Halo semuaaa cerita Melumpuhkan Hati CEO ini tersedia GRATIS di KaryaKarsa ya dengan judul "The Boss Owns Me". Kunjungin profil aku @xerniy
Yuk Coba Cek di KaryaKarsa, harga lebih murah tentunya, cuman bayar 25.000 kalian sudah bisa baca SEMUA CHAPTERnya di KaryaKarsa, yuk cus ke KaryaKarsa sekarangg****Permasalahan diselesaikan secara baik-baik. Kini Anjani, Bian dan Clara duduk satu meja. Walau Bian terlihat ogah-ogahan."Saya benar benar minta maaf atas kesalahan anak saya, Pak," kata Anjani. Ia duduk di samping Clara yang memeluknya. Bocah itu masih terlihat ketakutan karena raut datar Bian.Bian berdehem singkat dan menetrasilir kecanggungan. "Sudahlah. Saya bosan mendengar itu dari mulut kamu.""Tapi baju bapak kotor. Apa perlu saya cuci dulu?"Bian menggeleng. "Tidak usah. Itu hanya akan membuang waktu. Biar saya ganti di kantor saja." Ia melirik sekilas Clara. "Kenapa anakmu itu?""Dia masih ketakutan, Pak." Anjani mengelus kepala Clara dan meminta gadis itu berhenti memeluknya."Katakan padanya saya bukan monster yang harus ditakuti."Anjani mengangguk. "Clara."Clara berbisik sembari diam-diam menatap Bian. "Dia masih marah, Bun?""Enggak. Dia nggak marah lagi sama kamu. Ayo sekarang kamu minta maaf yang benar."Jadilah Clara melepas pelukannya dari sang Bunda lalu menunduk seraya berkata pada Bian. "Maaf, Om. Clara salah. Clara janji nggak mengulanginya.""Hmm.""Tadi kamu mau beli susu, kan?"Clara mengangguk kecil, kini dia berani menatap Bian."Ambil ini. Sekarang beli dua, satunya untuk saya." Bian mengulurkan selembar uang."Nggak usah, Pak. Pakai uang—""Ini untuk Clara. Bukan untuk kamu," sinis Bian pada Anjani."Makasih ya. Om.""Ya."Clara pun menerima uang tersebut dan beranjak membeli susu putih kesukaannya. Mereka masih berada di warteg tadi jadi Clara tidak perlu pergi jauh."Saya sepertinya pernah melihat kamu." Sepeninggal Clara Bian mengambil kesempatan bertanya. Sebab ia seperti mengenal Anjani tapi Bian lupa dimana."Kita pernah bertemu dua tahun lalu, Pak. Saya Anjani, istri pemilik perusaan Haling yang saya jual ke bapak."Bian terdiam sejenak, lalu dia manggut-manggut ingat. Ternyata dia Anjani, istri Aldevaro yang meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. "Oke, saya ingat. Kenapa kamu bisa sampai ke sini?""Farah. Teman saya yang mengajak ke sini. Farah hendak mempertemukan saya dengan bapak." Anjani tak peduli lagi bagaimana respon Bian. Ia merasa malu sekarang."Untuk?""Saya juga tidak tau niat sebenarnya apa.""Aneh." Bian menggeleng seraya berdecak. Dia menyorot penampilan Anjani dari bawah ke atas. Dengan rok panjang semata kaki, kemeja putih panjang dan rambut dikuncir satu, wanita itu tampak sedikit kuno."Sebaiknya kalian pulang saja. Waktu istirahat saya sudah habis. Dan tidak penting juga untuk saya bertemu kalian yang hanya menambah masalah."Pupil Anjani melebar. Ia tak menyangka Bian akan mengatakan itu. Apa maksudnya Anjani ini sumber masalah baru?"Maksud bapak?"Bian tersenyum sinis. "Saya paham. Dengan kondisi kamu yang seperti kamu hanya ingin uang, kan. Mau sebesar apa biar saya kasih?"Tangan Anjani di bawah meja terkepal. Andai mereka berada di kesunyian, ia tak segan menampar Bian. Sayangnya Anjani malas melebarkan masalah."Sombong banget sih?! Asal