Janda Lugu Tetanggaku 4
Bab 4Iklasin aja“Lu aja ‘kali bantu, aku sih noway!” Sahut Mas Azka cuek.“Jangan begitu, dong, Mas. Kita ini wajib membantu orang yang susah, termasuk para Janda seperti Mbak Dian. Lihat dong, dia nggak kerja, punya anak, gimana makannya kalau dia nggak banting tulang?” Aku berusaha menjelaskan pada Mas Azka betapa susahnya Mbak Dian menjadi Janda yang membesarkan anak sendirian.“Banting tulang gimana?” Mata Mas Azka melotot, “orang Dian baik-baik saja. Nggak kerja bisa makan, kok?”“Ya ampun, Mas. Mbak Dian itu cerita kalau tabungannya tiap hari kian menipis buat beli keperluan. Kasihan dia itu.” aku melempar kapas bekas membersihkan wajah di tempat sampah.“Mana kau tahu tabungannya habis?”Mas Azka bertanya penuh selidik.“Ya dari cerita Mbak Dian,” jawabku mengangguk.“Bagaimana kalau kamu dibohongi?”“Nggak mungkin lah, Mas.” aku menggeleng cepat, “tampangnya Mbak dian aja baik, jujur, lugu, mana mungkin dia berbohong?”Haha, terdengar tawa kecil suamiku.“Laras, kamu itu jangan terlalu naif,” Mas Azka menatapku dengan mengulum senyum. “Nggak semua orang itu baik, kamu perlu curiga sesekali, jadi orang jangan terlalu baik. Mengerti?”Aku memanyunkan bibir mendengar omongan Mas Azka. Bukannya aku terlalu baik tapi, aku hanya ingin suamiku tidak jahat dengan Mbak Dian.“Aku mau tidur. Kamu mau tidur, nggak?” Mas Azka bergeser dan menggelar selimut menutupi badannya.“Mau dong, hihi.” dengan gembira aku melepas ikat rambut dan bergegas masuk ke selimut. Mas Azka menarik selimut hingga rapat ke kepala. Tubuhku merapat dengan kepala dusel ke ketiak suamiku.“Buka bajunya,” bisik Mas Azka.“Hihi, wokeyy,” sahutku bersemangat dan tertawa.Baju tidur tipis, bra dan CD auto melayang terlempar keluar dari dalam selimut.Ihik … ihik ….Lampunya belum dimatikan. Gubrak!**“Suamiku kalau gajian ditransfer ke rekeningku semua, Mbak,” jawabku saat Mbak Dian bertanya berapa gaji Mas Azka.“Wah, beruntungnya, kamu, Ras,” sahut Mbak Dian dengan mata berbinar. Aku menyambut dengan senyum di wajah.“Beda sama aku dulu …” mbak Dian seperti bergumam, matanya menatap jauh ke luar pintu. Aku yang sedang bermain dengan Lova memperhatikan.“Emang suaminya dulu kenapa, Mbak?” Tanyaku.Mbak Dian menghela nafas, “suamiku hanya baik di awal saja, setelah aku hamil dan memiliki anak, dia berubah drastis.”“Berubah drastis bagaimana?” Aku tidak mengerti.“Ya, gitu, dari yang tadinya baik jadi cuek, acuh, kasar, membentak.” suara Mbak Dian bergetar, dia menjadi sedih. Aku menelan ludah, terbawa suasana hingga menjadi iba.“Keluarganya juga jadi memusuhi aku, terutama ibunya.” Mbak Dian terdiam melamun. Mungkin sedang mengingat kejadian pahit di masa lalu.“Kalau aku Alhamdulillah, Mamanya Mas Azka baik banget, sayang sama aku.” bibirku tersenyum saat mengingat kebaikan Mama Amy, Mama Mertuaku yang cantik dan baik hati.“Nasibmu baik, Ras.” Mbak Dian mengulas senyum. Aku mengangguk.“Kalau orang tuamu sendiri di mana, Ras?”“Papaku udah nggak ada, Mbak, sedangkan Mama balik ke Jerman setelah aku menikah. Saudara Papa terdekat tinggal di Bandung,” jawabku.