Janda Lugu Tetanggaku 3
Bab 3Perlu dibantuSeperti biasa, kalau pulang kerja nggak bareng Mas Azka, aku mampir dulu ke rumah Mbak Dian yang letaknya persis di depan rumahku.“Halo?” Sapaku sambil melangkah memasuki halaman rumah Mbak Dian yang asri. Taman kecil di depan rumah Mbak Dian ditanami rumput menghijau. Ada satu pohon mangga di depan rumahnya yang lumayan besar. Bayangan pohon itu meneduhkan teras rumah Mbak Dian.“Itu, Tante Laras datang.” Mbak Dian yang sedang duduk di teras rumah sambil memangku Lova menunjuk padaku. Baby Lova seakan tau, dia berjingkat dan berteriak melihat dan mendengar suaraku.“Uluh … Uluh … sayangku Lova, sini sama Tante,” kataku sambil mengambil Lova dari pangku Mbak Dian. Aku menggendong Lova dan membawanya ke bawah pohon mangga. Di situ banyak tergantung tanaman hidroponik koleksi Mbak Dian. Berkali-kali aku mencium pipi chabi Lova karena gemes.“Gimana wawancara-nya waktu itu, Mbak? Sukses?” Tanyaku sambil berjalan menghampiri Mbak Dian. Aku lalu duduk di kursi teras yang satunya dengan memangku Lova.“Lancar sih, tinggal tunggu panggilan,” jawab Mbak Dian.“Melamar bagian apa, Mbak?”“Kasir, Ras.”Aku menganggukkan kepala. Mendingan jadi kasir kalau di supermarket, dari pada jadi SPG, berdiri terus, capek.“Mbak Dian ijazahnya apa, sih, kalau boleh tau?”“Aku S1,” jawabnya sambil mengulas senyum.Keningku mengerut, “sama dong, Mbak dengan aku. Kenapa nggak melamar kerja di kantornya aja, Mbak?” Maksudku di kantor supermarket itu.Mbak Dian menggeleng,”belum ada lowongan katanya.”“Oh, gitu.”Menggoyangkan kedua kaki, aku bermain dengan Lova. Gadis mungil itu senang sekali duduk di kakiku yang mengayun, dia tertawa sampai menjerit-jerit.“Lagian aku pilih kerja yang dekat, kok, Ras, biar irit transport,” kata Mbak Dian.“Terus yang momong Lova siapa, Mbak?” Aku menoleh.“Ada, orang kampung belakang.”“Oh!”Kasihan Mbak Dian, dia harus bekerja untuk menghidupi anaknya. Kudengar dia juga cuma mengontrak di rumah ini. Mantan suaminya benar-benar kebangetan, dibeliin rumah kek, setelah bercerai, biar punya tempat tinggal untuk anaknya.Tin!Suara klakson mobil terdengar nyaring di depan rumahku. Itu Mas Azka pulang. Mbak Dian segera mengambil Lova dariku.“Suamiku dah datang, Tante pulang dulu, ya, Lova. Mmuuach!” Aku mencium gemes kedua pipi Lova.Melangkah ringan, aku pulang ke rumah. Mas Azka hanya melirik melihatku datang dari rumah Mbak Dian.“Mas, ntar malam makan di luar, yuk!” Kataku sambil merangkul suamiku dari belakang. Mas Azka menoleh sekilas.“Aku lagi malas masak.” bisikku di telinganya.“Ok,” jawab Mas Azka.Jam tujuh kurang sepuluh aku dan Mas Azka sudah siap untuk keluar makan malam. Setelah mengunci pintu, aku dan Mas Azka berjalan ke mobil. Kami cuma punya satu mobil dan itu dibawa Mas Azka. Kalau pulang kerja, seringnya aku pakai taksi online.“Mau makan apa?” Tanya Mas Azka sambil mengaitkan seatbelt.“Em, apa, ya?” Bola mataku berputar mencari jawaban. “Terserah, deh,” kataku kemudian.Ck! Terdengar suara decak dari mulut Mas Azka,”kamu itu kalau ditanya makan di mana jawabnya terserah. Ntar diajak makan nasi kucing, ngomel.”Dih! Mataku melebar melihat Mas Azka. Ngajak istri makan itu ya di tempat yang elegan lah. Buru-buru aku membuang pandangan ke depan. Mobil keluar meninggalkan pagar rumah.