Share

Teman Lama

last update Last Updated: 2023-11-07 09:39:52

Janda Lugu Tetanggaku 6

Bab 6

Teman lama

“Mbak Dian, itu kancing bajunya yang atas lepas,” kataku menunjuk baju yang dikenakan Mbak Dian. Seketika Mbak Dian melihat padaku lalu menunduk melihat dadanya.

“Oh, iya, maaf.” Perempuan itu lalu mengancingkan kemejanya dengan benar. Wajahnya agak gimana, gitu.

Nah, kan, Mbak Dian itu nggak sengaja. Masak iya, dia mau pamer susu, kan nggak sopan. Mungkin, mbak Dian tadi tergesa-gesa mau jemput Lova jadi nggak sempat ngancingin baju dengan benar. Semoga suamiku nggak salah mengartikannya. Jangan sampai Mas Azka kebablasan menganggap Mbak Dian murahan.

Mata Mama mengerjap melihat Mbak Dian mengancingkan kemejanya. Selanjutnya kami mengobrol hal yang ringan-ringan. Sesekali mataku melihat ke dalam, semenjak kejadian tadi, Mas Azka nggak keluar dari kamar. Malu aku sama Mbak Dian, Mas Azka emang kadang-kadang.

Setelah Mbak Dian dan Lova pulang, aku bersama Mama Mertua dan Mas Azka berkumpul di ruang makan. Aku dan suami berebut es krim lezat buatan Mama yang rasanya enak banget.

“Jangan dihabisin.” Kataku pada Maz Azka yang seperti lupa diri menyendok es krim terus.

“Itu si Dian kerjanya apa?” Tanya Mama sambil berjongkok menata sayuran di kulkas. Maaf ya, Mamaku emang suka begitu, dia rajin dan rapih orangnya. Kalau melihat barang berantakan segera diberesin. Jadi aku nggak menyuruh lho, ya.

“Jadi Kasir di minimarket depan,” jawabku.

“Jadi Kasir? Bukannya tadi bilang pernah kuliah, kenapa nggak kerja di kantornya?” Mama menoleh.

“Laras udah tanya sih, tapi katanya belum ada lowongan.”

“Oh …” bibir Mama membulat.

Aku berdiri dan membawa gelas bekas es krim ke dapur untuk dicuci.

“Nanti kalau di kantor Laras ada lowongan biar aku suruh Mbak Dian melamar,” kataku sambil menaruh sendok bersih di tempatnya.

“Baik banget, lo.” Mas Azka nyeletuk.

“Ya gapapa, namanya juga menolong, ya, kan, Ma?” Jawabku sambil meminta pendapat Mama. Tanganku meraih lap yang menggantung dan mengelap tangan sampai kering.

“Baik boleh tapi, jangan sampai merugikan diri sendiri,” sahut Mama sambil berdiri. Mama sudah selesai merapikan isi kulkas.

“Nggak kok, Ma, Mbak dian itu baik dan lugu. Dia orangnya nggak mengambil kesempatan,” jawabku mengangguk.

“Sudah siang nih, Mama mau pulang,” kata Mama sembari merapikan dress yang dipakainya.

“Nggak makan dulu, Ma?” Aku menatap.

“Emang kamu udah masak?” Mas Azka melihatku dengan senyum meledek.

“Makan di luar maksud aku. Wekk!” aku balik mengejek suamiku. Mama tersenyum melihat aku dan Mas Azka saling meledek.

“Nggak usah, kapan-kapan saja.” Mama berjalan ke depan diikuti aku dan Mas Azka.

“Pulang dulu, ya.” pamit Mama sembari mencium kedua pipiku.

“Makasih, ya, Ma.” Aku tersenyum senang.

Mas Azka melirik genit padaku. Akupun mengerlingkan mata.

“Masuk, yuk!” Serta merta lelakiku ini merangkul pundak dan mengajak masuk rumah.

Aaaa, mau apa?

**

Sore itu pulang kerja aku tidak mampir ke rumah Mbak Dian. Turun dari taksi online aku berlari kecil memasuki halaman rumah. Mbak Dian terlihat berdiri memegang pegangan stroller. Sepertinya dia sedang menyuapi Lova mpasi.

“Tante Laras!” Mbak Dian memanggil untuk Lova. Aku menoleh sekilas, “ntar, ya, Tante kebelet pipis.” aku berteriak sembari membuka kunci pintu lalu dengan cepat masuk ke rumah. Pintu aku biarkan terbuka, mungkin Mbak Dian dan Lova mau masuk. Biarin aja.

