Janda Lugu Tetanggaku 11Bab 11Langka“Gaes, besok presentasinya, ya, suapan mental baik-baik.” aku memberi semangat pada team-ku. Adi menunjukkan ibu jarinya, pertanda siap. Reta menaikkan kedua alis dengan matanya tertuju ke arahku. Dia juga sudah siap.“Mbak Dian sudah selesai?” Tanya Adi pada Mbak Dian yang sedang serius menatap layar komputer. “Tinggal dikit, nanti malam aku selesaikan. Ras, pinjam dulu macbook-mu, ya?” Mbak dian melempar pandangan padaku. Aku terdiam sejenak. Sudah dua hari meminjam, belum selesai juga? “Gapapa, kan, Ras?” Ulang Mbak Dian. Aku mengulas senyum lalu mengangguk. Gapapa, lah, nanti aku bisa pakai laptop Mas Azka. Saat makan siang, aku, Rere dan Mbak Dian makan bareng di cafe depan kantor. Di sini lumayan enak tempatnya. Kalau jam makan siang dipadati sama karyawan kantoran yang menempati Menara Satura, gedung dua puluh delapan lantai tempat kantorku bernaung. Tak hanya kantorku, di gedung ini ada ratusan perusahaan yang membuka kantornya di sini
Janda Lugu Tetanggaku 12Bab 12Ide yang sama?“Coba dong, biar Azka sendiri yang jawab, masak seganteng itu belum pernah pacaran?” Mbak Dian mengulum senyum. Mas Azka menatap lurus sedangkan aku merasa senang dengan pertanyaan Mbak Dian. “Memang Azka ini nggak pernah punya pacar sebelumnya. Tante tahu itu soalnya belum pernah ada yang serius dikenalin ke Tante selain Laras.” Mama yang menjawab. “Kalau pas di Semarang gimana, Ka? Masak nggak punya pacar juga?” Nada suara Mbak Dian lemah lembut tapi, pertanyaannya itu seperti mencecar suamiku. Apa Mbak Dian nggak percaya kalau Mas Azka ini memang tidak pernah punya Mantan sebelumnya?Mas Azka tak pernah mau membuka mulut meski dicecar Mbak Dian. Beruntung, Mama selalu punya jawaban. Seperti halnya aku, Mama pun yakin kalau Mas Azka anak baik, tidak bandel dan punya hoby mengoleksi mantan. “Azka ini anak baik dari kecil.” Mama melihat Mas Azka yang wajahnya ditekuk dari tadi. Suamiku ini sudah sejak lama menunjukkan ke tidaksukaannya
Janda Lugu Tetanggaku 13Bab 13Serigala berbulu DombaMata Pak David menyipit menatapku. Aku menelan ludah karena detak jantungku yang berlipat. Selama bekerja di sini tak pernah sekalipun aku mengecewakan Pak David. Bisa dibilang aku ini staf andalan Pak David di divisi marketing.“Apa maksudnya belum siap, Laras? Bukannya kau sendiri yang merencakan meeting ini? Seharusnya kau yang paling siap.” Pak David menegur. Ya, meskipun Pak David baik denganku tetapi beliau tetap profesional. Sebagai atasan, pak David terap akan menegur bila aku bersalah. Bola mataku bergerak melirik Mbak Dian. Perempuan itu masih sibuk sendiri dengan catatannya seolah mengabaikan diriku yang kebingungan dan mendapat teguran dari Pak David. “M-maksud saya … materi presentasi saya belum final, Pak.” aku mengangguk dan mengembuskan nafas. Hatiku sedikit lega karena merasa mendapatkan jawaban yang masuk akal. “Saya kecewa sama kamu, Laras.” Pak David menatapku, “kalau ternyata belum siap, jangan request mee
