Share

4 | Pesta

Author: Asterona
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Babe, lo jadi datang nggak?" tanya seseorang di seberang, mengejutkan Bian yang baru saja menekan speaker gawainya di nakas.

Siapa lagi orang itu kalau bukan Laura, Wanita paling Bian hindari di dunia ini. Dia wanita yang sombong dan bersikap sangat manja. Bian benci tipe wanita seperti itu.

So, for your information, Laura merupakan anak salah satu rekan bisnis mendiang ayahnya—Baskara. Persahabatan mereka dulu begitu erat sekaligus berarti, sampai Baskara tak tanggung-tanggung berpesan agar menikahi anak rekan bisnisnya itu saja. Tidak boleh wanita lain.

Menghela napas pelan lalu melepas kaos kakinya sambil duduk di tepi ranjang Bian bergumam malas, "Hm."

"Astaga, Bi. Jangan malas gitu dong. Kamu tamu VIP, kedatangan kamu spesial banget buat aku," rengek Laura manja.

"Memang saya peduli? Kamu bukan siapa-siapa buat saya. Bahkan cuma orang asing." Bian menegapkan punggungnya, berbicara lebih tegas.

"Ish. Aku ini calon tunangan kamu, ingat nggak sih, Bi?"

Semakin diladeni maka wanita itu akan makin seenak hati, Bian memutar bola mata jengah.

"Mengerti arti kata 'calon' kan? Itu artinya kita belum terikat hubungan apa pun dan saya punya hak membatalkan rencana pertunangan kita, jadi saya tidak perlu repot-repot menuruti permintaan kamu," tukas Bian.

"Tapi Bi—"

"Sudahlah. Saya sibuk."

"Bi, jangan ditutup ishh..."

Bian pun menutup telponnya tanpa ragu. Ia merebahkan tubuhnya sembari menatap langit-langit kamar. Memejamkan mata sejenak seolah meluapkan sejenak rasa lelah di sekujur tubuhnya.

"Dasar penganggu! Kapan aku hidup tenang tanpa wanita-wanita seperti dia?" gumam Bian, meratapi hidupnya yang selalu saja dikelilingi wanita-wanita aneh. Manja seperti Laura, menyebalkan seperti Vanya, dan banyak lagi lah, Bian enggan mengingat nama mereka satu persatu.

Tok-tok.

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk, ogah-ogahan Bian pun bangun lalu membukakan pintu.

"Selamat malam, tuan. Ini ada dua paket untuk tuan," ujar seorang pelayan pria, menunduk mengulurkan dua kotak berwarna biru serta pink.

"Siapa pengirimnya?"

"Satunya dari tuan Sani, dia bilang tuan harus memakai seragam pemberiannya saat datang ke pesta nona Laura malam ini," jawab si pelayan, "Dan paket pink ini hanya ada tertera huruf 'C' tuan."

Bian mengernyit, malas pikir panjang ia langsung menerima kedua paket itu. "Yasudah pergi sana."

"Baik tuan."

Bian pun kembali duduk ke tepi ranjang. Paket Sani ia taruh dulu sedangkan paket pink tadi segera Bian buka, betapa kagetnya ia menemukan boneka T-rex berukuran kecil.

Cih, pasti ini ulah bocah kurang kerjaan. Akhirnya malah menganggu orang lain.

"Boneka dinosaurus? Dia kira aku anak kecil apa." Pftt. Kekesalannya bertambah ketika ia meremas boneka itu, justru mengeluarkan bunyi. "Sialan! Dia benar-benar menghinaku!"

Bian kepalang kesal, ia keluar kamar kemudian memanggil seorang pelayan yang kebetulan lewat.

"Hei kau cepat ke sini!"

Pelayan itu menghampiri.

"Ambil ini dan berikan untuk anakmu." Bian mengulurkan boneka t-rexnya.

Pelayan itu dibuat bingung.

"Jangan banyak tanya, cepat bawa benda itu pergi! " perintah Bian.

"I-iya, tuan. Terima kasih."

Tidak ingin gajihnya menurun pelayan itu pun mengangguk dan pergi membawa boneka tadi.

***

Bukan Laura namanya jika tidak membuat pesta mewah. Bertempat di hotel berbintang lima di kawasan Jakarta. Ribuan tamu yang datang pun bukan dari kalangan biasa.

Mereka mengenakan dress dan jas mahal, tentu saja dengan harga di atas ratusan juta. Selain itu dekorasi pestanya juga sangat memanjakan mata.

Oh tentu, Laura tidak mungkin mempermalukan dirinya sendiri dengan membuat pesta yang terlalu biasa. Toh, apa kata mereka nantinya? Mengingat ia merupakan putri seorang pembisnis sukses di kota ini. Ia harus terlihat elegan serta mewah.

