Selama perjalanan kami berdua diam. Tak ada obrolan sama sekali, hanya supir Tristan yang memberi info kalau Bu Ayu membawa putraku, Bimo dan Bu Yati ke rumah. "Antar kita ke rumah makan dulu," ucap atasanku.Aku segera menatap supirnya dengan tajam melalui spion. Pria itu pun melirik ke arah kami. "Tolong langsung pulang saja, Pak. Saya tidak sabar bertemu putra saya."Di mobil menjadi hening. Meskipun aku duduk berdampingan dengan Tristan, tetapi aku merasa tak nyaman dan ingin segera menjauh dari pria itu. "Saya mohon," ujarku lirih.Terdengar Tristan menghela napasnya. Sang supir pun menunggu titahnya."Langsung ke rumahnya." Perkataan Tristan terkesan dingin. Aku sedikit tak enak hati, karena bagaimanapun dia atasanku. Namun, aku merasa tak nyaman kalau terus-terusan dibawa perasaan. Apalagi pengakuannya saat di New York bagai buah simalakama untukku. Perjalanan kembali sunyi setelah Tristan akhirnya mengalah dan menyuruh sopir langsung mengantarku pulang. Aku masih menatap ke
Bu Yati mengusap air matanya yang mulai jatuh dengan tangan gemetar. Aku semakin khawatir melihatnya seperti itu."Bu, ada apa?" tanyaku, mencoba menenangkan.Bu Yati menelan ludahnya, lalu menatapku dengan pandangan takut. "Saya... saya takut, Mbak Maya."Jantungku mencelos. Aku segera mendekatinya, menggenggam tangannya yang dingin. "Takut kenapa, Bu? Ada yang terjadi? Masalah yang kemarin kan sudah selesai. Tristan yang bilang.""B-benar, Mbak. Masalah itu memang sudah selesai."Wanita itu menatap ke arah pintu seolah memastikan bahwa Bu Ayu benar-benar sudah pergi. Lalu, dengan suara bergetar, ia berkata, "T-tapi Bu Ayu... Bu Ayu berubah, Mbak. Setelah saya ketahuan tentang obat yang Bimo konsumsi, sikapnya langsung lain. Beberapa hari ini sikapnya makin aneh, Mbak."Aku mengerutkan kening. "Maksud Ibu, makin aneh bagaimana?"Bu Yati menarik napas panjang. "Saya tahu ini bukan urusan saya, Mbak, tapi tadi siang saya sempat merapikan kamar Bimo. Saya menemukan botol obat yang biasa
Aku menghela napas panjang, berusaha menahan emosi saat lift terus bergerak naik. Rahma memang selalu punya cara untuk menyulut konflik. Sekarang, Rosa sukarela terseret dalam perseteruan yang tidak penting. Aku bisa menangkap niat Rosa, dia pasti ingin membersihkan namanya dengan membelaku."Rahma, cukup," ucapku datar. Aku berusaha tenang meski dadaku bergemuruh.Rahma mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. "Kenapa? Nggak suka denger kenyataan? Lo pikir semua orang di kantor ini nggak lihat gimana lo nebeng terus sama Bu Ayu? Anaknya lo dijilat, lo dapat perhatian khusus. Emang enak ya jadi lo?"Aku menatapnya tajam. "Kamu ngomong gitu kayak tahu semuanya aja. Apa kamu tahu gimana aku berjuang sendirian? Apa kamu tahu gimana sungkannya aku melihat anakku dijaga Bu Ayu setiap hari?"Rosa menelan ludah. Dia tampak tidak nyaman, tapi tetap berdiri di tempatnya, seakan mempertimbangkan apakah harus ikut bicara atau tidak. Rahma justru tertawa kecil, sinis."Lo pikir gue nggak tahu?
