Bee mengerjap ketika tidur lelapnya terganggu oleh suara berisik di lantai bawah.Ia mendudukkan tubuh sambil memegang kedua kepala yang terasa pening karena harus ditarik paksa dari tidur lelapnya. Mata Bee memicing memandang jam yang tergantung di dinding. Jam yang menunjukkan pukul tiga dini hari membuat rasa ingin taunya bertambah besar apa yang terjadi di bawah sana ketika fajar pun belum menyingsing.Perlahan Bee turun dari tempat tidur melangkah menuju pintu kemudian membukannya.Suara Beni terdengar kencang di sertai sebuah suara hentakkan telapak tangan yang menyentuh kulit dan ia yakini bila itu adalah suara tamparan.Sayangnya Bee tidak bisa mendengar apa yang diucapkan Beni dan hal itu membuat langkahnya semakin cepat menuju lantai bawah.“Akbi,” gumam Bee setelah berada di lantai dua dan melihat sosok suaminya di bawah sana bersama Beni juga Aldo.“Kamu mau bikin Papa mati karena jantungan, iya?!” sentak Beni dengan raut kecewa dan kerutan di dahi yang semakin membuatny
“Jadi itu kenapa lo juga minta gue nginep di sana?” Bee menggelengkan kepala. “Nope, Aku enggak minta ... aku hanya kasih saran!” “Kalau gue nginep trus malah ngelakuin yang enggak-enggak sama Anggit, gimana? Lo enggak sakit hati atau cemburu?” Akbi bertanya lagi ketika sang istri sudah beranjak berdiri.Tangan Bee menarik kaos Akbi hingga melewati kepala lalu menyimpannya di atas ranjang yang sedang mereka duduki kemudian meninggalkannya sebentar.Perempuan yang sedari tadi berekspresi datar itu kini mendekatinya kembali setelah mengambil kapas di atas meja rias lantas membubuhkan obat luka.Tadi Akbi sudah membersihkan tubuhnya terlebih dahulu di kamar mandi sambil membersihkan beberapa lukanya dengan cairan infus sehingga Bee tidak perlu membersihkan luka-luka itu lagi.“Sakit hati mungkin iya karena kamu membohongi aku tapi untuk cemburu, butuh cinta untuk sampai pada tahap itu ...,” balas Bee dengan suara lembut tanpa menatap Akbi karena sedang fokus mengobati luka yang bukan h
Tok ... Tok ...Setelah mengetuk sebanyak dua kali, tangan bergetar Bee memutar knop kemudian mendorong pintu kamar Diana perlahan.“Tan ... tee,” panggilnya dengan suara tercekat.Jantung Bee berdetak semakin kencang seiring dengan langkah kakinya yang semakin jauh masuk ke dalam kamar Diana.Satu mangkuk sup ayam panas yang dibawanya juga ikut bergetar di atas nampan. Berbeda dengan Beni yang beberapa malam lalu jantungnya mendadak nyeri karena harus menghadapi kelakuan sang anak yang tidak dewasa, keesokan harinya beliau nampak fit setelah beristirahat dan minum beberapa obat.Beni malah langsung pergi ke berbagai kota untuk memantau langsung anak perusahaannya.Sementara Diana malah sakit setelah pulang liburan dari luar negri bersama para sahabatnya.Dalam balutan selimut hingga menutupi kepala, Diana memutar tubuhnya kemudian menoleh mencari asal suara.Rambutnya berantakan begitu pula dengan wajahnya yang lesu tanpa make up dan kantung mata di bawah mata dengan bulu mata eyel
“Akbiiii ...,” Bee menjerit ketika Akbi menarik kakinya kemudian mengangkatnya untuk kemudian memikul tubuhnya di pundak kokoh lelaki itu.“Bangun!!” suara tegas Akbi menggelegar di dalam kamar mandi setelah ia berhasil membawa Bee yang meronta ke dalam sana.“Cuci muka! Kita jogging, gue tunggu di bawah!” perintahnya tegas lalu menutup pintu kamar mandi.Bee menghela nafas berat. “Ini hari minggu, masa enggak boleh bangun siang ...,” gerutu Bee namun tak urung tangannya meraih sikat gigi dan membubuhkan pasta gigi di atasnya.Hari sabtu kemarin adalah hari yang sangat melelahkan untuknya.Tiba-tiba saja dosen menetapkan hari sabtu sebagai pengganti jam kuliah yang tidak bisa dihadirinya karena ada keperluan mendesak.Akan tetapi karena hal itu juga Bee bisa merawat ibu mertuanya yang sedang sakit sekaligus mengantarnya ke dokter. Tapi bukan berarti dosen itu harus menggantinya di hari sabtu di mana kebanyakan orang memakainya untuk beristirahat atau berlibur.Meski begitu, Bee juga