Mata wanita itu menjelajah sekeliling, mencari-cari keberadaan seseorang yang sejak sepuluh menit lalu ia tunggu. Tapi lagi-lagi Laura berdecak kesal, Bian selalu saja datang terlambat ke pestanya. Huh, padahal pesta ini tak lain ia tunjukkan untuk pria itu. Untuk mengumumkan kepada semua tamu bahwa mereka berdua akan segera bertunangan.

"Lo cari siapa sih, Lau? Dari tadi gue ngomong lo acuhin aja," keluh Zeya, temannya.

Laura mengelak, "Eh, enggak ada."

"Lo nyari Bian?" Zeya menyipit curiga.

Seketika Laura terdiam.

"Halah, Lau. Dia kayaknya nggak bakalan datang deh, secara kalian berdua kan dijodohin, hahaha," ujar Zeya dengan sorot mata menyindir.

Zeya merupakan teman dekatnya, juga salah satu anak rekan bisnis ayahnya. Tapi meskipun begitu, Zeya tidak pernah segan membullynya, apalagi menyangkut soal Bian. Ya wanita itu tau, bahwa Bian tidak sudi dijodohkan dengannya.

Lagipula apa peduli Laura?

"Gue yakin tunangan gue bakalan datang, lo liat aja," ucap Laura berani.

"It's oke. Tapi lo siap-siap menerima tantangan gue andai Bian nggak datang." Zeya tersenyum kecut. Ia mencondongkan wajah menghadap Laura. "Lo mesti joget di depan semua tamu undangan. Gimana?"

"Nggak takut tuh," jawab Laura, walau kini ia dibuat tegang. Lagi pula kalau menolak, Zeya justru makin membully lalu menebar gosip buruk tentangnya.

Sialan babe, kamu dimana sih? Kan malu aku tu kalau disuruh joget, batinnya menggerutu.

"Sebaliknya, lo mesti menerima tantangan gue saat Bian datang. Lo harus minum semua minuman bekas milik tamu."

"Siapa takut. Hahaha." Zeya tertawa lepas, ia merasa tidak takut sedikitpun pada tantangan itu. Ia yakin seratus persen Bian tidak akan datang.

Selang detik kemudian Yura--pelayan pribadi Laura menghampiri mereka.

"Nona, tuan Bian sudah datang. Dia sedang menuju ke sini," ucapnya. Membuat mata Laura berbinar sedangkan Zeya tercengang di tempat.

"Seriously?" kata Laura.

"Iya, Nona. Tuan Bian baru saja keluar dari mobilnya."

"Hahaha." Laura balas tertawa menghadap Zeya. "Lo kalah Ze, minum tuh semua minuman bekas tamu."

Zeya lantas gelagapan, dia ingin pergi namun tangannya dicekal Laura.

"Mau kemana lo?"

"Lepas! Gue mau ke toilet." Zeya menghempaskan tangan Laura kasar, ia bergegas lari melewati kerumunan tamu.

"Pengecut!" maki Laura. Ia kemudian memanggil bodyguardnya. "Bimo!" Yang dipanggil pun datang. "Awasi dia, jangan biarkan dia keluar hotel ini."

"Siap Nona!"

Meninggalkan masalah dengan Zeya, Laura pun buru-buru menghampiri Bian yang pasti menunggu sambutan darinya.

***

Kaki jenjang milik pria itu menapaki lantai ballroom hotel, punggungnya yang tegap dan wajahnya yang menawan menarik semua pasang mata. Terutama wanita.

Ya pria tampan berjas hitam itu tidak lain dan tidak bukan adalah Bian Pradipta, pemilik perusahaan Pradipta yang ketus nan datar.

"Selamat malam, sayang," sapa Laura tersenyum lebar sembari menautkan pergelangannya di lengan Bian. "Thanks ya sudah datang, aku senang bangett."

"Hmm." Bian mengangguk tanpa mau menatap Laura. Pandangannya lurus me depan seraya terus melangkah. "Saya ke sini juga terpaksa."

"Ish." Laura cemeberut. "Aku bikin pesta ini khusus buat kamu loh."

"Hari ini bukan ulang tahun saya."

"Iya tau kok. Pesta ini memang bukan untuk ulang tahun siapa pun. Tapi untuk mengumumkan acara pertunangan kita."

Mendengarnya langkah Bian terhenti, ia melepas pelan rangkulan Laura dari lengannya. "Maksud kamu?"

"Iya pertunangan kita, Bi. Kan aku sudah bilang dari kemarin." Kini ekspresi Laura makin murung. Bian sangat menyebalkan. Dia seperti tidak menghargai kerja kerasnya sedikitpun.