Janda Lugu Tetanggaku 14Bab 14Karir melesat“Mbak, maaf, ya, aku mau tanya.” Mbak Dian seketika menghentikan bicaranya yang menggebu-gebu. Dia menatapku. “Kenapa, ya, aku yakin kalau materi yang Mbak Dian presentasikan tadi menjiplak milikku?” Aku berhati-hati dalam merangkai kalimat, takut menyinggung perasaan mbak Dian. Perempuan di depanku membisu. Wajahnya berubah sendu dan pandangannya menunduk. “Maaf, ya, Ras, aku memang menjiplak idemu …” akhirnya dia mengaku meskipun dengan suara lirih yang mungkin hanya dia sendiri yang mendengar. Malu kah?“Kenapa tidak bilang kalau menjiplak, Mbak?” Aku menghindari kata ‘mencuri’ dengan menggantinya dengan ‘menjiplak’ agar lebih halus. Sekali lagi, aku tak ingin mempermalukan orang meskipun di sini tak ada orang selain aku dan Mbak Dian. Hiks … hikss. Terdengar pelan suara tangisan Mbak Dian. Aku jadi kasihan, apa aku terkesan mencecarnya? “Kau tahu kan, Ras … sebagai orang baru yang minim pengalaman aku merasa rendah diri berada di
Janda Lugu Tetanggaku 15Bab 15PoV DianaSatu SatuGeram banget rasanya sepulang dari rumah Laras. Apaan sih dia, berani-beraninya menegur aku. Aku kan cuma meminjam materinya untuk presentasi? Salahku di mana coba? Begitu saja marah. Dasar pelit. Katanya pintar, anak emas Pak David, ketua team? Masak nggak punya ide yang lain? Materi itu kan nggak aku curi, masih ada tuh di MacBook nya. Kecuali aku mengkopinya kemudian menghapus permanen datanya, baru dia boleh marah. Ngeselin tuh Laras o’on, Huh! Awas kamu Laras, aku akan membalasmu!“Bik Ipah!” Aku memanggil pembantu sekaligus pengasuh anakku ini. Tergopoh-gopoh wanita paruh baya itu kekuar dari kamar Lova. Aku memang menyuruhnya tidur bersama Lova setiap hari karena aku tak mau repot membuatkan susu anakku. Aku sudah bekerja banting tulang sepanjang siang, jadi harus cukup istirahat di malam hari. Lagi pula kalau kurang tidur gara-gara begadang merawat bayi akan berimbas pada kulit wajahku. Keriput akan datang lebih cepat, kantu
Janda Lugu Tetanggaku 16Bab 16Ternyata Mbak Dian adalah ….“Bontot lauk untuk siapa, Mbok?” Tanyaku pada pembantu di rumahku saat melihatnya membungkus telor dasar, orek tempe pedas dan mie goreng buatannya. “Ini, Non, buat pembantu depan rumah kasihan,” jawab Mbok Wati seraya mengareti bungkus kertas minyak berwarna coklat. “Pembantunya siapa?” Aku menaruh gelas bekas minum air putih di wastafel. Mbok Wati melirik kanan kiri, “Bik Ipah, yang momong Lova,” ucapnya pelan. Keningku mengerut dalam, “kenapa emangnya?” Setahuku, Bik Ipah pembantunya Mbak Dian baik-baik saja.“Suka nggak ditinggalin lauk, Non, cuma beras doang, kasihan saya.” Bik Ipah mengambil tas plastik hitam lalu memasukkan bungkusan kertas ke dalamnya. “Apa nggak ada telor atau mie instan seperti di di sini, Mbok?” Aku membandingkan dengan dapur rumahku. Di kulkas selalu ada telor, daging ayam, ikan, sayuran meskipun dikit. Mie instan, makanan kaleng seperti sarden dan kornet juga ada di kabinet dapur. Aku membe
Janda Lugu Tetanggaku 17Bab 17Jaga Jarak“Hai Lova ….” Sepulang kerja, aku mendapati Lova yang sedang digendong oleh Bik Ipah, pengasuhnya. Sudah cukup lama tak bertemu, bocah kecil itu tampak semringah bertemu denganku. Badannya melunjak-lonjak dalam gendongan pengasuhnya. “Mau ikut Tante?” Tanyaku sembari menoel pipinya. Lova semakin girang, mulutnya meracau bahasa bayi yang aku tidak mengerti. “Lova sudah mulai ngoceh, ya, Bik?” Aku bertanya sembari mengambil Lova dari gendongan bik Ipah. “Iya , Non, udah mulai pinter manggil orang. Seringnya mana gol Mama, gitu.” Bik Ipah tersenyum sembari menatap Lova yang sekarang berpindah dalam dekapanku. Lova senang sekali melihat wajahku, dia berkali-kali menjerit kegirangan. “Mamanya ke mana, Bik?” Tanyaku saat tak melihat mobil Mbak Dian di halaman rumahnya. “Oh, Ibu belum pulang. Nanti malam,” sahut bik Ipah. Hm, bukannya jam kantor sudah selesai? Seharusnya Mbak Dian juga sudah sampai di rumah. “Semenjak punya mobil, Ibu pulangn
