Halo semuaaa cerita Melumpuhkan Hati CEO ini tersedia GRATIS di KaryaKarsa ya dengan judul "The Boss Owns Me". Kunjungin profil aku @xerniy
Yuk Coba Cek di KaryaKarsa, harga lebih murah tentunya, cuman bayar 25.000 kalian sudah bisa baca SEMUA CHAPTERnya di KaryaKarsa, yuk cus ke KaryaKarsa sekarangg****Hari ini sungguh melelahkan untuk Bian. Bagaimana tidak? Seharian di kantor ia mengadakan sampai 3 kali meeting penting dengan perusahaan lain. Tapi ya mau bagaimana lagi, itu tugasnya menjadi seorang CEO di perusahaan Pradipta.Pria 27 tahun itu melonggarkan dasi yang terasa mencekik di lehernya. Bian lalu duduk dengan nyaman di kursi kebesarannya seraya menopang kaki ke atas meja, sungguh bossy."Siang, pak," Sapaan itu bermuara dari Vanya—sekretarisnya yang suka melenggang masuk tanpa mengetuk pintu.Bian seketika melipat tangan di dada dan berdecak malas, "Ini terakhir kalinya saya melihat kamu masuk tanpa mengetuk pintu. Mengerti?""Hehe, iya, Pak." Vanya hanya menyengir, berusaha menetralisir keadaan. "Saya ulangi nggak nih?""Ck, nggak usah. Saya ingin istirahat. Cepat katakan apa keperluan kamu," katanya to the point.Vanya mengulurkan sebuah dokumen. "Ada dokumen yang perlu ditandatangani, Pak. Saya lupa sehabis meeting tadi langsung ngasih ke bapak.""Dasar ceroboh!" maki Bian yang membuat Vanya mendesis."Dasar Arogan!" Sayangnya wanita itu cuma berani menggerutu di hati. Sabar Nya."Nih, sudah. Cepat keluar!""Iya, Pak santai." Vanya segera mengambil dokumen yang telah ditandatangani itu. Hish nyebelin banget deh punya bos kayak gini, kalau bukan gantengnya mana mau Vanya kerja lebih lama lagi.Sementara Bian kembali menyandarkan punggungnya dan menutup mata. Ia butuh istirahat walau sejenak saja."Tunggu sebentar." Tanpa Vanya duga bos menyebalkan itu kembali memanggilnya."Kenapa, Pak?" Vanya menoleh."Saya haus, segera buatkan saya Mocca dingin, saya tunggu lima menit," pinta Bian.Vanya menganggukan kepala. "Iya, Pak.""Oh ya esnya jangan terlalu banyak.""Iya."Cepat-cepat Vanya keluar ruangan dengan hati dongkol dan sedikit membanting pintu membuat Bian terganggu."Dasar." Bian tak habis pikir dengan tingkah Vanya. Entah kenapa wanita itu selalu saja terlihat misuh di depannya. Memang apa yang salah dengan dirinya? Ia tampan, kaya, dan punya segalanya. Seharusnya Vanya bersyukur punya bos sepertinya. Tapi wanita itu sudah menikah, ck, jika belum maka Bian.... eitss, jangan pikir dia yang bersedia menikah wanita itu. Tidak-tidak. Justru akan ia tawarkan Vanya pada seorang yang lebih angkuh.Bicara soal menikah, Bian jadi teringat permintaan mendiang ayahnya bahwa ia harus segera menikah sebelum usia 28 tahun.Hei. Apa itu? Apakah ada peraturan di dunia ini yang melarang pria menikah lebih dari 28 tahun? Entahlah. Namun permintaan terakhir ayahnya pasti Bian lakukan.Masalahnya di sini, ia belum menemukan wanita yang tepat untuk dijadikan pendamping hidup. Bahkan ia telah beberapa kali dijodohkan dengan banyak wanita cantik pilihan ibunya, Bian belum menemukan yang cocok.Ya belum, karena semua wanita pilihan itu tidak benar-benar mencintainya. Mereka hanya melihat tebal dompetnya saja.Bian bergumam, "Kira-kira dimana lagi aku bisa menemukan wanita yang aku mau?"