Laura memicingkan mata ke mobil yang ditunjuk Hani, pria itu mengatakan kebenaran, setelah Laura melihat plat nomor mobilnya ternyata persis seperti punya Bian. Bahkan bukan persis lagi, itu mobil nyata adalah milik Bian.
"Sialan! Lo bener Han, itu mobil My Prince gue kenapa bisa disitu sih?! Ngapain Bian di rumah Anjani?" gumam Laura kesal. Ia menggebrak setir dengan kuat menyalurkan amarahnya.Ketika amarah majikannya mode on begini, biasanya Hani lebih berhati-hati, "Eike juga nggak tau nyonya, baru nyadar."
"Apa jangan-jangan..." Hani menggantung ucapannya membuat Laura memicing kesal pada pria itu.
"Apa?! Lo mau ngomong apa?!"
"Eh enggak-enggak," elak Hani.
"Pantesan dari kemarin Bian nggak keliatan! Gue bakal kasih pelajaran itu si wanita lumpuh. Beraninya dia ngurung My Prince gue di gubuk ini." Laura sudah akan membuka pintu mobil
Mata Bian melebar mendengar penuturan Anjani, bukannya membela wanita itu malah membuka jalan lebar untuk Laura membawanya pergi. Apalagi sampai membeberkan bahwa dia sering numpang makan di rumah ini."Baguslah, ayo kita pergi Bi." Laura sudah menggenggam pergelangan Bian tetapi dihempaskan kasar oleh pria itu."Lepaskan saya Laura!" perintah Bian tegas. Laura bahkan sedikit tertunduk karna Bian menghempas tangannya barusan. "Saya nggak mau ikut dengan kamu. Lagipula siapa kamu berani memaksa saya?""Tapi Bi--""Loh bukannya ini pacar bapak?" Anjani menatap bingung keduanya."Ya bukanlah," Bian mengusap wajah gusar. Gusar karena Anjani selalu saja tak peka pada keadaan."Kamu ini nggak bisa membaca situasi apa? Kamu nggak lihat saya risih di dekat dia?" tunjuk Bian pada Laura. Wanita itu menghentakan kaki geram."Aduh saya makin bingung." Anjani dibuat ge
Nyaris seminggu tdk up😥 huhu. Author udh mulai sibuk, maaf yaa. ***Setelah mendapatkan telpon dari rumah sakit Anjani bergegas menuju ruang tempat Clara dirawat. Dan setibanya air mata wanita itu mengalir deras mendapati putrinya terbaring lemas di ranjang putih dengan perban melilit kepala dan impus yang melekat di punggung tangan."Clara..." Anjani melirih, di balik jendela kaca ia menatap putrinya yang ditangani oleh dokter, dapat ia lihat Clara mengalami cukup banyak luka di bagian tangan serta kaki.Bian yang sedari tadi mengekor akhirnya mendekat lalu berdiri di samping wanita itu. Ia hanya terdiam menatap ke dalam ruangan. Entah kenapa rasa kasihan, gelisah, dan sedih juga pria itu rasakan sekarang.Bian mencoba menyentuh pundak Anjani, "An--""Ini bukan waktu yang tepat untuk membuat masalah sama saya pak."