Setelah menuntaskan hajat kecil, aku tak segera keluar dari kamar. Membuka baju kerja, aku ingin segera berganti baju rumahan. Mandinya nanti saja bareng Mas Azka, paling bentar lagi suamiku juga pulang.

“Aku tidak mengenalmu, jangan memaksa!”

“Coba kamu ingat-ingat.”

“Aku tidak ingat apapun karena aku tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya!”

Apa, sih? Seperti suara ribut-ribut? Gegas aku membuka pintu dan keluar kamar. Benar saja. Di ruang tamu rumahku ada Mas Azka yang sedang bercakap dengan Mbak Dian. Aku menghampiri.

Mendengar langkahku, Mas Azka segera berbalik badan dengan wajah cemberut. Tangannya mengendorkan dasi di lehernya dan ia berjalan masuk tanpa menghiraukan aku. Dahiku melipat segera.

“Ada apa, Mbak Dian?” Tanyaku pada perempuan tang duduk di sofa ruang tamuku.

“Ngga ada apa-apa. Aku hanya menyapa Azka sebagai teman lama dan bertanya apakah ia masih mengenaliku?”

“Terus kenapa suamiku seperti kesal, Mbak?” aku menemani duduk Mbak Dian.

Kedua bahu Mbak Dian bergerak ke atas, “aku juga tidak tahu kenapa Azka jadi naik darah,” ucap Mbak Dian dengan wajah sendu.

Ck! Bibirku berdecak. Mas Azka ini lama-lama tambah kasar sama Mbak Dian. Cuma ditanya begitu saja marah. Padahal aku tuh nggak cemburuan lho, kenapa Mas Azka takut sekali berinteraksi dengan Mbak Dian.

“Ya sudah, Ras, aku pulang dulu.” Mbak Dian berjalan ke luar dengan menggendong Lova.

“Maafin Mas Azka, ya, Mbak?”

“Gapapa, kok, santai aja.” Mbak Dian tersenyum manis. Duh, sabarnya Mbak Dian … salut aku.

“Mas, kamu apain Mbak Dian sampai mau nangis begitu?” Tanyaku sama Mas Azka yang baru keluar dari kamar mandi.

Suamiku melirik lalu berjalan melewatiku begitu saja.

“Mas?” Bola mataku mengikuti langkah Mas Azka.

“Dian itu aneh,” jawab Mas Azka sambil menarik kursi dan duduk di kursi ruang makan. Aku sudah membuatkan teh hangat untuknya.

“Aneh bagaimana?” Kedua alisku menaut.

“Aku tidak mengenalnya tapi, dia memaksaku mengingat,” ujar Mas Azka dengan wajah tak senang. Aku mengulum senyum, begitu saja marah.

“Yang sabar dong, kan Mbak Dian cuma tanya.”

“Dia itu nggak sekedar tanya tapi memaksa.” Mas Azka mulai menaikkkan oktaf.

“Tinggal diiyain napa?”

“Ck! Kamu ini, bisa nggak sih nggak belain Dian terus? Dia itu nggak sebaik yang kamu kira.”

“Kok tahu?” Aku menatap.

“Feeling aja.”

Hahaha aku tertawa mendengar jawaban Mas Azka. Menilai orang hanya berdasarkan feeling, kan bisa aja meleset.

**

“Ras, nanti sore mau ada temanku datang ke rumah,” kata Mas Azka via telepon siang ini.

“Berapa orang?” Tanyaku.

“Dua orang aja.”

“Ok.”

Menutup sambungan telepon, aku lalu melanjutkan makan siang bersama rekanku Maretta yang biasa disapa Reta.

“Ada apa, Ras?” Tanya Reta setelah aku menaruh ponsel di meja samping piring makanku.

“Temannya Azka mau ke rumah.”

“Oh … teman kerja?”

Aku menggeleng,”temen lawas pas masih kuliah,”jawabku. Azka punya grup yang isinya mantan teman kuliahnya yang saat ini tinggal satu kota dengannya. Bukan yang pertama kalinya teman Azka berkunjung tapi, sudah beberapa kali. Tapi, ini sudah agak lama juga nggak ada yang main.

“Re, ada lowongan nggak sih di divisi kita?” aku bertanya sembari melihat cewek cantik yang duduk di hadapanku. Gadis itu diam sejenak dengan kening berlipat.