***"Duh, sumpah deh! Gue rasanya mau resign aja, Cit," gerutu Vanya pada Citra. Usai keluar dari ruangan Pak Bian ia langsung menceritakan kekesalannya tadi pada Citra."Ngomong aja enak, entar sesudah resign nyesel lo nggak dapat kerjaan.""Ya itu masalahnya, kalo resign gue nggak jamin langsung dapat kerjaan." Vanya mulai bimbang."Enggak usah kerja aja napa, Nya. Lo kan udah laki. Mintalah sama laki lo," sahut Seza."Iya sih. Tapi gue lebih nyaman pakai duit sendiri. Lebih puas," jawab Vanya. "Eh, gue keburu laper nih. Yuk ah makan siang," ajaknya pada Citra dan Seza. Tetapi belum saja melangkah tangan Citra ditahan."Hai, by." Dan yang menahannya adalah Gio, pacarnya yang juga kerja di kantor ini. Gio tanpa malu mengecup pipi Citra."Makan siang bareng oke?"Citra mengangguk, kalau ada Gio ya tentu saja tawaran pria itu lebih penting. "Duluan ye, Nya."Vanya dan Seza berpandangan lalu mengangguk pasrah.Drtt-Drtt.Lalu tiba-tiba gawai Vanya bergetar tanda telepon masuk. "Tunggu, Za."Vanya mengangkatnya dan seketika ia menepuk jidat."Astaga gue lupa!"***"Lama banget sih Bun tante Farah," ujar Clara yang sedang menyantap mie ayam."Tunggu, Rara sayang. Pasti mbak Farah nyamperin kita kok. Sabar ya," bujuk Anjani mengusap rambut Clara."Clara capek, kakinya pegel habis jalan-jalan ke mall. Sekarang ngapain mbak Farah ngajak ke sini?""Tante Farah ingin mempertemukan kita dengan seseorang.""Apa orang itu penting?""Tidak. Tapi bagi tante Farah orang itu luar biasa. Jadi kita harus membantunya, mengerti sayang."Clara akhirnya mengangguk, lanjut menyantap mie ayamnya begitu lahap. "Ya sudah, demi Bunda dan tante Farah."Anjani pun tersenyum samar. Ada sekitar 15 menit sudah mereka berada di sini, tepatnya di warteg pinggir jalan yang berseberangan langsung dengan kantor Pak Bian.Ya tentu saja Farah yang mengajaknya ke sini. Wanita itu memang tidak main-main pada ucapannya. Namun bermenit-menit menunggu Farah belum kembali. Padahal wanita itu bilang ingin menemui temannya yang adalah sekretaris Bian sebentar saja."Bunda ayo makannya dihabisin. Entar tantenya keburu datang," ujar Clara mengingatkan.Anjani menghela napas, ia lanjut menyantap soto ayam sembari menunggu Farah datang.***"Sorry, Far. Gue kelupaan ada janji sama lo. Gara-gara si Bian nih," kata Vanya. Tergopoh-gopoh ia menghampiri Farah.Farah bersedekap. "Iye-iye. Maaf tuh sama Anjani bukan sama gue.""Siapa Anjani, gue baru denger itu nama?""Temen guelah. Dia pakai tongkat, Nya.""Lumpuh?""Kecelakaan dua tahun lalu. Suaminya meninggal, dan sekarang dia hidup sama anaknya.""Kasihan.""Buruh ah. Entar temen gue kenapa-napa."***Bian tak peduli pada tatapan-tatapan aneh yang sekarang terlayang padanya. Pria itu berdehem singkat lalu memasuki warteg. Astaga! Kalau bukan karena Vanya lupa memasukkan gula ke dalam kopinya, ia tidak mungkin sampai di sini demi menghilangkan rasa pahit yang masih tersisa di lidahnya.Setelah pesanannya selesai dibuatkan, Bian melangkah menuju meja kosong yang tersisa namun tiba-tiba.Bruk"Aduh." Seorang bocah menabraknya, alhasil susunya tumpah mengenai seragam Bian."Heh anak kecil, kamu mengotori baju saya!" kesal Bian menatapnya."Ma-maaf, Om." Gadis bergaun pink itu mulai ketakutan melihat wajah sangar Bian. Ia menunduk dalam."Makanya jangan bermain di tempat seperti ini. Main sana di rumahmu!""Iya Clara minta maaf. Clara nggak main. Hiks-hiks. Bundaa..." Sekarang Clara menangis dan menutupi keduanya matanya dengan telapak tangan. Lantas mereka berdua jadi sorotan.Bian berdecak sebal. "Sudah jangan menangis. Ini memang salah kamu. Lihat baju saya kotor.""Hiks.. hiks.."Anjani melihat ada keributan kecil. Ia khawatir sebab ia baru saja mengijinkan Clara membeli susu sendiri. Dan mendapati Clara menangis membuat Anjani mempercepat gerakan tongkatnya."Clara. Ada apa?"Clara berlari memeluk Anjani, matanya sembab. "Bunda aku dimarahin Om itu. Clara nggak sengaja nabrak dia, Bun."Melihat siapa yang ditunjuk Clara, Anjani membulatkan matanya. "Pak Bian?"