“Oh, Mamamu orang Jerman?” Mata Mbak Dian membulat. Aku mengangguk lagi.“Pantas aja, kamu cantik, tinggi kek Mawar de Jong. Kulitmu putih, hidung mancung dan rambut kecoklatan seperti bule.” Mbak Dian tertawa. Mataku mengerjap dibilang cantik seperti artis.Setelah itu Mbak Dian terdiam dan menatapku lama. Kenapa?“Mbak, ada apa?” Tanyaku dengan memiringkan sedikit kepala melihat Mbak Dian.“Aku iri denganmu, Ras ….” suaranya lirih.Keningku mengerut, iri denganku? Kenapa?Hahaha, tiba-tiba Mbak Dian tertawa lebar. “Kamu jangan berpikiran negatif, Ras, aku iri dengan kebahagiaanmu, Ras. Doain aku bisa seperti kamu, ya, punya suami dan Mertua yang baik.” Mata Mbak Dian terlihat berkaca-kaca.Aaaaa, aku mengulurkan tangan, “sini, peluk, Mbak ….”Kasihan Mbak Dian, dia hanya ingin disayang.**[Ras, kamu mau ke supermarket, nggak]Sebuah pesan WA dari Mbak Dian mampir di ponselku. Gegas aku membalas.[belum tahu, Mbak. Emang napa][Bareng][Oh, ok]Setiap bulan aku memang ke supermarket untuk belanja bulanan. Nggak banyak, sih, paling beli sabun, odol, sampo, mie cup, cemilan, sama mungkin Mas Azka nitip sesuatu. Aku nggak pernah beli sembako kek beras, telur, minyak goreng, sayuran dan sebagainya. Mama Mertua setiap bulan mengirim semuanya itu ke rumahku. Tadinya aku nggak mau dikirimi beras segala tapi, Mama Mertua memaksa. Katanya uang pensiun Papa terlalu banyak kalau dinikmati sendiri. Hahaha.Ya udah, aku terima deh. Kebetulan dan ngirit banyak, biar tabunganku tambah buncit.“Aku udah transfer,” kata Mas Azka di mobil saat menjemputku pulang kerja.“Makasih, sayang.” aku mengerling manja pada suamiku.“Mampir ATM, nggak?” Mas Azka menoleh.“Iya lah, sekalian.”Setiap bulan aku mengambil uang cash buat pegangan. Nggak banyak sih, paling 800 sampai 1 juta. Buat jajan aja sama temen kantor, kan biaya listrik, air, sampah dan lain-lain sudah dibereskan sama suamiku.Sampai rumah, aku membuatkan teh untuk Suami. Itu aja tugasku, bikinin minum buat Suami, hehe. Cuci baju udah mesin, nyapu, ngepel, bersih-bersih, aku bayar orang. Enak kan?“Mas, ntar malam anterin belanja ke supermarket, ya?”Mas Azka mengangguk. Udah kebiasaan setiap habis gajian, kami berdua pasti ke supermarket buat belanja. Sekalian nanti jalan-jalan, makan atau nonton bioskop. Aku menikmati banget hari-hariku bersama Suami, mumpung belum dikaruniai momongan.[Mbak, aku mau ke supermarket bentar lagi]Klik. Aku mengirim pesan ke Mbak Dian. Katanya dia mau bareng.[Oh. Ok, bareng] balas Mbak Dian.Sengaja aku nggak bilang Mas Azka kalau mengajak Mbak Dian. Biar aja nanti kesannya nggak sengaja ketemu Mbak Dian. Malas aku kalau bilang, pasti suamiku nggak mau dan mengomel.“Eh, ada Mbak Dian.” aku menunjuk ke depan rumah. Di sana ada Mbak Dian dan Lova yang bersiap keluar rumah. Mas Azka menoleh, wajahnya berubah asem seketika. Aku pura-pura nggak lihat dan berjalan cepat membuka pagar rumahku.“Mau ke mana, Mbak?” Tanyaku.“Ke Supermarket.”“Iihh, sini, sini, Lova sama Tante.” aku mengambil Lova dari gendongan Mbak Dian dan membawanya mendekat ke Mas Azka.