“Eh, Mas, brenti, brenti!” Kataku sambil memukul pelan tangan suamiku yang sedang menyetir. Mas Azka memperlambat laju mobil dan merapat ke tepi. Aku melihat ke belakang.“Itu, kan, Mbak Dian.” Jariku menunjuk belakang mobil. Mas Azka melihat dari spion.“Terus kenapa?” Tanya suamiku.“Kasihan, Mas. Mau ke mana dia itu, pakai gendong Lova juga.” aku membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat.“Mbak Dian, mau ke mana?” Tanyaku di belakang mobil saat mbak Dian dekat.“Mau ke depan, beli makan, Ras. Kamu mau ke mana?”Di depan gerbang komplek, memang banyak penjual makanan kaki lima. Ada nasi goreng, mie tek-tek, martabak, ayam geprek dan juga seafood Lamongan.Aku melihat baby Lova yang masih melek di gendongan Mbak Dian. Dari jaketnya yang berkerudung, aku melihat matanya yang bergerak mencariku. Kasihan, malam-malam diajak jalan kaki keluar, pasti dingin.“Kebetulan aku juga lagi mau cari makan. Bareng aja, yuk!” Ajakku.“Nggak usah, Ras, ngerepotin,” Mbak Dian menolak halus. Sungguh Janda yang lugu dan sopan santun. Tidak mengambil kesempatan meskipun naik mobil lebih nyaman.“Gapapa, ayo!” Aku memaksa menarik tangan Mbak Dian. Membuka pintu belakang mobil dan mempersilakan Mbak Dian dan anaknya masuk mobilku.Mas Azka seketika melihat ke jok belakang, wajahnya terkejut.“Ras, apa-apaan?” Tanya Mas Azka sedikit gusar.“Mbak Dian mau cari makan, bareng aja,” kataku yang kemudian menutup pintu. Kembali aku duduk di depan sama Mas Azka yang cemberut. Suamiku ini pelit banget sih, cuma dinunutin mobil aja mukanya masam. Aku melirik.“Maaf, ya, Ka, ngerepotin.” Mbak Dian berkata pada suamiku sungkan. Kulihat mata Mas Azka bergerak melihat spion atasnya.“Gapapa, Mbak, suamiku baik, kok,”aku menoleh Mas Azka dengan senyum manis, “ iya, kan, sayangku?”Huh! Terdengar dengusan kecil dari suamiku. Dih! Malu-maluin nih Mas Azka, ketahuan kalau nggak suka Mbak Dian ikut.Selesai makan, aku berniat mampir ke minimarket untuk membeli pembalut, kebetulan aku lagi kedatangan tamu bulanan.“Mas, mampir minimarket depan, aku mau beli sesuatu,” kataku menunjuk sebuah minimarket di depan. Mas Azka pun membelokkan mobil.“Bentar, ya, Mbak. aku menoleh ke belakang pada Mbak Dian. Mas Azka keluar dari mobil. Ah, Mas Azka ini sengaja keluar duluan karena nggak mau nunggu di mobil sama Mbak Dian. Aku hanya dapat menghela nafas dengan kelakuan suamiku yang kurang adab.“Eh, Ras, aku ikut dong.” Mbak Dian beringsut mau keluar. Aku melihatnya kasihan, apa lagi kulihat Lova sudah tertidur di gendongannya. Kasihan, Mbak Dian pasti repot.“Mas!” Aku memanggil suamiku yang berjalan-jalan tak jauh dari mobil. Dia menghampiri.“Napa?” Tanyanya.“Mbak Dian mau belanja juga tapi, Lova nya tidur. Tolong kamu gendong bentar, dong.” Wajahku memohon dan mata ini berkedip kedip manja. Mas Azka melebarkan mata sekilas, tapi bersedia menggantikan Mbak Dian menggendong Lova. Hahaha aku tertawa melihatnya.Aku hanya mengambi pembalut satu wadah saja sedangkan Mbak Dian masih berkeliling mendorong trolley belanja.