--TBOM--Halo semuaaa cerita Melumpuhkan Hati CEO ini tersedia GRATIS di KaryaKarsa ya dengan judul "The Boss Owns Me". Kunjungin profil aku @xerniy Yuk Coba Cek di KaryaKarsa, harga lebih murah tentunya, cuman bayar 25.000 kalian sudah bisa baca SEMUA CHAPTERnya di KaryaKarsa, yuk cus ke KaryaKarsa sekarangg****Permasalahan diselesaikan secara baik-baik. Kini Anjani, Bian dan Clara duduk satu meja. Walau Bian terlihat ogah-ogahan."Saya benar benar minta maaf atas kesalahan anak saya, Pak," kata Anjani. Ia duduk di samping Clara yang memeluknya. Bocah itu masih terlihat ketakutan karena raut datar Bian. Bian berdehem singkat dan menetrasilir kecanggungan. "Sudahlah. Saya bosan mendengar itu dari mulut kamu.""Tapi baju bapak kotor. Apa perlu saya cuci dulu?" Bian menggeleng. "Tidak usah. Itu hanya akan membuang waktu. Biar saya ganti di kantor saja." Ia melirik sekilas Clara. "Kenapa anakmu itu?" "Dia masih ketakutan, Pak." Anjani mengelus kepala Clara dan meminta gadis itu berhenti meme
"Babe, lo jadi datang nggak?" tanya seseorang di seberang, mengejutkan Bian yang baru saja menekan speaker gawainya di nakas.Siapa lagi orang itu kalau bukan Laura, Wanita paling Bian hindari di dunia ini. Dia wanita yang sombong dan bersikap sangat manja. Bian benci tipe wanita seperti itu.So, for your information, Laura merupakan anak salah satu rekan bisnis mendiang ayahnya—Baskara. Persahabatan mereka dulu begitu erat sekaligus berarti, sampai Baskara tak tanggung-tanggung berpesan agar menikahi anak rekan bisnisnya itu saja. Tidak boleh wanita lain.Menghela napas pelan lalu melepas kaos kakinya sambil duduk di tepi ranjang Bian bergumam malas, "Hm.""Astaga, Bi. Jangan malas gitu dong. Kamu tamu VIP, kedatangan kamu spesial banget buat aku," rengek Laura manja."Memang saya peduli? Kamu bukan siapa-siapa buat saya. Bahkan cuma orang asing." Bian menegapkan punggungnya, berbicara lebih tegas."Ish. Aku ini calon tunangan kamu, ingat nggak sih, Bi?" Semakin diladeni maka wanita
Tragedi tersebut terjadi sangat cepat. Mobil itu berhenti setelah menabrak paha Anjani cukup keras. Sekarang Anjani terduduk di aspal bersama tongkatnya yang patah.Si pemilik mobil terlihat sejenak menyembulkan kepala dari balik kaca mobil, matanya seketika membulat."Ya ampun, ibu nggak papa? Kita ke rumah sakit ya bu," ucap bi Ratih bersimpuh di depan Anjani. Bahkan sopir pribadinya ikut keluar dari mobil. Mereka membantu Anjani berdiri."Aku nggak papa, Bi." Anjani menggeleng pelan. Sungguh, ia tidak merasakan apa pun pada kakinya. Toh, kaki yang lumpuh itu sudah mati rasa jadi efeknya mungkin hanya lebam biru.Anjani juga syok. Telapak tangannya sedikit perih, dan benar setelah Anjani lihat ada beberapa luka goresan kecil di sana."Gimana bisa enggak, Bu. Itu kaki kanan ibu baru di terapi kemarin, bahaya," tukas bi Ratih, bertepatan seorang pria berjas abu menghampiri.Anjani tercengang menatap pria itu, begitu pun yang ditatap, dia tidak lain adalah Bian Pradipta. Pria arogan yan
