Aira terbangun saat mendengar suara Enzo memanggil-manggil namanya. "Ra! Sudah ditunggu tuh, sama si Alex! Tumben kamu tidur seperti kebo. Susah sekali dibangunkan," omel Mira. Suaranya terdengar dekat di telinga Aira. Perlahan, ibu satu anak itu mengucek mata agar pandangannya tak buram. "Tante?" ucapnya lirih. Aira memperhatikan Mira yang sudah rapi dalam balutan blazer warna peach yang dipadu dengan celana jeans. Demikian pula Enzo yang juga telah rapi dan tampan dalam gendongan Mira. "A-aku di mana?" "Ya, di atas ranjang, lah! Kamu mengigau, ya?" Mira berdecak sambil menggeleng. "Tidak, Tante. Aku ...." Aira menggantung kalimatnya. Teringat oleh wanita cantik itu, semalam dia melihat sosok Manggala dalam kegelapan. "Angga, Tante!" Sontak Aira berseru. "Apa?" Mira mengernyit tak mengerti. "Manggala ada di sini!" Aira segera turun dari ranjang. Tak mempedulikan dirinya yang hanya memakai T-shirt putih ketat dan celana pendek ketat, dia berlari menuju kolam renang,
Pemotretan pre wedding diadakan di lereng yang berada di salah satu sisi gunung. Rencana awal yang akan diadakan di padang rumput kaki bukit, harus diubah pada detik-detik terakhir. Semua hanya karena keinginan Helen yang tiba-tiba. "Di pertemuan semalam, calon istrimu tidak mengatakan apa-apa. Tahu-tahu tempat pemotretan dipindah seenaknya," gerutu Aira. "Maaf, Ra. Aku terpaksa menuruti keinginannya. Ada alasan yang tak bisa kukatakan padamu," sesal Brandon. Sesekali dia melirik ke arah Helen yang berada agak jauh dari dirinya dan Aira. Wanita cantik bermata biru itu tengah merapikan rambut dan make up. Sebelumnya, Helen sudah dirias di villa oleh penata rias profesional. "Padahal niatku juga sekalian menjaga Enzo. Kalau begini, aku tak bisa mengajak putraku serta," keluh Aira lagi. "Tidak apa-apa, Ra. Tante dan Enzo bisa menunggu kalian di villa," putus Mira. "Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Ini cuma masalah kecil," bujuknya sembari menepuk pelan pundak sang keponakan.
Helen terpaku. Dia tak dapat berteriak maupun bergerak. Semua terjadi begitu cepat. Dirinya memang membenci Aira, tapi sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya untuk mengakhiri nyawa ibu satu anak itu. Beberapa saat setelah akal sehatnya kembali hadir, Helen segera berteriak sekencang-kencangnya. "Brandon! Aira terjatuh!" pekik Helen. Brandon yang asyik berdiskusi dengan Alex, langsung menoleh. "Apa?" serunya terbelalak. "Cepat, tolong dia! Aira di bawah sana!" pekik Helen histeris. "Ya, Tuhan!" Brandon dan Alex berlari secepat mungkin menuju arah telunjuk Helen. Sejenak, dua pria tampan itu tertegun melihat betapa curamnya tebing yang ditumbuhi rerumputan hijau di sela bebatuannya itu. "Apa yang kau lakukan, Helen!" sentak Brandon. Entah kenapa instingnya mengatakan bahwa calon istrinya itu berhubungan dengan kejadian tersebut. "Ti-tidak ada! Kami hanya bicara!" elak Helen terbata. Brandon tak percaya begitu saja. "Aku akan membuat perhitungan denganmu nanti!" ancamnya.
