Share

6 | Shocked

Penulis: Asterona
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Anjani duduk di sofa. Jangan kira ia merasa kesakitan tapi justru ia tidak merasakan apa-apa. Sedari tadi Bi Ratih dan sang supirlah yang terus memaksa agar ia dibawa ke dokter saja.

Anjani tentu menolak. Luka lebam ini tidak terlalu besar untuknya sampai harus mengeluarkan uang banyak.

"Saya ambilin obat ya, bu," kata Bi Ratih.

Anjani mengangguk pelan sembari tersenyum. "Iya, Bi. Terima kasih ya."

Bi Ratih pun pergi menuju dapur untuk mengambil obat. Tak lama wanita itu kembali dan langsung mengoleskan salep lebamnya ke paha Anjani penuh hati-hati. Sementara Anjani menempelkan kasa yang telah ditetesi obat merah ke telapak tangannya yang lecet.

"Bapak tadi sombong banget ya, Bu. Bukannya minta maaf malah marah-marah ke ibu. Bibi mah kalo jadi ibu langsung bibi laporin ke polisi," ungkap bi Ratih. Maklum dia pasti kesal kalau ada yang menganggu Anjani. Mengingat Anjani telah ia anggap sebagai anaknya sendiri.

"Aku nggak mau nambah masalah, Bi."

"Ibu kenal siapa bapak tadi?"

Anjani mengangguk pelan, "Dia Bian Pradipta. CEO perusahaan Pradipta yang produk mereka terkenal itu, Bi."

"Yaampun. Jadi dia orang yang membeli perusahaan bapak Aldevaro?" Bi Ratih mengerutkan kening. Mendongak dan menatap Anjani lekat.

"Hm. Kami bertemu dua tahun lalu. Sejak itu aku udah nggak suka sama sifat dia. Makanya aku nggak mau berurusan apa pun lagi dengannya."

Seketika Bi Ratih menepuk jidat. "Oh iya bibi lupa. Tapi bibi masih kesel banget, Bu. Nggak seharusnya dia bersikap begitu sama ibu."

"Lupain aja," ucap Anjani menghela napasnya. "Orang seperti dia memang kadang nggak mengerti perasaan orang menengah kayak kita. Kita cuma perlu diam, Bi. Mereka punya kuasa sedangkan kita nggak ada apa-apanya."

Bi Ratih tersenyum samar. "Bapak Aldevaro beruntung punya istri kayak ibu." Lalu dia menempelkan kasa di lebam Anjani sebagai langkah terakhir. "Nah sudah selesai. Ibu saya antar ke kamar ya?"

"Nggak usah. Bibi ambilin aja tongkat aku yang satunya di gudang," sahut Anjani.

"Siap, Bu."

Bergegas bi Ratih melangkah menaiki tangga menuju gudang. Anjani menghela napasnya lalu menyandarkan bahu dengan nyaman. Sesekali matanya menatap sekeliling ruang tamu. Sesaat kenangan tentang Aldevaro muncul di benaknya seperti kaset yang berputar ulang.

Masih lekat di ingatan Anjani bagaimana Aldevaro menghadiahkan rumah sebesar ini untuknya saat pernikahan mereka. Anjani sangat bahagia kala itu. Dan rumah inilah satu-satunya sisa peninggalan Aldevaro sekarang.

Aldevaro sendiri merupakan anak tunggal sekaligus yatim. Ia dibesarkan oleh ibunya dan sekarang ibunya telah menikah lagi serta memilih tinggal di luar kota bersama suaminya. Sedangkan kedua orang tua Anjani sudah lama berpulang.

"Anjani." Panggilan dari pintu utama membuat Anjani menoleh. Farah datang.

"Heh, lo marah juga sama gue?" cerca Farah melangkah cepat menghampiri bersama perut buncitnya.

"Enggak." Anjani mengangkat bahu.

