"Kak Jati salah." Aira menggeleng seraya tertawa. "Aku belum menjadi janda." "Apa?" Jati tertegun menatap Aira. "Manggala tidak pernah mengucapkan kata cerai. Aku masih sah menjadi istrinya," ungkap Aira. Seulas senyuman tipis, tersungging di bibir ranum dan penuh itu. "Kalau begitu, aku akan tetap menunggu, Ra. Aku sudah bertekad untuk memperbaiki semua kesalahanku padamu," tegas Jati. "Sudah kubilang. Bukan begini caranya!" Nada bicara Aira meninggi. "Maaf," ucapnya saat menyadari bahwa dia sedikit kelepasan. Jati tersenyum, lalu bangkit dari duduknya. "Tidak apa-apa. Habiskan dulu makanmu," titahnya sambil sesekali melirik ke arah monitor bayi yang Aira letakkan di meja makan. "Apa aku boleh melihat bayimu, Ra? Anggap saja sebagai upah atas makan malammu," gurau Jati. Di satu sisi, dia bersiap untuk menerima kemarahan Aira. Namun, siapa sangka jika Aira memperbolehkan Jati masuk ke kamar bayi yang menjadi satu dengan kamarnya. "Sekalian minta tolong jagain selama aku m
Manggala duduk terpekur di ruang kerjanya yang tak sebesar ruangan pimpinan redaksi di Australia. Sebelum dia merintis karir dalam bidang media, Manggala sudah mendirikan bisnis start up kecil-kecilan di bidang perjalanan dan akomodasi bersama Gading. Sejatinya, bisnis tersebut sesuai dengan jiwa petualang Manggala. Namun, karena terlalu sibuk berlari dari kenyataan, dia jadi tak begitu fokus dalam membesarkan usahanya. Manggala malah menyerahkan sepenuhnya pada Gading, dan dia cukup menerima keuntungannya saja. Kini, Manggala tak bisa main-main lagi. Banyaknya start up di bidang serupa, membuatnya kalah saing yang berakibat pada menurunnya performa perusahaan. "Ehem!" Gading berdehem pelan. "Sampai kapan melamun begitu?" guraunya. "Ding? Sejak kapan kamu di situ?" Manggala tampak terkejut dengan kehadiran sahabatnya itu. Tak lupa, dia mengulurkan tangan sebagai isyarat agar Gading duduk di kursi yang berada tepat di depan meja kerjanya. "Sejak tadi, sih. Tapi, sepertiny
Manggala patut berterima kasih pada Brandon. Pria itu telah berbaik hati memberikan alamat rumah sekaligus nomor telepon terbaru Aira. Manggala sungguh tak menyangka jika Brandon bisa bersikap setulus itu. Padahal, awal perkenalan mereka tidak begitu baik. Bahkan Brandon sempat membenci Manggala. Namun, kini semua berubah. Brandon begitu bijak dan dewasa. Tanpa ragu, dia membantu Manggala untuk mendapatkan informasi tentang Aira. Dan, sekarang, di sinilah Manggala berada. Di seberang gedung apartemen sebelas lantai yang menjadi tempat tinggal Aira selama di New York, dia mengingat-ingat rangkaian kalimat yang akan dia ucapkan pada Aira saat bertemu nanti.Sayangnya, kata-kata yang sudah Manggala hafalkan di luar kepala itu harus buyar tatkala ekor matanya menangkap sosok wanita yang masih berstatus sebagai istri tengah berjalan beriringan bersama seorang pria yang tak lain adalah Jati.Dua anak manusia itu tampak begitu akrab. Mereka saling mengobrol dan tertawa. Sesekali, Jati
"Siapa yang ingin kau temui? Nona Catherine atau Nona Aira?" tanya wanita tua itu."Ehm, Aira," jawab Manggala setengah berbisik. Seolah takut jika Aira akan mendengarnya."Oh, kalau begitu, tolong sampaikan salamku, ya. Aku belum sempat berterima kasih saat kemarin Nona Aira memberi pie apel untuk Sammy," pinta si nenek."Baiklah, akan kusampaikan. Permisi," pamit Manggala. Tak lupa dia mengusap-usap puncak kepala Sammy yang terus memandangnya dengan tatapan lucu nan menggemaskan.Manggala melangkah gagah menuju apartemen Aira, tapi langsung membeku saat hendak mengetuk pintunya. Sekilas, dia menoleh ke arah apartemen Sammy. Bocah itu berserta kakek neneknya sudah tak terlihat di sana.Sejenak, Manggala menarik napas panjang. Tangannya sudah terkepal, bersiap mengetuk. Namun, seketika niat yang sudah bulat harus luruh tatkala mendengar sayup-sayup suara Aira yang tengah berbicara dengan Jati.Spontan Manggala menggeser tubuh, berlari menjauh dari pintu apartemen yang terbuka perlahan