"Tapi saya juga sudah mengatakan kalau saya belum siap menikahi kamu," ucap Bian dengan nada sedikit tinggi. Sontak beberapa tamu di dekat mereka menatap penuh heran.

"Shttt, kamu pelan-pelan dong ngomongnya. Jangan bikin malu."

Bian hanya berdehem singkat, ia cuek, menganggap perkataan Laura cuma angin lalu.

Entah berapa kali sudah Laura terkekeh, demi menghindari gosip buruk tentang mereka, Laura pun mengajak Bian ke sebuah ruangan yang cukup jauh dari ballroom.

Bian pasrah mengikuti, biarlah malam ini cepat berlalu, Bian ingin Laura sadar bahwa sebaiknya mereka tidak bisa hidup bersama.

"Lagian kapan kamu siapnya sih, Bi? Kamu itu sudah hampir kepala tiga dan kita sama-sama sedang mencari pasangan. Apa salahnya kalau kita menikah?" bela Laura.

Bian tetap menggeleng. Ia menjawab tegas. "Saya tidak mencintai kamu, Laura. Saya ingin menikah dengan wanita pilihan saya."

"Bian, cinta itu bisa kita tumbuhkan sama-sama setelah kita menikah nanti."

"Omong kosong," Lama-lama Bian bosan meladeni wanita ini. Sukanya memaksa saja. "Memang kamu mengerti arti cinta? Kamu hanya melihat kekayaan dan kemewahan saja Laura. Sebaiknya kita akhiri saja semuanya sekarang. Itu lebih baik. Kamu bisa mendapatkan pria yang mencintai kamu dan saya akan bahagia dengan wanita pilihan saya."

Setelah mengatakan itu Bian melangkah keluar meninggalkan Laura. Laura tergopoh-gopoh mengikuti meski air matanya hendak mengalir. Dress yang ia kenakan mempersulit langkahnya.

"Bian tunggu!" Akhirnya Laura berhasil meraih ujung jas Bian lalu dengan cepat memeluk pria itu di hadapan para tamu.

"Aku mencintaimu, Bian. Hanya aku yang mencintaimu sebesar ini."

"Lepaskan aku. Berhenti membuat drama Laura," ucap Bian sangat risih, sebab semua tamu sekarang menatap mereka.

"Aku tidak mau. Aku tidak akan melepaskanmu." Laura makin mengeratkan pelukan.

"Laura lepas!"

"Dengar semuanya!" Namun tiba-tiba wanita itu melepas pelukan dan berteriak menunjuk wajah Bian. "Dia pria bernama Bian Pradipta ini milikku! Tidak ada yang boleh mendekatinya selain diriku, atau kalian harus menerima akibatnya, kalian mengerti?!"

Para tamu sontak berbisik macam-macam. Mereka memandang aneh Laura.

"Apa dia sudah gila?"

"Kemana otaknya? Sangat memalukan."

"Kau—" Ucapan Bian terhenti saat Laura tiba-tiba menyatukan bibir mereka.

Memalukan. Laura benar-benar menurunkan harga dirinya di depan semua tamu.

"Laura!!" Terpaksa Bian mendorong bahu wanita itu. Tautan bibir keduanya pun terlepas. Bian menyeka bibirnya sendiri dengan kasar, menghapus jejak ciuman Laura di sana. Bian jijik.

"Bian aku mohon terima cintaku." Seolah masih ada harga diri Laura berlutut di depan kaki Bian tanpa peduli cemooh apa yang akan ia dapat. "Aku mohon, Bian."

"Maaf, saya tidak sepolos itu untuk luluh dengan air mata buaya kamu."

"BIAN!"

Lagi Bian melangkah pergi tanpa rasa iba sedikit pun.

Laura menangis serta memberenggut kesal. Sekarang bukan pestanya saja yang hancur, tapi hatinya lebur berkeping-keping.

***

Bian melajukan mobilnya begitu cepat ketika jalanan lumayan sepi. Ia harus segera sampai di rumah untuk membersihkan diri. Ia merasa kotor dengan tubuhnya sekarang, terutama bibirnya yang baru saja dicium oleh Laura.

"Dasar wanita tidak punya malu!" gumam Bian masih kesal. Tiba di perempatan lalu lintas, terpaksa pria itu memperlambat laju mobilnya.

***

Persediaan coklat milik Clara sudah habis, oleh karenanya Anjani rela malam-malam seperti ini pergi ke minimarket. Ia ditemani oleh Bi Ratih.

Sebenarnya Bi Ratih sendiri bisa membelikan untuk Clara, tapi Anjani menolak, ia lebih suka membeli langsung baik makanan maupun benda kesukaan Clara.