Farah lantas duduk di samping sahabatnya itu. "Sorry banget, An. Gue nggak nyangka kejadiannya bakal gini."

"Sebaiknya kamu pulang, Far," ujar Anjani memperingati.

"An, ish tuh kan lo marah." Ekspresi Farah berubah cemberut.

"Aku enggak marah kok." Anjani menghela pasrah. Agar Farah tak salah paham ia memapar senyum tipis, "Kamu nggak dimarahin suami kamu malam-malam ke sini."

Farah berdecak, "Halah suami gue tuh nunggu di depan."

"Kenapa nggak dibawa masuk?"

"Bentar aja guenya."

Tiba-tiba bi Ratih datang lalu menyapa sembari membawa tongkat Anjani. Keduanya sontak menoleh.

"Ada ibu Farah. Ibu mau minum?"

"Enggak usah, Bi. Ngerepotin."

Bi Ratih dan Anjani terkekeh pelan.

Ketika wanita itu memberikan tongkatnya pada Anjani, Farah mengernyit, ditambah Bi Ratih mengambil tongkat patah yang tersandar di sofa. "Eh bentar-bentar. Tongkat lo ngapa dah bisa patah?"

"Biasa, Bu. Tongkat lama. Udah rapuh," bi Ratih menyahut. Dia sengaja berbohong setelah mendapat kode delikan dari Anjani.

"Lo nya nggak luka, kan?"

"Sehat, Far." Anjani tersenyum tipis. Bukan maksudnya menyembunyikan hal ini dari Farah. Tapi karena Anjani tak ingin Farah bertanya macam-macam. Mengingat sahabatnya itu kalau mengobrol pasti lupa dunia. 

Mendadak telepon rumah berdering dan mengalihkan fokus mereka.

"Bibi angkat telponnya dulu," pinta Anjani. Bi Ratih mengangguk lalu melaksanakan perintah.

"Halo," sapanya.

"Bisa saya berbicara dengan Anjani?"

Seketika Bi Ratih terdiam. Tunggu. Seperti dia kenal siapa pemilik suara. Astagaaa!

"Bapak ingin bicara dengan majikan saya? Bapak nggak tau malu banget ya padahal tadi udah nabrak Bu Ani terus malah marah-marah."

Ya, siapa lagi kalau bukan Bian.

"Siapa, Bi?" tanya Anjani mengernyit heran. Pun Farah. Heran kenapa bi Ratih mengomel tiba-tiba.

"Pak Bian, Bu. Katanya ingin bicara dengan ibu," sahut Bi Ratih menatap Anjani.

"Apa? Gue nggak salah denger nih." Farah menautkan alis kemudian memandang Anjani penuh selidik.

"Mending nggak usah diladenin, Bu. Pasti dia cuma pengen maki-maki ibu."

Anjani menggeleng pelan. Kalau sampai pria itu menelpon positif thinking saja, mungkin ia ingin meminta maaf. "Mungkin ada sesuatu yang penting, sini telponnya, Bi."

"Ibu mah terlalu baik." Bi Ratih terkekeh kemudian memberikan telponnya pada Anjani. Farah bergeser mendekati sahabatnya itu, lantas memasang pendengaran baik-baik.

"Bapak ada perlu apalagi dengan saya?" tanya Anjani. Terdengar tawa meremehkan di seberang sana.

"Jangan merasa senang dulu. Saya juga terpaksa menghubungi kamu."

"Terlebih saya, tidak akan pernah senang juga dihubungi sama bapak," balas Anjani kesal. Baru jalan menit pertama Bian sukses membuat darahnya serasa mendidih.

"Ck  wanita sombong. Dengar ya. Besok saya akan menjemput kamu, kita harus pergi ke konferensi pers besok!

Sontak Anjani membulatkan mata. Farah dan bi Ratih saling berpandangan heran. Mereka sama sekali tidak mengerti apa maksud Bian. Konferensi, Anjani tahu acara itu hanya untuk orang terkenal saja. Lah dia.