Janda Lugu Tetanggaku 18Bab 18Mulai curigaSudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Mbak Dian. Dengan membawa sekotak biskuit bayi yang kubeli kemaren di minimarket, aku mendatatangi rumah Mbak Dian. Sebenarnya aku tak sekedar ingin berkunjung tetapi ada sesuatu yang ingin aku lihat sebagai bukti untuk meyakinkan hatiku. Berjalan di samping mobil merah Mbak Dian yang moncongnya menghadap ke jalan, mataku melihat ke dalam. Hm, keren juga interiornya. Mobil second full variasi. Selera Mbak Dian boleh juga. Sebagai perempuan yang sudah terbiasa memiliki dan menyetir mobil sendiri sejak SMP, aku sedikit banyak paham tentang interior mobil. Aku juga tau barang bagus. “Lova …” aku memanggil dari depan pintu. Terdengar tawa riang bocah kecil yang usianya hampir satu tahun itu. Melepas alas kaki, akupun memasuki rumah mbak Dian. “Eh, ada Tante Laras, tuh,” ucap Bik Ipah menunjuk padaku. Lova yang sudah berdiri itu melonjak-lonjak kegirangan melihatku. Bik Ipah yang memegangi badannya dar
Janda Lugu Tetanggaku 38Bab 38Sudah Tak Marah“Tidak ada yang memaksa Anda, Dian. Jika tidak setuju, silakan menolak.” Pak Rudi menengahi. Mas Azka melihat padaku. Dari pertama, suamiku ini sudah sangsi dengan ideku. Mas Azka tak percaya Mbak Dian akan menyerahkan begitu saja anaknya. Aku meyakinkan Mas Azka, kalau uang dapat merubah pikiran Mbak Dian. Tunggu dulu … aku belum berbicara tentang uang. “Jadi Mbak Dian menolak?” Tanyaku setelah merasa lebih percaya diri. “Jelas lah, kau minta imbalan anakku, bikin sendiri, buktikan kalau kamu tidak mandul, Ras.” Mbak Dian tersenyum mengejek. Aku masih berusaha tersenyum, walau dalam hati, aku sangat ingin memaki mbak Dian. “Kalau tidak mau, ya sudah, aku tidak akan menolong Mbak Dian dan tidak akan mengurusi Lova. Kau tau, Mbak … tak ada yang gratis di dunia ini!” “Benar, Ras,” kata Mas Azka seraya melihat Mbak Dian, “tak ada yang memaksamu untuk setuju.” Mas Azka beranjak dan berdiri di belakang kursiku. Mbak Dian mengamati. “Sek
Janda Lugu Tetanggaku 37Bab 37Menolong dengan syarat“Angkat, Mas.” aku melihat suamiku, dia mengangguk lalu mengusap layar ponsel. Tak lupa, Mas Azka juga menyalakan loudspeaker agar percakapannya dengan Mbak Dian terdengar pula olehku. “Halo?” Sapa Mas Azka. “Azka, tolong gue, Ka.” terdengar suara panik Mbak Dian meminta pertolongan. Bola mata Mas Azka bergerak ke arahku. “Gue nggak mau urusan apapun sama elu,” sahut Mas Azka ketus.“Bodo amat, elu harus nolongin gue. Cariin pengacara, Ka. Lekas!” Ucap Mbak Dian main perintah aja. “Bawa sini.” bisikku sembari meminta ponsel Mas Azka. “Ada apa, Mbak?” Tanyaku sambil berjalan menjauh dari Lova. Mas Azka gantian menghibur gadis kecil itu sembari memasang antena telinga lebih tinggi. “Laras, elu kan baik hati dan tidak sombong. Elu harus tolongin gue!” Mbak Dian berteriak. Sok-sok an memujiku padahal Mbak Dian sering mengolokku o’on. Aku tau. “Tolongin apa?” Tanyaku datar. Sebenarnya aku tidak tertarik lagi dengan Mbak Dian. Ba
