“Selamat pagi, selamat datang di minimarket dua puluh empat jam!” Chacha berseru menyambut dua pelanggannya yang baru saja masuk.Ekspresi wajahnya langsung menegang ketika melihat Akbi berada beberapa meter di hadapannya diikuti seorang perempuan cantik dengan rambut diikat bun.Keduanya menuju lorong di mana showcase berisi beragam minuman dingin tersaji di sana.Bola mata Chacha si kasir minimarket juga membuntuti kemana Bee dan Akbi pergi hingga ia tidak fokus menghitung belanjaan pelanggan yang sedari tadi berdiri memperhatikannya dengan raut kesal.“Kenapa hanya air mineral?” Akbi bertanya setelah melihat Bee hanya membawa satu botol air mineral di tangan.“Aku haus,” jawab Bee.“Air mineral di rumah juga ada.” Akbi mengambil air mineral dari tangan Bee dan menukarnya dengan minuman yang dapat mengganti ion tubuh yang hilang setelah berolah raga.Bee menerimanya begitu saja tanpa membantah kemudian mengikuti Akbi menuju kasir.“Bi, mau eskrim boleh?” Akbi yang sudah sampai di
“Aku mau itu sayang,” Anggit menunjuk salah satu tas yang menarik perhatiannya ketika melewati salah satu butik merek ternama dunia.Seperti biasa Akbi mengangguk mengabulkan keinginan sang kekasih.Hubungannya dengan Anggit memang selalu seperti ini sebelum ada Bee di antara mereka.Anggit akan marah hanya dengan hal-hal kecil lalu Akbi akan membujuknya memohon-mohon disertai iming-iming uang agar sang kekasih berhenti merajuk.Tapi saat ini dunia seolah berbalik, setelah acara marah-marahnya karena ia tidak mau melayani hasrat perempuan itu hingga guci yang tidak berdosa menjadi korban beberapa malam lalu, Anggit sendiri yang terlebih dahulu menghubungi Akbi dan mengajak bertemu.Akbi menyanggupi hal tersebut meski dengan berat hati ia menjemput Anggit dari apartemennya menuju mall termewah di Jakarta.Dua paperbag sudah Akbi genggam tapi perempuan itu masih belum puas.Akbi jadi berpikir bila selama ini dirinya adalah seorang budak bukan kekasih bagi Anggit.“You know what?” bisik
Suara ketukan di pintu membuat Bee menoleh. “Papa?” panggil Bee sambil mengkerutkan kening.Bee menegakkan tubuh, menghentikan kegiatan membuat sebuah pakaian yang sedari sore ia tekuni.“Akbi belum pulang Bee?” Beni bertanya sambil mendorong pelan pintu untuk bisa masuk ke dalam ruangan Bee.“Emm ... belum Pa,” jawab Bee kemudian menggigit bibir setelah melihat jam yang tergantung di dinding ruang kerjanya telah menunjukkan hampir tengah malam.“Kamu enggak tau Akbi kemana?” Pria tua yang masih memiliki tubuh tegap itu bertanya kembali.“Enggak Pa, tadi Akbi hanya pamit pergi ... sebentar, Bee telepon Akbi dulu ya,” ucap Bee kemudian beranjak hendak mengambil ponsel yang ia simpan di kamar.“Papa udah telepon tapi enggak diangkat,” terang Beni kemudian duduk bersila di depan Bee.Matanya mengamati apa yang tengah Bee kerjakan, cukup terkesima setelah melihat pakaian yang dibuat Bee padahal baru setengah jadi.“Mungkin sama Zidan dan Raka, Pa ... tapi Bee enggak punya nomor hapenya.”
“Gue dibius! Gue dijebak!” Akbi berseru sambil menoleh ke arah Bee yang sedari tadi fokus menyetir membawa mereka pulang.Bee tidak banyak mengeluarkan kata kepada Akbi semenjak lelaki itu membuka mata dan mendapatinya berada di apartemen Anggit.Akbi tidak tau dengan pasti apakah Bee marah, kesal atau malah benci kepadanya.Walaupun begitu, lucunya Bee masih mau membantu suaminya mengancingkan kemeja.Bahkan Bee masih sempat pamit kepada Anggit sebelum keluar dari apartemen sambil membawa suaminya yang masih belum sadar betul.Tanpa keberatan juga Bee memapah Akbi hingga mobil.Dengan susah payah dan bobot tubuhnya yang tidak sebanding dengan Akbi, tapi Bee mau melakukan hal itu tanpa mengeluh.Anggit sampai melongo takjub dibuatnya karena ia sendiri tidak akan mau repot-repot melakukan hal itu.Mungkin ia akan marah-marah dan menghajar wanita yang bersama suaminya habis-habisan bila ia ada di posisi Bee saat ini.Semakin tidak percaya ucapan Akbi yang mengatakan bila Bee tidak perdu
Setiap hari senin pagi Bee mengunjungi pusara kedua orang tuanya, bila tidak sempat di pagi hari ia akan berkunjung pada siangnya di sela-sela jeda jam kuliah.Seperti pagi ini sebelum ke kampus, Bee datang dengan bunga di tangan dan untuk kesekian kalinya terkejut setelah melihat gundukan tanah kedua orang tuanya telah penuh dengan bunga.Pada awalnya beberapa bulan lalu ia tidak begitu memikirkan hal ini karena mungkin ada partner sang Bunda atau teman Ayah yang berkunjung dan menaburkan bunga-bunga tersebut tapi setiap minggunya bunga-bunga itu selalu ada membuat Bee semakin tidak yakin dengan pikirannya sendiri.Bee membungkuk menarik kartu nama toko bunga yang tersemat pada satu buket bunga di depan nisan sang Ayah.Terdapat nomor telepon dalam kartu bertuliskan ‘TWS Florist’ , rasa penasaran membawa Bee menghubungi toko bunga yang mengirim dua buket bunga tulip putih.“Selamat Pagi, TWS Florist ada yang bisa kami bantu?” sapa seorang wanita di sebrang panggilan telepon.“Ha ...