"Sepertinya ini cukup, Bu," ucap Bi Ratih. Menunjukkan keranjang belanja mereka yang nyaris penuh.

Anjani menggeleng pelan. "Itu belum, Bi. Masih banyak makanan kesukaan Clara. Kita harus membeli semuanya. Supaya nanti saat aku tidak ada di rumah, Clara tidak perlu repot menyuruh Bibi lagi."

"Baik, Bu." Bi Ratih mengangguk patuh. Ia kembali mendorong trolly mereka. Anjani di samping bi Ratih menggerakan santai tongkatnya.

"Ambil tiga kentang itu, Bi. Clara suka yang pedas," tunjuk Anjani pada jejeran camilan kentang di samping bi Ratih. Bi Ratih pun mengambilkannya.

"Banyak sekali, Bu."

"Enggak papa, Bi. Yang penting Clara senang, ia akan lebih betah di rumah saat musim hujan begini."

"Ibu baik sekali. Clara beruntung memiliki ibu sepertimu." Bi Ratih tersenyum. Membuat pipi Anjani merona malu.

"Terima kasih. Apa pun untuk malaikatku, pasti kulakukan, Bi," jawab Anjani. "Ayo ke kasir."

Keduanya lalu menuju kasir. Beruntung yang mengantri tidak banyak, hanya dua orang dan Anjani bersama Bi Ratih sebagai pengantri terakhir.

Selang menit kemudian giliran mereka yang membayar. Setelah itu bi Ratih menerima semua belanjaan. Kini ada dua tas belanja penuh di tangan bi Ratih.

"Bibi bawa aja semua belanjaannya duluan ya. Aku lupa membeli keperluanku," kata Anjani.

"Ibu tidak apa-apa sendiri?"

"Tenang aja, Bi. Lagian mobilnya kan ada di depan. Dekat loh itu," Anjani meyakinkan.

"Yaudah bibi duluan ya. Ibu hati-hati."

Bi Ratih lalu mengeluari minimarket. Sedangkan Anjani berjalan dengan menggerakan tongkatnya menuju rak berisi produk pembersih wajah. Anjani baru ingat kebutuhannya satu ini habis.

Usai membeli Anjani pun membayar tanpa perlu mengantri. Namun saat menuju mobilnya yang terparkir, sebuah mobil melaju cepat dari arah kanan membuat Anjani reflek berteriak.

"Aaaa."

"Astaga bu Ani!"

****

Related chapters

  • Janda Lumpuh Milik CEO   5 | Accident

    Tragedi tersebut terjadi sangat cepat. Mobil itu berhenti setelah menabrak paha Anjani cukup keras. Sekarang Anjani terduduk di aspal bersama tongkatnya yang patah.Si pemilik mobil terlihat sejenak menyembulkan kepala dari balik kaca mobil, matanya seketika membulat."Ya ampun, ibu nggak papa? Kita ke rumah sakit ya bu," ucap bi Ratih bersimpuh di depan Anjani. Bahkan sopir pribadinya ikut keluar dari mobil. Mereka membantu Anjani berdiri."Aku nggak papa, Bi." Anjani menggeleng pelan. Sungguh, ia tidak merasakan apa pun pada kakinya. Toh, kaki yang lumpuh itu sudah mati rasa jadi efeknya mungkin hanya lebam biru.Anjani juga syok. Telapak tangannya sedikit perih, dan benar setelah Anjani lihat ada beberapa luka goresan kecil di sana."Gimana bisa enggak, Bu. Itu kaki kanan ibu baru di terapi kemarin, bahaya," tukas bi Ratih, bertepatan seorang pria berjas abu menghampiri.Anjani tercengang menatap pria itu, begitu pun yang ditatap, dia tidak lain adalah Bian Pradipta. Pria arogan yan

  • Janda Lumpuh Milik CEO   6 | Shocked

    Anjani duduk di sofa. Jangan kira ia merasa kesakitan tapi justru ia tidak merasakan apa-apa. Sedari tadi Bi Ratih dan sang supirlah yang terus memaksa agar ia dibawa ke dokter saja.Anjani tentu menolak. Luka lebam ini tidak terlalu besar untuknya sampai harus mengeluarkan uang banyak."Saya ambilin obat ya, bu," kata Bi Ratih.Anjani mengangguk pelan sembari tersenyum. "Iya, Bi. Terima kasih ya."Bi Ratih pun pergi menuju dapur untuk mengambil obat. Tak lama wanita itu kembali dan langsung mengoleskan salep lebamnya ke paha Anjani penuh hati-hati. Sementara Anjani menempelkan kasa yang telah ditetesi obat merah ke telapak tangannya yang lecet."Bapak tadi sombong banget ya, Bu. Bukannya minta maaf malah marah-marah ke ibu. Bibi mah kalo jadi ibu langsung bibi laporin ke polisi," ungkap bi Ratih. Maklum dia pasti kesal kalau ada yang menganggu Anjani. Mengingat Anjani telah ia anggap sebagai a