bapak tau saya punya uang cukup untuk menafkahi anak saya. Saya tidak perlu sepeser pun uang dari bapak!" Anjani marah. Ia lalu meraih tongkatnya yang bersandar. Ia berdiri dengan tatapan menghunus ke arah Bian. Seolah ingin menelan pria itu hidup-hidup.Anjani sudah mengatakan bukan? Ia sangat malas bertemu lelaki sombong dan arogan seperti Bian yang bisanya hanya menyakiti hati orang lain. Sangat berbeda dengan Aldevaro yang penyayang."Ini susunya, Om." Clara tiba-tiba datang dan dengan senyum tak berdosanya itu mengulurkan segelas susu pada Bian."Kita pulang Clara," pinta Anjani membuat Clara menoleh heran."Tapi clara masih mau minum susu, Bun.""Tinggalkan susu itu, kita beli di tempat lain saja. Kamu sayang Bunda, kan?" Clara tampak cemberut tapi dia menurut. Clara menaruh gelas susunya ke meja."Ini uang bapak saya kembalikan. Saya tidak perlu sumbangan. Terima kasih." Anjani menaruh beberapa lembar uang di meja dengan gerakan tak santai. Menyiratkan ia sedang marah. Wajah Bian memerah.Sedangkan Clara menatap bingung Anjani dan Bian. Dia heran apa yang sudah terjadi tadi. Namun ketika Clara ingin bertanya Anjani lebih dulu menggenggam tangannya dan melangkah pergi. Terpaksa Clara mengikuti. Dan sebelum itu ia melambai pada Bian."Dadah, Om." Cih. Bian semakin dibuat naik darah atas sikap sombong Anjani. Ya sombong menurutnya."Eh Ani lo kemana?" Farah mendadak datang.Anjani menggeleng pelan. Matanya berkaca-kaca. "Aku pulang, Far. Sudah cukup aku ketemu sama bos kamu.""Astaga elo sih kelamaan, Nya," kata Farah."Kok gue?" Vanya enggan disalahkan."Gimana-gimana, An? Ganteng kan? Lo ngomong apa aja sama Pak Bian?""Aku nggak peduli, Far. Aku hanya ingin pulang. Aku capek," jawab Anjani lesu. Detik itu pun Vanya dan Farah saling berpandangan. Sepertinya ada yang tidak beres, pikir mereka."An lo bisa pulang sendiri?" Farah prihatin. Ia menatap Anjani kasihan."Aku bisa melakukan semuanya sendiri, Far. Ayo Clara."Clara menurut dan dia melambai pada Farah dan Vanya. Tersenyum memperlihatkan gigi kelincinya. "Dadah tante. Makasih traktirannya ya. Ketemu lagi."Farah dan Vanya pun menghela pasrah, mereka membiarkan Anjani pergi. Nanti saja Farah harus bertanya apa barusan masalah wanita itu dan Bian.Tepat saat mereka berdua lanjut melangkah, mereka berpapasan dengan Bian."Hai, Pak. Gimana—""Ajari temanmu itu untuk bersikap yang sopan. Saya risih melihatnya. Dasar wanita cacat!" Tanpa berkata sepatah kata lagi Bian pun berlalu. Rautnya tampak menahan emosi.Vanya menghela napas."Astaga! Emang ada apa sih, Far?""Ya mana gue tau. Kan gara-gara elo kelamaan.""Gue mulu disalahin, Oon."***Bian mengganti kemeja yang kotor tadi dengan yang baru. Usai itu lelaki tersebut duduk di kursinya untuk kembali bekerja. Ada beberapa dokumen baru di atas sana. Ia pun membuka laptop dan mulai melakukan pekerjaannya.Beruntung Bian membawa kemeja cadangan. Jadi dia tidak perlu lagi menelpon sang supir untuk membawakan kemeja dari rumah. Namun tetap saja sial, karena waktunya sedikit terbuang demi mengganti kemeja. Asal kalian tau saja, Bian adalah orang yang sangat menghargai waktu.Gara-gara Anjani. Ya tentu wanita cacat itu yang salah. Kenapa sih dia tiba-tiba datang mengacaukan harinya?Oh jangan lupakan Vanya, Bian