Aira mendorong Manggala pelan, saat dirinya tiba-tiba teringat pada video panas yang dilakoni suaminya bersama Cynthia itu. "Jangan," tolak Aira lirih. "Maaf, aku tidak bisa menahan diri," sesal Manggala. Tak seharusnya dia mencium Aira seenaknya, meskipun wanita di hadapannya itu masih sah menjadi istrinya. "Tidak apa-apa." Aira memaksakan senyum. "Selama di New York, kamu tinggal di mana, Ngga?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. "Di hotel dekat sini," jawab Manggala singkat dengan sorot yang tak lepas dari paras cantik Aira. "Siapa yang memberitahumu kalau aku berada di sini?" tanya Aira lagi, bagaikan detektif. "Brandon," beber Manggala apa adanya. "Astaga!" Aira berdecak kesal. Sama sekali tak mengerti dengan jalan pikiran Brandon. Padahal Manggala adalah saingannya dalam merebut cinta Aira. Namun, kenapa Brandon malah membantu Manggala? "Ra ...." Manggala meraih kedua tangan Aira dan menggenggamnya erat. "Aku benar-benar bahagia dan lega bisa berhasil menemukanmu dan
"Kamu brengsek, Aira!" Tanpa aba-aba, Senja langsung maju dan menampar pipi Aira sekeras-kerasnya. "Hei!" Manggala terlambat mencegah. Dia langsung menarik mundur tubuh istrinya, menyembunyikan tubuh ramping itu di belakang badannya yang tinggi dan tegap. "Apa-apaan ini!" Sedikit kasar Manggala mendorong Senja, bersamaan dengan hadirnya Jati. Pria itu tampak berlari mendekat seraya terengah. "Jangan, Senja!" sergah Jati. Sementara Aira masih syok. Dia tak dapat berkata-kata dan hanya bisa memegangi pipi yang terasa kebas. Sudut bibirnya juga terasa perih. "Kamu sudah menghancurkan hidupku!" pekik Senja nyaring. Sontak hal itu menarik perhatian tetangga apartemen yang lain, termasuk kakek nenek Sammy. "Diam, Senja! Aira tak ada hubungannya dengan semua ini!" sentak Jati tak kalah nyaring. "Ada apa ini?" sela Catherine. Tergopoh-gopoh dirinya keluar dari kamar Enzo. "Siapa wanita ini?" tunjuknya ke arah Senja. "Gara-gara kamu, Mas Jati menceraikan aku!" pekik Senja. Tangan
Manggala melihat bocah laki-laki itu lekat-lekat. Baru sekali dia bertemu Sammy, tapi Manggala sudah merasakan keterikatan dengan bocah itu. "Sampai jumpa lagi, Sammy," ucap Manggala tulus. Dia memandang bocah itu sedikit lebih lama dan mematri wajah lucunya dalam ingatan, sebelum dia dan Aira meninggalkan gedung apartemen. "Ngga, kamu kalau lihat Sammy, mirip sama siapa?" celetuk Aira saat mereka sudah berada di dalam kabin pesawat. Sebentar lagi, pesawat akan tinggal landas. "Ehm, siapa, ya?" Manggala mengetuk-ngetukkan telunjuk di dagu, mencoba berpikir keras. "Masa kamu tidak tahu?" "Aku nyerah, Ra." Manggala menggeleng. "Mirip sama pacarmu," ujar Aira sedikit ketus. "Pacar?" Manggala mengernyit bingung. "Ah, Angga. Nggak usah pura-pura lupa. Pacarmu kan Cynthia!" Aira yang sewot, memukul pelan lengan suaminya, sampai Manggala meringis kesakitan. "Hah? Mana mungkin Sammy mirip Cynthia?" Manggala tergelak memandang raut merajuk Aira. Istrinya itu tampak begitu men