"Lepas, Zo," mohonku pada Kenzo. Dia hanya menggeleng dan menarikku duduk. Tubuhku yang sudah lelah bekerja seharian, limbung seakan menuruti permintaannya."Sebentar saja." Kenzo melepaskan cengkeramannya saat aku sudah terlekat di kursi."Tenanglah, Maya. Aku tidak akan menyakitimu. Aku bisa menjamin dia juga tidak akan menyakitimu. Jadi atur emosimu," ucap Kenzo penuh perhatian.Aku menghela napas, berusaha mengendalikan emosi yang mulai bergejolak.David menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Matanya tajam, tapi ada sorot keraguan di dalamnya. Aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi menahannya. Sementara itu, Kenzo bersandar di kursinya, tangannya terlipat di depan dada dengan wajah tidak sabar."Ada apa sebenarnya?" tanyaku akhirnya, menatap David dengan waspada. Kenzo diam dan memberikan ruang untukku berbicara. David meremas gelas kopinya. Tatapan kami yang sempat bertemu, langsung ia putus begitu saja. Ia tertunduk sejenak, lalu mengembuskan napas panjang. "Aku
"Ma..."Suara yang sangat familiar tertangkap di daun telingaku. Aku segera menoleh, dan tebakanku benar. Itu Tristan, berdiri dengan kedua tangan masuk ke saku celananya. Kancing kemejanya terbuka, memamerkan sedikit dada bidangnya yang eksotis. Entah kenapa pipiku terasa panas. Segera kutundukkan kepalaku."I-iya, Nak?" Bu Ayu menyahutinya dengan sedikit tergagap."Papa di mana?"Tristan menggeret salah satu kursi dan duduk bersama kami."Bar saja kembali ke kamar. Ada apa?""Ya sudah kalau gitu. Cuma tanya saja. Bimo di mana?""Sedang istirahat di kamarnya."Keadaan menjadi hening beberapa saat. Aku mengeratkan cengkeraman tanganku. Namun, Bu Ayu kembali mengajakku bicara. "Makanlah, Maya.""I-iya, Bu." Kuanggukkan kepalaku dengan sopan. Saat melihat ke arah atasan yang duduk di depanku. Aku bisa melihat seringaian kecil darinya. Dia membuatku semakin tidak nyaman!"Bagaimana pekerjaanku hari ini?" tanyanya datar."S-sudah selesai, Pak."Ada lengkungan kecil di bibirnya. "Bagus. T
Benar saja, keesokan harinya Tristan terbang ke New York.Aku dikepung tumpukan dokumen dari beberapa divisi. Panthelis, perusahaan tempatku bekerja, memang tengah menggeliat agresif di pasar global. Fokus utama kami adalah produksi rokok, dan sejak Tristan menjabat sebagai CEO, ekspansi bisnis menjadi gila-gilaan. Tak hanya Asia, kini kami mulai menancapkan kuku di Eropa. Bahkan, kami sedang mengembangkan lini produk baru: rokok elektrik atau vape, dengan sentuhan desain dari Paris dan riset dari New York.Tumpukan file di mejaku tak hanya soal distribusi, tapi juga konsep visual, kemasan, rasa, hingga strategi branding. Di depan mataku, ada blueprint elegan untuk rokok elektrik bernuansa retro-futuristik. Aromanya? Cherry-vanilla bourbon. Fancy. Logo-nya terukir Taffer Phantelis, entah bagaimana aku menduga itu berarti sesuatu seperti “Kerjaan Phantelis” dalam bahasa Prancis. Seolah menunjukkan bahwa ini bukan sekadar produk, tapi simbol baru dari eksistensi kami.Pintu ruanganku ti
Paulo hanya tersenyum, berdiri sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. Bisikannya nyaris seperti racun yang disusupkan langsung ke pikiranku."Ada seseorang yang sengaja menjatuhkan kamu, Maya. Dan dia nggak main-main."Seketika udara di ruangan seolah membeku."Pasang flashdisk ini, tapi pastikan kita sendirian. Ini bukan sekadar soal gosip. Ini sudah personal."Aku menatapnya tajam. "Siapa, Paulo?"Ia hanya mengangkat alis, lalu berbisik,"Rahma bukan satu-satunya."Tanganku gemetar saat menerima flashdisk itu. Tubuhku mendadak dingin, meski AC kantorku sudah lama mati sejak siang. Pikiran tentang Bimo, pekerjaanku, dan reputasi yang kujaga selama ini mendadak seperti benang kusut yang siap putus kapan saja."Kalau ini jebakan," ucapku pelan.Dia mengangkat tangan, "Relax, darling. Aku di tim kamu. Selalu di tim kamu."Aku menarik napas dalam, lalu bangkit dari kursi dan menuju ke pintu. Kupastikan ruangan terkunci, bahkan kucek ulang gorden agar tak ada celah untuk orang luar meng