“Grace keknya mau resign deh, tapi, aku nggak tahu persisnya kapan,” sahut Reta.

Ah ya, Grace temanku satu divisi barusan menikah. Suaminya TNI dan ditugaskan ke luar Jawa. Mungkin dia mau resign karena mau mengikuti suaminya.

“Emang kenapa, Ras?”

“Aku ada teman, dia Janda, butuh kerjaan. Kasihan punya anak soalnya.” Pikiranku melayang ke Mbak Dian. Seandainya dia dapat bekerja di perusahaan tempatku bekerja kan lebih enak. Kerjanya office hour dan gajinya lumayan, masih ada bonus juga kalau mencapai target. Tujuanku sih, mau menolong aja, siapa tahu Mbak Dian bersedia kerja dan satu divisi denganku.

“Coba aja tanya Grace.”

Aku mengangguk.

Aku sampai rumah duluan dari pada Mas Azka. Mbok Wati sudah aku suruh nyiapin minuman sama camilan untuk teman-teman Azka nanti.

“Non Laras, Mbok pulang dulu, ya?” Pamit Mbok Wati padaku.

“Iya, Mbok, makasih, ya.”

Sepeninggal Mbok Laras, mas Azka pulang. Ada sebuah mobil lain mengikuti mobil suamiku dari belakang. Itu pasti temannya.

“Hai, Ras, apa kabar?”

Aku tersenyum pada Fahri dan Pupung, dua teman Mas Azka.

“Baik,” jawabku tersenyum. Aku mengenal teman-teman Mas Azka meskipun tidak akrab. Mereka dulu hadir di resepsi pernikahanku.

Mas Azka memilih duduk di teras luar bersama teman-temannya. Setelah menyapa dan mengeluarkan minuman, aku masuk ke kamar. Kebetulan, kamarku ada di depan, tepatnya di samping teras. Ada jendela kaca juga yang menghadap ke jalan.

Sambil rebahan, telingaku juga mendengar obrolan seru para lelaki. Candaan mereka kadang menjurus, membuat aku ikut mengulum senyum.

Suara sepeda motor seperti berhenti di depan rumah. Aku melihat ke luar jendela. Itu Mbak Dian pulang kerja naik ojol, ia masih mengenakan seragam minimarket. Suara canda dan tawa suamiku dan dua temannya mendadak berhenti. Bibirku mengulas senyum, biasa lah lelaki kalau lihat perempuan cantik suka langsung kicep. Gantian matanya yang bekerja.

“Siapa tuh, Ka?” Suara Fahri bertanya pada Mas Azka. Nah kan, benar. Langsung gercep.

“Nggak kenal gue,” sahut Mas Azka. Dih! Mas Azka segitunya, pakai bilang nggak kenal Mbak Dian. Sombong.

“Kek pernah lihat mukanya.” Suara Pungky yang akrab dipanggil Pupung.

“Gue juga lagi mikir gitu,” ujar Fahri.

“Itu si Nana keknya!” Suara Pupung girang, seperti orang yang berhasil menebak teka-teki.

“Weh, iya, lho! Itu Nana. Lo ingat nggak, Ka?”

“Masak sih, kok penampilannya beda jauh?” suara yang ini agak pelan.

Bola mataku bergerak ke samping, itu suara Mas Azka. Apakah dia sudah mengingat kembali siapa mbak Dian?

Bersambung

Related chapters

  • Janda Lugu tapi Palsu   PoV Diana alias Nana

    Janda Lugu Tetanggaku 7Bab 7 PoV Diana alias NanaIri“Setelah anak itu lahir, aku akan menceraikanmu.” Aku terdiam mendengar ucapan Mas Ammar, suamiku. Menghela nafas sembari menatap perut yang menggunung, aku hanya bisa pasrah. “Setelah itu, kau juga harus pergi dari sini beserta anakmu itu.” Mama Santi, Ibu Mertuaku ikut bersuara dengan mata yang melirik sinis.“Ini anak Ammar juga, Ma …”ucapku pelan. “Enak saja! Itu anak siapa? Hanya kau dan Tuhan yang tahu, Nana.” Mas Ammar tertawa mengejek. “Betul. Memalukan saja!” Mama Mertua melengos. “Tapi, memang benar kau pernah meniduri aku sebelum kita menikah, Ammar.” mataku melebar berusaha mengingatkan lelaki itu akan perbuatannya dulu. Dia adalah kekasihku terakhir. “Aku?” Hahaha, Ammar tertawa keras meski terdengar sumbang, karena memang tak ada yang sedang melawak di sini. “Aku hanya yang ketiban apes!” mata Ammar melotot padaku, “menjijikkan,” katanya lagi dengan meludah di lantai.Aku menelan ludah dengan memejamkan mata s

