"Maaf pala lo meledak! Untung hape mahal gue nggak pecah. Jual rumah aja lo nggak akan sanggup ganti hape gue!" omel Laura memandang Anjani sengit. Dia menelisik penampilan wanita itu dari atas sampai ke bawah. Sadar Anjani memakai tongkat ia langsung menarik satu sudut bibirnya.
"Oh ya ya ya. Lo ternyata pincang? Pantesan jalan aja nyusahin orang," maki wanita itu penuh kesombongan.
Anjani merapatkan bibir, dia tak mau membalas ucapan Laura. Toh, dia telah terbiasa mendengar kalimat tersebut dari mulut orang-orang. Anjani sudah kebal dengan semua hinaan serta perlakuan Seenaknya dari mereka.
Lain bagi Clara yang menggertakan rahang, kekesalannya bertambah kepada wanita sombong itu.
"Bunda nggak pincang tau! Cuma satu kakinya aja yang nggak bisa gerak," ucap Clara. Laura mengernyit dan mengangkat telunjuk di depan wajah gadis itu.
"Heh bocah ingusan diem lo!"
"Jangan menun
Hai semua ketemu lagi di cerita ini. Jangan lupa tambahkan novel ini ke pustaka kalian ya. Kasih rate dan ulasan juga😍
"Enak," ujar Bian usai menghabiskan semangkuk sup-nya, kemudian menatap Anjani yang sedari tadi duduk di kursi sampingnya. "Saya mau tambah lagi boleh?" "Boleh kok pak. Saya membuat supnya cukup banyak." Anjani pun mengisi kembali mangkok tersebut dan memberikannya pada Bian. "Ini." Langsung diterima oleh pria itu dengan tatapan nafsu. Anjani menggeleng pelan seraya menggerakan tongkat menuju kulkas. "Masih panas pak dinginkan dulu ya," sarannya yang dihiraukan oleh Bian. Pria itu justru acuh langsung menyeruput kuah supnya. Uhk. Alhasil Bian tersedak akibat kepanasan. Tenggorokannya seolah tercekik. "A-ni Uhk berikan air..." "Ya ampun pak makanya pelan-pelan makannya." Anjani kaget, cepat-cepat dia mengambil sebotol air dingin dari kulkas, berusaha bergerak cepat memberikannya pada Bian. "Kan saya bilang
Anjani menegapkan punggungnya menatap terkejut siapa yang bertanya. "Ibu sedang mengintip siapa?" ulang Bi Ratih menatap heran majikannya. Anjani menghela napas lega, dia kira siapa. "Hehe. Pak Bian." Anjani menggaruk tengkuk salah tingkah. Ia sedikit malu karena ketahuan. "Oh." Bi Ratih manggut-manggut kalem namun sepersekian detik eskpresinya berubah. "Ya ampun pak Bian? Bibi belum sempat minta foto!" kagetnya menempelkan kedua telapak tangan ke pipi. "Shtt jangan keras-keras ngomongnya Bi nanti beliau bangun," bisik Anjani menaruh telunjuk di depan bibir wanita paruhbaya itu. Melirik sekilas pintu kamar t
"What? Jadi wanita lumpuh itu namanya Anjani?" tanya Laura pada Zeya yang berdiri di sampingnya, setelah dia membaca berita di koran yang terbit dua hari lalu. Dan kalau Zeya tidak memberikannya koran itu, sepertinya dia tidak akan pernah tau.Zeya menarik satu sudut bibirnya seraya bersedekap, "Hooh bego! Lo ketinggalan berita sih.""Sialan!" Laura menggebrak meja. Alisnya menukik tajam lalu mencak-mencak tidak karuan. Obsesi cewek itu kembali muncul, "Argh. Gue baru nyadar ternyata dia cewek yang ditabrak sama Bian. Kenapa nggak mati aja si dia?""Lo mau dia mati?" Zeya mengerutkan kening."Kalo sampai dia berani ngerebut My Prince gue kenapa enggak?""Hahaha." Zeya meledakan tawa meremehkan untuk temannya itu, dia menepuk-nepuk bahu Laura. Zeya tak habis pikir kenapa Laura begitu tahan menyimpan obsesi gilanya untuk pria seperti Bian. Padahal menurut Zeya, Bian itu biasa saja.