  • Janda Lumpuh Milik CEO   7 | Misi Pertama

    Masih berkelut dengan berita tentang Anjani dan Bian yang menggemparkan media masa. Bahkan pagi sekali Sani rela datang ke apartemen Bian demi membahas hal itu. Sani kepalang penasaran, maka daripada pusing membuat asumsi sendiri Sani memilih menemui Bian secara langsung. Ya walaupun nanti di kantor mereka pasti bertemu. Sebenarnya juga Sani ingin bertanya mengenai pesta pertunangan Bian bersama Laura yang gagal sebelumnya. Namun Sani kira hal itu tidak terlalu penting, jadi dia memutuskan bertanya kronologi pemberitaan tentang bosnya itu dan Anjani saja. Terlebih ini menarik. Jarang-jarang Sani mendapati wajah Bian muncul di televisi sebagai pelaku tabrak lari."Anjani Zelena. Usia 26 Tahun. Dia memiliki seorang putri bernama Clara." Sani membaca berita di website itu, lalu tertawa pelan sembari melirik Bian yang sedang memasang dasi menghadap cermin. "Cantik dong walau udah janda." Ia mulai mencari informasi mengenai Anjani. Lebih tepatnya Sani mengagumi keberanian wanita itu keti

  • Janda Lumpuh Milik CEO   8 | Konferensi Pers

    Halaman gedung perusahaan Pradipta kini dikerumuni banyak wartawan. Mereka mendesak masuk dan menemui Bian untuk meminta kejelasan mengenai berita yang beredar semalam. Bahkan banyak satpam ikut turun tangan menangani keadaan.Para wartawan itu memang tidak terlalu mendesak masuk, tetapi mereka terus melontarkan pertanyaan tentang Anjani dan Bian yang membuat satpam-satpam itu kebingungan."Pak, tolong jawab pertanyaan kami? Menurut bapak apakah benar Pak Bian sengaja menabrak Anjani?" "Kenapa pak Bian tidak bertanggung jawab?" "Apakah Bian sudah hadir tapi kalian menyembunyikannya dari kami, pak?" "Perusahaan Pradipta sedang terancam karena sikap tidak bertanggung jawab CEO-nya. Bagaimana tanggapan bapak?" Setidaknya itu sederet pertanyaan yang mereka lontarkan. Sebagai respon pun para satpam hanya diam sebab mereka tidak tahu-menahu masalah itu.Di tempat lain Vanya mondar-mandir tidak karuan. Ia khawatir andai Bian tidak datang. Tapi rasanya tidak mungkin, Bian tipe orang yang d

  • Janda Lumpuh Milik CEO   9 | Dia Berubah?

    "Di depan semua media saat ini, saya meminta maaf sebesar-besarnya padamu Anjani. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Saya berjanji akan lebih bertanggung jawab," ucap Bian. Kalimat tegas yang membuat semua penghuni aula terdiam. Terutama Anjani, ia tak menyangka Bian mampu merubah sikapnya dalam satu hari. Namun, Anjani akui jika Bian mengatakan itu hanya untuk mencegah nama baiknya tercemar. "Dan sebagai bentuk pertanggungjawaban saya atas kesalahan kemarin. Saya bersedia menanggung semua biaya pengobatan kakimu sampai pulih." Tunggu. Apakah ada sesuatu yang mengganjal telingnya? Anjani sulit percaya ini. Di satu sisi ia menghormati permintaan Bian yang pertama. Entah untuk yang kedua ini Anjani pikir sangat berlebihan. "Pak." Anjani menyela dan Bian langsung menggeleng cepat. Berbeda dengan Clara, gadis itu tersenyum lebar menatap Bian. Meski ia tidak terlalu mengerti apa maksud p

  • Janda Lumpuh Milik CEO   10 | Secret Boss

    Sani masih belum percaya pada keputusan Biab karena terdengar sangat berlebihan. Sebelumnya, ia mengira Bian sekedar meminta maaf guna mengembalikan nama baik perusahaan Pradipta, tapi ternyata lebih dari itu. Bian membuat semua media kagum dan tercengang."Bian lo serius nggak sih oneng? Apa telinga gue yang kejejel kotoran pas denger lo ngomong?" tanya Sani serius. Sebab Bian yang dilihatnya barusan sangat berbeda dengan Bian yang dikenalnya—angkuh, sombong, dan ia tahu Bian tidak mungkin membuang-buang uang untuk hal yang kurang penting—contohnya membantu wanita yang tidak ia sukai."Gue seriuslah. Gue yang nanggung semua pengobatan Anjani," jawab Bian sembari fokus mengetik sesuatu di laptopnya.Sani yang duduk di hadapan Bian itu menahan tawanya menyembur, "Pftt Hahaha! Kesambet apaan lo jadi baik? Bukannya lo nggak suka deketan sama Anjani. Tadi gue juga liat lo meluk anaknya.""Jangan bacot! Lo nggak ak

