapan semua siswa yang sedang berhamburan keluar dari kelas.Tentu saja seseorang itu terkejut. Dia membalas pelukan Kayla sambil menepuk-nepuk punggungnya pelan. Mexsi mengejar Kayla, tapi saat tahu gadis itu jatuh dipelukan orang lain. Mexsi terdiam memperhatikan mereka.Seseorang telah datang, lelaki yang suka menyimpan rahasia. Perkenalkan Will William, yang datang dari Australia. Sahabat kecil Kayla, yang sangat dirindukan.Will menatap Mexsi yang sedang memperhatikan mereka, lelaki itu membalas menatapnya.Mereka saling bertatapan, dengan tatapan yang tak biasa sebuah tatapan tajam terpancar dari kedua bola mata mereka."Gue, kehilangan dia Will... semuanya telah berakhir. Gue gak bisa hidup lagi, semua impian gue hancur." Kayla terus saja menangis.Will menatap
Semua siswi berkumpul ke tengah lapangan. Mereka sedang menunggu seseorang, Kayla mendekati Tina. "Tin ada apa? Ko pada kumpul gini?" tanya Kayla sedikit penasaran. "Gue juga gak tahu, tapi katanya bakal ada anak baru," jawab Tina santai menatap lekat-lekat ke arah pintu gerbang. "Kebanyakan yang nunggu cewek, gue yakin pasti anak barunya cowok yang tampan." "Iya lo benar Kayla, gue makin penasaran," kata Tina teringat kejadian kemarin saat Kayla lari-lari gak jelas. "Kemarin, lo kenapa? Lari-larian gitu." Rasa penasaran Tina semakin menjadi saat melihat wajah sahabatnya berubah ambigu. "Oh itu... gue, gu- " Tidak lama kemudian lelaki yang ditunggu-tunggu pun datang. Semua siswi berteriak histeris bahkan ada yang bersiul. Mexsi dan Will datang secara bersamaan. Kayla menghindar dari pertanyaan Tina, memilih memanggil Will. "Will!" teriak Kayla memanggil dari kejauhan. Will mencari sumber suara itu.
Kepala Keyla sulit sekali bergerak, ia tak mampu menengok ke belakang. Ia berjanji tidak akan menangis lagi, tetapi sulit baginya berhenti. Lelaki itu melingkarkan tangannya pada tubuh Keyla, lalu mendekapnya tanpa ragu dari belakang."Kau jahat sekali, kenapa berpura-pura tidak mengenaliku?" tanya Mexsi menopang dagunya di atas pundak Keyla. "Kau tahu aku begitu menderita, setiap hari harus meminum obat dan melupakan semua hal tentangmu." "Ba .. gaimana mungkin, kau mengingatku kembali. Harusnya kau tetap melupakanku, Mexsi!" Jerit Keyla dengan wajah sedih."Itu kah maumu?" tanya Mexsi mundur selangkah. Keyla tetap tidak berani berbalik, apalagi menatap wajahnya. "Baik kalau begitu, aku pergi .... "Keyla tiba-tiba saja memegang lengannya sambil menunduk, tangannya bergerak sendiri tanpa meminta izin pada pemiliknya. "Aku ... Aku takut menembakmu, aku sangat takut kehilanganmu.""Tatap mataku, Keyla," kata Mexsi. Gadis itu hanya dapat menggeleng. "Kubilang tatap mataku, Keyla!" Teri
Tina dan Ino terdiam sesaat, mereka berharap kalau Keyla tidak memikirkan perkataan Tino. Mereka meyakini jika sampai percaya maka apa yang akan terjadi pada sahabatnya, tiba-tiba saja Keyla berdiri, menatap segan ke arah Tino. "Keyla mau ke mana?" tanya Ino pelan."Keyla, di sini aja ya. Gak usah dengerin apa yang barusan Tino bilang, kita kan tahu kalau dia suka bercanda. Dan selalu membangkitkan emosi kita, iya kan Ino?" kata Tina melirik pelan ke arah Ino."Oh iya haha." Ino sedikit tertawa sambil memukul pelan pundak Tino.Selama ini Mexsi yang menemani Kayla dalam keadaan sesulit apapun, bahkan sampai detik-detik terakhirnya saja. Mexsi mampu membuat bahagia di masa sulitnya, apakah Keyla menyadari hal itu. Tentu saja, Keyla sangat memahami hubungan mereka berdua. Satu hal lagi yang belum Keyla tahu. "Gue sama Mexsi udah saling benci pada saat usia kanak-kanak."Tina langsung bertanya. "Apa penyebab kalian saling membenci?"Ino dan Tino hanya menatap ke dalam mata Keyla sambil m