Anjani duduk di sofa. Jangan kira ia merasa kesakitan tapi justru ia tidak merasakan apa-apa. Sedari tadi Bi Ratih dan sang supirlah yang terus memaksa agar ia dibawa ke dokter saja.Anjani tentu menolak. Luka lebam ini tidak terlalu besar untuknya sampai harus mengeluarkan uang banyak."Saya ambilin obat ya, bu," kata Bi Ratih.Anjani mengangguk pelan sembari tersenyum. "Iya, Bi. Terima kasih ya."Bi Ratih pun pergi menuju dapur untuk mengambil obat. Tak lama wanita itu kembali dan langsung mengoleskan salep lebamnya ke paha Anjani penuh hati-hati. Sementara Anjani menempelkan kasa yang telah ditetesi obat merah ke telapak tangannya yang lecet."Bapak tadi sombong banget ya, Bu. Bukannya minta maaf malah marah-marah ke ibu. Bibi mah kalo jadi ibu langsung bibi laporin ke polisi," ungkap bi Ratih. Maklum dia pasti kesal kalau ada yang menganggu Anjani. Mengingat Anjani telah ia anggap sebagai a
Masih berkelut dengan berita tentang Anjani dan Bian yang menggemparkan media masa. Bahkan pagi sekali Sani rela datang ke apartemen Bian demi membahas hal itu. Sani kepalang penasaran, maka daripada pusing membuat asumsi sendiri Sani memilih menemui Bian secara langsung. Ya walaupun nanti di kantor mereka pasti bertemu. Sebenarnya juga Sani ingin bertanya mengenai pesta pertunangan Bian bersama Laura yang gagal sebelumnya. Namun Sani kira hal itu tidak terlalu penting, jadi dia memutuskan bertanya kronologi pemberitaan tentang bosnya itu dan Anjani saja. Terlebih ini menarik. Jarang-jarang Sani mendapati wajah Bian muncul di televisi sebagai pelaku tabrak lari."Anjani Zelena. Usia 26 Tahun. Dia memiliki seorang putri bernama Clara." Sani membaca berita di website itu, lalu tertawa pelan sembari melirik Bian yang sedang memasang dasi menghadap cermin. "Cantik dong walau udah janda." Ia mulai mencari informasi mengenai Anjani. Lebih tepatnya Sani mengagumi keberanian wanita itu keti
Halaman gedung perusahaan Pradipta kini dikerumuni banyak wartawan. Mereka mendesak masuk dan menemui Bian untuk meminta kejelasan mengenai berita yang beredar semalam. Bahkan banyak satpam ikut turun tangan menangani keadaan.Para wartawan itu memang tidak terlalu mendesak masuk, tetapi mereka terus melontarkan pertanyaan tentang Anjani dan Bian yang membuat satpam-satpam itu kebingungan."Pak, tolong jawab pertanyaan kami? Menurut bapak apakah benar Pak Bian sengaja menabrak Anjani?" "Kenapa pak Bian tidak bertanggung jawab?" "Apakah Bian sudah hadir tapi kalian menyembunyikannya dari kami, pak?" "Perusahaan Pradipta sedang terancam karena sikap tidak bertanggung jawab CEO-nya. Bagaimana tanggapan bapak?" Setidaknya itu sederet pertanyaan yang mereka lontarkan. Sebagai respon pun para satpam hanya diam sebab mereka tidak tahu-menahu masalah itu.Di tempat lain Vanya mondar-mandir tidak karuan. Ia khawatir andai Bian tidak datang. Tapi rasanya tidak mungkin, Bian tipe orang yang d