  • Janda Lumpuh Milik CEO   11 | Surprise

    Rutinitas Anjani bertambah mulai hari ini, yaitu memasak makan siang untuk sang bos arogan dan pemaksa bernama Bian Pradipta. Kebetulan juga dalam seminggu ke depan Clara libur semester, jadi jadwalnya menjemput anak itu setiap pukul 12 siang, tidak akan bertabrakan dengan jadwal mengantar makanan untuk Bian. Setidaknya pada minggu ini ia cukup tenang.Anjani mengaduk perlahan semur jengkol di dalam wajan berukuran sedang dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mengapit tongkat agar tetap seimbang. Seketika aroma masakan itu menguar ke seluruh ruangan. Membuat perutnya ikut keroncongan.Jujur bukan perkara mudah bagi Anjani memasak semur jengkol, pasalnya ia juga sangat jarang menyantap makanan satu ini—bukan tidak suka. Terlebih Clara yang sangat anti akan baunya.Tapi tenang, semur jengkolnya buatannya sekarang sudah dimasak sebaik mungkin, resepnya ia baca begitu teliti dari internet. Sehingga tidak me

  • Janda Lumpuh Milik CEO   12 | Harga Diri

    Bian terkejut melihat Anjani datang bersama Clara. Matanya membulat namun beberapa detik setelahnya Bian berdehem lalu menormalkan ekspresi. Ditambah Clara tiba-tiba melompat dan memeluknya."Om Bian!" seru Clara. Anjani hendak menahan anak itu tapi terlambat. Ia hanya bisa menarik tangannya kembali ketika Clara terlanjur memeluk Bian begitu erat. Anjani memohon maaf."Tidak apa-apa," kata Bian. Ia balas memeluk Clara lalu mengusap kepala anak itu. Clara menyengir lebar. Anjani mendengus pelan.Bram tersenyum menatap Anjani dan mereka pun melangkah mengeluari lift disusul Bian serta Clara. Mereka menepi untuk berbincang-bincang.Anjani merasa dia datang di waktu yang salah. Melihat Bian sepertinya sedang sibuk bersama rekan kerjanya. Anjani pun menyembunyikan tangannya yang memegang rantang ke belakang punggung. Ia sangsi bagaimana reaksi Bian ketika Bram mengetahui apa alasannya datang ke sini.

Latest chapter

  • Janda Lumpuh Milik CEO   71 | Klauserra

    Laura tertawa lepas sembari menonton televisi di ruang tamu rumahnya, wanita itu sedang libur bekerja hari ini, manajernya—Hani mengatakan bahwa Laura perlu cuti untuk beristirahat dikarenakan wanita itu sedang hamil. Laura juga sebenarnya tidak peduli, sebab seberapa banyakpun ia libur atau menganggur uangnya tidak akan pernah habis. Ya, uang ayahnya—Hans selagi pria itu masih hidup ia tidak perlu khawatir akan jatuh miskin.Sedari tadi pun, kerjaannya hanya makan dan makan, efek hamil membuatnya terlalu malas untuk bergerak apalagi melakukan pekerjaan rumah. Oh ya, jangan lupa, selama ia masih tinggal di rumah mewah ini ia tidak perlu berbuat apa-apa. Tinggal duduk manis, semua sudah tersaji di meja. Pelayanan di rumah inilah andalannya."Nona, peralatan mandinya sudah siap, jacuzzinya juga sudah saya campur dengan mawar kesukaan Nona," ujar seorang pelayan wanita, ia membungkuk sopan.Laura mengangguk malas, sangat terpaksa untuk mandi, jika saja hari ini ia tidak berencana pergi ke