Aira memegangi kepalanya yang terasa berat. Seakan ada bandul besi yang bergerak memukul tulang tengkoraknya dari dalam. "Ssshh," rintihnya lirih. Kelopak matanya terbuka perlahan, mengamati sekitar. "Di mana aku?" gumam Aira."Ibu sudah sadar?" Terdengar sebuah suara yang membuat Aira menoleh. Tirai putih di sampingnya terbuka. Seorang wanita berseragam perawat mendekat sambil membawa nampan. Luwes gerakannya mengisi suntikan dengan cairan bening, lalu menyuntikkannya ke dalam selang infus Aira. "Ini obat anti nyeri, Bu. Luka terkilir Anda lumayan parah," jelas si perawat tanpa diminta."Ini di mana?" Aira mengedarkan pandangan ke sekeliling."Rumah sakit daerah, Bu. Tim SAR yang membawa Anda kemari," terang si perawat."Oh, ya ...." Aira ingat sekarang. Dia tadi terjatuh dari tebing setelah terlibat percekcokan dengan Helen. "Anakku ...." Tiba-tiba dirinya teringat akan Enzo."Saya sudah memberitahu pendamping Anda di luar."Tak berselang lama dari penjelasan sang perawat, Aira melih
Mira berdiri mematung di ambang pintu. Dia diam saja saat Manggala asyik bercengkerama dengan Enzo. Balita 1,5 tahun itu seakan telah mengenali Manggala sejak lama. Terbukti, Enzo sama sekali tak merengek saat Manggala mengangkat tubuh mungilnya, melempar Enzo ke udara, lalu menangkapnya lagi. "Pap ... pap," celoteh bocah menggemaskan itu. "Iya, Nak. Aku papamu," ucap Manggala penuh haru dengan mata berkaca-kaca. Melihat hal itu, Mira semakin kacau sekaligus penasaran setengah mati sehingga dia memberanikan diri untuk mendekat. "Apa kamu tidak ingin menceritakan sesuatu padaku? Apa hanya aku yang ketinggalan sesuatu?" cecar Mira. "Tante ...." Manggala tersenyum getir. "Izinkan aku bermain sebentar dengan Enzo. Nanti kalau dia tertidur, aku akan menceritakan semuanya," janjinya. "Oke!" Mira mengembuskan napas kasar. Tak merasa lega, malah semakin menambah rasa penasaran. Namun, dia tak dapat berbuat apapun tatkala melihat raut ceria Enzo dan sorot bahagia Manggala. Mira harus b
Mira tampak cemas. Mondar-mandir di depan kamar tempatnya menginap bersama Aira. Sementara Enzo sudah pulas tertidur. "Kenapa Aira belum pulang juga?" gumamnya. Tak hanya Aira, Alex pun tak nampak. "Ck! Ditelepon juga tidak bisa," gerutu Mira. Beruntung, kegalauan itu berakhir ketika dia melihat langkah tiga orang yang semakin mendekat ke arahnya. "Ra!" seru Mira. Panik dirinya melihat Aira yang berjalan di tengah dua orang bule tampan. Keponakannya itu sedang dituntun oleh Brandon dan Alex. "Apa yang terjadi?" tanya Mira was-was. "Hanya kecelakaan kecil, Tante," jawab Aira, berusaha sesantai mungkin karena tak ingin membuat tantenya resah. "Bagaimana bisa?" "Aira terpeleset. Kakinya terkilir," sahut Alex sebelum Aira sempat membuka mulut. "Ya, Tuhan!" Mira segera mendekat dan merengkuh sang keponakan, lalu membawanya masuk ke kamar. Namun, baru saja Mira hendak mendorong daun pintu agar terbuka lebih lebar, Alex lebih dulu memanggilnya. "Saya sudah menerima hasil pe
Setelah dua jam perjalanan udara, Aira dan Mira sampai juga di Jakarta. Wildan sudah menunggu di terminal kedatangan. "Mau langsung pulang atau mampir dulu?" tawar Wildan saat kendaraan yang mereka tumpangi mulai bergerak meninggalkan area parkir bandara."Pulang saja, deh. Besok saja main ke rumah Papa Bayu," sahut Aira."Oke!" Wildan memutar kemudi, melajukan mobil dalam kecepatan sedang hingga tiba di kediaman Kartika.Tampak sang ibu telah menunggu di halaman depan, bermaksud untuk menyambut kedatangan Aira."Ne ... ne ... ne!" seru Enzo antusias tatkala Wildan membantunya turun."Kangen nenek, ya?" Wildan tergelak melihat tingkah lucu keponakan yang seumuran dengan putrinya itu. "Iyyah!" sahut Enzo, seolah tahu apa yang dibicarakan Wildan."Sayang!" sambut Kartika. Dia langsung berlari menghambur ke arah Wildan, dan merebut Enzo dari gendongan.Sementara Aira sibuk membawa barang-barangnya. Dia berniat masuk ke kamar untuk mengistirahatkan kaki.Namun, sebisa mungkin Aira menye