Beberapa jam kemudian Anjani diperbolehkan dokter menemui Clara. Wanita itu lantas masuk ke ruang rawat dengan langkah tergesa-gesa dan langsung mengecup dahi putrinya sambil berlinang air mata.Hati Anjani seperti teriris pisau tajam melihat banyak perban menutupi permukaan tangan serta kaki anaknya itu. Ia sungguh tak sanggup menerima semua ini.Memori kecelakaan dua tahun lalu pun seakan berputar kembali di benaknya. Membuat rasa trauma kehilangan menguak lagi ke permukaan. Anjani takut kehilangan satu orang lagi yang ia cintai, oleh karenanya dengan cara apa pun Anjani berusaha menjaga Clara.Tapi karena kejadian ini Anjani merasa dirinya tidaklah becus menjadi seorang ibu."Cepat sadar ya sayang." Anjani menggenggam tangan Clara, sesaat sebelum kemudian seorang suster memasuki ruangan dengan wajah paniknya."Nyonya mohon keluar. Seorang pria yang bersama nyonya tadi membuat keributan
"Bapak nggak perlu melakukannya, ruangan ini sudah cukup nyaman untuk Clara," ujar Anjani pada Bian. Pria itu menawarkan agar Clara pindah ke ruang VVIP. Dan tentu saja Anjani menolak sebab namanya ruang VVIP, biayanya pasti akan sangat mahal.Clara yang berbaring mengganguk, menatap Bian yang berdiri di samping Anjani yang duduk, "Iya Om. Di sini enak kok ada TV-nya.""Televisi mana cukup," Bian bersikukuh, "Lagipula di ruangan VVIP nanti bukan hanya ada fasilitas TV, tapi juga ada AC, Kamar mandi, sofa bed untuk Anjani, kursi penunggu pasien, Lemari pakaian, kulkas, dan lemari mainan. Kamu akan betah di sana.""Pak biayanya pasti lebih mahal. Sebaiknya Clara di sini saja." Anjani menolak lagi."Ck, kamu tidak tahu siapa saya?" Bian membuang udara dari mulut, pria itu mulai menunjukan kesombongan. "Tolong sekali ini kamu menurut, toh, masalah biaya paling gampang buat saya."Memutar bola
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam ketika Anjani selesai mencuci piring. Wanita itu mengeluari dapur lalu menghampiri putrinya yang terlelap di ranjang dengan punggung tangan masih melekat impus. Tampaknya Clara begitu nyaman dalam tidurnya sampai Anjani tak sekali pun mendengar anak itu melenguh atau terjaga. Namun Anjani yakin, Clara pasti masih merasa sakit disekujur tubuhnya.Menarik selimut hingga sebatas dada anaknya itu, Anjani mengecup kening Clara seperti kebiasan setelah Clara tertidur."Good Night my princess," ucapnya. Lalu pandangan Anjani beralih pada Bian yang berbaring di sofa bed. Pria itu juga tertidur menyamping sembari memeluk tubuhnya sendiri.Wajah Bian pun tampak kelelahan dengan rambut yang berantakan, bahkan pria itu memakai pakaian yang sama sejak pagi tadi. Yaitu, sweater rajut hitam milik Aldevaro. Anjani memang meminjamakannya sebab kalian ingat sendiri kan? Kalau kemarin Bian nyaris tenggelam
"Shttt pak, bapak ngelamunin apa?" bisikan disertai sikutan itu membuyarkan pikiran Bian, ia menegapkan punggung dan menatap Vanya yang duduk di sampingnya dengan linglung. Suasana ruang meeting pun menghening ketika semua karyawan menatap pria itu."Hah? Apanya?" Bian semakin terheran."Itu loh pak lihat ke depan.""Ekhem."Deheman yang lantas membuat Bian mematuhi Vanya, pria itu menatap ke depan, menelan saliva kasar kala Pak Bram menatapnya cukup sinis. Sial! Bian merutuki kebodohannya melamun di tengah moment meeting. Bisa-bisanya pikirannya terlintas oleh seseorang dalam keadaan penting seperti sekarang.Menstabilkan ekspresi agar tetap terlihat santai, Bian berdehem singkat lalu bersikap layaknya CEO profesional."Maaf pak. Saya kehilangan fokus. Bisa diulang pertanyaannya?"Pak Bram menggelengkan kepalanya beberapa detik tanda kecewa pada teledorny
"Le-akh lepas... Bi," rintih Laura. Dia memegangi kedua tangan Bian guna menahan pria itu mencekik lehernya lebih kuat. Alhasil, nyaris bermenit-menit Laura merasa oksigennya kian menipis. Laura tak habis pikir kenapa Bian mendadak datang lalu langsung mencekik lehernya.Menyepelekan rintihan wanita itu Bian justru menguatkan cekikannya, bahkan dia sampai mendorong Laura membuat wanita itu terpaksa berjalan mundur hingga punggungnya menyentuh tembok."Tidak akan, sebelum kamu mengakui semuanya di hadapanku penjahat!""I-iya akh.. aku... ngaku." Laura tidak punya pilihan. Bian sepertinya sudah tidak waras! Pria itu bisa saja membuatnya meregang nyawa.Melepaskan cekikan dari leher Laura dengan kasar, Bian berucap, "Apa pengakuanmu? Cepat katakan sekarang!"Masih dengan wajah memucat dan mulut terbatuk hebat, Laura menghirup oksigen sebanyak mungkin. Tubuh wanita itu meluruh ke lantai.