    Last Updated : 2023-11-07
  • Janda Lugu tapi Palsu   Mencarikan Pekerjaan

    Janda Lugu Tetanggaku 8Bab 8 Mencarikan pekerjaan Ngapain juga Mas Azka harus ngomong pelan-pelan? Dahiku mengerut. Aku tuh nggak suka nguping. Beringsut, akupun memilih turun dari tempat tidur dan berjalan ke luar kamar. Mau ngapain, ya? Setelah minum air putih dari kulkas, aku pun mencari kesibukan dengan membuat bolu. Mengambil tepung terigu, telor, gula, susu, mixer, timbangan digital mini dan sebagainya, aku mulai sibuk dengan resep bolu yang sudah di luar kepala. “Hai, bikin apa, sayang?” Tanya suamiku yang tiba-tiba sudah berada di dapur dengan membawa nampan berisi gelas-gelas kosong dan toples cemilan di nampan. Aku yang barusan memasukkan loyang berisi adonan ke dalam oven, menoleh dan tersenyum lebar. “Bikin bolu,” jawabku sambil menutup oven sekaligus mengatur suhunya. “Fahri sama Pupung sudah pulang,” kata Mas Azka sambil menaruh gelas kosong ke dalam washtafel. “Wah, sayang dong, nggak ngerasain bolu buatan aku.” Bibirku menekuk ke bawah. Kecewa. “Kirain kamu

    Last Updated : 2023-11-07
  • Janda Lugu tapi Palsu   Rekan satu tim

    Janda Lugu Tetanggaku 9Bab 9Satu team dengan Mbak Dian“Sudah selesai, Mbak?”Aku menyambut Mbak Dian yang keluar dari ruangan HRD. Hari ini adalah interview penentuan diterima atau tidaknya Mbak Dian bekerja di kantorku.“Sudah.” Mbak Dian tersenyum semringah. “Terus, hasilnya apa?” Aku menjejeri langkahnya. “Nanti dikabari,” jawab Mbak Dian mengangguk. “Jangan khawatir, Mbak, nanti aku bantu meyakinkan Pak Andre,” kataku ikut senang. Semoga saja Mbak Dian bisa bekerja di sini bersamaku satu divisi. Aku nggak masalah kok, semisal gaji Mbak Dian disamakan dengan aku yang lebih senior. Kasihan, Mbak Dian punya tanggungan anak. Kalau aku kan enggak. Gajiku utuh malah ditambahin sama Mas Azka. Rencana aku ingin membeli mobil impianku sendiri nanti kalau tabunganku sudah cukup.“Mbak Dian pulang naik apa?” Tanyaku. Kebetulan ini sudah jam makan siang.“Nggak tahu, nih. Naik gojek paling,” sahut Mbak Dian. “Aku mau ngajak makan siang, sih ….” ucapku ragu, takut Mbak Dian menolak. Se

    Last Updated : 2023-11-07
  • Janda Lugu tapi Palsu   Kejadian itu/ PoV Azka

    Janda Lugu Tetanggaku 10Bab 10PoV AzkaKejadian ituAku begitu kaget saat terbangun. Tatapanku membeku pada perempuan yang duduk di kursi sembari mengangkat sebelah kaki untuk dipakaikan stoking tipis warna hitam. Perempuan itu lalu berdiri dan meraih rok span berbahan kulit berwarna coklat mengkilap. Astaga! Segera aku memalingkan wajah, menyadari kalau sedari tadi perempuan itu tak mengenakan bawahan. Bentuk celana G-string terlihat jelas menampilkan bo-kong yang penuh dan meluber dari balik stoking hitam tipis menerawang. “Hai, sudah bangun?” Perempuan itu menoleh padaku, tawanya renyah dan ceria. Dia merebahkan badannya setengah tengkurap tepat di depanku. Bola kenyal di dadanya menyembul dipercantik dengan belahan dada yang mengundang. Dengan dada yang berdebar kencang, aku bergegas menyibakkan selimut dan melemparnya sembarang. Saat itulah aku kelincutan sendiri. Botolku menggelantung tanpa tutup! Bang-sat, apa yang terjadi sebenarnya, di mana pakaianku? Mataku bergerak lia