"Sudah, jangan bertengkar! Aira dan Enzo baru saja datang. Kasihan, mereka pasti lelah," lerai Kartika. "Biar Aira saja yang masuk, Ma. Manggala suruh pulang!" Kata-kata Sinta terdengar begitu keras di telinga. "Kak!" hardik Aira. "Tolong, hargai suamiku!" "Apa? Hargai kamu bilang?" geram Sinta. "Kamu boleh cinta, tapi jangan bodoh, Ra. Manggala sudah mengkhianatimu! Apa kamu lupa? Di saat kamu hancur, siapa yang mendampingimu? Tante Mira, dan kami, keluargamu!" sentaknya. Suara Sinta yang nyaring membuat putrinya yang baru berusia 6 bulan, menangis terkejut. "Tolong, berhentilah kalian!" tegur Kartika, berusaha untuk menengahi. "Kita masuk dulu, dan bicarakan baik-baik. Jangan seperti ini," tuturnya. "Pokoknya kalau sampai Aira ikut suaminya, aku akan sangat kecewa!" sela Sinta. Dia buru-buru masuk, selain karena marah dengan Aira, bayi Sinta juga menangis dan rewel. Kini, tinggallah tiga orang itu di teras. Bersama Enzo yang tengah asyik di gendongan Kartika. "Maaf ya,
"Sayang, kamu marah, ya?" Aira menarik-narik ujung lengan T-shirt yang dikenakan Manggala. "Sungguh aku tidak tahu kalau Hilda akan mengajakku ke rumah itu," beber Aira membela diri. Manggala masih diam, meskipun jemari Aira sudah menggerayangi bagian-bagian sensitif di tubuh tegapnya. "Sayang, please. Jangan diamkan aku. Aku tak kuat," rayu Aira tak putus asa. Kini, dia mengalungkan tangan di leher Manggala, lalu menariknya pelan. Dikecupnya leher kokoh itu berkali-kali. "Aira, geli!" hardik Manggala kesal. Dia jadi tidak bisa berkonsentrasi mengendarai mobil. Namun, Aira seakan tak menghiraukan protes suaminya. Dia malah meninggalkan bekas merah keunguan di leher bawah Manggala. "Astaga!" Manggala menyerah. Dia tak mau membahayakan istrinya akibat tidak bisa konsentrasi saat mengemudi. Dengan penuh emosi, Manggala membelokkan kemudi di sebuah hotel yang kebetulan dia lintasi. "Lho, Ngga? Kok belok ke hotel? Mau ngapain?" cecar Aira grogi. "Menurutmu?" sahut Man
"Tadi rencananya Tante mau mengajak kamu makan pagi menjelang siang bersama-sama, tapi Hilda buru-buru berpamitan pulang," ujar Andini. "Oh, iya, Bu. Kebetulan suami saya juga barusan menelepon. Saya harus cepat-cepat kembali ke kantor," pamit Aira. "Iya, tentu! Tapi, sebelum kamu pulang, tolong bawa ini untuk makan siang kalian. Ini untuk Hilda dan suaminya juga." Andini menyodorkan lima kotak makanan pada Aira. "Banyak banget, Tante?" Sambil berkata demikian, Hilda langsung meraih kotak-kotak makanan yang ditata dalam paperbag itu. "Biasanya para pria porsi makannya lebih banyak," timpal Andini seraya tertawa. "Ah, Tante memang yang terbaik!" sanjung Hilda. Dipeluknya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Tak lupa ciuman pipi kanan dan kiri. Begitu pula Aira. Dia memeluk Andini cukup lama. Ada rasa haru terselip di dada. Bagaimanapun, sejak menjadi menantu, ibunda Jati itu selalu bersikap baik dan lembut padanya. "Sering-sering main ke sini ya, Nak," pinta
Aira berkata sejujurnya. Dia sudah melepaskan masa lalu. Tak ada lagi alasan baginya untuk melihat ke belakang. Dia sudah sangat bahagia bersama Manggala, terlepas dari permasalahan besar yang pernah menimpa sang suami dan dirinya. Jati pun sepertinya tak perlu tahu tentang hal itu. Apalagi Manggala berhasil menyembunyikan insiden besar kecelakaan mereka. Tak seorang pun tahu apa yang terjadi dalam kemelut rumah tangga mereka selain keluarga dekat Aira dan Manggala. "Aku sungguh-sungguh minta maaf, Ra," ucap Jati dengan bibir bergetar. "Aku mendapat hukumanku bertahun-tahun lamanya." "Apa?" Aira mengernyit tak mengerti. "Seperti yang kubilang tadi, kukira aku bahagia dengan pilihanku, yaitu Senja. Namun, nyatanya, setelah aku melihat wajah sedihmu di hari perceraian kita, aku merasa gamang," ungkap Jati. "Sejak hari itu, aku merasa ada sudut hatiku yang kosong, ikut terbawa pergi bersamamu. Hal itu mempengaruhi kehidupan rumah tanggaku bersama Senja. Semua jadi terasa ... hambar.