“Udah, Mbak?” Tanyaku. Mbak Dian mengangguk. Melihat ke trolley ada susu formula ukuran besar, Pampers, minyak telon, telor, minyak goreng dan beberapa barang lainnya. Rupanya Mbak Dian belanja banyak.“24 ribu, Mbak,” kata Kasir setelah menghitung belanjaanku.“Em, itu sekalian, Mbak.” aku menunjuk belanjaan Mbak Dian di trolley. Kasir mengangguk.“Malah dibayarin, makasih, ya, Ras.” Mbak Dian tersenyum senang. Alhamdulillah, aku juga senang bisa menolong orang.Semua belanjaan Mbak laras 160 ribu. Gegas aku mengeluarkan kartu debet milikku untuk membayar, sekalian dengan pembalutku tadi. Kebetulan, tadi Mas Azka habis gajian dan dia sudah mentransfer jatah bulanan untukku yang jumlahnya cukup besar. Beramal sedikit untuk seorang Janda akan dapat pahala berlipat katanya.“Mas, tolong bawain belanjaan Mbak Dian ke rumahnya, dong,” kataku setelah sampai di rumah. Kening Mas Azka mengerut.“Kamu, dong,” jawabnya sengit. Weii.“Yang pantas bawa barang berat kan, laki.” protesku merajuk. Mas Azka menggeleng. Aku melihat Mbak Dian yang kerepotan menggendong Lova sambil menenteng belanjaan. Geram dengan Suami, aku berteriak,“Mas, bantuin, dong!” Mataku melebar. Sedikit menghentak kaki, suamiku berjalan memutar. Dia mengambil plastik hitam berisi belanjaan dan berjalan cepat membawanya ke rumah Mbak Dian.“Maafin Mas Azka kalau kasar, ya, Mbak.” aku menunduk, nggak enak hati sama Mbak Dian yang lugu ini. Dasar Mas Azka, awas nanti di rumah, bakalan tak hihh!“Gapapa, Laras. Terima kasih, ya, sudah dibantu,” ucap Mbak Dian lembut, seperti berbicara pada adiknya sendiri. Awww … jadi terharu. Mbak Dian memang berhati emas.“Mas, kamu ini kenapa sih, kek ya nggak suka banget sama Mbak Dian?” Tanyaku saat berdua di kamar. Aku berdiri di samping tempat tidur sambil mengusapkan kapas pembersih ke wajah. Mas Azka melihatku dari bawah ke atas.“Kenapa aku harus suka sama dia?” Tanyanya dengan wajah sinis.Elahh, dasar laki nggak peka.“Mbak Dian itu Janda, Mas. Perlu dibantu!”BersambungJanda Lugu Tetanggaku 4Bab 4Iklasin aja“Lu aja ‘kali bantu, aku sih noway!” Sahut Mas Azka cuek. “Jangan begitu, dong, Mas. Kita ini wajib membantu orang yang susah, termasuk para Janda seperti Mbak Dian. Lihat dong, dia nggak kerja, punya anak, gimana makannya kalau dia nggak banting tulang?” Aku berusaha menjelaskan pada Mas Azka betapa susahnya Mbak Dian menjadi Janda yang membesarkan anak sendirian. “Banting tulang gimana?” Mata Mas Azka melotot, “orang Dian baik-baik saja. Nggak kerja bisa makan, kok?”“Ya ampun, Mas. Mbak Dian itu cerita kalau tabungannya tiap hari kian menipis buat beli keperluan. Kasihan dia itu.” aku melempar kapas bekas membersihkan wajah di tempat sampah. “Mana kau tahu tabungannya habis?”Mas Azka bertanya penuh selidik. “Ya dari cerita Mbak Dian,” jawabku mengangguk. “Bagaimana kalau kamu dibohongi?”“Nggak mungkin lah, Mas.” aku menggeleng cepat, “tampangnya Mbak dian aja baik, jujur, lugu, mana mungkin dia berbohong?”Haha, terdengar tawa kecil s