“Halo, Om.” aku menyapa suamiku dengan suara kecil mirip anak-anak. Mas Azka melihat baby Lova.“Cium, dong, Om,” kataku lagi. Lova tertawa riang, tangannya mengulur seolah ingin ikut suamiku. Mas Azka kemudian mencium pipi Lova. Wajah asemnya sirna berganti senyuman yang membuat Mas Azka terlihat lebih ganteng.Siasatku berhasil, Yes! Mbak Dian dapat berbelanja ke supermarket bersamaku.Sambil menggendong Lova di bahu, Mas Azka mendekat ke meja kasir. Matanya melihat deretan angka di mesin kasir.“Semuanya 429 ribu, Mbak,” ucap Mbak Kasir. Aku mengangguk dan membayar tagihan dengan uang cash. Mas Azka kemudian melirik trolley yang penuh dengan belanjaan.“Kamu belanja apa aja, Ras, sampai habis banyak?” Tanya Mas Azka setelah tiba di rumah.“Oh, ini.” aku menunjukkan tas plastik ukuran sedang pada Mas Azka. Isinya sabun, odol, sampo, vaselin, minyak rambut pesanan Mas Azka dan beberapa cemilan.Mas Azka melongo.“Cuma itu?” tunjuk Mas Azka. Aku mengangguk. Kan emang segitu keperluanku.“Bukannya tadi kau belanja habis hampir setengah juta, Ras?” Suamiku melebarkan mata.“Oh, itu? Bukan belanjaanku tapi, punya Mbak Dian,” jawabku santai.“Astaga, Laras! Kamu ini cuma belanja seratus ribu sedangkan yang tiga ratus ribu lebih kamu bayarin belanjaan Dian?““Iya.” aku mengangguk kuat. Mas Azka membuang nafas kasar, dia menatapku.“Kamu itu jangan bego-bego, dong.” ucapnya kemudian.Mataku mendelik, “eh, nggak boleh lho, ngatain istrinya bego, dosa” ujarku menekuk wajah.“Kamu kan ngasih aku uang banyak, Mas, dan ada sebagian dari uang itu yang harus diamalkan.” aku menceramahi suamiku agar dapat pencerahan. Pelit itu nggak boleh.“Ini beda, Ras. Dian itu ngerjain kamu!” Suara Mas Azka mulai meninggi.“Pssst!” aku menutup mulut Mas Azka dengan telapak tanganku yang wangi.“Nggak boleh marah. Anggap aja itu rezekinya Mbak Dian. Iklasin aja, Ok, sayang?”“Astaga!” Mas Azka nyebut untuk yang kesekian kali. Aku menoleh. Tatapannya itu lho, kok seperti mau menelanku. Salahku di mana, coba?BersambungJanda Lugu Tetanggaku 5Bab 5Susunya Mbak DianHari Sabtu dan Minggu adalah hari weekend buat aku dan Mas Azka. Kami berdua libur bekerja. Setelah sarapan pagi berdua, aku dan suami duduk santai di rua g tamu sambil menunggu kedatangan Mama Mertua. Kemaren Mama sudah telepon mau datang. Seperti biasa kalau habis mengambil uang pensiun, Mama pasti berkunjung ke mari dengan membawa segudang oleh-oleh. Utamanya sembako sama berbagai makanan enak atau kudapan masakan tangan Mama sendiri. “Lihat apa, Mas?” Aku mengawasi Mas Azka yang matanya melihat ke luar jendela kaca. Akupun menoleh ke belakang punggungku. Menyibakkan sedikit korden putih tipis transparan, aku melihat Mbak Dian sedang berada di depan rumahnya. Tepatnya di bawah pohon mangga dengan tangan yang membawa botol semprotan. Rupanya, Mbak Dian sedang merawat tanaman hidroponik miliknya dengan menyemprotkan air. “Lihatin Mbak Dian, ya?” Tanyaku pada Mas Azka. Suamiku menggeleng cepat. “Nggak,” sahutnya ketus. “Terus, lihat