Janda Lugu Tetanggaku 36Bab 36LalaiGaris polisi berwarna kuning bertuliskan dilarang melintas masih terpasang di depan pintu tempat tinggal Mbak Dian. Ada dua unit rumah yang terbakar, yaitu rumah Mbak Dian dan sebelahnya. Sayangnya, rumah Mbak Dian yang lebih parah. “Kita nggak boleh masuk, Ras,” kata Mas Azka yang terus merangkul pundakku. Aku menarik nafas yang tersendat. Tidak tau apa yang terjadi sebab aku tak mendapatkan informasi yang akurat. Dari bawah tadi, aku sempat melihat area luar jendela rumah Mbak Dian yang menghitam karena terbakar. Semalam aku tak dapat ke sini jadi pagi ini aku datang untuk melihat lokasi kejadian. “Mas, kita harus bertanya pada seseorang,” kataku sambil melihat situasi. Siapa tau ada yang melintas dan bisa kutanya. Para penghuni di sini pada cuek, mungkin karena hanya insiden kebakaran kecil yang tak merugikan mereka. Tapi buatku, ini sangat penting. Sampai sekarang, aku tak tau kabar mbak Dian maupun Lova. Ponsel Mbak Dian tidak aktif. “Seb
Janda Lugu Tetanggaku 35Bab 35KebakaranAku terdiam menatap onggokan goodie bag dan paperbag di sudut ruangan. Menghela nafas panjang dan berusaha menepis rindu yang membuncah. Semua itu adalah baju-baju dan mainan milik Lova yang aku beli tempo hari. Semuanya masih baru dan belum terjamah. Kemaren aku tak sempat menyerahkan pada Mbak Dian saat ia mengambil Lova di jalan. “Sudahlah, biar aku masukkan gudang saja,” kata Mas Azka seraya mengangkat barang-barang itu. Suamiku tak suka melihatku bersedih. Beberapa hari yang lalu, Mas Azka sudah memperingatkan aku untuk tak terlalu larut dalam kesedihan memikirkan Lova. “Lova sudah bersama ibunya,” ucap Mas Azka saat itu. Aku mengangguk tapi, entah kenapa rindu ini tak juga lenyap. Senyum dan tawa Lova seakan menghantui benakku. “Mas, jangan diberesin, nanti kapan-kapan biar aku kirim ke rumah Mbak Dian,” kataku menahan Mas Azka yang sedang memberesi barang-barang Lova. Mas Azka menoleh padaku, “kau tau rumahnya?” Aku mengangguk, “ta
Janda Lugu Tetanggaku 34Bab 34Diminta di JalanSeminggu sudah berlalu semenjak Mbak Dian kabur meninggalkan rumahku karena misinya yang gagal. Anehnya, selama itu pula dia tidak meneleponku atau Mama untuk memberitahu keberadaannya. Minimal menanyakan Lova lah, kan bocah itu anaknya. Atau mungkin ia ibu durhaka yang melupakan anaknya?Aku tidak peduli. Hidupku kembali normal, adem dan bahagia bersama Mas Azka. Mbok Wati juga bergembira sebab mendapatkan pekerjaannya kembali. Ada yang berbeda, sekarang di rumahku bertambah ramai dan seru karena adanya Lova. Ya! Bocah itu sekarang tinggal bersamaku. Kalau pagi sampai sore, Lova di rumah bersama Mbok Wati karena kutinggal bekerja bersama suamiku. Malamnya aku dan Mas Azka yang mengasuh Lova. Anak itu cerdas dan lucu. Dia bahkan sekarang sudah pandai berceloteh lancar. Suasana rumah menjadi semakin hidup, ceria dan bersemangat dengan adanya Lova.Aku membelikan baby chair untuk Lova supaya dia dapat makan sendiri. Mas Azka membelikan
Janda Lugu Tetanggaku 33Bab 33Anaknya ditinggal Aku jadi bingung antara membukakan pintu kamar untuk membebaskan Mama atau mengejar Mbak Dian. Ah, sial! Mbak Dian sudah kabur dengan mobilnya. Aku hanya bisa melihat ke jendela saat mendengar raungan mobilnya. Tanpa buang waktu, akupun mencari kunci cadangan untuk membuka pintu kamar. “Kurang ajar, Dian!” Begitu yang diteriakkan Mama setelah pintu berhasil aku buka. “Ke mana dia?” Mama setengah berlari menuju pintu keluar. “Mbak Dian melarikan diri, Ma. Tadi Laras melihat dia lari lewat pintu belakang dan kabur dengan mobilnya.” Ujarku dengan wajah kesal. “Mama didorong sampai terjungkal di kasur, habis itu dia berlari keluar dan menutup serta mengunci pintunya!” Omel Mama marah-marah. Astaga! Aku jadi teringat Mas Azka yang aku rendam di kamar mandi. Berlari aku memasuki kamar dan langsung membuka pintu kamar mandi. Tampak lelakiku sedang berdiri di depan cermin. Mas Azka sudah selesai mandi rupanya. Ah, lega rasanya, kupikir