Janda Lugu Tetanggaku 5Bab 5Susunya Mbak DianHari Sabtu dan Minggu adalah hari weekend buat aku dan Mas Azka. Kami berdua libur bekerja. Setelah sarapan pagi berdua, aku dan suami duduk santai di rua g tamu sambil menunggu kedatangan Mama Mertua. Kemaren Mama sudah telepon mau datang. Seperti biasa kalau habis mengambil uang pensiun, Mama pasti berkunjung ke mari dengan membawa segudang oleh-oleh. Utamanya sembako sama berbagai makanan enak atau kudapan masakan tangan Mama sendiri. “Lihat apa, Mas?” Aku mengawasi Mas Azka yang matanya melihat ke luar jendela kaca. Akupun menoleh ke belakang punggungku. Menyibakkan sedikit korden putih tipis transparan, aku melihat Mbak Dian sedang berada di depan rumahnya. Tepatnya di bawah pohon mangga dengan tangan yang membawa botol semprotan. Rupanya, Mbak Dian sedang merawat tanaman hidroponik miliknya dengan menyemprotkan air. “Lihatin Mbak Dian, ya?” Tanyaku pada Mas Azka. Suamiku menggeleng cepat. “Nggak,” sahutnya ketus. “Terus, lihat
Janda Lugu Tetanggaku 6Bab 6Teman lama“Mbak Dian, itu kancing bajunya yang atas lepas,” kataku menunjuk baju yang dikenakan Mbak Dian. Seketika Mbak Dian melihat padaku lalu menunduk melihat dadanya. “Oh, iya, maaf.” Perempuan itu lalu mengancingkan kemejanya dengan benar. Wajahnya agak gimana, gitu. Nah, kan, Mbak Dian itu nggak sengaja. Masak iya, dia mau pamer susu, kan nggak sopan. Mungkin, mbak Dian tadi tergesa-gesa mau jemput Lova jadi nggak sempat ngancingin baju dengan benar. Semoga suamiku nggak salah mengartikannya. Jangan sampai Mas Azka kebablasan menganggap Mbak Dian murahan. Mata Mama mengerjap melihat Mbak Dian mengancingkan kemejanya. Selanjutnya kami mengobrol hal yang ringan-ringan. Sesekali mataku melihat ke dalam, semenjak kejadian tadi, Mas Azka nggak keluar dari kamar. Malu aku sama Mbak Dian, Mas Azka emang kadang-kadang. Setelah Mbak Dian dan Lova pulang, aku bersama Mama Mertua dan Mas Azka berkumpul di ruang makan. Aku dan suami berebut es krim leza
Janda Lugu Tetanggaku 7Bab 7 PoV Diana alias NanaIri“Setelah anak itu lahir, aku akan menceraikanmu.” Aku terdiam mendengar ucapan Mas Ammar, suamiku. Menghela nafas sembari menatap perut yang menggunung, aku hanya bisa pasrah. “Setelah itu, kau juga harus pergi dari sini beserta anakmu itu.” Mama Santi, Ibu Mertuaku ikut bersuara dengan mata yang melirik sinis.“Ini anak Ammar juga, Ma …”ucapku pelan. “Enak saja! Itu anak siapa? Hanya kau dan Tuhan yang tahu, Nana.” Mas Ammar tertawa mengejek. “Betul. Memalukan saja!” Mama Mertua melengos. “Tapi, memang benar kau pernah meniduri aku sebelum kita menikah, Ammar.” mataku melebar berusaha mengingatkan lelaki itu akan perbuatannya dulu. Dia adalah kekasihku terakhir. “Aku?” Hahaha, Ammar tertawa keras meski terdengar sumbang, karena memang tak ada yang sedang melawak di sini. “Aku hanya yang ketiban apes!” mata Ammar melotot padaku, “menjijikkan,” katanya lagi dengan meludah di lantai.Aku menelan ludah dengan memejamkan mata s