Janda Lugu Tetanggaku 6Bab 6Teman lama“Mbak Dian, itu kancing bajunya yang atas lepas,” kataku menunjuk baju yang dikenakan Mbak Dian. Seketika Mbak Dian melihat padaku lalu menunduk melihat dadanya. “Oh, iya, maaf.” Perempuan itu lalu mengancingkan kemejanya dengan benar. Wajahnya agak gimana, gitu. Nah, kan, Mbak Dian itu nggak sengaja. Masak iya, dia mau pamer susu, kan nggak sopan. Mungkin, mbak Dian tadi tergesa-gesa mau jemput Lova jadi nggak sempat ngancingin baju dengan benar. Semoga suamiku nggak salah mengartikannya. Jangan sampai Mas Azka kebablasan menganggap Mbak Dian murahan. Mata Mama mengerjap melihat Mbak Dian mengancingkan kemejanya. Selanjutnya kami mengobrol hal yang ringan-ringan. Sesekali mataku melihat ke dalam, semenjak kejadian tadi, Mas Azka nggak keluar dari kamar. Malu aku sama Mbak Dian, Mas Azka emang kadang-kadang. Setelah Mbak Dian dan Lova pulang, aku bersama Mama Mertua dan Mas Azka berkumpul di ruang makan. Aku dan suami berebut es krim leza
Janda Lugu Tetanggaku 7Bab 7 PoV Diana alias NanaIri“Setelah anak itu lahir, aku akan menceraikanmu.” Aku terdiam mendengar ucapan Mas Ammar, suamiku. Menghela nafas sembari menatap perut yang menggunung, aku hanya bisa pasrah. “Setelah itu, kau juga harus pergi dari sini beserta anakmu itu.” Mama Santi, Ibu Mertuaku ikut bersuara dengan mata yang melirik sinis.“Ini anak Ammar juga, Ma …”ucapku pelan. “Enak saja! Itu anak siapa? Hanya kau dan Tuhan yang tahu, Nana.” Mas Ammar tertawa mengejek. “Betul. Memalukan saja!” Mama Mertua melengos. “Tapi, memang benar kau pernah meniduri aku sebelum kita menikah, Ammar.” mataku melebar berusaha mengingatkan lelaki itu akan perbuatannya dulu. Dia adalah kekasihku terakhir. “Aku?” Hahaha, Ammar tertawa keras meski terdengar sumbang, karena memang tak ada yang sedang melawak di sini. “Aku hanya yang ketiban apes!” mata Ammar melotot padaku, “menjijikkan,” katanya lagi dengan meludah di lantai.Aku menelan ludah dengan memejamkan mata s
Janda Lugu Tetanggaku 8Bab 8 Mencarikan pekerjaan Ngapain juga Mas Azka harus ngomong pelan-pelan? Dahiku mengerut. Aku tuh nggak suka nguping. Beringsut, akupun memilih turun dari tempat tidur dan berjalan ke luar kamar. Mau ngapain, ya? Setelah minum air putih dari kulkas, aku pun mencari kesibukan dengan membuat bolu. Mengambil tepung terigu, telor, gula, susu, mixer, timbangan digital mini dan sebagainya, aku mulai sibuk dengan resep bolu yang sudah di luar kepala. “Hai, bikin apa, sayang?” Tanya suamiku yang tiba-tiba sudah berada di dapur dengan membawa nampan berisi gelas-gelas kosong dan toples cemilan di nampan. Aku yang barusan memasukkan loyang berisi adonan ke dalam oven, menoleh dan tersenyum lebar. “Bikin bolu,” jawabku sambil menutup oven sekaligus mengatur suhunya. “Fahri sama Pupung sudah pulang,” kata Mas Azka sambil menaruh gelas kosong ke dalam washtafel. “Wah, sayang dong, nggak ngerasain bolu buatan aku.” Bibirku menekuk ke bawah. Kecewa. “Kirain kamu