"Di depan semua media saat ini, saya meminta maaf sebesar-besarnya padamu Anjani. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Saya berjanji akan lebih bertanggung jawab," ucap Bian. Kalimat tegas yang membuat semua penghuni aula terdiam. Terutama Anjani, ia tak menyangka Bian mampu merubah sikapnya dalam satu hari. Namun, Anjani akui jika Bian mengatakan itu hanya untuk mencegah nama baiknya tercemar. "Dan sebagai bentuk pertanggungjawaban saya atas kesalahan kemarin. Saya bersedia menanggung semua biaya pengobatan kakimu sampai pulih." Tunggu. Apakah ada sesuatu yang mengganjal telingnya? Anjani sulit percaya ini. Di satu sisi ia menghormati permintaan Bian yang pertama. Entah untuk yang kedua ini Anjani pikir sangat berlebihan. "Pak." Anjani menyela dan Bian langsung menggeleng cepat. Berbeda dengan Clara, gadis itu tersenyum lebar menatap Bian. Meski ia tidak terlalu mengerti apa maksud p
Sani masih belum percaya pada keputusan Biab karena terdengar sangat berlebihan. Sebelumnya, ia mengira Bian sekedar meminta maaf guna mengembalikan nama baik perusahaan Pradipta, tapi ternyata lebih dari itu. Bian membuat semua media kagum dan tercengang."Bian lo serius nggak sih oneng? Apa telinga gue yang kejejel kotoran pas denger lo ngomong?" tanya Sani serius. Sebab Bian yang dilihatnya barusan sangat berbeda dengan Bian yang dikenalnya—angkuh, sombong, dan ia tahu Bian tidak mungkin membuang-buang uang untuk hal yang kurang penting—contohnya membantu wanita yang tidak ia sukai."Gue seriuslah. Gue yang nanggung semua pengobatan Anjani," jawab Bian sembari fokus mengetik sesuatu di laptopnya.Sani yang duduk di hadapan Bian itu menahan tawanya menyembur, "Pftt Hahaha! Kesambet apaan lo jadi baik? Bukannya lo nggak suka deketan sama Anjani. Tadi gue juga liat lo meluk anaknya.""Jangan bacot! Lo nggak ak
Laura tertawa lepas sembari menonton televisi di ruang tamu rumahnya, wanita itu sedang libur bekerja hari ini, manajernya—Hani mengatakan bahwa Laura perlu cuti untuk beristirahat dikarenakan wanita itu sedang hamil. Laura juga sebenarnya tidak peduli, sebab seberapa banyakpun ia libur atau menganggur uangnya tidak akan pernah habis. Ya, uang ayahnya—Hans selagi pria itu masih hidup ia tidak perlu khawatir akan jatuh miskin.Sedari tadi pun, kerjaannya hanya makan dan makan, efek hamil membuatnya terlalu malas untuk bergerak apalagi melakukan pekerjaan rumah. Oh ya, jangan lupa, selama ia masih tinggal di rumah mewah ini ia tidak perlu berbuat apa-apa. Tinggal duduk manis, semua sudah tersaji di meja. Pelayanan di rumah inilah andalannya."Nona, peralatan mandinya sudah siap, jacuzzinya juga sudah saya campur dengan mawar kesukaan Nona," ujar seorang pelayan wanita, ia membungkuk sopan.Laura mengangguk malas, sangat terpaksa untuk mandi, jika saja hari ini ia tidak berencana pergi ke
Pukul 12.10 ketika Anjani tiba di kantor Pradipta. Saat menuruni mobi ia disambut senyum ramah oleh satpam dan beberapa karyawan. Maklum, siapa yang tidak mengenal Anjani di kantor Pradipta ini? Mengingat dia adalah istri pemilik perusahaan. "Selamat siang, Bu. Wah, hari ini ibu cantik sekali," puji salah satu pegawai laki-laki. Usianya terbilang lebih muda.Anjani tersenyum tipis. Satu tangannya memegang tongkat dan tangan lainnya membawa tas berisi bekal makan. "Terima kasih. Mungkin itu hanya perasaan masnya, bahkan aku merasa biasa saja hari ini," jawab Anjani rendah hati. Laki-laki itu menggeleng cepat, "Ah tidak, Bu. Hari ini ibu memang kelihatan berbeda, wajah ibu lebih cerah."Anjani sontak teringat ucapan Cintya, jika wanita hamil memiliki aura yang positif dan wajah yang lebih bercahaya. "Mungkin karena aku sedang hamil," batin Anjani menggelitik. Ingin rasanya mengusap perut tapi tangannya penuh. "Saya ke ruangan pak Bian dulu yaaa, Mas," Ucap Anjani tersenyum lagi pa