  • Janda Lumpuh Milik CEO   70 | Tak Akan Terulang

    Pukul 12.10 ketika Anjani tiba di kantor Pradipta. Saat menuruni mobi ia disambut senyum ramah oleh satpam dan beberapa karyawan. Maklum, siapa yang tidak mengenal Anjani di kantor Pradipta ini? Mengingat dia adalah istri pemilik perusahaan. "Selamat siang, Bu. Wah, hari ini ibu cantik sekali," puji salah satu pegawai laki-laki. Usianya terbilang lebih muda.Anjani tersenyum tipis. Satu tangannya memegang tongkat dan tangan lainnya membawa tas berisi bekal makan. "Terima kasih. Mungkin itu hanya perasaan masnya, bahkan aku merasa biasa saja hari ini," jawab Anjani rendah hati. Laki-laki itu menggeleng cepat, "Ah tidak, Bu. Hari ini ibu memang kelihatan berbeda, wajah ibu lebih cerah."Anjani sontak teringat ucapan Cintya, jika wanita hamil memiliki aura yang positif dan wajah yang lebih bercahaya. "Mungkin karena aku sedang hamil," batin Anjani menggelitik. Ingin rasanya mengusap perut tapi tangannya penuh. "Saya ke ruangan pak Bian dulu yaaa, Mas," Ucap Anjani tersenyum lagi pa

  • Janda Lumpuh Milik CEO   69 | Merasa Bersalah

    Kadang, Anjani merasa bersalah. Namun, jika tidak seperti itu, selamanya ia tidak akan tenang karena belum membantu menyelesaikan masalah Kevin. Toh, Kevin sendiri tidak tahu apa-apa mengenai persoalan suaminya dengan Bram. Anak itu masih terlalu polos untuk memahami masalah seperti ini. Kevin hanya anak kecil yang pikirannya untuk main dan bermain. Selesai membantu Kevin, Anjani bergegas pulang ke rumah mengantar Clara. Sebelum siang nanti, ia pergi ke kantor membawakan makan siang suaminya itu. Bukan keinginan Bian agar Anjani melakukan itu, tetapi Anjani sendiri yang mau. Ia ingin selalu memastikan Bian makan-makanan yang sehat baik di rumah maupun di kantornya. Toh, sudah tugas seorang istri kan untuk memberikan yang terbaik pada suami? "Bun, tadi Kevin sempat bilang kalau Bunda ternyata baik sama dia. Kevin kayanya senang banget bisa ketemu sama Bunda hari ini," celoteh Clara sembari duduk di kursi ruang makan, memainkan boneka barbie yang baru ia beli tadi. Anjani yang sibu

  • Janda Lumpuh Milik CEO   68 | Berhubungan Lagi?

    Pagi ini suasana kantor Pradipta sudah sangat ramai, seluruh karyawannya datang tepat waktu seperti biasa. Mereka bolak-balik melakukan tugas masing-masing, ada yang sedang mengetik di laptop dan ada pula yang menyiapkan ruang meeting.Pemandangan yang sungguh menyejukkan mata Bian. Ia suka melihat karyawannya disiplin dalam hal pekerjaan di kantor Pradipta ini. "Selamat pagi, Pak," sapa seorang karyawan perempuan ketika Bian hendak memasuki lift. Bian balas tersenyum tipis. Dan di dalam lift itu, ia bertemu dengan Sani. "Wah, lama banget kita nggak ketemu, Bi. Gimana kabar lo, bro?" tanya Sani pada sahabatnya itu. Ia merangkul bahu Bian sembari cengar-cengir. Ya, sani cukup lama tidak bertemu Bian, sekitar dua minggu, sebab Sani harus menjaga ibunya di rumah sakit. "Baik kok. Apalagi istri gue lagi hamil," sahut Bian lalu tersenyum lebar seraya merapikan jasnya dengan perasaan bahagia. "Serius? Gercep banget, Bi lo bikinnya! Bakal jadi bapak nihh yee, gue doain deh Anjani lancar

  • Janda Lumpuh Milik CEO   67 | Adik Untuk Clara

    "Papa Bian sama Bunda tadi kemana? Kok lama banget?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Clara yang baru pulang dari sekolah. Tatkala Anjani dan Bian melangkah memasuki rumah. Anjani ingat Clara belum mengetahui bahwa ia sedang mengandung calon adik Clara, maka ia melirik Bian lalu menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Bian mengerti, ia langsung mengangguk dan mengulum senyum geli. Seolah kejadian di rumah sakit tadi bukan apa-apa untuk mereka. Anjani dan Bian tahu bagaimana cara menyembunyikan masalah yang seharusnya tidak diketahui anak kecil. "Loh, kok mukanya gitu, Bunda menyembunyikan apa dari aku?" Clara yang merasa teracuhkan kini manyun lalu bersedekap. Anjani terkikik kecil, ia mencubit gemas hidung putri kecilnya, kemudian menggerakkan tongkat mengajak anak itu duduk di sofa. Anjani langsung mengambil tangan Clara dan menempelkan tangan mungil itu ke perutnya. Clara sedikit terkejut. "Coba Clara tebak, di perut Bunda yang rata ini isinya ada apa aja?" Clara lantas berpik