juga harus memarahi sekretarisnya itu.Apa maksudnya mengajak Anjani bertemu dengannya? Sangat konyol dan tidak masuk akal.Entahlah. Bian malas memikirkannya."Dasar wanita cacat!"Tok-tokPintunya diketuk."Masuk." Tampaklah seorang lelaki berkemeja. Sani. Dia teman Bian yang bekerja di sini."Ngapain lo? Gue kerja. Nggak mau diganggu." Bian lebih santai saat berbicara dengan Sani. Bahkan tak segan mengubah panggilan formalnya."Santai, Bi. Gue cuma ngasih undangan party nih. Lo mesti datang." Sani mengulurkan party card berwarna merah."Party siapa?""Ya si Laura lah. Emang siapa lagi temen sekampus kita yang sering party?" Sani menepuk pundak sahabatnya itu.Bian mengernyit kurang percaya."Seriously, lo tamu VIP. Noh liat undangannya."Bian pun mengambil dan membaca undangan tersebut. Seketika ia mengusap wajah frustasi. Ia terjebak perangkap sang penyihir bernama Laura."Lo nggak akan bisa nolak, Man. Ingat bokapnya Laura salah satu pemegang saham di perusahaan lo. Hahaha.""Sialan!"Hari yang sungguh sial. Tadi Anjani sekarang Laura.Bian tidak mungkin bisa menolak wanita licik tersebut. Bahkan mereka sempat dijodohkan tanpa keinginan Bian.***Anjani masih sedikit kesal atas kejadian siang tadi. Terutama saat Bian merendahkan dirinya. Pria sombong itu sungguh jahat telah menyamakan Anjani sebagai wanita yang haus akan harta.Sungguh menyebalkan! Pak Bian sombong! Galak! Arogan!Sedang asiknya melamun pintu kamarnya diketuk. Masuklah Clara."Hei belum tidur sayang?""Mau tidur sama Bunda. Clara kangen dongeng.""Boleh sini."Clara menaiki ranjang dan memeluk Anjani."Udah sikat gigi belum?""Udah dong. Iiii." Clara memperlihatkan gigi kecilnya."Pinter banget. Kalo Clara sikat gigi tiap malam Bunda makin tambah sayang sama Clara.""Bunda tadi kenapa kita mendadak pergi? Aku padahal belum mengucapkan terima kasih sama Om Bian," tanya Clara.Anjani tersenyum tipis. Clara masih kecil, jadi dia pasti belum mengerti masalah orang dewasa."Nggak papa. Lagian Bunda sudah berterima kasih duluan.""Sepertinya Om Bian baik ya, Bun. Tapi mukanya sedikit menyeramkan.""Makanya kita tidak perlu membahas Bian lagi. Sekarang tidur oke?" Anjani mencubit gemas pipi Clara."Andai papa masih ada. Clara mau didongengkan sama papa."Perkataan Clara seolah membuat hati Anjani tertusuk ribuan jarum yang tajam. Anjani membuang napas berat."Papa ada kok. Di hati Bunda dan di hati kamu."Namun namanya anak kecil, tak selalu mudah dibujuk termasuk Clara. Dengan raut melas dia menatap Anjani. "Aku mau papa, Bun.""Sayang—""Clara pengen Bunda nikah lagi. Biar Clara punya papa baru."Anjani dibuat gugup. Ia menelan Saliva kasar."Dan Clara janji kok nggak melupakan papa Varo. Clara selalu sayang sama papa Varo."Sulit bagi Anjani untuk membuka hati kembali, karena sampai sekarang rasa cintanya hanya untuk Aldevaro. Walau dia telah tiada, Anjani seolah mampu merasakan kehadirannya."Kamu kecapekan nih. Tidur ya."Mengangguk pasrah, Clara pun berbaring dan menarik selimut sebatas dada. Sedangkan Anjani berbaring menyamping seraya mengusap-ngusap lembut kepala anak itu. Pikiran dan hatinya seakan sedang bertarung, antara bertahan dengan cintanya atau mencari pendamping hidup baru demi Clara.