Janda Lugu Tetanggaku 8Bab 8 Mencarikan pekerjaan Ngapain juga Mas Azka harus ngomong pelan-pelan? Dahiku mengerut. Aku tuh nggak suka nguping. Beringsut, akupun memilih turun dari tempat tidur dan berjalan ke luar kamar. Mau ngapain, ya? Setelah minum air putih dari kulkas, aku pun mencari kesibukan dengan membuat bolu. Mengambil tepung terigu, telor, gula, susu, mixer, timbangan digital mini dan sebagainya, aku mulai sibuk dengan resep bolu yang sudah di luar kepala. “Hai, bikin apa, sayang?” Tanya suamiku yang tiba-tiba sudah berada di dapur dengan membawa nampan berisi gelas-gelas kosong dan toples cemilan di nampan. Aku yang barusan memasukkan loyang berisi adonan ke dalam oven, menoleh dan tersenyum lebar. “Bikin bolu,” jawabku sambil menutup oven sekaligus mengatur suhunya. “Fahri sama Pupung sudah pulang,” kata Mas Azka sambil menaruh gelas kosong ke dalam washtafel. “Wah, sayang dong, nggak ngerasain bolu buatan aku.” Bibirku menekuk ke bawah. Kecewa. “Kirain kamu
Janda Lugu Tetanggaku 9Bab 9Satu team dengan Mbak Dian“Sudah selesai, Mbak?”Aku menyambut Mbak Dian yang keluar dari ruangan HRD. Hari ini adalah interview penentuan diterima atau tidaknya Mbak Dian bekerja di kantorku.“Sudah.” Mbak Dian tersenyum semringah. “Terus, hasilnya apa?” Aku menjejeri langkahnya. “Nanti dikabari,” jawab Mbak Dian mengangguk. “Jangan khawatir, Mbak, nanti aku bantu meyakinkan Pak Andre,” kataku ikut senang. Semoga saja Mbak Dian bisa bekerja di sini bersamaku satu divisi. Aku nggak masalah kok, semisal gaji Mbak Dian disamakan dengan aku yang lebih senior. Kasihan, Mbak Dian punya tanggungan anak. Kalau aku kan enggak. Gajiku utuh malah ditambahin sama Mas Azka. Rencana aku ingin membeli mobil impianku sendiri nanti kalau tabunganku sudah cukup.“Mbak Dian pulang naik apa?” Tanyaku. Kebetulan ini sudah jam makan siang.“Nggak tahu, nih. Naik gojek paling,” sahut Mbak Dian. “Aku mau ngajak makan siang, sih ….” ucapku ragu, takut Mbak Dian menolak. Se
Janda Lugu Tetanggaku 10Bab 10PoV AzkaKejadian ituAku begitu kaget saat terbangun. Tatapanku membeku pada perempuan yang duduk di kursi sembari mengangkat sebelah kaki untuk dipakaikan stoking tipis warna hitam. Perempuan itu lalu berdiri dan meraih rok span berbahan kulit berwarna coklat mengkilap. Astaga! Segera aku memalingkan wajah, menyadari kalau sedari tadi perempuan itu tak mengenakan bawahan. Bentuk celana G-string terlihat jelas menampilkan bo-kong yang penuh dan meluber dari balik stoking hitam tipis menerawang. “Hai, sudah bangun?” Perempuan itu menoleh padaku, tawanya renyah dan ceria. Dia merebahkan badannya setengah tengkurap tepat di depanku. Bola kenyal di dadanya menyembul dipercantik dengan belahan dada yang mengundang. Dengan dada yang berdebar kencang, aku bergegas menyibakkan selimut dan melemparnya sembarang. Saat itulah aku kelincutan sendiri. Botolku menggelantung tanpa tutup! Bang-sat, apa yang terjadi sebenarnya, di mana pakaianku? Mataku bergerak lia
Janda Lugu Tetanggaku 11Bab 11Langka“Gaes, besok presentasinya, ya, suapan mental baik-baik.” aku memberi semangat pada team-ku. Adi menunjukkan ibu jarinya, pertanda siap. Reta menaikkan kedua alis dengan matanya tertuju ke arahku. Dia juga sudah siap.