"U-untuk apa sih pak? Saya tidak ada hubungan dengan itu."

"Ck. Kamu seharusnya sudah melihat berita di televisi. Gara-gara kamu, nama baik saya dan perusahaan saya dipertaruhkan."

"Ma-maksudnya?" Meski kepalanya kini penuh pertanyaan. Anjani tahu apa selanjutnya yang mesti ia lakukan. Bian tidak mau memberi keterangan, maka Anjani akan mencari kebenaran.

"Tidak ada penolakan. Kita selesaikan semuanya besok. Siap-siap sebelum pukul delapan. Mengerti?!"

"Pak..." Ucapan Anjani terhenti karena Bian lebih dulu menutup panggilan. Raut Anjani berubah cemas.

"Masalah apalagi, An?" tanya Farah yang diacuhkan Anjani. Anjani menatap bi Ratih. Sungguh, ia merasa sangat gugup sekarang. Masalah apalagi Ya Tuhan.

"Tolong nyalakan TV-nya, Bi."

Tanpa bertanya banyak hal bi Ratih bergegas menyalakan TV. Dia mengganti channel yang menampilkan berita malam ini sesuai perintah Anjani. Dan yah, semua yang berada di ruangan itu terkejut bukan main kala sang presenter memaparkan topik berita.

'Seorang pengusaha sukses ternama, Bian Pradipta, diduga menabrak seorang wanita bertongkat. Namun, bukannya bertanggung jawab Bian justru bersikap sombong serta menyuap wanita itu dengan sejumlah uang agar menutup mulutnya.'

"Sumpah! Gue nggak ngerti apa yang udah terjadi sama lo berdua," histeris Farah kurang percaya. Anjani menegang di tempat, ia syok kejadian yang menimpanya barusan ternyata berhasil diliput banyak wartawan. Anjani menunduk, menahan matanya yang berkaca-kaca. Ia tidak ingin menangis, namun rasanya terlalu sulit memahami masalah ini. Bi Ratih menenangkan dengan mengusap punggung Anjani.

Farah ikut tertegun, ia mengusap pundak sahabatnya. "Gue yakin masalah kalian nggak akan selesai semudah konferensi pers doang, An. Karena gue tau pak Bian itu berkuasa, sangat-sangat bahaya!"

Bab terkait

  • Janda Lumpuh Milik CEO   7 | Misi Pertama

    Masih berkelut dengan berita tentang Anjani dan Bian yang menggemparkan media masa. Bahkan pagi sekali Sani rela datang ke apartemen Bian demi membahas hal itu. Sani kepalang penasaran, maka daripada pusing membuat asumsi sendiri Sani memilih menemui Bian secara langsung. Ya walaupun nanti di kantor mereka pasti bertemu. Sebenarnya juga Sani ingin bertanya mengenai pesta pertunangan Bian bersama Laura yang gagal sebelumnya. Namun Sani kira hal itu tidak terlalu penting, jadi dia memutuskan bertanya kronologi pemberitaan tentang bosnya itu dan Anjani saja. Terlebih ini menarik. Jarang-jarang Sani mendapati wajah Bian muncul di televisi sebagai pelaku tabrak lari."Anjani Zelena. Usia 26 Tahun. Dia memiliki seorang putri bernama Clara." Sani membaca berita di website itu, lalu tertawa pelan sembari melirik Bian yang sedang memasang dasi menghadap cermin. "Cantik dong walau udah janda." Ia mulai mencari informasi mengenai Anjani. Lebih tepatnya Sani mengagumi keberanian wanita itu keti