Bian sudah biasa meladeni banyak wanita yang mencoba mendekatinya. Ada banyak nama seperti Bella, Alana, Jessie dan masih banyak lagi. Namun yang paling kebal dengan penolakannya adalah si wanita penyihir bernama Laura. Lalu bagian terpenting yang perlu digaris bawahi ketika wanita-wanita itu berusaha mengambil hatinya adalah, Bian tak pernah tertarik sedikit pun pada pesona yang mereka tunjukan. Sekali pun untuk meluluhkan hatinya dengan menonjolkan kebaikan, mereka jauh dari kata 'dekat'. Akan tetapi, kali ini Bian menemukan banyak perbedaan ketika bersama Anjani. Tanpa susah payah wanita itu untuk mengambil perhatiannya, Bian sudah tersihir oleh kebaikan hatinya. Bertatapan selama puluhan detik sembari memegangi bahu wanita itu, Bian mengamati wajah mulus Anjani, hidung kecil yang mancung, serta mata bulat dengan bulu yang lentik, memunculkan perasaan hangat dalam raga Bian. Ia tak tahu mesti menyebutnya apa.
Laura tertawa lepas sembari menonton televisi di ruang tamu rumahnya, wanita itu sedang libur bekerja hari ini, manajernya—Hani mengatakan bahwa Laura perlu cuti untuk beristirahat dikarenakan wanita itu sedang hamil. Laura juga sebenarnya tidak peduli, sebab seberapa banyakpun ia libur atau menganggur uangnya tidak akan pernah habis. Ya, uang ayahnya—Hans selagi pria itu masih hidup ia tidak perlu khawatir akan jatuh miskin.Sedari tadi pun, kerjaannya hanya makan dan makan, efek hamil membuatnya terlalu malas untuk bergerak apalagi melakukan pekerjaan rumah. Oh ya, jangan lupa, selama ia masih tinggal di rumah mewah ini ia tidak perlu berbuat apa-apa. Tinggal duduk manis, semua sudah tersaji di meja. Pelayanan di rumah inilah andalannya."Nona, peralatan mandinya sudah siap, jacuzzinya juga sudah saya campur dengan mawar kesukaan Nona," ujar seorang pelayan wanita, ia membungkuk sopan.Laura mengangguk malas, sangat terpaksa untuk mandi, jika saja hari ini ia tidak berencana pergi ke
Pukul 12.10 ketika Anjani tiba di kantor Pradipta. Saat menuruni mobi ia disambut senyum ramah oleh satpam dan beberapa karyawan. Maklum, siapa yang tidak mengenal Anjani di kantor Pradipta ini? Mengingat dia adalah istri pemilik perusahaan. "Selamat siang, Bu. Wah, hari ini ibu cantik sekali," puji salah satu pegawai laki-laki. Usianya terbilang lebih muda.Anjani tersenyum tipis. Satu tangannya memegang tongkat dan tangan lainnya membawa tas berisi bekal makan. "Terima kasih. Mungkin itu hanya perasaan masnya, bahkan aku merasa biasa saja hari ini," jawab Anjani rendah hati. Laki-laki itu menggeleng cepat, "Ah tidak, Bu. Hari ini ibu memang kelihatan berbeda, wajah ibu lebih cerah."Anjani sontak teringat ucapan Cintya, jika wanita hamil memiliki aura yang positif dan wajah yang lebih bercahaya. "Mungkin karena aku sedang hamil," batin Anjani menggelitik. Ingin rasanya mengusap perut tapi tangannya penuh. "Saya ke ruangan pak Bian dulu yaaa, Mas," Ucap Anjani tersenyum lagi pa