--TBOM--"Babe, lo jadi datang nggak?" tanya seseorang di seberang, mengejutkan Bian yang baru saja menekan speaker gawainya di nakas.Siapa lagi orang itu kalau bukan Laura, Wanita paling Bian hindari di dunia ini. Dia wanita yang sombong dan bersikap sangat manja. Bian benci tipe wanita seperti itu.So, for your information, Laura merupakan anak salah satu rekan bisnis mendiang ayahnya—Baskara. Persahabatan mereka dulu begitu erat sekaligus berarti, sampai Baskara tak tanggung-tanggung berpesan agar menikahi anak rekan bisnisnya itu saja. Tidak boleh wanita lain.Menghela napas pelan lalu melepas kaos kakinya sambil duduk di tepi ranjang Bian bergumam malas, "Hm.""Astaga, Bi. Jangan malas gitu dong. Kamu tamu VIP, kedatangan kamu spesial banget buat aku," rengek Laura manja."Memang saya peduli? Kamu bukan siapa-siapa buat saya. Bahkan cuma orang asing." Bian menegapkan punggungnya, berbicara lebih tegas."Ish. Aku ini calon tunangan kamu, ingat nggak sih, Bi?" Semakin diladeni maka wanita
Tragedi tersebut terjadi sangat cepat. Mobil itu berhenti setelah menabrak paha Anjani cukup keras. Sekarang Anjani terduduk di aspal bersama tongkatnya yang patah.Si pemilik mobil terlihat sejenak menyembulkan kepala dari balik kaca mobil, matanya seketika membulat."Ya ampun, ibu nggak papa? Kita ke rumah sakit ya bu," ucap bi Ratih bersimpuh di depan Anjani. Bahkan sopir pribadinya ikut keluar dari mobil. Mereka membantu Anjani berdiri."Aku nggak papa, Bi." Anjani menggeleng pelan. Sungguh, ia tidak merasakan apa pun pada kakinya. Toh, kaki yang lumpuh itu sudah mati rasa jadi efeknya mungkin hanya lebam biru.Anjani juga syok. Telapak tangannya sedikit perih, dan benar setelah Anjani lihat ada beberapa luka goresan kecil di sana."Gimana bisa enggak, Bu. Itu kaki kanan ibu baru di terapi kemarin, bahaya," tukas bi Ratih, bertepatan seorang pria berjas abu menghampiri.Anjani tercengang menatap pria itu, begitu pun yang ditatap, dia tidak lain adalah Bian Pradipta. Pria arogan yan
Anjani duduk di sofa. Jangan kira ia merasa kesakitan tapi justru ia tidak merasakan apa-apa. Sedari tadi Bi Ratih dan sang supirlah yang terus memaksa agar ia dibawa ke dokter saja.Anjani tentu menolak. Luka lebam ini tidak terlalu besar untuknya sampai harus mengeluarkan uang banyak."Saya ambilin obat ya, bu," kata Bi Ratih.Anjani mengangguk pelan sembari tersenyum. "Iya, Bi. Terima kasih ya."Bi Ratih pun pergi menuju dapur untuk mengambil obat. Tak lama wanita itu kembali dan langsung mengoleskan salep lebamnya ke paha Anjani penuh hati-hati. Sementara Anjani menempelkan kasa yang telah ditetesi obat merah ke telapak tangannya yang lecet."Bapak tadi sombong banget ya, Bu. Bukannya minta maaf malah marah-marah ke ibu. Bibi mah kalo jadi ibu langsung bibi laporin ke polisi," ungkap bi Ratih. Maklum dia pasti kesal kalau ada yang menganggu Anjani. Mengingat Anjani telah ia anggap sebagai a