“Boleh saya tahu siapa saksi mata itu?” tanyaku. “Atau, setidaknya, apakah bisa dihadirkan sekarang juga agar saya bisa membela diri dengan adil?” Pak Haryo menatapku sangat tajam. "Tidak perlu. Tonton saja rekaman ini."Pria itu menjentikkan jari meminta operator untuk menyalakan proyektor. Di layar terpampang adegan Tristan menggendongku dan memasukkanku ke kamarnya. Jantungku sontak berdegup. Itu adalah hari di mana aku baru keluar dari rumah sakit setelah menjalani rehabilitasi. Hanya itu yang dipertontonkan padaku. Bu Nanda memijit pelipisnya. "Biarkan saya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Pak," mohonku.Kepala tim legal itu mengangkat tangannya, kode menolak permohonanku. "Kita lakukan rapat direksi besok siang. Semua bukti sudah kuat, kami tidak ingin mencoreng nama baik Panthelis dengan tindakan tidak senonoh. Sekarang kembali ke posisi masing-masing."Aku menunduk dalam-dalam, mengangguk kecil tanpa suara. Sia-sia menjelaskan sekarang. Mereka sudah menutup telinga.
Hari ini suasana terasa tenang. Aku sedang menyisir rambut Bimo setelah mandi, mencoba membiasakan diri dengan rutinitas baru tanpa pekerjaan kantoran. Meski hati masih sesak, aku mulai belajar untuk mencintai kesunyian ini, sunyi yang tak lagi dipenuhi tekanan dan penghakiman.Namun, suara mobil berhenti di halaman depan membuat langkahku terhenti. Dari balik jendela, kulihat Kenzo turun dari mobilnya sambil membawa map cokelat di tangan. Wajahnya terlihat serius. Ada sesuatu yang tidak biasa dari raut wajahnya hari ini.Aku segera membuka pintu sebelum Bu Yati sempat bergerak dari dapur."Zo?" tanyaku pelan.Kenzo mengangguk, menyerahkan map itu ke tanganku. “Ini dari kantor. Akhirnya, HRD sudah ACC surat resign kamu, May. Ternyata sebelumnya CEO menganggapmu cuti.”Tanganku gemetar saat menerima map itu. Segalanya mendadak terasa nyata. Aku benar-benar sudah bukan siapa-siapa lagi di tempat itu. “Cepet banget, ya…” gumamku pelan.Kenzo diam sejenak, lalu menatapku dalam. “Ada satu
Keesokan paginya, cahaya matahari mengintip pelan lewat celah tirai. Namun, aku tetap bergeming di ranjang, meringkuk membelakangi dunia. Selimut tebal menutupi tubuhku, tapi tak mampu menghangatkan luka di hati yang masih terasa segar, seperti baru saja dicabik.Aku tak keluar kamar sejak semalam. Hanya Sinta yang sesekali masuk membawakan makanan atau sekadar menyisir rambutku yang mulai kusut. Bu Yati juga tak pernah jauh dari pintu kamarku, menunggu kalau-kalau aku butuh sesuatu. Akan tetapi aku tetap diam. Aku belum sanggup.Di luar kamar, kudengar suara Bimo bermain dengan Bu Yati. Tawa kecilnya sesekali menyusup ke dalam, dan setiap kali itu terjadi, hatiku kembali teriris.Aku ibu kandungnya, tapi malah dipertanyakan kelayakanku. Dianggap tak mampu, dianggap tak waras. Bu Ayu tak hanya menginjak harga diriku sebagai perempuan, tapi juga sebagai seorang ibu.Sinta masuk dengan langkah pelan, membawa nampan kecil berisi bubur dan segelas susu hangat.“May… kamu belum makan dari