“Mbak Dian sudah selesai?” Tanya Adi pada Mbak Dian yang sedang serius menatap layar komputer. “Tinggal dikit, nanti malam aku selesaikan. Ras, pinjam dulu macbook-mu, ya?” Mbak dian melempar pandangan padaku. Aku terdiam sejenak. Sudah dua hari meminjam, belum selesai juga? “Gapapa, kan, Ras?” Ulang Mbak Dian. Aku mengulas senyum lalu mengangguk. Gapapa, lah, nanti aku bisa pakai laptop Mas Azka. Saat makan siang, aku, Rere dan Mbak Dian makan bareng di cafe depan kantor. Di sini lumayan enak tempatnya. Kalau jam makan siang dipadati sama karyawan kantoran yang menempati Menara Satura, gedung dua puluh delapan lantai tempat kantorku bernaung. Tak hanya kantorku, di gedung ini ada ratusan perusahaan yang membuka kantornya di sini
Janda Lugu Tetanggaku 38Bab 38Sudah Tak Marah“Tidak ada yang memaksa Anda, Dian. Jika tidak setuju, silakan menolak.” Pak Rudi menengahi. Mas Azka melihat padaku. Dari pertama, suamiku ini sudah sangsi dengan ideku. Mas Azka tak percaya Mbak Dian akan menyerahkan begitu saja anaknya. Aku meyakinkan Mas Azka, kalau uang dapat merubah pikiran Mbak Dian. Tunggu dulu … aku belum berbicara tentang uang. “Jadi Mbak Dian menolak?” Tanyaku setelah merasa lebih percaya diri. “Jelas lah, kau minta imbalan anakku, bikin sendiri, buktikan kalau kamu tidak mandul, Ras.” Mbak Dian tersenyum mengejek. Aku masih berusaha tersenyum, walau dalam hati, aku sangat ingin memaki mbak Dian. “Kalau tidak mau, ya sudah, aku tidak akan menolong Mbak Dian dan tidak akan mengurusi Lova. Kau tau, Mbak … tak ada yang gratis di dunia ini!” “Benar, Ras,” kata Mas Azka seraya melihat Mbak Dian, “tak ada yang memaksamu untuk setuju.” Mas Azka beranjak dan berdiri di belakang kursiku. Mbak Dian mengamati. “Sek
Janda Lugu Tetanggaku 37Bab 37Menolong dengan syarat“Angkat, Mas.” aku melihat suamiku, dia mengangguk lalu mengusap layar ponsel. Tak lupa, Mas Azka juga menyalakan loudspeaker agar percakapannya dengan Mbak Dian terdengar pula olehku. “Halo?” Sapa Mas Azka. “Azka, tolong gue, Ka.” terdengar suara panik Mbak Dian meminta pertolongan. Bola mata Mas Azka bergerak ke arahku. “Gue nggak mau urusan apapun sama elu,” sahut Mas Azka ketus.“Bodo amat, elu harus nolongin gue. Cariin pengacara, Ka. Lekas!” Ucap Mbak Dian main perintah aja. “Bawa sini.” bisikku sembari meminta ponsel Mas Azka. “Ada apa, Mbak?” Tanyaku sambil berjalan menjauh dari Lova. Mas Azka gantian menghibur gadis kecil itu sembari memasang antena telinga lebih tinggi. “Laras, elu kan baik hati dan tidak sombong. Elu harus tolongin gue!” Mbak Dian berteriak. Sok-sok an memujiku padahal Mbak Dian sering mengolokku o’on. Aku tau. “Tolongin apa?” Tanyaku datar. Sebenarnya aku tidak tertarik lagi dengan Mbak Dian. Ba
Janda Lugu Tetanggaku 36Bab 36LalaiGaris polisi berwarna kuning bertuliskan dilarang melintas masih terpasang di depan pintu tempat tinggal Mbak Dian. Ada dua unit rumah yang terbakar, yaitu rumah Mbak Dian dan sebelahnya. Sayangnya, rumah Mbak Dian yang lebih parah. “Kita nggak boleh masuk, Ras,” kata Mas Azka yang terus merangkul pundakku. Aku menarik nafas yang tersendat. Tidak tau apa yang terjadi sebab aku tak mendapatkan informasi yang akurat. Dari bawah tadi, aku sempat melihat area luar jendela rumah Mbak Dian yang menghitam karena terbakar. Semalam aku tak dapat ke sini jadi pagi ini aku datang untuk melihat lokasi kejadian. “Mas, kita harus bertanya pada seseorang,” kataku sambil melihat situasi. Siapa tau ada yang melintas dan bisa kutanya. Para penghuni di sini pada cuek, mungkin karena hanya insiden kebakaran kecil yang tak merugikan mereka. Tapi buatku, ini sangat penting. Sampai sekarang, aku tak tau kabar mbak Dian maupun Lova. Ponsel Mbak Dian tidak aktif. “Seb