Dari balik dinding penyekat antara ruang tamu dan ruang tengah, Sinta dan Wildan menguping di sana. Kebetulan, Enzo dan sepupunya, Ratri, sama-sama tertidur setelah mandi. "Anak siapa yang dibawa Jati itu?" bisik Sinta pada suaminya. Dia agak terlambat datang, sehingga tak mengetahui percakapan awal. "Itu anak tetangga apartemen Aira dulu," jawab Wildan lirih. "Kenapa sampai diajak kemari oleh Jati?" tanya Sinta lagi. "Sst! Dengarkan dulu!" Wildan langsung membungkam lembut bibir istrinya, lalu memberikan isyarat agar Sinta memasang telinga lebar-lebar demi menangkap penjelasan Jati yang samar terdengar. "Sedang apa kalian di sini! Bukannya menjaga anak-anak!" hardik Mira seraya menepuk pundak Wildan dan Sinta secara bergantian. "Sstt!" Serempak, Wildan dan Sinta menempelkan telunjuk pada bibir. "Ck! Tidak sopan!" gerutu Mira sembari berdecak kesal. Meskipun demikian, dia turut mendengarkan percakapan di ruang tamu tersebut. "Apartemen yang pernah kamu tempati bersama
Aira menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia harus bisa mengenyahkan segala pikiran buruk. Mungkin itu semua adalah bagian dari rencana Manggala, batinnya. "Manggala tidak mungkin berkhianat. Tadi dia sudah meneleponku." Kalimat itu terus Aira ulang seperti mantra. "Sammy dan saya akan duduk di sebelah sana," pamit Alex dan ditanggapi dengan anggukan kepala oleh Aira. Sesaat kemudian, wanita cantik itu mengedarkan pandangan ke sekeliling lokasi pesta. Acara farewell party sekaligus first dance kedua mempelai diadakan di lahan kosong berupa padang rumput yang terletak di area selatan resort. Padang rumput tersebut berbatasan dengan tebing curam. Di bawah tebing, terdapat pemandangan indah berupa bibir pantai berbatu. Keindahan itu menjadi berkali lipat ketika di ujung horizon muncul semburat cahaya jingga yang menjadi penanda bahwa senja telah tiba. Tenda raksasa yang dilengkapi dengan dekorasi mewah nan elegan dan dihiasi ribuan bunga mawar putih, didirikan untuk m
"Aunty!" Teriakan Sammy membuat Aira terkejut. Konsentrasinya dalam mengambil foto-foto Cynthia pun buyar seketika. "Kenapa lagi, Nak?" tanyanya penuh kesabaran. "Ponselmu berbunyi," jawab Sammy seraya meraih sebuah telepon genggam dari dalam kopernya. "Ponsel siapa itu, Sammy?" Aira mengernyit waspada. "Itu bukan milikku " "Tapi, ayah tadi mengatakan jika ponsel ini berdering, maka aku harus memberikannya pada Aunty. Ayah tadi juga mengatakan kalau aku harus menunjukkan ponsel ini pada Aunty," jelas Sammy panjang lebar. Ragu-ragu, Aira mengulurkan tangan. Dia memutuskan untuk menerima ponsel yang disodorkan oleh Sammy. "Ha-halo?" sapa Aira terbata. "Sayang?" balas suara di seberang sana. Suara yang sudah sangat melekat dalam sanubari, bahkan alam bawah sadar Aira. "Ma-Manggala?" desisnya. "Iya, ini aku. Boleh aku minta tolong, Sayang?" tanya Manggala lembut. "Tentu! Ada apa, Ngga?" "Tolong kirim hasil foto-fotomu ke email yang akan kukirim sebentar lagi di nomor
William terdiam. Di satu sisi, dia merasa sedikit terdesak. Wiliam sendirian di tempat ini. Sengaja dia memutuskan untuk menjauhkan para pengawalnya dari Frederick beserta anak buah pria paruh baya itu, agar rencananya bersama Manggala bisa berhasil. Sebuah pilihan berbahaya, berisiko tinggi. Namun, dia yakin hasilnya akan sesuai dengan yang diharapkan. Keyakinan William itu akhirnya membuahkan hasil. Sebelum anak buah Frederick berhasil meringkusnya, tiba-tiba puluhan pria berambut cepak dengan kaos hitam berlari menghampiri. Pria-pria itu sigap meringkus anak buah Frederick. Mereka melumpuhkan pria-pria bersetelan rapi itu kurang dari lima menit. "Ayah!" Cynthia menunjukkan ketakutannya saat seorang pria asing menodongkan pistol ke pelipis Frederick. Ujung moncongnya membuat pria berambut putih itu menegang. Meskipun demikian, Frederick tetap berusaha untuk menekan rasa takutnya. "Kau pikir bisa menghancurkanku seperti ini, Will?" ejek Frederick dengan senyum meremehkan.