Sesampainya di rumah, Bu Yati membukakan pintu utama dengan semringah. Namun, saat melihat keadaanku yang menggendong Bimo, lengkungan di bibirnya langsung musnah. Matanya melebar."Ya allah, Mbak," pekiknya mengambil alih Bimo. Sedangkan aku masuk ke rumah dan langsung ambruk di tengah ruangan. Air mataku tak bisa tertahan. Hatiku masih tertusuk seribu pisau. Bu yati segera membaringkan Bimo ke kamar, dan mendekatiku."Mbak..." panggilnya pelan sembari mengusap sedikit lenganku. Aku mendongak, tanpa banyak bicara ia mendekapku."Bu Ayu nggak restuin aku, Bu. Dia hanya mau Bimo." Aku terisak tak karuan. "Bu Ayu mau ngerampas Bimo darii aku Bu. Katanya aku ibu yang egois!"Tangisku meledak di pelukan Bu Yati. Tubuhku bergetar hebat, seperti baru saja dihantam badai yang tak kasat mata. Suara isakanku memenuhi ruang tamu kecil yang biasanya hangat dan penuh tawa Bimo. Kini, semua terasa hampa.Bu Yati mengelus kepalaku lembut, seakan mencoba meredakan gemuruh dalam dadaku. “Astaghfirul
"Ya! Aku ingin mengadopsi Bimo, Maya! Aku hanya membutuhkan Bimo, bukan kamu!” suara Bu Ayu menggema di ruang makan yang mewah tapi terasa sempit seketika.Dunia seakan berhenti. Mataku terbelalak, tak percaya kata-kata itu benar-benar keluar dari mulut seorang ibu yang tadinya tampak lembut saat menyambut kami. Tanganku refleks memeluk Bimo yang masih duduk di sampingku, tak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia hanya melirik ke arahku dengan ekspresi datar, lalu kembali menunduk memainkan ujung sendok.“Ma, cukup!” Tristan berdiri, suaranya keras. “Mama nggak bisa ngomong gitu sama Maya!”Tapi Bu Ayu tetap berdiri dengan tegak, tatapannya menusuk ke arahku. “Aku bicara berdasarkan kenyataan. Maya, kamu ibu tunggal. Hidupmu berat. Kamu harus kerja, harus menghadapi dunia yang nggak pernah adil, dan di saat yang sama kamu mengurus anak autis sendirian. Kamu pikir kamu akan kuat terus sampai Bimo dewasa nanti?”Tubuhku gemetar. Ujung jariku mencengkeram kuat lengan Bimo, seolah aku haru
Sesampainya di rumah Tristan yang sudah sering kukunjungi. Beberapa pelayan sudah berjaga di depan. Seperti biasa, mereka menyambut tuan rumah dengan sangat hangat."Selamat datang, Tuan Muda. Nyonya dan Tuan sudah menunggu di meja makan," ucap salah satu pelayan, saat kami berdua sudah menapakkan kaki ke lantai.Tristan menoleh ke arahku, sembari tersenyum manis. "Ayo." Dia melirik lengannya yang siap menjadi penompangku. Tengan gemetar, aku menuruti kodenya. Kekasihku ini sangat manis. Dia bahkan rela menyejajarkan langkahnya, agar aku tidak tergesa-gesa saat melangkah."Relaks, Sayang. Percaya sama aku. Semua akan baik-baik saja. Oke?"Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman.Kami melangkah masuk ke ruang makan, dan aroma sedap dari hidangan rumahan segera menyambut. Meja makan panjang itu sudah tertata rapi dengan beberapa lauk khas yang tampaknya dimasak sendiri oleh juru masak pribadi keluarga Kusuma. Di ujung meja, Bu Ayu duduk dengan anggun, mengenakan kebaya modern warna