    Last Updated : 2023-11-07
  • Janda Lugu tapi Palsu   Yang Pertama

    Janda Lugu Tetanggaku 11Bab 11Langka“Gaes, besok presentasinya, ya, suapan mental baik-baik.” aku memberi semangat pada team-ku. Adi menunjukkan ibu jarinya, pertanda siap. Reta menaikkan kedua alis dengan matanya tertuju ke arahku. Dia juga sudah siap.“Mbak Dian sudah selesai?” Tanya Adi pada Mbak Dian yang sedang serius menatap layar komputer. “Tinggal dikit, nanti malam aku selesaikan. Ras, pinjam dulu macbook-mu, ya?” Mbak dian melempar pandangan padaku. Aku terdiam sejenak. Sudah dua hari meminjam, belum selesai juga? “Gapapa, kan, Ras?” Ulang Mbak Dian. Aku mengulas senyum lalu mengangguk. Gapapa, lah, nanti aku bisa pakai laptop Mas Azka. Saat makan siang, aku, Rere dan Mbak Dian makan bareng di cafe depan kantor. Di sini lumayan enak tempatnya. Kalau jam makan siang dipadati sama karyawan kantoran yang menempati Menara Satura, gedung dua puluh delapan lantai tempat kantorku bernaung. Tak hanya kantorku, di gedung ini ada ratusan perusahaan yang membuka kantornya di sini

    Last Updated : 2023-11-20
  • Janda Lugu tapi Palsu   Ide yang sama?

    Janda Lugu Tetanggaku 12Bab 12Ide yang sama?“Coba dong, biar Azka sendiri yang jawab, masak seganteng itu belum pernah pacaran?” Mbak Dian mengulum senyum. Mas Azka menatap lurus sedangkan aku merasa senang dengan pertanyaan Mbak Dian. “Memang Azka ini nggak pernah punya pacar sebelumnya. Tante tahu itu soalnya belum pernah ada yang serius dikenalin ke Tante selain Laras.” Mama yang menjawab. “Kalau pas di Semarang gimana, Ka? Masak nggak punya pacar juga?” Nada suara Mbak Dian lemah lembut tapi, pertanyaannya itu seperti mencecar suamiku. Apa Mbak Dian nggak percaya kalau Mas Azka ini memang tidak pernah punya Mantan sebelumnya?Mas Azka tak pernah mau membuka mulut meski dicecar Mbak Dian. Beruntung, Mama selalu punya jawaban. Seperti halnya aku, Mama pun yakin kalau Mas Azka anak baik, tidak bandel dan punya hoby mengoleksi mantan. “Azka ini anak baik dari kecil.” Mama melihat Mas Azka yang wajahnya ditekuk dari tadi. Suamiku ini sudah sejak lama menunjukkan ke tidaksukaannya

    Last Updated : 2023-11-20
  • Janda Lugu tapi Palsu   Teman atau Ular?

    Janda Lugu Tetanggaku 13Bab 13Serigala berbulu DombaMata Pak David menyipit menatapku. Aku menelan ludah karena detak jantungku yang berlipat. Selama bekerja di sini tak pernah sekalipun aku mengecewakan Pak David. Bisa dibilang aku ini staf andalan Pak David di divisi marketing.“Apa maksudnya belum siap, Laras? Bukannya kau sendiri yang merencakan meeting ini? Seharusnya kau yang paling siap.” Pak David menegur. Ya, meskipun Pak David baik denganku tetapi beliau tetap profesional. Sebagai atasan, pak David terap akan menegur bila aku bersalah. Bola mataku bergerak melirik Mbak Dian. Perempuan itu masih sibuk sendiri dengan catatannya seolah mengabaikan diriku yang kebingungan dan mendapat teguran dari Pak David. “M-maksud saya … materi presentasi saya belum final, Pak.” aku mengangguk dan mengembuskan nafas. Hatiku sedikit lega karena merasa mendapatkan jawaban yang masuk akal. “Saya kecewa sama kamu, Laras.” Pak David menatapku, “kalau ternyata belum siap, jangan request mee