  • Janda Lumpuh Milik CEO   8 | Konferensi Pers

    Halaman gedung perusahaan Pradipta kini dikerumuni banyak wartawan. Mereka mendesak masuk dan menemui Bian untuk meminta kejelasan mengenai berita yang beredar semalam. Bahkan banyak satpam ikut turun tangan menangani keadaan.Para wartawan itu memang tidak terlalu mendesak masuk, tetapi mereka terus melontarkan pertanyaan tentang Anjani dan Bian yang membuat satpam-satpam itu kebingungan."Pak, tolong jawab pertanyaan kami? Menurut bapak apakah benar Pak Bian sengaja menabrak Anjani?" "Kenapa pak Bian tidak bertanggung jawab?" "Apakah Bian sudah hadir tapi kalian menyembunyikannya dari kami, pak?" "Perusahaan Pradipta sedang terancam karena sikap tidak bertanggung jawab CEO-nya. Bagaimana tanggapan bapak?" Setidaknya itu sederet pertanyaan yang mereka lontarkan. Sebagai respon pun para satpam hanya diam sebab mereka tidak tahu-menahu masalah itu.Di tempat lain Vanya mondar-mandir tidak karuan. Ia khawatir andai Bian tidak datang. Tapi rasanya tidak mungkin, Bian tipe orang yang d

  • Janda Lumpuh Milik CEO   9 | Dia Berubah?

    "Di depan semua media saat ini, saya meminta maaf sebesar-besarnya padamu Anjani. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Saya berjanji akan lebih bertanggung jawab," ucap Bian. Kalimat tegas yang membuat semua penghuni aula terdiam. Terutama Anjani, ia tak menyangka Bian mampu merubah sikapnya dalam satu hari. Namun, Anjani akui jika Bian mengatakan itu hanya untuk mencegah nama baiknya tercemar. "Dan sebagai bentuk pertanggungjawaban saya atas kesalahan kemarin. Saya bersedia menanggung semua biaya pengobatan kakimu sampai pulih." Tunggu. Apakah ada sesuatu yang mengganjal telingnya? Anjani sulit percaya ini. Di satu sisi ia menghormati permintaan Bian yang pertama. Entah untuk yang kedua ini Anjani pikir sangat berlebihan. "Pak." Anjani menyela dan Bian langsung menggeleng cepat. Berbeda dengan Clara, gadis itu tersenyum lebar menatap Bian. Meski ia tidak terlalu mengerti apa maksud p

  • Janda Lumpuh Milik CEO   10 | Secret Boss

    Sani masih belum percaya pada keputusan Biab karena terdengar sangat berlebihan. Sebelumnya, ia mengira Bian sekedar meminta maaf guna mengembalikan nama baik perusahaan Pradipta, tapi ternyata lebih dari itu. Bian membuat semua media kagum dan tercengang."Bian lo serius nggak sih oneng? Apa telinga gue yang kejejel kotoran pas denger lo ngomong?" tanya Sani serius. Sebab Bian yang dilihatnya barusan sangat berbeda dengan Bian yang dikenalnya—angkuh, sombong, dan ia tahu Bian tidak mungkin membuang-buang uang untuk hal yang kurang penting—contohnya membantu wanita yang tidak ia sukai."Gue seriuslah. Gue yang nanggung semua pengobatan Anjani," jawab Bian sembari fokus mengetik sesuatu di laptopnya.Sani yang duduk di hadapan Bian itu menahan tawanya menyembur, "Pftt Hahaha! Kesambet apaan lo jadi baik? Bukannya lo nggak suka deketan sama Anjani. Tadi gue juga liat lo meluk anaknya.""Jangan bacot! Lo nggak ak