Hanyut dalam dekapan ibu Ino membuat Keyla semakin tak sanggup menahan air matanya. Cukup lama ia menahannya, terbendung sudah hampir meluap keluar. Air matanya mengalir deras turun melewati pipinya yang kini memerah, ia tidak tahu kalau selama ini ia butuh dipeluk oleh seseorang dalam keadaannya yang sedang mencari informasi terkait kematian kakaknya.Ibu Ino berniat menceritakan sedikit tentang semasa hidup Kayla, waktu itu di mana geng Sarah menghancurkan usahanya. Sebagai ibu pemilik kantin di sekolah Ino dulu, Ibu Ino melepaskan pelukannya. Menatap Keyla yang saat ini sedang mengusap air matanya. "Kakakmu Kayla adalah gadis yang sangat baik, dia sangat berjasa bagi kami." Tiba-tiba saja ibu Ino membahas tentang kakaknya."Benarkah?" Kedua bola mata Keyla berbinar-binar saat mengatakannya."Tentu saja, Kayla maju digaris paling depan. Saat kantin kami sedang diobrak-abrik oleh Sarah dan teman-temannya, Kayla sempat terluka dia tidak menyerah sedikit pun. Demi membantu kami, dia sa
Ibunya mendongak ke atas menatap wajah putranya. "Aku tahu betul, jika tangan Bunda bergetar seperti ini. Artinya Bunda berbohong, apakah sangat sulit bagi Bunda memberitahuku yang sebenarnya?" tanya Mexsi masih tetap memegang tangan ibunya."Bunda sudah memesan tiketnya, lebih baik kita bergegas. Nanti ketinggalan pesawat.""Cukup Bunda!" Mexsi sedikit meninggikan suaranya, tapi masih dalam batas wajar. Ia melangkah pergi ke depan pintu."Mau kemana?" tanya ayahnya yang baru saja sampai di depan pintu."Ayah, cegah dia Yah. Mexsi kita mau pergi, dia tidak ingin ikut bersama kita kembali ke Singapura. Ayo Ayah cegah dia," kata istrinya merasa ketakutan yang amat sangat dalam.Suaminya menggeleng. "Biarkan saja.""Apa maksud Ayah?""Biarkan saja Mexsi tinggal dan melanjutkan studynya di sini."Mexsi berhenti melangkah, membulatkan matanya, menengok ke arah ayahnya sedang bicara. Ternyata ayahnya malah memilih membela dirinya ketimbang ibunya sendiri. Selama ini, ayahnya selalu tunduk d
Puk. Sekotak kecil menimpa kepalanya, sampai Mexsi mengelus kepalanya beberapa kali tanpa bersuara. Kotak kecil itu patah, sehingga terlihat isinya sedikit. Ia memegang kotak itu lalu memperhatikannya dengan seksama, nampak tidak asing baginya. Ia mengambil buku diary ingin membuka selembar kertas. "Mexsi!" Jerit ibunya dari luar kamar. Mexsi sampai menjatuhkan buku diary milik kakaknya, ia jongkok mengambil buku diary itu. Ibunya langsung merebut buku itu darinya, ia mengangkat kedua alisnya."Bunda kembalikan, buku diary itu milikku." Pinta Mexsi merengek dengan sedikit bergurau."Nggak, mulai detik ini, buku diary ini. Milik Bunda," jawab ibunya tersenyum masam."Kenapa begitu?" Mexsi menaikan sebelah alisnya karena tak terima buku itu tiba-tiba diambil ibunya."Gak usah banyak tanya, kalau kamu mau buku diary ini. Maka kembalilah ke Singapura, Bunda pasti memberikannya padamu." Ibunya melangkah pergi dari sana setelah mengatakannya.Mexsi hanya terdiam sambil memikirkan segala ke