    Last Updated : 2023-11-21
  • Janda Lugu tapi Palsu   Karir Melesat

    Janda Lugu Tetanggaku 14Bab 14Karir melesat“Mbak, maaf, ya, aku mau tanya.” Mbak Dian seketika menghentikan bicaranya yang menggebu-gebu. Dia menatapku. “Kenapa, ya, aku yakin kalau materi yang Mbak Dian presentasikan tadi menjiplak milikku?” Aku berhati-hati dalam merangkai kalimat, takut menyinggung perasaan mbak Dian. Perempuan di depanku membisu. Wajahnya berubah sendu dan pandangannya menunduk. “Maaf, ya, Ras, aku memang menjiplak idemu …” akhirnya dia mengaku meskipun dengan suara lirih yang mungkin hanya dia sendiri yang mendengar. Malu kah?“Kenapa tidak bilang kalau menjiplak, Mbak?” Aku menghindari kata ‘mencuri’ dengan menggantinya dengan ‘menjiplak’ agar lebih halus. Sekali lagi, aku tak ingin mempermalukan orang meskipun di sini tak ada orang selain aku dan Mbak Dian. Hiks … hikss. Terdengar pelan suara tangisan Mbak Dian. Aku jadi kasihan, apa aku terkesan mencecarnya? “Kau tahu kan, Ras … sebagai orang baru yang minim pengalaman aku merasa rendah diri berada di

    Last Updated : 2023-11-21

Latest chapter

  • Janda Lugu tapi Palsu   Sudah tak Marah/END

    Janda Lugu Tetanggaku 38Bab 38Sudah Tak Marah“Tidak ada yang memaksa Anda, Dian. Jika tidak setuju, silakan menolak.” Pak Rudi menengahi. Mas Azka melihat padaku. Dari pertama, suamiku ini sudah sangsi dengan ideku. Mas Azka tak percaya Mbak Dian akan menyerahkan begitu saja anaknya. Aku meyakinkan Mas Azka, kalau uang dapat merubah pikiran Mbak Dian. Tunggu dulu … aku belum berbicara tentang uang. “Jadi Mbak Dian menolak?” Tanyaku setelah merasa lebih percaya diri. “Jelas lah, kau minta imbalan anakku, bikin sendiri, buktikan kalau kamu tidak mandul, Ras.” Mbak Dian tersenyum mengejek. Aku masih berusaha tersenyum, walau dalam hati, aku sangat ingin memaki mbak Dian. “Kalau tidak mau, ya sudah, aku tidak akan menolong Mbak Dian dan tidak akan mengurusi Lova. Kau tau, Mbak … tak ada yang gratis di dunia ini!” “Benar, Ras,” kata Mas Azka seraya melihat Mbak Dian, “tak ada yang memaksamu untuk setuju.” Mas Azka beranjak dan berdiri di belakang kursiku. Mbak Dian mengamati. “Sek

  • Janda Lugu tapi Palsu   Menolong dengan Syarat

    Janda Lugu Tetanggaku 37Bab 37Menolong dengan syarat“Angkat, Mas.” aku melihat suamiku, dia mengangguk lalu mengusap layar ponsel. Tak lupa, Mas Azka juga menyalakan loudspeaker agar percakapannya dengan Mbak Dian terdengar pula olehku. “Halo?” Sapa Mas Azka. “Azka, tolong gue, Ka.” terdengar suara panik Mbak Dian meminta pertolongan. Bola mata Mas Azka bergerak ke arahku. “Gue nggak mau urusan apapun sama elu,” sahut Mas Azka ketus.“Bodo amat, elu harus nolongin gue. Cariin pengacara, Ka. Lekas!” Ucap Mbak Dian main perintah aja. “Bawa sini.” bisikku sembari meminta ponsel Mas Azka. “Ada apa, Mbak?” Tanyaku sambil berjalan menjauh dari Lova. Mas Azka gantian menghibur gadis kecil itu sembari memasang antena telinga lebih tinggi. “Laras, elu kan baik hati dan tidak sombong. Elu harus tolongin gue!” Mbak Dian berteriak. Sok-sok an memujiku padahal Mbak Dian sering mengolokku o’on. Aku tau. “Tolongin apa?” Tanyaku datar. Sebenarnya aku tidak tertarik lagi dengan Mbak Dian. Ba