  • Janda Lumpuh Milik CEO   11 | Surprise

    Rutinitas Anjani bertambah mulai hari ini, yaitu memasak makan siang untuk sang bos arogan dan pemaksa bernama Bian Pradipta. Kebetulan juga dalam seminggu ke depan Clara libur semester, jadi jadwalnya menjemput anak itu setiap pukul 12 siang, tidak akan bertabrakan dengan jadwal mengantar makanan untuk Bian. Setidaknya pada minggu ini ia cukup tenang.Anjani mengaduk perlahan semur jengkol di dalam wajan berukuran sedang dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mengapit tongkat agar tetap seimbang. Seketika aroma masakan itu menguar ke seluruh ruangan. Membuat perutnya ikut keroncongan.Jujur bukan perkara mudah bagi Anjani memasak semur jengkol, pasalnya ia juga sangat jarang menyantap makanan satu ini—bukan tidak suka. Terlebih Clara yang sangat anti akan baunya.Tapi tenang, semur jengkolnya buatannya sekarang sudah dimasak sebaik mungkin, resepnya ia baca begitu teliti dari internet. Sehingga tidak me

  • Janda Lumpuh Milik CEO   12 | Harga Diri

    Bian terkejut melihat Anjani datang bersama Clara. Matanya membulat namun beberapa detik setelahnya Bian berdehem lalu menormalkan ekspresi. Ditambah Clara tiba-tiba melompat dan memeluknya."Om Bian!" seru Clara. Anjani hendak menahan anak itu tapi terlambat. Ia hanya bisa menarik tangannya kembali ketika Clara terlanjur memeluk Bian begitu erat. Anjani memohon maaf."Tidak apa-apa," kata Bian. Ia balas memeluk Clara lalu mengusap kepala anak itu. Clara menyengir lebar. Anjani mendengus pelan.Bram tersenyum menatap Anjani dan mereka pun melangkah mengeluari lift disusul Bian serta Clara. Mereka menepi untuk berbincang-bincang.Anjani merasa dia datang di waktu yang salah. Melihat Bian sepertinya sedang sibuk bersama rekan kerjanya. Anjani pun menyembunyikan tangannya yang memegang rantang ke belakang punggung. Ia sangsi bagaimana reaksi Bian ketika Bram mengetahui apa alasannya datang ke sini.

  • Janda Lumpuh Milik CEO   13 | Strange Request

    "Oh ya, apa aku terlalu memberatkanmu? Maksudku kamu kan memakai tongkat, melangkah saja pasti sulit. Apa perlu aku persiapkan supir khusus untuk menjemputmu setiap siang?" tanya Bian, kembali membuka pembicaraan setelah perhatian Clara hanya tertuju pada Fio. Akhirnya anak itu diam juga. Memang kadang Bian kesal ketika Clara terus saja mengoceh apalagi menyindir dengan mulut jujurnya.Mata Anjani melebar mendengar pertanyaan Bian, ia menggeleng cepat isyarat menolak. Lagi-lagi pria itu berlebihan, pikirnya. "Nggak usah, pak. Tapi kalau bapak mau, bapak sebaiknya persiapkan supir khusus, bukanmenjemputku tapi mengambil makanannya saja, karena hanya minggu ini saya ada waktu luang untuk ikut mengantarkan."Lain maksud Anjani dia akan selalu menolak tawaran Bian. Tetapi mengingat pria itu memiliki banyak kesibukan, pasti akan sangat merepotkan.Bian menangkap ketidaknyamanan dari raut Anjani. Dia lantas mendengus p

  • Janda Lumpuh Milik CEO   14 | Musuh

    "Maaf pala lo meledak! Untung hape mahal gue nggak pecah. Jual rumah aja lo nggak akan sanggup ganti hape gue!" omel Laura memandang Anjani sengit. Dia menelisik penampilan wanita itu dari atas sampai ke bawah. Sadar Anjani memakai tongkat ia langsung menarik satu sudut bibirnya."Oh ya ya ya. Lo ternyata pincang? Pantesan jalan aja nyusahin orang," maki wanita itu penuh kesombongan.Anjani merapatkan bibir, dia tak mau membalas ucapan Laura. Toh, dia telah terbiasa mendengar kalimat tersebut dari mulut orang-orang. Anjani sudah kebal dengan semua hinaan serta perlakuan Seenaknya dari mereka.Lain bagi Clara yang menggertakan rahang, kekesalannya bertambah kepada wanita sombong itu."Bunda nggak pincang tau! Cuma satu kakinya aja yang nggak bisa gerak," ucap Clara. Laura mengernyit dan mengangkat telunjuk di depan wajah gadis itu."Heh bocah ingusan diem lo!""Jangan menun