Vote dan komen oghey😉Malam ini, entah sampai kapan hujan akan mengguyur kota. Membuat jalanan becek dan aktivitas-aktivitas di luar sana tertahan sementara. Sama dengan tertahannya seorang pria yang sedang menyesap kopi sambil duduk menaikkan satu lutut di sofa ruang keluarga.Bian meniup-niup sembari sesekali menyesap secangkir kopi di tangannya. Tubuhnya berbalut selimut abu tebal berbahan wol, sedangkan matanya fokus menonton drama action dari TV layar lebar yang menyala di depannya.Ya sebenarnya Bian sadar tingkahnya kelewat santai sebagai tamu. Namun ia terlanjur nyaman dengan posisi ini. Peduli setan gue sama Anjani. Haha, gumamnya.Tapi ngomong-ngomong, dimana wanita itu? Kenapa lama tidak muncul setelah memberikan kopi?Ah, Bian jadi merasa kurang asik kalau harus sendirian di ruangan sebesar ini. Padahal kan niatnya bertamu tidak lain ag
Anjani baru belanja kebutuhan pangan, ia akan memasuki dapur untuk menaruh semua sayurannya, tetapi langkahnya berhenti saat samar-samar terdengar suara minta tolong dari arah kolam renang. Sontak wanita itu termangu dan menjatuhkan plastik belanjaan ke lantai. Ia ingat pagi tadi, bi Ratih sempat mengatakan padanya bahwa Clara ingin berenang."Anakku?" gumamnya cemas.Buru-buru wanita yang mengenakan dress tunik putih itu menggerakan tongkat menuju kolam, setibanya Anjani terkejut bukan main karena yang ditemukannya adalah Bian."Astaga Pak Bian!"Anjani lihat pria itu kesulitan muncul ke permukaan, atau ralat, Bian mungkin tidak bisa berenang."To-tolong akh--"Anjani menggigit bibir bawahnya cemas. "Coba berenang ke tepi pak.""Ti-tidak. Hmpph. Tolong Anjani." Pria itu berulang kali nyaris tenggelam, berulang kali pula muncul ke permukaan
"Saya ingin mendengar kejujuran dari mulut kamu," ucap Bian memegang lengan Anjani. Menahan wanita itu untuk tidak menghindar dari tatapan matanya. Ia heran kenapa wanita itu lebih memilih berbohong, ketimbang jujur. Toh, apa masalahnya? Ia malah senang mengetahui Anjani rela melakukan hal tersebut untuknya. "Itu... tadi saya jujur kok. Hehe." Anjani menyengir, menggaruk tengkuk salah tingkah. "Benarkah?" Bian menarik kursi roda Anjani lebih mepet ke ranjangnya. Anjani tergelak. Tubuh Bian bergeser 90 derajat menghadap wanita itu. "Coba katakan lagi sambil menatap mataku." "Saya ... " Anjani terdiam menatap ke bawah, merasa sangat ragu mengatakannya. Bian menaikkan dagu wanita itu hingga tatapan mereka bertemu, "Kamu memberiku napas buatan hm?" "Hah? Ba-bapak tau darimana?" "Wanita tua itu. Dia yang memberitahuku." Bian mengernyitkan kening seraya bersedekap.