"Aunty! Ayah membawakanku banyak kue. Lihatlah!" Sammy menyeret koper berodanya, lalu meletakkan benda persegi itu di depan kaki Aira. "Wow! Kelihatannya enak-enak!" puji ibunda Enzo itu untuk menyenangkan hati Sammy. "Aunty boleh mengambil satu!" Sammy menyodorkan sebungkus roti keju pada Aira. "Nanti dulu ya, Sayang. Aunty harus bekerja," tolak Aira halus. Diusapnya rambut coklat keemasan itu seraya tersenyum lembut. "Ah, aku lupa pesan ayah," ujar Sammy sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Aunty sedang bekerja, dan aku tidak boleh mengganggu," lanjutnya. "Anak pintar!" Aira tertawa geli. Gemas rasanya melihat Sammy yang semakin hari, tumbuh semakin cerdas. Kembali dia mengacak-acak rambut Sammy sebelum fokus pada kamera tele yang sedari tadi dia pegang. Aira mendudukkan diri di kursi. Tubuhnya menghadap ke dinding kaca tebal. Tatapannya tajam mengarah ke pemandangan di bawah sana, di dekat bibir pantai. Di bangku panjang yang diapit bebatuan pantai itu, telah datang wani
"Kaca gelap ini bisa Anda gunakan untuk kepentingan kita," tutur Alex yang membuat dahi Aira berkerut. "Maksudnya?" "Lihat sisi ini!" Alex mengarahkan telunjuknya ke sudut dinding kaca. Mau tak mau, Aira mengikuti arah pandang Alex. Saat itulah dirinya menyadari bahwa sudut dinding kaca tersebut memiliki warna yang berbeda. Aira memperkirakan bahwa bagian kaca yang berwarna tak terlalu gelap itu memiliki luas tak lebih dari tiga puluh senti. "Untuk apa sudut ini?" tanyanya heran. "Anda bisa mengambil foto dari sana," jawab Alex. "Foto?" ulang Aira tak mengerti. "Tuan Clarks meminta anda mengambil foto dalam jumlah sebanyak-banyaknya dari sisi itu," terang Alex. "Ya, ampun. Kata-kata anda terlalu membingungkan. Aku sama sekali tak paham," keluh Aira seraya menggaruk keningnya. "Begini ...." Alex menggoyangkan tangannya, sebagai isyarat agar Aira mendekat. "Jadi, nanti aku mengatur pertemuan antara Tuan Clarks dan Cynthia. Lokasinya ada di bawah sana," tunjuk Alex.