Bab terbaru

  • Janda Lumpuh Milik CEO   71 | Klauserra

    Laura tertawa lepas sembari menonton televisi di ruang tamu rumahnya, wanita itu sedang libur bekerja hari ini, manajernya—Hani mengatakan bahwa Laura perlu cuti untuk beristirahat dikarenakan wanita itu sedang hamil. Laura juga sebenarnya tidak peduli, sebab seberapa banyakpun ia libur atau menganggur uangnya tidak akan pernah habis. Ya, uang ayahnya—Hans selagi pria itu masih hidup ia tidak perlu khawatir akan jatuh miskin.Sedari tadi pun, kerjaannya hanya makan dan makan, efek hamil membuatnya terlalu malas untuk bergerak apalagi melakukan pekerjaan rumah. Oh ya, jangan lupa, selama ia masih tinggal di rumah mewah ini ia tidak perlu berbuat apa-apa. Tinggal duduk manis, semua sudah tersaji di meja. Pelayanan di rumah inilah andalannya."Nona, peralatan mandinya sudah siap, jacuzzinya juga sudah saya campur dengan mawar kesukaan Nona," ujar seorang pelayan wanita, ia membungkuk sopan.Laura mengangguk malas, sangat terpaksa untuk mandi, jika saja hari ini ia tidak berencana pergi ke

  • Janda Lumpuh Milik CEO   70 | Tak Akan Terulang

    Pukul 12.10 ketika Anjani tiba di kantor Pradipta. Saat menuruni mobi ia disambut senyum ramah oleh satpam dan beberapa karyawan. Maklum, siapa yang tidak mengenal Anjani di kantor Pradipta ini? Mengingat dia adalah istri pemilik perusahaan. "Selamat siang, Bu. Wah, hari ini ibu cantik sekali," puji salah satu pegawai laki-laki. Usianya terbilang lebih muda.Anjani tersenyum tipis. Satu tangannya memegang tongkat dan tangan lainnya membawa tas berisi bekal makan. "Terima kasih. Mungkin itu hanya perasaan masnya, bahkan aku merasa biasa saja hari ini," jawab Anjani rendah hati. Laki-laki itu menggeleng cepat, "Ah tidak, Bu. Hari ini ibu memang kelihatan berbeda, wajah ibu lebih cerah."Anjani sontak teringat ucapan Cintya, jika wanita hamil memiliki aura yang positif dan wajah yang lebih bercahaya. "Mungkin karena aku sedang hamil," batin Anjani menggelitik. Ingin rasanya mengusap perut tapi tangannya penuh. "Saya ke ruangan pak Bian dulu yaaa, Mas," Ucap Anjani tersenyum lagi pa

  • Janda Lumpuh Milik CEO   69 | Merasa Bersalah

    Kadang, Anjani merasa bersalah. Namun, jika tidak seperti itu, selamanya ia tidak akan tenang karena belum membantu menyelesaikan masalah Kevin. Toh, Kevin sendiri tidak tahu apa-apa mengenai persoalan suaminya dengan Bram. Anak itu masih terlalu polos untuk memahami masalah seperti ini. Kevin hanya anak kecil yang pikirannya untuk main dan bermain. Selesai membantu Kevin, Anjani bergegas pulang ke rumah mengantar Clara. Sebelum siang nanti, ia pergi ke kantor membawakan makan siang suaminya itu. Bukan keinginan Bian agar Anjani melakukan itu, tetapi Anjani sendiri yang mau. Ia ingin selalu memastikan Bian makan-makanan yang sehat baik di rumah maupun di kantornya. Toh, sudah tugas seorang istri kan untuk memberikan yang terbaik pada suami? "Bun, tadi Kevin sempat bilang kalau Bunda ternyata baik sama dia. Kevin kayanya senang banget bisa ketemu sama Bunda hari ini," celoteh Clara sembari duduk di kursi ruang makan, memainkan boneka barbie yang baru ia beli tadi. Anjani yang sibu

  • Janda Lumpuh Milik CEO   68 | Berhubungan Lagi?