Janda Lugu Tetanggaku 9Bab 9Satu team dengan Mbak Dian“Sudah selesai, Mbak?”Aku menyambut Mbak Dian yang keluar dari ruangan HRD. Hari ini adalah interview penentuan diterima atau tidaknya Mbak Dian bekerja di kantorku.“Sudah.” Mbak Dian tersenyum semringah. “Terus, hasilnya apa?” Aku menjejeri langkahnya. “Nanti dikabari,” jawab Mbak Dian mengangguk. “Jangan khawatir, Mbak, nanti aku bantu meyakinkan Pak Andre,” kataku ikut senang. Semoga saja Mbak Dian bisa bekerja di sini bersamaku satu divisi. Aku nggak masalah kok, semisal gaji Mbak Dian disamakan dengan aku yang lebih senior. Kasihan, Mbak Dian punya tanggungan anak. Kalau aku kan enggak. Gajiku utuh malah ditambahin sama Mas Azka. Rencana aku ingin membeli mobil impianku sendiri nanti kalau tabunganku sudah cukup.“Mbak Dian pulang naik apa?” Tanyaku. Kebetulan ini sudah jam makan siang.“Nggak tahu, nih. Naik gojek paling,” sahut Mbak Dian. “Aku mau ngajak makan siang, sih ….” ucapku ragu, takut Mbak Dian menolak. Se
Janda Lugu Tetanggaku 10Bab 10PoV AzkaKejadian ituAku begitu kaget saat terbangun. Tatapanku membeku pada perempuan yang duduk di kursi sembari mengangkat sebelah kaki untuk dipakaikan stoking tipis warna hitam. Perempuan itu lalu berdiri dan meraih rok span berbahan kulit berwarna coklat mengkilap. Astaga! Segera aku memalingkan wajah, menyadari kalau sedari tadi perempuan itu tak mengenakan bawahan. Bentuk celana G-string terlihat jelas menampilkan bo-kong yang penuh dan meluber dari balik stoking hitam tipis menerawang. “Hai, sudah bangun?” Perempuan itu menoleh padaku, tawanya renyah dan ceria. Dia merebahkan badannya setengah tengkurap tepat di depanku. Bola kenyal di dadanya menyembul dipercantik dengan belahan dada yang mengundang. Dengan dada yang berdebar kencang, aku bergegas menyibakkan selimut dan melemparnya sembarang. Saat itulah aku kelincutan sendiri. Botolku menggelantung tanpa tutup! Bang-sat, apa yang terjadi sebenarnya, di mana pakaianku? Mataku bergerak lia
Janda Lugu Tetanggaku 11Bab 11Langka“Gaes, besok presentasinya, ya, suapan mental baik-baik.” aku memberi semangat pada team-ku. Adi menunjukkan ibu jarinya, pertanda siap. Reta menaikkan kedua alis dengan matanya tertuju ke arahku. Dia juga sudah siap.“Mbak Dian sudah selesai?” Tanya Adi pada Mbak Dian yang sedang serius menatap layar komputer. “Tinggal dikit, nanti malam aku selesaikan. Ras, pinjam dulu macbook-mu, ya?” Mbak dian melempar pandangan padaku. Aku terdiam sejenak. Sudah dua hari meminjam, belum selesai juga? “Gapapa, kan, Ras?” Ulang Mbak Dian. Aku mengulas senyum lalu mengangguk. Gapapa, lah, nanti aku bisa pakai laptop Mas Azka. Saat makan siang, aku, Rere dan Mbak Dian makan bareng di cafe depan kantor. Di sini lumayan enak tempatnya. Kalau jam makan siang dipadati sama karyawan kantoran yang menempati Menara Satura, gedung dua puluh delapan lantai tempat kantorku bernaung. Tak hanya kantorku, di gedung ini ada ratusan perusahaan yang membuka kantornya di sini