"Eh, ada Aira?" Jati terkesiap menangkap sosok sang mantan istri yang berjarak beberapa meter dari hadapannya itu. "Halo, apa kabar?" Aira melambaikan tangan, berusaha menyamarkan sikap canggung yang tak biasa. "Kok, kamu bisa ada di sini, Ra?" tanya Jati terheran-heran. Dia seolah tak percaya melihat penampakan Aira di rumah yang pernah mereka tinggali bersama itu. "Aku yang mengajaknya ke sini, Mas. Kebetulan, suami Mbak Aira berteman dekat dengan Mas Gading," jelas Hilda. "Oh, begitu." Jati tersenyum kaku sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Eh, Ibu sampai lupa!" Andini menepuk pelan dahinya. "Bisa-bisanya sedari tadi Ibu mengajak kalian bicara, tanpa suguhan apa-apa!" "Eh, tidak usah, Bu. Sebentar lagi, kami juga harus kembali ke kantor. Iya kan, Hil?" Aira mengerjapkan mata berkali-kali sebagai isyarat agar Hilda mengiyakan kalimatnya. Namun, sayang. Wanita cantik berambut pendek itu sama sekali tak paham sinyal rahasia yang dikirimkan oleh Aira kepadanya.
Ada rasa yang tak bisa Aira artikan saat memasuki rumah yang pernah dia huni selama menikah dengan Jati itu. Setiap sudut mengingatkannya akan kenangan buruk pernikahannya bersama suami pertamanya itu. Air mata Aira sudah mengambang di pelupuk ketika terdengar langkah kaki yang berasal dari ruang tengah. Spontan Aira dan Hilda menoleh ke arah suara. "Tante! Lihat siapa yang kuajak kemari!" seru Hilda antusias. Sosok yang baru memasuki ruang tamu itu berdiri terpaku sembari menatap nanar Aira. "Hai, Tante Andini. Apa kabar?" sapa Aira kikuk. Buliran air bening yang sedari tadi dia tahan, kini lolos sudah. Hati Aira seakan tercubit saat melihat wanita yang pernah menjadi mertuanya itu. Andini tampak lebih kurus dari saat terakhir mereka bertemu. Walau memang kecantikannya tak pernah pudar. Sikap anggun wanita paruh baya itu juga tetap melekat dalam setiap lakunya. "Kamu Aira? Benar-benar Aira, kan?" tanya Andini dengan bibir bergetar. "Iya, Tante." Ragu-ragu Aira hendak
"Ah, itu bukan urusanku lagi." Aira tertawa canggung, serba salah melihat air muka Manggala yang tiba-tiba keruh setelah mendengar nama 'Jati'. "Mas Jati betah tinggal di Amerika. Padahal istrinya ngotot meminta pulang ke Indonesia. Kemungkinan hal itu yang menyebabkan pernikahan mereka retak," cerocos Hilda. Aira seakan tertipu oleh kesan pertama Hilda yang tampak seperti gadis lugu yang pemalu dan pendiam. Nyatanya, setelah saling mengenal selama beberapa detik, Hilda banyak berbicara. "Bagaimana kabar istrinya? Sehat-sehat, kan?" tanya Aira mengonfirmasi. "Yang kudengar sih, Mbak Senja sudah kembali sehat. Padahal sempat sakit parah," jawab Hilda. "Ehm, jadi begini ya, kalau perempuan sudah mulai bergosip. Kita dicuekin," seloroh Gading yang disambut dengan tawa renyah oleh Manggala. "Ah, begini saja. Bagaimana kalau kita biarkan Hilda dan Aira mengobrol? Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting denganmu," tawar Manggala. "Hal penting apa?" tanya Gading. "Ini ada kai