    Pagi ini suasana kantor Pradipta sudah sangat ramai, seluruh karyawannya datang tepat waktu seperti biasa. Mereka bolak-balik melakukan tugas masing-masing, ada yang sedang mengetik di laptop dan ada pula yang menyiapkan ruang meeting.Pemandangan yang sungguh menyejukkan mata Bian. Ia suka melihat karyawannya disiplin dalam hal pekerjaan di kantor Pradipta ini. "Selamat pagi, Pak," sapa seorang karyawan perempuan ketika Bian hendak memasuki lift. Bian balas tersenyum tipis. Dan di dalam lift itu, ia bertemu dengan Sani. "Wah, lama banget kita nggak ketemu, Bi. Gimana kabar lo, bro?" tanya Sani pada sahabatnya itu. Ia merangkul bahu Bian sembari cengar-cengir. Ya, sani cukup lama tidak bertemu Bian, sekitar dua minggu, sebab Sani harus menjaga ibunya di rumah sakit. "Baik kok. Apalagi istri gue lagi hamil," sahut Bian lalu tersenyum lebar seraya merapikan jasnya dengan perasaan bahagia. "Serius? Gercep banget, Bi lo bikinnya! Bakal jadi bapak nihh yee, gue doain deh Anjani lancar

  • Janda Lumpuh Milik CEO   67 | Adik Untuk Clara

    "Papa Bian sama Bunda tadi kemana? Kok lama banget?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Clara yang baru pulang dari sekolah. Tatkala Anjani dan Bian melangkah memasuki rumah. Anjani ingat Clara belum mengetahui bahwa ia sedang mengandung calon adik Clara, maka ia melirik Bian lalu menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Bian mengerti, ia langsung mengangguk dan mengulum senyum geli. Seolah kejadian di rumah sakit tadi bukan apa-apa untuk mereka. Anjani dan Bian tahu bagaimana cara menyembunyikan masalah yang seharusnya tidak diketahui anak kecil. "Loh, kok mukanya gitu, Bunda menyembunyikan apa dari aku?" Clara yang merasa teracuhkan kini manyun lalu bersedekap. Anjani terkikik kecil, ia mencubit gemas hidung putri kecilnya, kemudian menggerakkan tongkat mengajak anak itu duduk di sofa. Anjani langsung mengambil tangan Clara dan menempelkan tangan mungil itu ke perutnya. Clara sedikit terkejut. "Coba Clara tebak, di perut Bunda yang rata ini isinya ada apa aja?" Clara lantas berpik

  • Janda Lumpuh Milik CEO   66 | Pembuktian

    Anjani tidak pernah merasa sekecewa ini sebelumnya, meski kebenaran belum terbukti namun hatinya terus saja berkata bahwa tidak mungkin Laura pura-pura hamil demi mendapatkan Bian hingga dia berani menjatuhkan harga dirinya sendiri.Oleh karenanya, pagi ini Anjani meminta Bian untuk menemaninya pergi ke rumah Laura dan mengajak wanita itu ke rumah sakit agar bisa melakukan tes di hadapannya, tanpa ada sedikit pun kecurangan dan Anjani sangat berharap akan itu.Pintu utama yang diketuk sebanyak tiga kali itu akhirnya terbuka, menampilkan seorang wanita bersweater biru dan celana jeans panjang serta mata sembab. Sepertinya Laura habis menangis."Ngapain lo ke sini hah?" tanya Laura kesal.Entah kenapa di saat begini Anjani malah tergagap, melihat Laura yang menangis menambah keyakinannya bahwa wanita itu tidak berbohong.Bian tinggal di mobil, jadi Anjani bisa leluasa bertanya. "Mbak habis n