Janda Lugu Tetanggaku 12Bab 12Ide yang sama?“Coba dong, biar Azka sendiri yang jawab, masak seganteng itu belum pernah pacaran?” Mbak Dian mengulum senyum. Mas Azka menatap lurus sedangkan aku merasa senang dengan pertanyaan Mbak Dian. “Memang Azka ini nggak pernah punya pacar sebelumnya. Tante tahu itu soalnya belum pernah ada yang serius dikenalin ke Tante selain Laras.” Mama yang menjawab. “Kalau pas di Semarang gimana, Ka? Masak nggak punya pacar juga?” Nada suara Mbak Dian lemah lembut tapi, pertanyaannya itu seperti mencecar suamiku. Apa Mbak Dian nggak percaya kalau Mas Azka ini memang tidak pernah punya Mantan sebelumnya?Mas Azka tak pernah mau membuka mulut meski dicecar Mbak Dian. Beruntung, Mama selalu punya jawaban. Seperti halnya aku, Mama pun yakin kalau Mas Azka anak baik, tidak bandel dan punya hoby mengoleksi mantan. “Azka ini anak baik dari kecil.” Mama melihat Mas Azka yang wajahnya ditekuk dari tadi. Suamiku ini sudah sejak lama menunjukkan ke tidaksukaannya
Janda Lugu Tetanggaku 38Bab 38Sudah Tak Marah“Tidak ada yang memaksa Anda, Dian. Jika tidak setuju, silakan menolak.” Pak Rudi menengahi. Mas Azka melihat padaku. Dari pertama, suamiku ini sudah sangsi dengan ideku. Mas Azka tak percaya Mbak Dian akan menyerahkan begitu saja anaknya. Aku meyakinkan Mas Azka, kalau uang dapat merubah pikiran Mbak Dian. Tunggu dulu … aku belum berbicara tentang uang. “Jadi Mbak Dian menolak?” Tanyaku setelah merasa lebih percaya diri. “Jelas lah, kau minta imbalan anakku, bikin sendiri, buktikan kalau kamu tidak mandul, Ras.” Mbak Dian tersenyum mengejek. Aku masih berusaha tersenyum, walau dalam hati, aku sangat ingin memaki mbak Dian. “Kalau tidak mau, ya sudah, aku tidak akan menolong Mbak Dian dan tidak akan mengurusi Lova. Kau tau, Mbak … tak ada yang gratis di dunia ini!” “Benar, Ras,” kata Mas Azka seraya melihat Mbak Dian, “tak ada yang memaksamu untuk setuju.” Mas Azka beranjak dan berdiri di belakang kursiku. Mbak Dian mengamati. “Sek
Janda Lugu Tetanggaku 37Bab 37Menolong dengan syarat“Angkat, Mas.” aku melihat suamiku, dia mengangguk lalu mengusap layar ponsel. Tak lupa, Mas Azka juga menyalakan loudspeaker agar percakapannya dengan Mbak Dian terdengar pula olehku. “Halo?” Sapa Mas Azka. “Azka, tolong gue, Ka.” terdengar suara panik Mbak Dian meminta pertolongan. Bola mata Mas Azka bergerak ke arahku. “Gue nggak mau urusan apapun sama elu,” sahut Mas Azka ketus.“Bodo amat, elu harus nolongin gue. Cariin pengacara, Ka. Lekas!” Ucap Mbak Dian main perintah aja. “Bawa sini.” bisikku sembari meminta ponsel Mas Azka. “Ada apa, Mbak?” Tanyaku sambil berjalan menjauh dari Lova. Mas Azka gantian menghibur gadis kecil itu sembari memasang antena telinga lebih tinggi. “Laras, elu kan baik hati dan tidak sombong. Elu harus tolongin gue!” Mbak Dian berteriak. Sok-sok an memujiku padahal Mbak Dian sering mengolokku o’on. Aku tau. “Tolongin apa?” Tanyaku datar. Sebenarnya aku tidak tertarik lagi dengan Mbak Dian. Ba
Janda Lugu Tetanggaku 36Bab 36LalaiGaris polisi berwarna kuning bertuliskan dilarang melintas masih terpasang di depan pintu tempat tinggal Mbak Dian. Ada dua unit rumah yang terbakar, yaitu rumah Mbak Dian dan sebelahnya. Sayangnya, rumah Mbak Dian yang lebih parah. “Kita nggak boleh masuk, Ras,” kata Mas Azka yang terus merangkul pundakku. Aku menarik nafas yang tersendat. Tidak tau apa yang terjadi sebab aku tak mendapatkan informasi yang akurat. Dari bawah