Kadang, Anjani merasa bersalah. Namun, jika tidak seperti itu, selamanya ia tidak akan tenang karena belum membantu menyelesaikan masalah Kevin. Toh, Kevin sendiri tidak tahu apa-apa mengenai persoalan suaminya dengan Bram. Anak itu masih terlalu polos untuk memahami masalah seperti ini. Kevin hanya anak kecil yang pikirannya untuk main dan bermain. Selesai membantu Kevin, Anjani bergegas pulang ke rumah mengantar Clara. Sebelum siang nanti, ia pergi ke kantor membawakan makan siang suaminya itu. Bukan keinginan Bian agar Anjani melakukan itu, tetapi Anjani sendiri yang mau. Ia ingin selalu memastikan Bian makan-makanan yang sehat baik di rumah maupun di kantornya. Toh, sudah tugas seorang istri kan untuk memberikan yang terbaik pada suami? "Bun, tadi Kevin sempat bilang kalau Bunda ternyata baik sama dia. Kevin kayanya senang banget bisa ketemu sama Bunda hari ini," celoteh Clara sembari duduk di kursi ruang makan, memainkan boneka barbie yang baru ia beli tadi. Anjani yang sibu
Pagi ini suasana kantor Pradipta sudah sangat ramai, seluruh karyawannya datang tepat waktu seperti biasa. Mereka bolak-balik melakukan tugas masing-masing, ada yang sedang mengetik di laptop dan ada pula yang menyiapkan ruang meeting.Pemandangan yang sungguh menyejukkan mata Bian. Ia suka melihat karyawannya disiplin dalam hal pekerjaan di kantor Pradipta ini. "Selamat pagi, Pak," sapa seorang karyawan perempuan ketika Bian hendak memasuki lift. Bian balas tersenyum tipis. Dan di dalam lift itu, ia bertemu dengan Sani. "Wah, lama banget kita nggak ketemu, Bi. Gimana kabar lo, bro?" tanya Sani pada sahabatnya itu. Ia merangkul bahu Bian sembari cengar-cengir. Ya, sani cukup lama tidak bertemu Bian, sekitar dua minggu, sebab Sani harus menjaga ibunya di rumah sakit. "Baik kok. Apalagi istri gue lagi hamil," sahut Bian lalu tersenyum lebar seraya merapikan jasnya dengan perasaan bahagia. "Serius? Gercep banget, Bi lo bikinnya! Bakal jadi bapak nihh yee, gue doain deh Anjani lancar
"Papa Bian sama Bunda tadi kemana? Kok lama banget?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Clara yang baru pulang dari sekolah. Tatkala Anjani dan Bian melangkah memasuki rumah. Anjani ingat Clara belum mengetahui bahwa ia sedang mengandung calon adik Clara, maka ia melirik Bian lalu menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Bian mengerti, ia langsung mengangguk dan mengulum senyum geli. Seolah kejadian di rumah sakit tadi bukan apa-apa untuk mereka. Anjani dan Bian tahu bagaimana cara menyembunyikan masalah yang seharusnya tidak diketahui anak kecil. "Loh, kok mukanya gitu, Bunda menyembunyikan apa dari aku?" Clara yang merasa teracuhkan kini manyun lalu bersedekap. Anjani terkikik kecil, ia mencubit gemas hidung putri kecilnya, kemudian menggerakkan tongkat mengajak anak itu duduk di sofa. Anjani langsung mengambil tangan Clara dan menempelkan tangan mungil itu ke perutnya. Clara sedikit terkejut. "Coba Clara tebak, di perut Bunda yang rata ini isinya ada apa aja?" Clara lantas berpik