Anjani kaget mendengar pengakuan Bian, ia menatap pria itu dengan alis bertaut. Tidak mengherankan sebenarnya jika seseorang tidak bisa berenang, tapi mendengar kata 'takut kedalaman air' sangat jarang Anjani temui.Dan Bian jadi orang pertama yang Anjani ketahui mengenai kondisi trauma seperti itu. Baginya ini langka."Saya takut, cemas, dan gemetaran ketika melihat kolam, danau, atau sejenisnya yang punya kedalaman," aku Bian dengan wajah sendu. Tersirat kesedihan dari matanya. "Lalu kalau saya memaksakan diri untuk berenang, saya akan sulit bernapas."Dulu Anjani tak pernah sekasihan ini pada pria itu. Kiranya pria seukuran Bian terlampau mustahil memiliki masalah yang rumit, mengingat Bian punya segalanya; wajah tampan, cerdas, dan harta yang sepertinya tak akan habis hingga tujuh turunan."Kamu tahu kenapa?" Pula Bian rasanya tak pernah seingin ini menceritakan beban hidupnya kepada seseorang. Ia sela
Laura memicingkan mata ke mobil yang ditunjuk Hani, pria itu mengatakan kebenaran, setelah Laura melihat plat nomor mobilnya ternyata persis seperti punya Bian. Bahkan bukan persis lagi, itu mobil nyata adalah milik Bian. "Sialan! Lo bener Han, itu mobil My Prince gue kenapa bisa disitu sih?! Ngapain Bian di rumah Anjani?" gumam Laura kesal. Ia menggebrak setir dengan kuat menyalurkan amarahnya.Ketika amarah majikannya mode on begini, biasanya Hani lebih berhati-hati, "Eike juga nggak tau nyonya, baru nyadar.""Apa jangan-jangan..." Hani menggantung ucapannya membuat Laura memicing kesal pada pria itu."Apa?! Lo mau ngomong apa?!""Eh enggak-enggak," elak Hani."Pantesan dari kemarin Bian nggak keliatan! Gue bakal kasih pelajaran itu si wanita lumpuh. Beraninya dia ngurung My Prince gue di gubuk ini." Laura sudah akan membuka pintu mobil
Laura tertawa lepas sembari menonton televisi di ruang tamu rumahnya, wanita itu sedang libur bekerja hari ini, manajernya—Hani mengatakan bahwa Laura perlu cuti untuk beristirahat dikarenakan wanita itu sedang hamil. Laura juga sebenarnya tidak peduli, sebab seberapa banyakpun ia libur atau menganggur uangnya tidak akan pernah habis. Ya, uang ayahnya—Hans selagi pria itu masih hidup ia tidak perlu khawatir akan jatuh miskin.Sedari tadi pun, kerjaannya hanya makan dan makan, efek hamil membuatnya terlalu malas untuk bergerak apalagi melakukan pekerjaan rumah. Oh ya, jangan lupa, selama ia masih tinggal di rumah mewah ini ia tidak perlu berbuat apa-apa. Tinggal duduk manis, semua sudah tersaji di meja. Pelayanan di rumah inilah andalannya."Nona, peralatan mandinya sudah siap, jacuzzinya juga sudah saya campur dengan mawar kesukaan Nona," ujar seorang pelayan wanita, ia membungkuk sopan.Laura mengangguk malas, sangat terpaksa untuk mandi, jika saja hari ini ia tidak berencana pergi ke
Pukul 12.10 ketika Anjani tiba di kantor Pradipta. Saat menuruni mobi ia disambut senyum ramah oleh satpam dan beberapa karyawan. Maklum, siapa yang tidak mengenal Anjani di kantor Pradipta ini? Mengingat dia adalah istri pemilik perusahaan. "Selamat siang, Bu. Wah, hari ini ibu cantik sekali," puji salah satu pegawai laki-laki. Usianya terbilang lebih muda.Anjani tersenyum tipis. Satu tangannya memegang tongkat dan tangan lainnya membawa tas berisi bekal makan. "Terima kasih. Mungkin itu hanya perasaan masnya, bahkan aku merasa biasa saja hari ini," jawab Anjani rendah hati. Laki-laki itu menggeleng cepat, "Ah tidak, Bu. Hari ini ibu memang kelihatan berbeda, wajah ibu lebih cerah."Anjani sontak teringat ucapan Cintya, jika wanita hamil memiliki aura yang positif dan wajah yang lebih bercahaya. "Mungkin karena aku sedang hamil," batin Anjani menggelitik. Ingin rasanya mengusap perut tapi tangannya penuh. "Saya ke ruangan pak Bian dulu yaaa, Mas," Ucap Anjani tersenyum lagi pa