Masih berkelut dengan berita tentang Anjani dan Bian yang menggemparkan media masa. Bahkan pagi sekali Sani rela datang ke apartemen Bian demi membahas hal itu. Sani kepalang penasaran, maka daripada pusing membuat asumsi sendiri Sani memilih menemui Bian secara langsung. Ya walaupun nanti di kantor mereka pasti bertemu. Sebenarnya juga Sani ingin bertanya mengenai pesta pertunangan Bian bersama Laura yang gagal sebelumnya. Namun Sani kira hal itu tidak terlalu penting, jadi dia memutuskan bertanya kronologi pemberitaan tentang bosnya itu dan Anjani saja. Terlebih ini menarik. Jarang-jarang Sani mendapati wajah Bian muncul di televisi sebagai pelaku tabrak lari."Anjani Zelena. Usia 26 Tahun. Dia memiliki seorang putri bernama Clara." Sani membaca berita di website itu, lalu tertawa pelan sembari melirik Bian yang sedang memasang dasi menghadap cermin. "Cantik dong walau udah janda." Ia mulai mencari informasi mengenai Anjani. Lebih tepatnya Sani mengagumi keberanian wanita itu keti
Halaman gedung perusahaan Pradipta kini dikerumuni banyak wartawan. Mereka mendesak masuk dan menemui Bian untuk meminta kejelasan mengenai berita yang beredar semalam. Bahkan banyak satpam ikut turun tangan menangani keadaan.Para wartawan itu memang tidak terlalu mendesak masuk, tetapi mereka terus melontarkan pertanyaan tentang Anjani dan Bian yang membuat satpam-satpam itu kebingungan."Pak, tolong jawab pertanyaan kami? Menurut bapak apakah benar Pak Bian sengaja menabrak Anjani?" "Kenapa pak Bian tidak bertanggung jawab?" "Apakah Bian sudah hadir tapi kalian menyembunyikannya dari kami, pak?" "Perusahaan Pradipta sedang terancam karena sikap tidak bertanggung jawab CEO-nya. Bagaimana tanggapan bapak?" Setidaknya itu sederet pertanyaan yang mereka lontarkan. Sebagai respon pun para satpam hanya diam sebab mereka tidak tahu-menahu masalah itu.Di tempat lain Vanya mondar-mandir tidak karuan. Ia khawatir andai Bian tidak datang. Tapi rasanya tidak mungkin, Bian tipe orang yang d
"Di depan semua media saat ini, saya meminta maaf sebesar-besarnya padamu Anjani. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Saya berjanji akan lebih bertanggung jawab," ucap Bian. Kalimat tegas yang membuat semua penghuni aula terdiam. Terutama Anjani, ia tak menyangka Bian mampu merubah sikapnya dalam satu hari. Namun, Anjani akui jika Bian mengatakan itu hanya untuk mencegah nama baiknya tercemar. "Dan sebagai bentuk pertanggungjawaban saya atas kesalahan kemarin. Saya bersedia menanggung semua biaya pengobatan kakimu sampai pulih." Tunggu. Apakah ada sesuatu yang mengganjal telingnya? Anjani sulit percaya ini. Di satu sisi ia menghormati permintaan Bian yang pertama. Entah untuk yang kedua ini Anjani pikir sangat berlebihan. "Pak." Anjani menyela dan Bian langsung menggeleng cepat. Berbeda dengan Clara, gadis itu tersenyum lebar menatap Bian. Meski ia tidak terlalu mengerti apa maksud p
Sani masih belum percaya pada keputusan Biab karena terdengar sangat berlebihan. Sebelumnya, ia mengira Bian sekedar meminta maaf guna mengembalikan nama baik perusahaan Pradipta, tapi ternyata lebih dari itu. Bian membuat semua media kagum dan tercengang."Bian lo serius nggak sih oneng? Apa telinga gue yang kejejel kotoran pas denger lo ngomong?" tanya Sani serius. Sebab Bian yang dilihatnya barusan sangat berbeda dengan Bian yang dikenalnya—angkuh, sombong, dan ia tahu Bian tidak mungkin membuang-buang uang untuk hal yang kurang penting—contohnya membantu wanita yang tidak ia sukai."Gue seriuslah. Gue yang nanggung semua pengobatan Anjani," jawab Bian sembari fokus mengetik sesuatu di laptopnya.Sani yang duduk di hadapan Bian itu menahan tawanya menyembur, "Pftt Hahaha! Kesambet apaan lo jadi baik? Bukannya lo nggak suka deketan sama Anjani. Tadi gue juga liat lo meluk anaknya.""Jangan bacot! Lo nggak ak