  • Janda Lumpuh Milik CEO   66 | Pembuktian

    Anjani tidak pernah merasa sekecewa ini sebelumnya, meski kebenaran belum terbukti namun hatinya terus saja berkata bahwa tidak mungkin Laura pura-pura hamil demi mendapatkan Bian hingga dia berani menjatuhkan harga dirinya sendiri.Oleh karenanya, pagi ini Anjani meminta Bian untuk menemaninya pergi ke rumah Laura dan mengajak wanita itu ke rumah sakit agar bisa melakukan tes di hadapannya, tanpa ada sedikit pun kecurangan dan Anjani sangat berharap akan itu.Pintu utama yang diketuk sebanyak tiga kali itu akhirnya terbuka, menampilkan seorang wanita bersweater biru dan celana jeans panjang serta mata sembab. Sepertinya Laura habis menangis."Ngapain lo ke sini hah?" tanya Laura kesal.Entah kenapa di saat begini Anjani malah tergagap, melihat Laura yang menangis menambah keyakinannya bahwa wanita itu tidak berbohong.Bian tinggal di mobil, jadi Anjani bisa leluasa bertanya. "Mbak habis n

  • Janda Lumpuh Milik CEO   65 | Keduanya

    Deg."Aku pu—""Aku hamil anak Bian... "Lantas semua penghuni ruangan tersebut terdiam kaku, detik terasa berhenti, semuanya tertuju pada Laura yang tersenyum kemenangan, pada perkataan wanita itu barusan.Terkhusus bagi Anjani yang sangat syok mendengar ucapan wanita itu, dadanya sakit seperti dihantam puluhan balok keras, sedangkan Bian masih di ambang pintu mengepalkan tangan. Tentu saja ia tidak percaya apa yang diucapkan Laura barusan, wanita itu pembohong. Anjani tidak boleh tertipu oleh muslihatnya."Diam Laura! Kau pembohong!" Pungkas Bian melangkah maju dan berdiri di samping Anjani. Saat itu Anjani benar-benar bingung dan kepalanya mulai terass pusing."Bohong? Aku nggak bohong Bian. Ini benar anakmu, ini anak kita," tambah Laura yang membuat Bian semakin ingin mencekik leher wanita itu. Laura ternyata belum jera dan sama sekali tidak belajar dari pengalamannya dulu."Cukup! Aku tidak mau

  • Janda Lumpuh Milik CEO   64 | Dia Hamil?

    Adanya Cintya di mansion ini menghilangkan rasa sepi Anjani, terutama saat dulu di pagi hari, ia ditinggal berdua dengan bi Ratih dan para pelayan. Yang notebene nya para pelayan itu berbicara hanya ketika mereka perlu, sedangkan bi Ratih kadang juga sibuk dan harus pulang ketika sudah malam ke rumah aslinya.Sekarang dia dan Cintya sedang menonton serial kartun kesukaan Clara di ruang keluarga, seraya memakan popcorn spesial yang dibuat khusus oleh chef ahli di mansion ini.Sementara yang merekomendasikan film justru asik menggambar menggunakan pensil warna yang baru dibelikan Bian."Yeay aku sudah selesai menggambar," Kata Clara mengangkat bangga kertas gambarnya menunjukannya pada Cintya dan Anjani. Cintya tersenyum kecil dan mengusap lembut rambut cucunya itu."Bunda, coba lihat deh, ini keluarga kita." Ia menunjuk 4 orang yang berada di permukaan kertas tersebut, dengan dia ber

  • Janda Lumpuh Milik CEO   63 | Laura Kembali Berulah

    Selesai berbelanja ke pasar Anjani kembali ke rumah, berbeda dengan Bian yang harus pergi ke kantor untuk kembali bekerja.Di dapur, seperti Biasa Anjani mulai memasak dibantu oleh Bi Ratih, bedanya dapur dan seluruh peralatan masak yang ia gunakan di mansion ini benar-benar mewah. Semua peralatan terbuat dari bahan anti gosong dan logam yang tidak mudah berkarat.Anjani merasa sangat dimanjakan dengan semua peralatan itu. Sesekali ia tersenyum membayangkan betapa awetnya peralatan ini. Sangat berbeda dengan peralatan dapur di rumahnya yang sebagian besar sudah gosong.Selain peralatan masak serta kitchen set, kursi dan pantry yang digunakannya juga sangat empuk, bentuknya yang di desain khusus oleh Bian agar dia lebih mudah duduk dan berdiri menggunakan tongkat."Ada yang bisa saya bantu nyonya?" Anjani menatap ke samping ketika seorang chef menunduk dan bertanya padanya, Anjani tidak bisa menatap langsung mata laki-laki itu

DMCA.com Protection Status