Janda Lugu Tetanggaku 35Bab 35KebakaranAku terdiam menatap onggokan goodie bag dan paperbag di sudut ruangan. Menghela nafas panjang dan berusaha menepis rindu yang membuncah. Semua itu adalah baju-baju dan mainan milik Lova yang aku beli tempo hari. Semuanya masih baru dan belum terjamah. Kemaren aku tak sempat menyerahkan pada Mbak Dian saat ia mengambil Lova di jalan. “Sudahlah, biar aku masukkan gudang saja,” kata Mas Azka seraya mengangkat barang-barang itu. Suamiku tak suka melihatku bersedih. Beberapa hari yang lalu, Mas Azka sudah memperingatkan aku untuk tak terlalu larut dalam kesedihan memikirkan Lova. “Lova sudah bersama ibunya,” ucap Mas Azka saat itu. Aku mengangguk tapi, entah kenapa rindu ini tak juga lenyap. Senyum dan tawa Lova seakan menghantui benakku. “Mas, jangan diberesin, nanti kapan-kapan biar aku kirim ke rumah Mbak Dian,” kataku menahan Mas Azka yang sedang memberesi barang-barang Lova. Mas Azka menoleh padaku, “kau tau rumahnya?” Aku mengangguk, “ta
Janda Lugu Tetanggaku 34Bab 34Diminta di JalanSeminggu sudah berlalu semenjak Mbak Dian kabur meninggalkan rumahku karena misinya yang gagal. Anehnya, selama itu pula dia tidak meneleponku atau Mama untuk memberitahu keberadaannya. Minimal menanyakan Lova lah, kan bocah itu anaknya. Atau mungkin ia ibu durhaka yang melupakan anaknya?Aku tidak peduli. Hidupku kembali normal, adem dan bahagia bersama Mas Azka. Mbok Wati juga bergembira sebab mendapatkan pekerjaannya kembali. Ada yang berbeda, sekarang di rumahku bertambah ramai dan seru karena adanya Lova. Ya! Bocah itu sekarang tinggal bersamaku. Kalau pagi sampai sore, Lova di rumah bersama Mbok Wati karena kutinggal bekerja bersama suamiku. Malamnya aku dan Mas Azka yang mengasuh Lova. Anak itu cerdas dan lucu. Dia bahkan sekarang sudah pandai berceloteh lancar. Suasana rumah menjadi semakin hidup, ceria dan bersemangat dengan adanya Lova.Aku membelikan baby chair untuk Lova supaya dia dapat makan sendiri. Mas Azka membelikan
Janda Lugu Tetanggaku 33Bab 33Anaknya ditinggal Aku jadi bingung antara membukakan pintu kamar untuk membebaskan Mama atau mengejar Mbak Dian. Ah, sial! Mbak Dian sudah kabur dengan mobilnya. Aku hanya bisa melihat ke jendela saat mendengar raungan mobilnya. Tanpa buang waktu, akupun mencari kunci cadangan untuk membuka pintu kamar. “Kurang ajar, Dian!” Begitu yang diteriakkan Mama setelah pintu berhasil aku buka. “Ke mana dia?” Mama setengah berlari menuju pintu keluar. “Mbak Dian melarikan diri, Ma. Tadi Laras melihat dia lari lewat pintu belakang dan kabur dengan mobilnya.” Ujarku dengan wajah kesal. “Mama didorong sampai terjungkal di kasur, habis itu dia berlari keluar dan menutup serta mengunci pintunya!” Omel Mama marah-marah. Astaga! Aku jadi teringat Mas Azka yang aku rendam di kamar mandi. Berlari aku memasuki kamar dan langsung membuka pintu kamar mandi. Tampak lelakiku sedang berdiri di depan cermin. Mas Azka sudah selesai mandi rupanya. Ah, lega rasanya, kupikir