Rutinitas Anjani bertambah mulai hari ini, yaitu memasak makan siang untuk sang bos arogan dan pemaksa bernama Bian Pradipta. Kebetulan juga dalam seminggu ke depan Clara libur semester, jadi jadwalnya menjemput anak itu setiap pukul 12 siang, tidak akan bertabrakan dengan jadwal mengantar makanan untuk Bian. Setidaknya pada minggu ini ia cukup tenang.Anjani mengaduk perlahan semur jengkol di dalam wajan berukuran sedang dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mengapit tongkat agar tetap seimbang. Seketika aroma masakan itu menguar ke seluruh ruangan. Membuat perutnya ikut keroncongan.Jujur bukan perkara mudah bagi Anjani memasak semur jengkol, pasalnya ia juga sangat jarang menyantap makanan satu ini—bukan tidak suka. Terlebih Clara yang sangat anti akan baunya.Tapi tenang, semur jengkolnya buatannya sekarang sudah dimasak sebaik mungkin, resepnya ia baca begitu teliti dari internet. Sehingga tidak me
Laura tertawa lepas sembari menonton televisi di ruang tamu rumahnya, wanita itu sedang libur bekerja hari ini, manajernya—Hani mengatakan bahwa Laura perlu cuti untuk beristirahat dikarenakan wanita itu sedang hamil. Laura juga sebenarnya tidak peduli, sebab seberapa banyakpun ia libur atau menganggur uangnya tidak akan pernah habis. Ya, uang ayahnya—Hans selagi pria itu masih hidup ia tidak perlu khawatir akan jatuh miskin.Sedari tadi pun, kerjaannya hanya makan dan makan, efek hamil membuatnya terlalu malas untuk bergerak apalagi melakukan pekerjaan rumah. Oh ya, jangan lupa, selama ia masih tinggal di rumah mewah ini ia tidak perlu berbuat apa-apa. Tinggal duduk manis, semua sudah tersaji di meja. Pelayanan di rumah inilah andalannya."Nona, peralatan mandinya sudah siap, jacuzzinya juga sudah saya campur dengan mawar kesukaan Nona," ujar seorang pelayan wanita, ia membungkuk sopan.Laura mengangguk malas, sangat terpaksa untuk mandi, jika saja hari ini ia tidak berencana pergi ke
Pukul 12.10 ketika Anjani tiba di kantor Pradipta. Saat menuruni mobi ia disambut senyum ramah oleh satpam dan beberapa karyawan. Maklum, siapa yang tidak mengenal Anjani di kantor Pradipta ini? Mengingat dia adalah istri pemilik perusahaan. "Selamat siang, Bu. Wah, hari ini ibu cantik sekali," puji salah satu pegawai laki-laki. Usianya terbilang lebih muda.Anjani tersenyum tipis. Satu tangannya memegang tongkat dan tangan lainnya membawa tas berisi bekal makan. "Terima kasih. Mungkin itu hanya perasaan masnya, bahkan aku merasa biasa saja hari ini," jawab Anjani rendah hati. Laki-laki itu menggeleng cepat, "Ah tidak, Bu. Hari ini ibu memang kelihatan berbeda, wajah ibu lebih cerah."Anjani sontak teringat ucapan Cintya, jika wanita hamil memiliki aura yang positif dan wajah yang lebih bercahaya. "Mungkin karena aku sedang hamil," batin Anjani menggelitik. Ingin rasanya mengusap perut tapi tangannya penuh. "Saya ke ruangan pak Bian dulu yaaa, Mas," Ucap Anjani tersenyum lagi pa