"Ini kantor pusat perusahaan start-upmu, Ngga?" Aira menatap gedung lima lantai yang menjulang gagah di depannya."Bagus nggak, Ra?" tanya Manggala dengan mata berbinar."Bagus banget, Ngga." Aira berdecak kagum. Bangunan yang sebagian besar dindingnya terbuat dari kaca tebal itu terlihat kokoh. "Siapa arsiteknya?""Gading yang mengatur semuanya, Ra. Tempat ini awalnya merupakan gedung tua yang terbengkalai. Aku yang membelinya dengan harga murah. Gading yang merenovasi keseluruhannya," jelas Manggala."Ah, aku jadi tidak sabar bertemu dengan Gading. Sudah lama sejak dia lulus kuliah ya, Ngga?" "Betul sekali." Manggala tersenyum lembut lalu menggandeng tangan Aira. Diajaknya sang istri tercinta memasuki lobi. Ekor mata Aira spontan menangkap rangkaian huruf berukuran besar yang menempel di salah satu dinding lobi. "Nirwana," gumamnya. "Lihat slogannya, Ra," tunjuk Manggala.Aira pun mengalihkan fokusnya pada deretan kalimat di bawah kata 'Nirwana' itu. "Satu klik yang bisa membawa
"Sudah kuduga, Bunda pasti mendengar semuanya." Ibra terkekeh. Namun, di sisi lain dirinya cukup gelisah, khawatir Imelda akan memarahinya, atau lebih parah lagi, memarahi Aira. Kekhawatiran itu bukannya tak beralasan. Ibra sempat menebak bahwa ibunya pasti berpikir jika secara tidak langsung, Aira lah yang menyebabkan Ibra pergi ke luar negeri."Ibra." Imelda maju selangkah dan berdiri tepat di hadapan putra tengahnya itu. Postur Ibra yang tinggi menjulang, membuat Imelda mendongak agar bisa menatap tepat ke arah kedua mata Ibra. "Bunda bangga padamu," ucapnya."Hah!" Ibra melongo. Tak menyangka jika Imelda malah memberinya pujian. "Bunda nggak marah?" tanyanya memastikan."Marah? Kenapa mesti marah? Bunda malah senang dengan pemikiranmu. Tandanya, pola pikirmu sudah dewasa dan matang, Nak," tutur Imelda sembari mengusap lembut lengan Ibra. "Lagipula, anak cowok memang harus merantau. Harus terbiasa menghadapi kerasnya dunia. Mentalmu harus ditempa supaya menjadi laki-laki kuat, layak
Aira tercenung setelah mendengar penuturan Manggala. Sebelumnya, Mira pernah memperingatkan dirinya tentang Ibra yang kemungkinan besar menaruh hati pada Aira. Namun, dia tak pernah menanggapi serius akan hal itu."Apa anak itu benar-benar menyukaiku, Ngga?" gumam Aira. "Siapa yang tidak suka padamu, Ra. Kamu cantik, cerdas, berbakat. Pokoknya paket komplit, deh," sanjung Manggala."Ah, gombal lagi!" Aira mencebikkan bibir."Serius, Sayang!" ujar Manggala."Padahal aku jauh lebih tua dari Ibra. Bisa-bisanya dia naksir aku." Aira terkikik geli."Kamu tuh masih kelihatan seperti anak kuliahan, Ra. Nggak akan ada yang menyangka kalau kamu tuh ibu anak satu," sanjung Manggala lagi."Ah, aku bosan dengan gombalanmu. Mending tidur," gerutu Aira. Sesaat kemudian, dia menarik selimut hingga ke dagu lalu memejamkan mata."Beristirahatlah, Sayang. Selamat tidur." Manggala mengecup lembut dahi Aira sebelum turut tenggelam ke alam mimpi.Entah berapa lama Aira tertidur, dia terbangun saat menden