"Biar gue tarik kata-kata gue waktu itu, beres kan?" jawab Keyla lalu bertanya padanya."Bisa gak, jangan egois. Ambil keputusan secara sepihak begitu, kita.""Kenapa, kenapa, nyawa kalian bisa dalam bahaya jika terus bareng gue. Kalian tahu sendiri kan, ayah gue udah jadi korban. Dan gue gak mau kehilangan lagi, gue mohon sama kalian jangan pedulikan untuk kali ini saja, jangan menoleh. Cukup berpaling aja," ungkap Keyla yang bersungguh-sungguh takut kehilangan lagi.Tina dan Ino terdiam sesaat, lalu Tina maju selangkah menujunya. "Terus lo pikir kita juga mau gitu kehilangan sahabat kita lagi?""Kenapa kalian sampai segitunya, harusnya kalian gak usah melakukan hal ini.""Karena kita ini sahabat," jawab Ino dengan tersenyum sambil menutup matanya."Huaaaa!" Keyla menangis sejadi-jadinya di tempat itu. Tina dan Ino kembali saling pandang, mereka memeluk Keyla bersamaan. Mereka menumpahkan kesedihan, kerinduan, serta persahabatan menangis bersama di sana. Beberapa saat Ino menghapus a
Para pelayan itu kembali setelah beberapa saat, Mexsi mulai bingung dengan dirinya sendiri. Terkejut dengan apa yang baru saja ia pesan, ternyata makanan itu sama dengan apa yang dipesan gadis itu. Tapi makanan itu sangat familiar untuknya, rasanya ia sudah pernah memberikan makanan itu pada seseorang tetapi siapa?Keyla bukan tanpa sebab memilih berada di lestoran itu, ia merindukan sahabatnya yaitu Ino berada di sana. Tanpa gadis itu sadari Ino telah berada dihadapannya, duduk di sana sembari terus memperhatikannya.Mexsi sedang mengunyah makanannya, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Ia menoleh dengan santai, setelah mengetahui siapa orang itu ia tetap melanjutkan makan. "Gue cari lo kemana-mana ternyata lo ada di sini, lagi enak makan lagi. Bla, bla." Dito ngedumel dengan seribu bahasanya.Dirasa cukup lelah membacot sendirian, akhirnya ia memilih duduk memesan minum. Kembali menatap wajah Mexsi. "Udah makannya kan?" tanya Dito sambil menyeruput segelas kopi hangat."Iya,"
"Iya Keyla, maksudku kanker itu kantong kering," jawab Dito sedikit membekap mulutnya sendiri. Terdengar cekikikan kecil di sana. Keyla mengerutkan keningnya. "Aku mau beli bunga buat dimakam, masalahnya aku gak bawa uang. Gimana ya?" lanjutnya kembali melirik Keyla dengan penuh harap.Tanpa berpikir panjang Keyla langsung mengambil dompetnya dari dalam tas selempangnya. Ia mengeluarkan beberapa sejumlah uang dari sana, memberikannya pada lelaki itu tentu saja sudah mengerti Dito tak mau mengambilnya. "Apa lagi, masalahnya?" tanya Keyla sedikit geram.Dito malah melangkah dengan cepat memegang tangan Keyla. Entah kenapa Mexsi merasa kesal setengah mati, ketika melihat Dito memegang tangan gadis itu. "Bisa tolong pilihkan, aku gak paham caranya memilih bunga yang bagus. Aku mohon banget sama kamu. Bantu aku untuk kali ini aja ya, ya." Dito mengatakannya dengan penuh harap. Dengan amat sangat terpaksa Keyla mengangguk. "Emang kamu mau ziarah ke makam siapa?""Kak Morgan, terus aku sam
Dito meraih daun pintu mobilnya, lalu menyuruh Mexsi masuk ke dalam. Ia langsung tancap gas, ditengah perjalanan menancap rem sampai tubuh Mexsi sedikit terpental ke depan. Lelaki itu menatapnya sinis, sedangkan Dito menoleh ke belakang dengan mengerutkan keningnya. "Ada apa?" tanya Mexsi sedikit kesal dibuatnya."Gue baru inget Mexsi," selorohnya dengan nada sombongnya."Inget apaan?" Kembali bertanya dengan menaikan sebelah alisnya."Mau pergi ke mana?""Ck," Mexsi berdecak heran. "Mangkannya tanya dulu, cari aja di Maps. Makam terdekat taman indah buana," katanya melipat kedua tangannya di atas dada."Oke!" Mereka kembali melanjutkan perjalanannya.Sesampainya mereka di tempat tujuan. Dito turun dari balik pintu mobil, ia mulai sigap membukakan pintu mobil untuk Mexsi. Kenapa demikian? Mexsi berpikir jika Dito tak membukakannya pintu nanti akan disuruh masuk kembali. Seperti kejadian di waktu yang lalu, saat mereka berada di Singapura. Ingatan Mexsi tajam mengenai hal itu, tapi ia