  • Janda Lugu tapi Palsu   Lalai

    Janda Lugu Tetanggaku 36Bab 36LalaiGaris polisi berwarna kuning bertuliskan dilarang melintas masih terpasang di depan pintu tempat tinggal Mbak Dian. Ada dua unit rumah yang terbakar, yaitu rumah Mbak Dian dan sebelahnya. Sayangnya, rumah Mbak Dian yang lebih parah. “Kita nggak boleh masuk, Ras,” kata Mas Azka yang terus merangkul pundakku. Aku menarik nafas yang tersendat. Tidak tau apa yang terjadi sebab aku tak mendapatkan informasi yang akurat. Dari bawah tadi, aku sempat melihat area luar jendela rumah Mbak Dian yang menghitam karena terbakar. Semalam aku tak dapat ke sini jadi pagi ini aku datang untuk melihat lokasi kejadian. “Mas, kita harus bertanya pada seseorang,” kataku sambil melihat situasi. Siapa tau ada yang melintas dan bisa kutanya. Para penghuni di sini pada cuek, mungkin karena hanya insiden kebakaran kecil yang tak merugikan mereka. Tapi buatku, ini sangat penting. Sampai sekarang, aku tak tau kabar mbak Dian maupun Lova. Ponsel Mbak Dian tidak aktif. “Seb

  • Janda Lugu tapi Palsu   Kebakaran

    Janda Lugu Tetanggaku 35Bab 35KebakaranAku terdiam menatap onggokan goodie bag dan paperbag di sudut ruangan. Menghela nafas panjang dan berusaha menepis rindu yang membuncah. Semua itu adalah baju-baju dan mainan milik Lova yang aku beli tempo hari. Semuanya masih baru dan belum terjamah. Kemaren aku tak sempat menyerahkan pada Mbak Dian saat ia mengambil Lova di jalan. “Sudahlah, biar aku masukkan gudang saja,” kata Mas Azka seraya mengangkat barang-barang itu. Suamiku tak suka melihatku bersedih. Beberapa hari yang lalu, Mas Azka sudah memperingatkan aku untuk tak terlalu larut dalam kesedihan memikirkan Lova. “Lova sudah bersama ibunya,” ucap Mas Azka saat itu. Aku mengangguk tapi, entah kenapa rindu ini tak juga lenyap. Senyum dan tawa Lova seakan menghantui benakku. “Mas, jangan diberesin, nanti kapan-kapan biar aku kirim ke rumah Mbak Dian,” kataku menahan Mas Azka yang sedang memberesi barang-barang Lova. Mas Azka menoleh padaku, “kau tau rumahnya?” Aku mengangguk, “ta

  • Janda Lugu tapi Palsu   Diminta di Jalan

    Janda Lugu Tetanggaku 34Bab 34Diminta di JalanSeminggu sudah berlalu semenjak Mbak Dian kabur meninggalkan rumahku karena misinya yang gagal. Anehnya, selama itu pula dia tidak meneleponku atau Mama untuk memberitahu keberadaannya. Minimal menanyakan Lova lah, kan bocah itu anaknya. Atau mungkin ia ibu durhaka yang melupakan anaknya?Aku tidak peduli. Hidupku kembali normal, adem dan bahagia bersama Mas Azka. Mbok Wati juga bergembira sebab mendapatkan pekerjaannya kembali. Ada yang berbeda, sekarang di rumahku bertambah ramai dan seru karena adanya Lova. Ya! Bocah itu sekarang tinggal bersamaku. Kalau pagi sampai sore, Lova di rumah bersama Mbok Wati karena kutinggal bekerja bersama suamiku. Malamnya aku dan Mas Azka yang mengasuh Lova. Anak itu cerdas dan lucu. Dia bahkan sekarang sudah pandai berceloteh lancar. Suasana rumah menjadi semakin hidup, ceria dan bersemangat dengan adanya Lova.Aku membelikan baby chair untuk Lova supaya dia dapat makan sendiri. Mas Azka membelikan

  • Janda Lugu tapi Palsu   Anaknya ditinggal

    Janda Lugu Tetanggaku 33Bab 33Anaknya ditinggal Aku jadi bingung antara membukakan pintu kamar untuk membebaskan Mama atau mengejar Mbak Dian. Ah, sial! Mbak Dian sudah kabur dengan mobilnya. Aku hanya bisa melihat ke jendela saat mendengar raungan mobilnya. Tanpa buang waktu, akupun mencari kunci cadangan untuk membuka pintu kamar. “Kurang ajar, Dian!” Begitu yang diteriakkan Mama setelah pintu berhasil aku buka. “Ke mana dia?” Mama setengah berlari menuju pintu keluar. “Mbak Dian melarikan diri, Ma. Tadi Laras melihat dia lari lewat pintu belakang dan kabur dengan mobilnya.” Ujarku dengan wajah kesal. “Mama didorong sampai terjungkal di kasur, habis itu dia berlari keluar dan menutup serta mengunci pintunya!” Omel Mama marah-marah. Astaga! Aku jadi teringat Mas Azka yang aku rendam di kamar mandi. Berlari aku memasuki kamar dan langsung membuka pintu kamar mandi. Tampak lelakiku sedang berdiri di depan cermin. Mas Azka sudah selesai mandi rupanya. Ah, lega rasanya, kupikir