Kadang, Anjani merasa bersalah. Namun, jika tidak seperti itu, selamanya ia tidak akan tenang karena belum membantu menyelesaikan masalah Kevin. Toh, Kevin sendiri tidak tahu apa-apa mengenai persoalan suaminya dengan Bram. Anak itu masih terlalu polos untuk memahami masalah seperti ini. Kevin hanya anak kecil yang pikirannya untuk main dan bermain. Selesai membantu Kevin, Anjani bergegas pulang ke rumah mengantar Clara. Sebelum siang nanti, ia pergi ke kantor membawakan makan siang suaminya itu. Bukan keinginan Bian agar Anjani melakukan itu, tetapi Anjani sendiri yang mau. Ia ingin selalu memastikan Bian makan-makanan yang sehat baik di rumah maupun di kantornya. Toh, sudah tugas seorang istri kan untuk memberikan yang terbaik pada suami? "Bun, tadi Kevin sempat bilang kalau Bunda ternyata baik sama dia. Kevin kayanya senang banget bisa ketemu sama Bunda hari ini," celoteh Clara sembari duduk di kursi ruang makan, memainkan boneka barbie yang baru ia beli tadi. Anjani yang sibu
Pagi ini suasana kantor Pradipta sudah sangat ramai, seluruh karyawannya datang tepat waktu seperti biasa. Mereka bolak-balik melakukan tugas masing-masing, ada yang sedang mengetik di laptop dan ada pula yang menyiapkan ruang meeting.Pemandangan yang sungguh menyejukkan mata Bian. Ia suka melihat karyawannya disiplin dalam hal pekerjaan di kantor Pradipta ini. "Selamat pagi, Pak," sapa seorang karyawan perempuan ketika Bian hendak memasuki lift. Bian balas tersenyum tipis. Dan di dalam lift itu, ia bertemu dengan Sani. "Wah, lama banget kita nggak ketemu, Bi. Gimana kabar lo, bro?" tanya Sani pada sahabatnya itu. Ia merangkul bahu Bian sembari cengar-cengir. Ya, sani cukup lama tidak bertemu Bian, sekitar dua minggu, sebab Sani harus menjaga ibunya di rumah sakit. "Baik kok. Apalagi istri gue lagi hamil," sahut Bian lalu tersenyum lebar seraya merapikan jasnya dengan perasaan bahagia. "Serius? Gercep banget, Bi lo bikinnya! Bakal jadi bapak nihh yee, gue doain deh Anjani lancar
"Papa Bian sama Bunda tadi kemana? Kok lama banget?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Clara yang baru pulang dari sekolah. Tatkala Anjani dan Bian melangkah memasuki rumah. Anjani ingat Clara belum mengetahui bahwa ia sedang mengandung calon adik Clara, maka ia melirik Bian lalu menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Bian mengerti, ia langsung mengangguk dan mengulum senyum geli. Seolah kejadian di rumah sakit tadi bukan apa-apa untuk mereka. Anjani dan Bian tahu bagaimana cara menyembunyikan masalah yang seharusnya tidak diketahui anak kecil. "Loh, kok mukanya gitu, Bunda menyembunyikan apa dari aku?" Clara yang merasa teracuhkan kini manyun lalu bersedekap. Anjani terkikik kecil, ia mencubit gemas hidung putri kecilnya, kemudian menggerakkan tongkat mengajak anak itu duduk di sofa. Anjani langsung mengambil tangan Clara dan menempelkan tangan mungil itu ke perutnya. Clara sedikit terkejut. "Coba Clara tebak, di perut Bunda yang rata ini isinya ada apa aja?" Clara lantas berpik