Kadang, Anjani merasa bersalah. Namun, jika tidak seperti itu, selamanya ia tidak akan tenang karena belum membantu menyelesaikan masalah Kevin. Toh, Kevin sendiri tidak tahu apa-apa mengenai persoalan suaminya dengan Bram. Anak itu masih terlalu polos untuk memahami masalah seperti ini. Kevin hanya anak kecil yang pikirannya untuk main dan bermain. Selesai membantu Kevin, Anjani bergegas pulang ke rumah mengantar Clara. Sebelum siang nanti, ia pergi ke kantor membawakan makan siang suaminya itu. Bukan keinginan Bian agar Anjani melakukan itu, tetapi Anjani sendiri yang mau. Ia ingin selalu memastikan Bian makan-makanan yang sehat baik di rumah maupun di kantornya. Toh, sudah tugas seorang istri kan untuk memberikan yang terbaik pada suami? "Bun, tadi Kevin sempat bilang kalau Bunda ternyata baik sama dia. Kevin kayanya senang banget bisa ketemu sama Bunda hari ini," celoteh Clara sembari duduk di kursi ruang makan, memainkan boneka barbie yang baru ia beli tadi. Anjani yang sibu
Pagi ini suasana kantor Pradipta sudah sangat ramai, seluruh karyawannya datang tepat waktu seperti biasa. Mereka bolak-balik melakukan tugas masing-masing, ada yang sedang mengetik di laptop dan ada pula yang menyiapkan ruang meeting.Pemandangan yang sungguh menyejukkan mata Bian. Ia suka melihat karyawannya disiplin dalam hal pekerjaan di kantor Pradipta ini. "Selamat pagi, Pak," sapa seorang karyawan perempuan ketika Bian hendak memasuki lift. Bian balas tersenyum tipis. Dan di dalam lift itu, ia bertemu dengan Sani. "Wah, lama banget kita nggak ketemu, Bi. Gimana kabar lo, bro?" tanya Sani pada sahabatnya itu. Ia merangkul bahu Bian sembari cengar-cengir. Ya, sani cukup lama tidak bertemu Bian, sekitar dua minggu, sebab Sani harus menjaga ibunya di rumah sakit. "Baik kok. Apalagi istri gue lagi hamil," sahut Bian lalu tersenyum lebar seraya merapikan jasnya dengan perasaan bahagia. "Serius? Gercep banget, Bi lo bikinnya! Bakal jadi bapak nihh yee, gue doain deh Anjani lancar
"Papa Bian sama Bunda tadi kemana? Kok lama banget?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Clara yang baru pulang dari sekolah. Tatkala Anjani dan Bian melangkah memasuki rumah. Anjani ingat Clara belum mengetahui bahwa ia sedang mengandung calon adik Clara, maka ia melirik Bian lalu menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Bian mengerti, ia langsung mengangguk dan mengulum senyum geli. Seolah kejadian di rumah sakit tadi bukan apa-apa untuk mereka. Anjani dan Bian tahu bagaimana cara menyembunyikan masalah yang seharusnya tidak diketahui anak kecil. "Loh, kok mukanya gitu, Bunda menyembunyikan apa dari aku?" Clara yang merasa teracuhkan kini manyun lalu bersedekap. Anjani terkikik kecil, ia mencubit gemas hidung putri kecilnya, kemudian menggerakkan tongkat mengajak anak itu duduk di sofa. Anjani langsung mengambil tangan Clara dan menempelkan tangan mungil itu ke perutnya. Clara sedikit terkejut. "Coba Clara tebak, di perut Bunda yang rata ini isinya ada apa aja?" Clara lantas berpik