Dia menghela napas panjang, lalu berjalan ke meja kerjanya dan duduk tepat di depanku. “Aku baru mau menyampaikan pada Mama kalau aku serius sama seseorang. Tapi Mama mau mengundangmu makan malam. Jadi kupikir kita ngomong berdua saja malam ini. Bagaimana?"Tanganku lemas mendengar ucapannya. Aku hanya bisa menatapnya tanpa kata-kata, jantungku berdegup tidak karuan.Tristan menatapku, menunggu. Sorot matanya serius, tapi juga penuh harap. “Kalau kamu belum siap, kita bisa tunggu waktu lain, May. Tapi menurutku... ini saat yang tepat.”Aku menunduk, mencoba mengatur napas yang terasa sesak. Jemariku mengepal di atas lutut. Tiba-tiba seluruh keberanian yang tadi kurasakan menguap begitu saja. Bayangan wajah Bu Ayu yang hangat tapi tegas, komentar-komentar orang tentang statusku, dan kekhawatiran soal Bimo, semua menari-nari dalam pikiranku.“Kalau nanti beliau kecewa? Kalau... beliau merasa aku nggak pantas untuk kamu?” suaraku nyaris tak terdengar. “Aku bukan siapa-siapa, Tris. Aku c
Setiap waktu aku menatap cincin berlian yang tersemat di jari maniku. Ini seperti mimpi, dan tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Bahkan aku tidak menyadari seseorang memperhatikan setiap perubahan ekspresi."Mbak, hati-hati giginya kering, lho," celetuk Bu Yati yang menghidangkan susu hangat untukku. "Eh!" Aku sontak menutup mulutku dengan salah satu tangan.Wanita paruh baya itu duduk di sampingku, dan menatapku dengan mata berair. "Ibuk nggak nyangka bisa nemenin Mbak Maya sampai mau dipinang pria." Linangan air mata keluar darinya. Ia berkali-kali mengusap lelehan itu, tetapi matanya tak berhenti mengucur.Aku tersentuh. Segera kutaruh cangkir susuku di meja kecil di depan kami, lalu menggenggam tangan Bu Yati. “Bu, jangan nangis dong. Nanti aku ikut nangis.”Bu Yati tersenyum sambil mengendus pelan. “Dari dulu Ibuk cuma pengen lihat Mbak bahagia lagi. Setelah semua yang Mbak lewati, Ibuk cuma bisa doakan semoga ada laki-laki baik yang bisa terima Mbak dan Bimo tanpa syarat. Dan te
Hari-hari berikutnya tetap sama, setidaknya secara profesional. Kami tetap menjalankan tugas seperti biasa, menyusun strategi, meeting dengan klien, dan membalas email-email tak ada habisnya. Ada yang berbeda pada perasaanku, saat aku menoleh dan mendapati tatapan Tristan menelusuri wajahku diam-diam. Atau saat kami saling bertukar pesan singkat yang manis tanpa seorang pun tahu.Yang istimewa? Dia semakin sering mengajakku makan siang dan makan malam bersama. Dan tentu saja, selalu di restoran mewah yang suasananya hangat dan temaram, tempat yang membuatku merasa seperti tokoh utama di film romansa. Gunjingan para karyawan sudah mereda, akhir-akhir ini digantikan oleh pertanyaan."Kapan kamu akan menerima perasaan Pak Tristan?""Enak banget ya jadi kamu, dikejar CEO perusahaan bonafit seperti Panthelis.""Sejujurnya aku pernah benci sama kamu, May. Hidupmu enak banget.""Ternyata kamu tidak seperti yang digosipkan ya? Aku suka deh, ternyata masih ada perempuan bener di tengah viralny
Langkah berat itu semakin mendekat. Aku buru-buru menyibukkan diri dengan mengaduk kopi yang sudah lama tak butuh diaduk. Paulo menyingkir ke samping, memasang wajah nakal seperti biasa.Tristan muncul di ambang pintu pantry, mengenakan setelan abu-abu yang pas badan, rambutnya sedikit berantakan seperti baru tertiup angin luar. Wajahnya datar, seperti biasa, tapi matanya langsung menemukan aku. Sejenak, waktu rasanya melambat.“Selamat pagi,” ucapnya singkat, lalu menoleh ke Paulo. “Bisa minta waktu sebentar, Paulo?”“Wah, sudah kuduga. Saya cuma figuran di drama kalian,” celetuk Paulo sebelum menghilang ke balik pintu dengan senyum menyeringai.Aku nyaris tertawa kalau saja jantungku tak berdebar kencang.Tristan melangkah masuk, lalu berhenti di depanku. Ada jeda sesaat sebelum ia bicara.“Maya.” Suaranya tenang tapi tegas. “Setelah kamu selesai bikin kopi, langsung ke ruanganku. Aku mau kamu laporkan pekerjaan kantor selama aku pergi.”Nada suaranya terdengar profesional. Tak ada