Anjani tidak pernah merasa sekecewa ini sebelumnya, meski kebenaran belum terbukti namun hatinya terus saja berkata bahwa tidak mungkin Laura pura-pura hamil demi mendapatkan Bian hingga dia berani menjatuhkan harga dirinya sendiri.Oleh karenanya, pagi ini Anjani meminta Bian untuk menemaninya pergi ke rumah Laura dan mengajak wanita itu ke rumah sakit agar bisa melakukan tes di hadapannya, tanpa ada sedikit pun kecurangan dan Anjani sangat berharap akan itu.Pintu utama yang diketuk sebanyak tiga kali itu akhirnya terbuka, menampilkan seorang wanita bersweater biru dan celana jeans panjang serta mata sembab. Sepertinya Laura habis menangis."Ngapain lo ke sini hah?" tanya Laura kesal.Entah kenapa di saat begini Anjani malah tergagap, melihat Laura yang menangis menambah keyakinannya bahwa wanita itu tidak berbohong.Bian tinggal di mobil, jadi Anjani bisa leluasa bertanya. "Mbak habis n
Deg."Aku pu—""Aku hamil anak Bian... "Lantas semua penghuni ruangan tersebut terdiam kaku, detik terasa berhenti, semuanya tertuju pada Laura yang tersenyum kemenangan, pada perkataan wanita itu barusan.Terkhusus bagi Anjani yang sangat syok mendengar ucapan wanita itu, dadanya sakit seperti dihantam puluhan balok keras, sedangkan Bian masih di ambang pintu mengepalkan tangan. Tentu saja ia tidak percaya apa yang diucapkan Laura barusan, wanita itu pembohong. Anjani tidak boleh tertipu oleh muslihatnya."Diam Laura! Kau pembohong!" Pungkas Bian melangkah maju dan berdiri di samping Anjani. Saat itu Anjani benar-benar bingung dan kepalanya mulai terass pusing."Bohong? Aku nggak bohong Bian. Ini benar anakmu, ini anak kita," tambah Laura yang membuat Bian semakin ingin mencekik leher wanita itu. Laura ternyata belum jera dan sama sekali tidak belajar dari pengalamannya dulu."Cukup! Aku tidak mau
Adanya Cintya di mansion ini menghilangkan rasa sepi Anjani, terutama saat dulu di pagi hari, ia ditinggal berdua dengan bi Ratih dan para pelayan. Yang notebene nya para pelayan itu berbicara hanya ketika mereka perlu, sedangkan bi Ratih kadang juga sibuk dan harus pulang ketika sudah malam ke rumah aslinya.Sekarang dia dan Cintya sedang menonton serial kartun kesukaan Clara di ruang keluarga, seraya memakan popcorn spesial yang dibuat khusus oleh chef ahli di mansion ini.Sementara yang merekomendasikan film justru asik menggambar menggunakan pensil warna yang baru dibelikan Bian."Yeay aku sudah selesai menggambar," Kata Clara mengangkat bangga kertas gambarnya menunjukannya pada Cintya dan Anjani. Cintya tersenyum kecil dan mengusap lembut rambut cucunya itu."Bunda, coba lihat deh, ini keluarga kita." Ia menunjuk 4 orang yang berada di permukaan kertas tersebut, dengan dia ber
Selesai berbelanja ke pasar Anjani kembali ke rumah, berbeda dengan Bian yang harus pergi ke kantor untuk kembali bekerja.Di dapur, seperti Biasa Anjani mulai memasak dibantu oleh Bi Ratih, bedanya dapur dan seluruh peralatan masak yang ia gunakan di mansion ini benar-benar mewah. Semua peralatan terbuat dari bahan anti gosong dan logam yang tidak mudah berkarat.Anjani merasa sangat dimanjakan dengan semua peralatan itu. Sesekali ia tersenyum membayangkan betapa awetnya peralatan ini. Sangat berbeda dengan peralatan dapur di rumahnya yang sebagian besar sudah gosong.Selain peralatan masak serta kitchen set, kursi dan pantry yang digunakannya juga sangat empuk, bentuknya yang di desain khusus oleh Bian agar dia lebih mudah duduk dan berdiri menggunakan tongkat."Ada yang bisa saya bantu nyonya?" Anjani menatap ke samping ketika seorang chef menunduk dan bertanya padanya, Anjani tidak bisa menatap langsung mata laki-laki itu