Kadang, Anjani merasa bersalah. Namun, jika tidak seperti itu, selamanya ia tidak akan tenang karena belum membantu menyelesaikan masalah Kevin. Toh, Kevin sendiri tidak tahu apa-apa mengenai persoalan suaminya dengan Bram. Anak itu masih terlalu polos untuk memahami masalah seperti ini. Kevin hanya anak kecil yang pikirannya untuk main dan bermain. Selesai membantu Kevin, Anjani bergegas pulang ke rumah mengantar Clara. Sebelum siang nanti, ia pergi ke kantor membawakan makan siang suaminya itu. Bukan keinginan Bian agar Anjani melakukan itu, tetapi Anjani sendiri yang mau. Ia ingin selalu memastikan Bian makan-makanan yang sehat baik di rumah maupun di kantornya. Toh, sudah tugas seorang istri kan untuk memberikan yang terbaik pada suami? "Bun, tadi Kevin sempat bilang kalau Bunda ternyata baik sama dia. Kevin kayanya senang banget bisa ketemu sama Bunda hari ini," celoteh Clara sembari duduk di kursi ruang makan, memainkan boneka barbie yang baru ia beli tadi. Anjani yang sibu
Pagi ini suasana kantor Pradipta sudah sangat ramai, seluruh karyawannya datang tepat waktu seperti biasa. Mereka bolak-balik melakukan tugas masing-masing, ada yang sedang mengetik di laptop dan ada pula yang menyiapkan ruang meeting.Pemandangan yang sungguh menyejukkan mata Bian. Ia suka melihat karyawannya disiplin dalam hal pekerjaan di kantor Pradipta ini. "Selamat pagi, Pak," sapa seorang karyawan perempuan ketika Bian hendak memasuki lift. Bian balas tersenyum tipis. Dan di dalam lift itu, ia bertemu dengan Sani. "Wah, lama banget kita nggak ketemu, Bi. Gimana kabar lo, bro?" tanya Sani pada sahabatnya itu. Ia merangkul bahu Bian sembari cengar-cengir. Ya, sani cukup lama tidak bertemu Bian, sekitar dua minggu, sebab Sani harus menjaga ibunya di rumah sakit. "Baik kok. Apalagi istri gue lagi hamil," sahut Bian lalu tersenyum lebar seraya merapikan jasnya dengan perasaan bahagia. "Serius? Gercep banget, Bi lo bikinnya! Bakal jadi bapak nihh yee, gue doain deh Anjani lancar
"Papa Bian sama Bunda tadi kemana? Kok lama banget?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Clara yang baru pulang dari sekolah. Tatkala Anjani dan Bian melangkah memasuki rumah. Anjani ingat Clara belum mengetahui bahwa ia sedang mengandung calon adik Clara, maka ia melirik Bian lalu menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Bian mengerti, ia langsung mengangguk dan mengulum senyum geli. Seolah kejadian di rumah sakit tadi bukan apa-apa untuk mereka. Anjani dan Bian tahu bagaimana cara menyembunyikan masalah yang seharusnya tidak diketahui anak kecil. "Loh, kok mukanya gitu, Bunda menyembunyikan apa dari aku?" Clara yang merasa teracuhkan kini manyun lalu bersedekap. Anjani terkikik kecil, ia mencubit gemas hidung putri kecilnya, kemudian menggerakkan tongkat mengajak anak itu duduk di sofa. Anjani langsung mengambil tangan Clara dan menempelkan tangan mungil itu ke perutnya. Clara sedikit terkejut. "Coba Clara tebak, di perut Bunda yang rata ini isinya ada apa aja?" Clara lantas berpik