Janda Lugu Tetanggaku 32Bab 32Masih PoV DianKaburTok tokTerdengar pintu kamarku diketuk. Aku terkesiap, itu pasti Laras. Berjalan ke pintu, akupun membukanya. Memang benar, Laras yang sekarang berdiri di depan pintu kamarku. “Mbak, ajak Lova makan. Aku sudah masak nasi dan beli lauknya,” kata Laras. Aku mengangguk. Semenjak nggak ada mbok Wati, Laras dan Azka selalu membeli lauk untuk makan malam. Mereka tidak mau memakan masakanku, mungkin takut aku guna-guna atau racuni. Dasar O’on, kalau aku mau meracun mereka, sudah aku lakukan dari dulu. Sampai di meja makan, aku mem lihat Laras sedang menikmati makanannya. Melihat nasi yang masih mengepul di piring Laras, aku tersenyum dalam hati. Kena kau, Laras. Hahah. “Ambilkan Lova makan, Mbak,” kata Laras. Aku mengangguk. Sebenarnya Laras ini tidak peduli padaku, dia menawari aku makan karena Lova. Laras tak ingin membiarkan Lova tidur kelaparan. Aku tertegun sejenak saat akan mengambil nasi. Masak aku harus memakan nasi ini? Senj
Janda Lugu Tetanggaku 31Bab 31Rencana Pamungkas DianNggak sampai setengah jam, mobil Mas Azka sudah sampai rumah. Aku turun duluan dan langsung masuk melalui pintu samping. Rumah sepi, meskipun baru sekitar jam delapan malam. Aku segera mencari Mbak Dian. Langkahku terhenti saat melihat perempuan itu bergulung di sofa panjang tuang tengah sembari cekikikan centil dengan ponselnya. Berasa tuan rumah saja, dasar nggak punya malu. Bertambah kesal rasa hatiku. “Mbak Dian!”Seketika Mbak Dian membelalakkan mata melihat kehadiranku. Saking asyiknya bercengkerama dengan ponsel, dia tak menyadari kepulanganku dan Mas Azka. “Laras? Ngagetin saja.” Mbak Dian segera mematikan ponsel ya dan berpindah posisi duduk. Suara langkah kaki Mas Azka terdengar mendekat. “Apa maksud Mbak Dian memecat Mbok Wati?” Tanyaku langsung ke inti. Kepala Mvak Dian bergerak ke atas sedikit dan melihatku yang berdiri tak jauh darinya. “Oh, sudah kuduga, pasti perempuan tua itu sudah mengadu macam-macam denganm
Janda Lugu Tetanggaku 30Bab 30Akal Bulus“Mbok, baju saya kemaren malam dipakai sama Mbak Dian, kok bisa?”tanyaku pada Mbok Wati siang itu di dekat kamar mandi belakang saat pembantuku habis mengangkat jemuran. Mbok Wati melirik pintu kamar yang dihuni oleh Mbak Dian. Pintu kamar itu tertutup, tadi aku sudah melongok ke dalamnya. Mbak Dian dan Lova sedang bobok siang. “Nggak usah takut, Mbak Dian sedang tidur sama Lova.” aku menepis kekhawatiran mbok Watik. Perempuan itu takut bila Mbak Dian nanti mendengar jawabannya. “Anu, Non, saya sudah bilang agar jangan ngambilin baju-baju Non Laras tetapi, Bu Dian tak menghiraukan,” jawab Mbok Watik kesal. Baju-baju katanya? Berarti nggak hanya satu dong? Bola mataku berputar. “Emang dia sering ngambilin baju saya?” Menatap Mbok Wati. Pembantuku mengangguk, “sering, Non, terutama kalau siang hari pas Non Laras nggak ada di rumah.”Jadi begitu? Jangan-jangan Mbak Dian juga yang mengambil peralatan make up ku? Secara ada beberapa yang men