Baru beberapa menit yang lalu Aira menjejakkan kaki di bandara internasional Ngurah Rai, Bali. Bersama Alex, dia menaiki satu mobil khusus yang telah disewa menuju tempat resepsi yang akan digelar besok. "Kru kita masih sama dengan yang dulu," tutur Alex tanpa ditanya, dan Aira pun mengangguk. "Anda tidak apa-apa, kan? Berpisah sementara dengan Enzo?" tanya Alex memastikan. Aira langsung menggeleng dengan yakin. "Dia aman bersama Mama, Tante Mira dan kakak-kakakku," jawabnya. Mendengar nama Mira disebut, Alex langsung tersenyum lebar. "Ya, aku juga merasa begitu. Enzo pasti akan baik-baik saja," gumamnya. Tak terasa, dua jam perjalanan telah ditempuh. Kini, mereka sampai di sebuah resort pribadi di pesisir selatan pulau Bali. Alex langsung mengajak Aira untuk meeting bersama beberapa orang kru yang akan membantu pekerjaan Aira besok. Sejauh yang dia nilai, konsep pernikahan Brandon ini sangat mewah. Seperti acara resepsi a la barat pada umumnya. Ada beberapa tahapan yang
Manggala mengajak Aira memasuki sebuah kamar lain melalui pintu penghubung di kamar yang ditempati oleh Enzo. Pria tampan yang masih setia dengan rambut gondrongnya tersebut menuntun sang istri dengan sangat lembut dan penuh kehati-hatian. "Kamu makin cantik, Sayang," sanjung Manggala dengan tatapan lekat. Tak sedetik pun dirinya mengalihkan pandangan dari wajah cantik Aira yang sudah dipoles dengan make up elegan. "Syukurlah," desis Manggala kemudian. "Apa?" Aira menautkan alis tanda tak paham. "Gaun pilihanku sungguh sangat cocok dikenakan olehmu." Mata coklat tajam Manggala menyapu tubuh sang istri, mulai dari kepala hingga ujung kaki. Gaun hitam berbahan velvet dengan model A-line itu sungguh sempurna membingkai pinggang ramping Aira. "Ah, Sayang. Rasanya sudah berabad-abad aku tak menyentuhmu." Sorot mata Manggala semakin sayu. Satu tangannya sudah aktif bergerak. Sementara bibirnya, dia dekatkan ke bahu kanan Aira. Dengan satu gigitan, Manggala arahkan tali gaun seuk
"Kamu makin ganteng," sanjung Aira seraya tersipu malu. "Masih gondrong juga." Manggala terkekeh. "Kamu ingin aku potong rambut?" tanyanya lembut. Aira spontan menggeleng. "Kamu mau model rambut macam apapun, tidak pernah gagal terlihat tampan," sanjungnya lagi. Manggala salah tingkah. Pipinya bersemu merah, bagaikan remaja yang baru jatuh cinta. "Benarkah?" Tatapan mata pria itu tampak sayu, terarah pada Aira. "Papap ... papap!" Celotehan Enzo membuat Manggala tersadar. Ada bayi yang sangat dia rindukan dan tunggu kedatangannya. "Jagoan Papa," ucap Manggala. Dia meraih Enzo dari gendongan Aira, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara. "Papa sangat merindukanmu, Nak. Sangat rindu," ungkap Manggala dengan mata berkaca-kaca. Begitu pula Aira dengan perasaan campur aduk. "Sampai kapan kita akan seperti ini, Ngga? Aku mulai lelah," keluhnya. "Tolong, sabar sedikit, Sayang. Berjanjilah padaku untuk bertahan," pinta Manggala. Aira tak menjawab. Malah Enzo yang menanggapiny
Aira terlihat sangat bahagia menggandeng Enzo. Bocah menggemaskan itu terlihat sangat tampan dalam balutan tuksedo hitam. Senada dengan gaun malam Aira yang juga berwarna hitam. Enzo terus berceloteh dalam gendongan ibunya. Sementara tangan Aira yang lain tengah menyeret stroller. Wanita yang terlihat sangat cantik malam itu berjalan tergesa menuju teras. Aira patut terburu-buru, sebab saat itu suda menunggu sebuah mobil mewah sewaan yang terparkir gagah di halaman rumah Kartika. "Selamat malam, Nyonya." Seorang pria bersetelan hitam, keluar dari pintu pengemudi lau bergegas menghampiri Aira. Pria itu juga membungkuk hormat padanya. "Ini alamat yang akan saya tuju, Pak." Aira sedikit kesusahan mengoperasikan ponsel yang sedari tadi dia genggam sambil menggendong Enzo. "Saya sudah tahu, Nyonya. Klien saya sudah membagikan lokasinya," sahut sang sopir sopan. "Oh, baiklah. Terima kasih." Aira seakan tak sabar ingin bertemu dengan suami. Dirinya tak berpikir panjang untuk seger