  • Janda Lumpuh Milik CEO   65 | Keduanya

    Deg."Aku pu—""Aku hamil anak Bian... "Lantas semua penghuni ruangan tersebut terdiam kaku, detik terasa berhenti, semuanya tertuju pada Laura yang tersenyum kemenangan, pada perkataan wanita itu barusan.Terkhusus bagi Anjani yang sangat syok mendengar ucapan wanita itu, dadanya sakit seperti dihantam puluhan balok keras, sedangkan Bian masih di ambang pintu mengepalkan tangan. Tentu saja ia tidak percaya apa yang diucapkan Laura barusan, wanita itu pembohong. Anjani tidak boleh tertipu oleh muslihatnya."Diam Laura! Kau pembohong!" Pungkas Bian melangkah maju dan berdiri di samping Anjani. Saat itu Anjani benar-benar bingung dan kepalanya mulai terass pusing."Bohong? Aku nggak bohong Bian. Ini benar anakmu, ini anak kita," tambah Laura yang membuat Bian semakin ingin mencekik leher wanita itu. Laura ternyata belum jera dan sama sekali tidak belajar dari pengalamannya dulu."Cukup! Aku tidak mau

  • Janda Lumpuh Milik CEO   64 | Dia Hamil?

    Adanya Cintya di mansion ini menghilangkan rasa sepi Anjani, terutama saat dulu di pagi hari, ia ditinggal berdua dengan bi Ratih dan para pelayan. Yang notebene nya para pelayan itu berbicara hanya ketika mereka perlu, sedangkan bi Ratih kadang juga sibuk dan harus pulang ketika sudah malam ke rumah aslinya.Sekarang dia dan Cintya sedang menonton serial kartun kesukaan Clara di ruang keluarga, seraya memakan popcorn spesial yang dibuat khusus oleh chef ahli di mansion ini.Sementara yang merekomendasikan film justru asik menggambar menggunakan pensil warna yang baru dibelikan Bian."Yeay aku sudah selesai menggambar," Kata Clara mengangkat bangga kertas gambarnya menunjukannya pada Cintya dan Anjani. Cintya tersenyum kecil dan mengusap lembut rambut cucunya itu."Bunda, coba lihat deh, ini keluarga kita." Ia menunjuk 4 orang yang berada di permukaan kertas tersebut, dengan dia ber

  • Janda Lumpuh Milik CEO   63 | Laura Kembali Berulah

    Selesai berbelanja ke pasar Anjani kembali ke rumah, berbeda dengan Bian yang harus pergi ke kantor untuk kembali bekerja.Di dapur, seperti Biasa Anjani mulai memasak dibantu oleh Bi Ratih, bedanya dapur dan seluruh peralatan masak yang ia gunakan di mansion ini benar-benar mewah. Semua peralatan terbuat dari bahan anti gosong dan logam yang tidak mudah berkarat.Anjani merasa sangat dimanjakan dengan semua peralatan itu. Sesekali ia tersenyum membayangkan betapa awetnya peralatan ini. Sangat berbeda dengan peralatan dapur di rumahnya yang sebagian besar sudah gosong.Selain peralatan masak serta kitchen set, kursi dan pantry yang digunakannya juga sangat empuk, bentuknya yang di desain khusus oleh Bian agar dia lebih mudah duduk dan berdiri menggunakan tongkat."Ada yang bisa saya bantu nyonya?" Anjani menatap ke samping ketika seorang chef menunduk dan bertanya padanya, Anjani tidak bisa menatap langsung mata laki-laki itu

DMCA.com Protection Status