Anjani tidak pernah merasa sekecewa ini sebelumnya, meski kebenaran belum terbukti namun hatinya terus saja berkata bahwa tidak mungkin Laura pura-pura hamil demi mendapatkan Bian hingga dia berani menjatuhkan harga dirinya sendiri.Oleh karenanya, pagi ini Anjani meminta Bian untuk menemaninya pergi ke rumah Laura dan mengajak wanita itu ke rumah sakit agar bisa melakukan tes di hadapannya, tanpa ada sedikit pun kecurangan dan Anjani sangat berharap akan itu.Pintu utama yang diketuk sebanyak tiga kali itu akhirnya terbuka, menampilkan seorang wanita bersweater biru dan celana jeans panjang serta mata sembab. Sepertinya Laura habis menangis."Ngapain lo ke sini hah?" tanya Laura kesal.Entah kenapa di saat begini Anjani malah tergagap, melihat Laura yang menangis menambah keyakinannya bahwa wanita itu tidak berbohong.Bian tinggal di mobil, jadi Anjani bisa leluasa bertanya. "Mbak habis n
Deg."Aku pu—""Aku hamil anak Bian... "Lantas semua penghuni ruangan tersebut terdiam kaku, detik terasa berhenti, semuanya tertuju pada Laura yang tersenyum kemenangan, pada perkataan wanita itu barusan.Terkhusus bagi Anjani yang sangat syok mendengar ucapan wanita itu, dadanya sakit seperti dihantam puluhan balok keras, sedangkan Bian masih di ambang pintu mengepalkan tangan. Tentu saja ia tidak percaya apa yang diucapkan Laura barusan, wanita itu pembohong. Anjani tidak boleh tertipu oleh muslihatnya."Diam Laura! Kau pembohong!" Pungkas Bian melangkah maju dan berdiri di samping Anjani. Saat itu Anjani benar-benar bingung dan kepalanya mulai terass pusing."Bohong? Aku nggak bohong Bian. Ini benar anakmu, ini anak kita," tambah Laura yang membuat Bian semakin ingin mencekik leher wanita itu. Laura ternyata belum jera dan sama sekali tidak belajar dari pengalamannya dulu."Cukup! Aku tidak mau
Adanya Cintya di mansion ini menghilangkan rasa sepi Anjani, terutama saat dulu di pagi hari, ia ditinggal berdua dengan bi Ratih dan para pelayan. Yang notebene nya para pelayan itu berbicara hanya ketika mereka perlu, sedangkan bi Ratih kadang juga sibuk dan harus pulang ketika sudah malam ke rumah aslinya.Sekarang dia dan Cintya sedang menonton serial kartun kesukaan Clara di ruang keluarga, seraya memakan popcorn spesial yang dibuat khusus oleh chef ahli di mansion ini.Sementara yang merekomendasikan film justru asik menggambar menggunakan pensil warna yang baru dibelikan Bian."Yeay aku sudah selesai menggambar," Kata Clara mengangkat bangga kertas gambarnya menunjukannya pada Cintya dan Anjani. Cintya tersenyum kecil dan mengusap lembut rambut cucunya itu."Bunda, coba lihat deh, ini keluarga kita." Ia menunjuk 4 orang yang berada di permukaan kertas tersebut, dengan dia ber
Selesai berbelanja ke pasar Anjani kembali ke rumah, berbeda dengan Bian yang harus pergi ke kantor untuk kembali bekerja.Di dapur, seperti Biasa Anjani mulai memasak dibantu oleh Bi Ratih, bedanya dapur dan seluruh peralatan masak yang ia gunakan di mansion ini benar-benar mewah. Semua peralatan terbuat dari bahan anti gosong dan logam yang tidak mudah berkarat.Anjani merasa sangat dimanjakan dengan semua peralatan itu. Sesekali ia tersenyum membayangkan betapa awetnya peralatan ini. Sangat berbeda dengan peralatan dapur di rumahnya yang sebagian besar sudah gosong.Selain peralatan masak serta kitchen set, kursi dan pantry yang digunakannya juga sangat empuk, bentuknya yang di desain khusus oleh Bian agar dia lebih mudah duduk dan berdiri menggunakan tongkat."Ada yang bisa saya bantu nyonya?" Anjani menatap ke samping ketika seorang chef menunduk dan bertanya padanya, Anjani tidak bisa menatap langsung mata laki-laki itu