Anjani tidak pernah merasa sekecewa ini sebelumnya, meski kebenaran belum terbukti namun hatinya terus saja berkata bahwa tidak mungkin Laura pura-pura hamil demi mendapatkan Bian hingga dia berani menjatuhkan harga dirinya sendiri.Oleh karenanya, pagi ini Anjani meminta Bian untuk menemaninya pergi ke rumah Laura dan mengajak wanita itu ke rumah sakit agar bisa melakukan tes di hadapannya, tanpa ada sedikit pun kecurangan dan Anjani sangat berharap akan itu.Pintu utama yang diketuk sebanyak tiga kali itu akhirnya terbuka, menampilkan seorang wanita bersweater biru dan celana jeans panjang serta mata sembab. Sepertinya Laura habis menangis."Ngapain lo ke sini hah?" tanya Laura kesal.Entah kenapa di saat begini Anjani malah tergagap, melihat Laura yang menangis menambah keyakinannya bahwa wanita itu tidak berbohong.Bian tinggal di mobil, jadi Anjani bisa leluasa bertanya. "Mbak habis n
Deg."Aku pu—""Aku hamil anak Bian... "Lantas semua penghuni ruangan tersebut terdiam kaku, detik terasa berhenti, semuanya tertuju pada Laura yang tersenyum kemenangan, pada perkataan wanita itu barusan.Terkhusus bagi Anjani yang sangat syok mendengar ucapan wanita itu, dadanya sakit seperti dihantam puluhan balok keras, sedangkan Bian masih di ambang pintu mengepalkan tangan. Tentu saja ia tidak percaya apa yang diucapkan Laura barusan, wanita itu pembohong. Anjani tidak boleh tertipu oleh muslihatnya."Diam Laura! Kau pembohong!" Pungkas Bian melangkah maju dan berdiri di samping Anjani. Saat itu Anjani benar-benar bingung dan kepalanya mulai terass pusing."Bohong? Aku nggak bohong Bian. Ini benar anakmu, ini anak kita," tambah Laura yang membuat Bian semakin ingin mencekik leher wanita itu. Laura ternyata belum jera dan sama sekali tidak belajar dari pengalamannya dulu."Cukup! Aku tidak mau
Adanya Cintya di mansion ini menghilangkan rasa sepi Anjani, terutama saat dulu di pagi hari, ia ditinggal berdua dengan bi Ratih dan para pelayan. Yang notebene nya para pelayan itu berbicara hanya ketika mereka perlu, sedangkan bi Ratih kadang juga sibuk dan harus pulang ketika sudah malam ke rumah aslinya.Sekarang dia dan Cintya sedang menonton serial kartun kesukaan Clara di ruang keluarga, seraya memakan popcorn spesial yang dibuat khusus oleh chef ahli di mansion ini.Sementara yang merekomendasikan film justru asik menggambar menggunakan pensil warna yang baru dibelikan Bian."Yeay aku sudah selesai menggambar," Kata Clara mengangkat bangga kertas gambarnya menunjukannya pada Cintya dan Anjani. Cintya tersenyum kecil dan mengusap lembut rambut cucunya itu."Bunda, coba lihat deh, ini keluarga kita." Ia menunjuk 4 orang yang berada di permukaan kertas tersebut, dengan dia ber
Selesai berbelanja ke pasar Anjani kembali ke rumah, berbeda dengan Bian yang harus pergi ke kantor untuk kembali bekerja.Di dapur, seperti Biasa Anjani mulai memasak dibantu oleh Bi Ratih, bedanya dapur dan seluruh peralatan masak yang ia gunakan di mansion ini benar-benar mewah. Semua peralatan terbuat dari bahan anti gosong dan logam yang tidak mudah berkarat.Anjani merasa sangat dimanjakan dengan semua peralatan itu. Sesekali ia tersenyum membayangkan betapa awetnya peralatan ini. Sangat berbeda dengan peralatan dapur di rumahnya yang sebagian besar sudah gosong.Selain peralatan masak serta kitchen set, kursi dan pantry yang digunakannya juga sangat empuk, bentuknya yang di desain khusus oleh Bian agar dia lebih mudah duduk dan berdiri menggunakan tongkat."Ada yang bisa saya bantu nyonya?" Anjani menatap ke samping ketika seorang chef menunduk dan bertanya padanya, Anjani tidak bisa menatap langsung mata laki-laki itu