Bee sudah memutuskan untuk mengikuti keinginan Beni dan suaminya dalam topeng Iron Man yang meminta agar ia menjadi istri yang baik dan bisa membawa Akbi menjadi pribadi yang lebih baik lagi agar dapat menjadi penerus Beni dalam memimpin perusahaan.Bagi Bee yang sebatang kara hal itu tidak lah sulit, ia tidak memiliki alasan untuk hidup bila bukan karena rasa syukurnya kepada Tuhan Yang Esa.Jadi setidaknya ia bisa berguna untuk orang lain semasa hidup dan semoga saja pahalanya bisa membawanya menuju syurga. Itu kenapa Bee selalu mengalah dan menahan atau segera melupakan setiap rasa sakit yang diberikan Akbi.“Lo ngelamun?” Bukan pertanyaan Akbi yang menyentak Bee melainkan sebuah kecupan di pipinya sesaat sebelum Akbi bertanya. “Eh hay, gimana presentasinya?” Bee malah balik bertanya membuat Akbi berdecak sebal karena pertanyaannya tidak di jawab oleh sang istri.“Sini aku pijitin!” Bee yang duduk di sofa ruang perpustakaan memiringkan tubuh agar menghadap sempurna ke arah Akb
“Aurystella, mau ikut ke toko buku bareng kita?” Melisa berlari ke arah Bee sambil bertanya demikian.Mendadak Bee menghentikan langkah kemudian menoleh.Beberapa meter dari sana ada Deasy dan Putri berdiri sambil memeluk buku menatap mereka.Ketiga teman sekelasnya itu adalah teman kelompok dalam tugas yang diberikan salah satu dosen mata kuliah.“Em ...,” gumamnya menimbang.Bee tidak langsung menjawab, hari ini adalah hari terakhir ujian dan minggu besok sudah masuk semester pendek.Beruntung Bee mahasiswi yang cerdas sehingga tidak ada satu mata kuliah yang harus ia perbaiki dan selama tiga bulan masa liburan semester pendeknya itu akan ia habiskan magang di salah satu butik.“Ayolah, La ... besok udah libur, enggak ada salahnya kita ngemall dulu sebelum pulang,” ajak Melisa memohon.“Panggil aja Bee, biar enak kedengerannya ...,” pinta Bee bukannya menjawab ajakan Melisa.Karena sejujurnya Bee memang risih mendengar teman-temannya memanggil nama depannya yang memang sulit diucap
“Kenapa sih enggak sama Om Aji?” Akbi bertanya ketika sang istri menceritakan bila ia akan magang di sebuah butik dan memilih butik seorang designer yang terkenal dengan rancangan kebayanya.“Pertama, Om Aji lagi enggak buka lowongan untuk magang ... yang kedua, aku lagi mau belajar bikin kebaya,” Bee menjelaskan.“Tapi gue bisa paksa Om Aji untuk nerima lo.” “Tapi Om Aji spesialisasi gaun, Bi!” “Tapi gue enggak kenal sama designer yang Ibu-Ibu itu, gue enggak bisa nitipin lo sama dia.” Akbi yang mondar-mandir di ruangan Bee berusaha membujuk istrinya agar selama beberapa bulan kedepan magang di butik designer yang dipercaya oleh keluarganya saja karena Akbi merasa nyaman bila mengetahui dengan siapa Bee bekerja.Bee tersenyum kemudian beranjak dari kursi menjait setelah sebelumnya ia memotong benang yang terhubung dari baju dengan mesin.Memasangkannya pada manekin lalu merapihhkannya, sesekali ia menyematkan jarum petul ke baju itu.“Emmm ... apa yang kurang ya?” Bee bergumam sam