Anjani tidak pernah merasa sekecewa ini sebelumnya, meski kebenaran belum terbukti namun hatinya terus saja berkata bahwa tidak mungkin Laura pura-pura hamil demi mendapatkan Bian hingga dia berani menjatuhkan harga dirinya sendiri.Oleh karenanya, pagi ini Anjani meminta Bian untuk menemaninya pergi ke rumah Laura dan mengajak wanita itu ke rumah sakit agar bisa melakukan tes di hadapannya, tanpa ada sedikit pun kecurangan dan Anjani sangat berharap akan itu.Pintu utama yang diketuk sebanyak tiga kali itu akhirnya terbuka, menampilkan seorang wanita bersweater biru dan celana jeans panjang serta mata sembab. Sepertinya Laura habis menangis."Ngapain lo ke sini hah?" tanya Laura kesal.Entah kenapa di saat begini Anjani malah tergagap, melihat Laura yang menangis menambah keyakinannya bahwa wanita itu tidak berbohong.Bian tinggal di mobil, jadi Anjani bisa leluasa bertanya. "Mbak habis n
Deg."Aku pu—""Aku hamil anak Bian... "Lantas semua penghuni ruangan tersebut terdiam kaku, detik terasa berhenti, semuanya tertuju pada Laura yang tersenyum kemenangan, pada perkataan wanita itu barusan.Terkhusus bagi Anjani yang sangat syok mendengar ucapan wanita itu, dadanya sakit seperti dihantam puluhan balok keras, sedangkan Bian masih di ambang pintu mengepalkan tangan. Tentu saja ia tidak percaya apa yang diucapkan Laura barusan, wanita itu pembohong. Anjani tidak boleh tertipu oleh muslihatnya."Diam Laura! Kau pembohong!" Pungkas Bian melangkah maju dan berdiri di samping Anjani. Saat itu Anjani benar-benar bingung dan kepalanya mulai terass pusing."Bohong? Aku nggak bohong Bian. Ini benar anakmu, ini anak kita," tambah Laura yang membuat Bian semakin ingin mencekik leher wanita itu. Laura ternyata belum jera dan sama sekali tidak belajar dari pengalamannya dulu."Cukup! Aku tidak mau
Adanya Cintya di mansion ini menghilangkan rasa sepi Anjani, terutama saat dulu di pagi hari, ia ditinggal berdua dengan bi Ratih dan para pelayan. Yang notebene nya para pelayan itu berbicara hanya ketika mereka perlu, sedangkan bi Ratih kadang juga sibuk dan harus pulang ketika sudah malam ke rumah aslinya.Sekarang dia dan Cintya sedang menonton serial kartun kesukaan Clara di ruang keluarga, seraya memakan popcorn spesial yang dibuat khusus oleh chef ahli di mansion ini.Sementara yang merekomendasikan film justru asik menggambar menggunakan pensil warna yang baru dibelikan Bian."Yeay aku sudah selesai menggambar," Kata Clara mengangkat bangga kertas gambarnya menunjukannya pada Cintya dan Anjani. Cintya tersenyum kecil dan mengusap lembut rambut cucunya itu."Bunda, coba lihat deh, ini keluarga kita." Ia menunjuk 4 orang yang berada di permukaan kertas tersebut, dengan dia ber
Selesai berbelanja ke pasar Anjani kembali ke rumah, berbeda dengan Bian yang harus pergi ke kantor untuk kembali bekerja.Di dapur, seperti Biasa Anjani mulai memasak dibantu oleh Bi Ratih, bedanya dapur dan seluruh peralatan masak yang ia gunakan di mansion ini benar-benar mewah. Semua peralatan terbuat dari bahan anti gosong dan logam yang tidak mudah berkarat.Anjani merasa sangat dimanjakan dengan semua peralatan itu. Sesekali ia tersenyum membayangkan betapa awetnya peralatan ini. Sangat berbeda dengan peralatan dapur di rumahnya yang sebagian besar sudah gosong.Selain peralatan masak serta kitchen set, kursi dan pantry yang digunakannya juga sangat empuk, bentuknya yang di desain khusus oleh Bian agar dia lebih mudah duduk dan berdiri menggunakan tongkat."Ada yang bisa saya bantu nyonya?" Anjani menatap ke samping ketika seorang chef menunduk dan bertanya padanya, Anjani tidak bisa menatap langsung mata laki-laki itu