“Selamat pagi, selamat datang di minimarket dua puluh empat jam!” Chacha berseru menyambut dua pelanggannya yang baru saja masuk.Ekspresi wajahnya langsung menegang ketika melihat Akbi berada beberapa meter di hadapannya diikuti seorang perempuan cantik dengan rambut diikat bun.Keduanya menuju lorong di mana showcase berisi beragam minuman dingin tersaji di sana.Bola mata Chacha si kasir minimarket juga membuntuti kemana Bee dan Akbi pergi hingga ia tidak fokus menghitung belanjaan pelanggan yang sedari tadi berdiri memperhatikannya dengan raut kesal.“Kenapa hanya air mineral?” Akbi bertanya setelah melihat Bee hanya membawa satu botol air mineral di tangan.“Aku haus,” jawab Bee.“Air mineral di rumah juga ada.” Akbi mengambil air mineral dari tangan Bee dan menukarnya dengan minuman yang dapat mengganti ion tubuh yang hilang setelah berolah raga.Bee menerimanya begitu saja tanpa membantah kemudian mengikuti Akbi menuju kasir.“Bi, mau eskrim boleh?” Akbi yang sudah sampai di
“Aku mau itu sayang,” Anggit menunjuk salah satu tas yang menarik perhatiannya ketika melewati salah satu butik merek ternama dunia.Seperti biasa Akbi mengangguk mengabulkan keinginan sang kekasih.Hubungannya dengan Anggit memang selalu seperti ini sebelum ada Bee di antara mereka.Anggit akan marah hanya dengan hal-hal kecil lalu Akbi akan membujuknya memohon-mohon disertai iming-iming uang agar sang kekasih berhenti merajuk.Tapi saat ini dunia seolah berbalik, setelah acara marah-marahnya karena ia tidak mau melayani hasrat perempuan itu hingga guci yang tidak berdosa menjadi korban beberapa malam lalu, Anggit sendiri yang terlebih dahulu menghubungi Akbi dan mengajak bertemu.Akbi menyanggupi hal tersebut meski dengan berat hati ia menjemput Anggit dari apartemennya menuju mall termewah di Jakarta.Dua paperbag sudah Akbi genggam tapi perempuan itu masih belum puas.Akbi jadi berpikir bila selama ini dirinya adalah seorang budak bukan kekasih bagi Anggit.“You know what?” bisik
Suara ketukan di pintu membuat Bee menoleh. “Papa?” panggil Bee sambil mengkerutkan kening.Bee menegakkan tubuh, menghentikan kegiatan membuat sebuah pakaian yang sedari sore ia tekuni.“Akbi belum pulang Bee?” Beni bertanya sambil mendorong pelan pintu untuk bisa masuk ke dalam ruangan Bee.“Emm ... belum Pa,” jawab Bee kemudian menggigit bibir setelah melihat jam yang tergantung di dinding ruang kerjanya telah menunjukkan hampir tengah malam.“Kamu enggak tau Akbi kemana?” Pria tua yang masih memiliki tubuh tegap itu bertanya kembali.“Enggak Pa, tadi Akbi hanya pamit pergi ... sebentar, Bee telepon Akbi dulu ya,” ucap Bee kemudian beranjak hendak mengambil ponsel yang ia simpan di kamar.“Papa udah telepon tapi enggak diangkat,” terang Beni kemudian duduk bersila di depan Bee.Matanya mengamati apa yang tengah Bee kerjakan, cukup terkesima setelah melihat pakaian yang dibuat Bee padahal baru setengah jadi.“Mungkin sama Zidan dan Raka, Pa ... tapi Bee enggak punya nomor hapenya.”
“Gue dibius! Gue dijebak!” Akbi berseru sambil menoleh ke arah Bee yang sedari tadi fokus menyetir membawa mereka pulang.Bee tidak banyak mengeluarkan kata kepada Akbi semenjak lelaki itu membuka mata dan mendapatinya berada di apartemen Anggit.Akbi tidak tau dengan pasti apakah Bee marah, kesal atau malah benci kepadanya.Walaupun begitu, lucunya Bee masih mau membantu suaminya mengancingkan kemeja.Bahkan Bee masih sempat pamit kepada Anggit sebelum keluar dari apartemen sambil membawa suaminya yang masih belum sadar betul.Tanpa keberatan juga Bee memapah Akbi hingga mobil.Dengan susah payah dan bobot tubuhnya yang tidak sebanding dengan Akbi, tapi Bee mau melakukan hal itu tanpa mengeluh.Anggit sampai melongo takjub dibuatnya karena ia sendiri tidak akan mau repot-repot melakukan hal itu.Mungkin ia akan marah-marah dan menghajar wanita yang bersama suaminya habis-habisan bila ia ada di posisi Bee saat ini.Semakin tidak percaya ucapan Akbi yang mengatakan bila Bee tidak perdu