Janda Lugu Tetanggaku 32Bab 32Masih PoV DianKaburTok tokTerdengar pintu kamarku diketuk. Aku terkesiap, itu pasti Laras. Berjalan ke pintu, akupun membukanya. Memang benar, Laras yang sekarang berdiri di depan pintu kamarku. “Mbak, ajak Lova makan. Aku sudah masak nasi dan beli lauknya,” kata Laras. Aku mengangguk. Semenjak nggak ada mbok Wati, Laras dan Azka selalu membeli lauk untuk makan malam. Mereka tidak mau memakan masakanku, mungkin takut aku guna-guna atau racuni. Dasar O’on, kalau aku mau meracun mereka, sudah aku lakukan dari dulu. Sampai di meja makan, aku mem lihat Laras sedang menikmati makanannya. Melihat nasi yang masih mengepul di piring Laras, aku tersenyum dalam hati. Kena kau, Laras. Hahah. “Ambilkan Lova makan, Mbak,” kata Laras. Aku mengangguk. Sebenarnya Laras ini tidak peduli padaku, dia menawari aku makan karena Lova. Laras tak ingin membiarkan Lova tidur kelaparan. Aku tertegun sejenak saat akan mengambil nasi. Masak aku harus memakan nasi ini? Senj
Janda Lugu Tetanggaku 31Bab 31Rencana Pamungkas DianNggak sampai setengah jam, mobil Mas Azka sudah sampai rumah. Aku turun duluan dan langsung masuk melalui pintu samping. Rumah sepi, meskipun baru sekitar jam delapan malam. Aku segera mencari Mbak Dian. Langkahku terhenti saat melihat perempuan itu bergulung di sofa panjang tuang tengah sembari cekikikan centil dengan ponselnya. Berasa tuan rumah saja, dasar nggak punya malu. Bertambah kesal rasa hatiku. “Mbak Dian!”Seketika Mbak Dian membelalakkan mata melihat kehadiranku. Saking asyiknya bercengkerama dengan ponsel, dia tak menyadari kepulanganku dan Mas Azka. “Laras? Ngagetin saja.” Mbak Dian segera mematikan ponsel ya dan berpindah posisi duduk. Suara langkah kaki Mas Azka terdengar mendekat. “Apa maksud Mbak Dian memecat Mbok Wati?” Tanyaku langsung ke inti. Kepala Mvak Dian bergerak ke atas sedikit dan melihatku yang berdiri tak jauh darinya. “Oh, sudah kuduga, pasti perempuan tua itu sudah mengadu macam-macam denganm
Janda Lugu Tetanggaku 30Bab 30Akal Bulus“Mbok, baju saya kemaren malam dipakai sama Mbak Dian, kok bisa?”tanyaku pada Mbok Wati siang itu di dekat kamar mandi belakang saat pembantuku habis mengangkat jemuran. Mbok Wati melirik pintu kamar yang dihuni oleh Mbak Dian. Pintu kamar itu tertutup, tadi aku sudah melongok ke dalamnya. Mbak Dian dan Lova sedang bobok siang. “Nggak usah takut, Mbak Dian sedang tidur sama Lova.” aku menepis kekhawatiran mbok Watik. Perempuan itu takut bila Mbak Dian nanti mendengar jawabannya. “Anu, Non, saya sudah bilang agar jangan ngambilin baju-baju Non Laras tetapi, Bu Dian tak menghiraukan,” jawab Mbok Watik kesal. Baju-baju katanya? Berarti nggak hanya satu dong? Bola mataku berputar. “Emang dia sering ngambilin baju saya?” Menatap Mbok Wati. Pembantuku mengangguk, “sering, Non, terutama kalau siang hari pas Non Laras nggak ada di rumah.”Jadi begitu? Jangan-jangan Mbak Dian juga yang mengambil peralatan make up ku? Secara ada beberapa yang men