  • Janda Lugu tapi Palsu   Kabur

    Janda Lugu Tetanggaku 32Bab 32Masih PoV DianKaburTok tokTerdengar pintu kamarku diketuk. Aku terkesiap, itu pasti Laras. Berjalan ke pintu, akupun membukanya. Memang benar, Laras yang sekarang berdiri di depan pintu kamarku. “Mbak, ajak Lova makan. Aku sudah masak nasi dan beli lauknya,” kata Laras. Aku mengangguk. Semenjak nggak ada mbok Wati, Laras dan Azka selalu membeli lauk untuk makan malam. Mereka tidak mau memakan masakanku, mungkin takut aku guna-guna atau racuni. Dasar O’on, kalau aku mau meracun mereka, sudah aku lakukan dari dulu. Sampai di meja makan, aku mem lihat Laras sedang menikmati makanannya. Melihat nasi yang masih mengepul di piring Laras, aku tersenyum dalam hati. Kena kau, Laras. Hahah. “Ambilkan Lova makan, Mbak,” kata Laras. Aku mengangguk. Sebenarnya Laras ini tidak peduli padaku, dia menawari aku makan karena Lova. Laras tak ingin membiarkan Lova tidur kelaparan. Aku tertegun sejenak saat akan mengambil nasi. Masak aku harus memakan nasi ini? Senj

  • Janda Lugu tapi Palsu   Rencana Pamungkas

    Janda Lugu Tetanggaku 31Bab 31Rencana Pamungkas DianNggak sampai setengah jam, mobil Mas Azka sudah sampai rumah. Aku turun duluan dan langsung masuk melalui pintu samping. Rumah sepi, meskipun baru sekitar jam delapan malam. Aku segera mencari Mbak Dian. Langkahku terhenti saat melihat perempuan itu bergulung di sofa panjang tuang tengah sembari cekikikan centil dengan ponselnya. Berasa tuan rumah saja, dasar nggak punya malu. Bertambah kesal rasa hatiku. “Mbak Dian!”Seketika Mbak Dian membelalakkan mata melihat kehadiranku. Saking asyiknya bercengkerama dengan ponsel, dia tak menyadari kepulanganku dan Mas Azka. “Laras? Ngagetin saja.” Mbak Dian segera mematikan ponsel ya dan berpindah posisi duduk. Suara langkah kaki Mas Azka terdengar mendekat. “Apa maksud Mbak Dian memecat Mbok Wati?” Tanyaku langsung ke inti. Kepala Mvak Dian bergerak ke atas sedikit dan melihatku yang berdiri tak jauh darinya. “Oh, sudah kuduga, pasti perempuan tua itu sudah mengadu macam-macam denganm

  • Janda Lugu tapi Palsu   Akal Bulus

    Janda Lugu Tetanggaku 30Bab 30Akal Bulus“Mbok, baju saya kemaren malam dipakai sama Mbak Dian, kok bisa?”tanyaku pada Mbok Wati siang itu di dekat kamar mandi belakang saat pembantuku habis mengangkat jemuran. Mbok Wati melirik pintu kamar yang dihuni oleh Mbak Dian. Pintu kamar itu tertutup, tadi aku sudah melongok ke dalamnya. Mbak Dian dan Lova sedang bobok siang. “Nggak usah takut, Mbak Dian sedang tidur sama Lova.” aku menepis kekhawatiran mbok Watik. Perempuan itu takut bila Mbak Dian nanti mendengar jawabannya. “Anu, Non, saya sudah bilang agar jangan ngambilin baju-baju Non Laras tetapi, Bu Dian tak menghiraukan,” jawab Mbok Watik kesal. Baju-baju katanya? Berarti nggak hanya satu dong? Bola mataku berputar. “Emang dia sering ngambilin baju saya?” Menatap Mbok Wati. Pembantuku mengangguk, “sering, Non, terutama kalau siang hari pas Non Laras nggak ada di rumah.”Jadi begitu? Jangan-jangan Mbak Dian juga yang mengambil peralatan make up ku? Secara ada beberapa yang men

DMCA.com Protection Status