tadi, aku sempat melihat area luar jendela rumah Mbak Dian yang menghitam karena terbakar. Semalam aku tak dapat ke sini jadi pagi ini aku datang untuk melihat lokasi kejadian. “Mas, kita harus bertanya pada seseorang,” kataku sambil melihat situasi. Siapa tau ada yang melintas dan bisa kutanya. Para penghuni di sini pada cuek, mungkin karena hanya insiden kebakaran kecil yang tak merugikan mereka. Tapi buatku, ini sangat penting. Sampai sekarang, aku tak tau kabar mbak Dian maupun Lova. Ponsel Mbak Dian tidak aktif. “Seb
Janda Lugu Tetanggaku 35Bab 35KebakaranAku terdiam menatap onggokan goodie bag dan paperbag di sudut ruangan. Menghela nafas panjang dan berusaha menepis rindu yang membuncah. Semua itu adalah baju-baju dan mainan milik Lova yang aku beli tempo hari. Semuanya masih baru dan belum terjamah. Kemaren aku tak sempat menyerahkan pada Mbak Dian saat ia mengambil Lova di jalan. “Sudahlah, biar aku masukkan gudang saja,” kata Mas Azka seraya mengangkat barang-barang itu. Suamiku tak suka melihatku bersedih. Beberapa hari yang lalu, Mas Azka sudah memperingatkan aku untuk tak terlalu larut dalam kesedihan memikirkan Lova. “Lova sudah bersama ibunya,” ucap Mas Azka saat itu. Aku mengangguk tapi, entah kenapa rindu ini tak juga lenyap. Senyum dan tawa Lova seakan menghantui benakku. “Mas, jangan diberesin, nanti kapan-kapan biar aku kirim ke rumah Mbak Dian,” kataku menahan Mas Azka yang sedang memberesi barang-barang Lova. Mas Azka menoleh padaku, “kau tau rumahnya?” Aku mengangguk, “ta
Janda Lugu Tetanggaku 34Bab 34Diminta di JalanSeminggu sudah berlalu semenjak Mbak Dian kabur meninggalkan rumahku karena misinya yang gagal. Anehnya, selama itu pula dia tidak meneleponku atau Mama untuk memberitahu keberadaannya. Minimal menanyakan Lova lah, kan bocah itu anaknya. Atau mungkin ia ibu durhaka yang melupakan anaknya?Aku tidak peduli. Hidupku kembali normal, adem dan bahagia bersama Mas Azka. Mbok Wati juga bergembira sebab mendapatkan pekerjaannya kembali. Ada yang berbeda, sekarang di rumahku bertambah ramai dan seru karena adanya Lova. Ya! Bocah itu sekarang tinggal bersamaku. Kalau pagi sampai sore, Lova di rumah bersama Mbok Wati karena kutinggal bekerja bersama suamiku. Malamnya aku dan Mas Azka yang mengasuh Lova. Anak itu cerdas dan lucu. Dia bahkan sekarang sudah pandai berceloteh lancar. Suasana rumah menjadi semakin hidup, ceria dan bersemangat dengan adanya Lova.Aku membelikan baby chair untuk Lova supaya dia dapat makan sendiri. Mas Azka membelikan
Janda Lugu Tetanggaku 33Bab 33Anaknya ditinggal Aku jadi bingung antara membukakan pintu kamar untuk membebaskan Mama atau mengejar Mbak Dian. Ah, sial! Mbak Dian sudah kabur dengan mobilnya. Aku hanya bisa melihat ke jendela saat mendengar raungan mobilnya. Tanpa buang waktu, akupun mencari kunci cadangan untuk membuka pintu kamar. “Kurang ajar, Dian!” Begitu yang diteriakkan Mama setelah pintu berhasil aku buka. “Ke mana dia?” Mama setengah berlari menuju pintu keluar. “Mbak Dian melarikan diri, Ma. Tadi Laras melihat dia lari lewat pintu belakang dan kabur dengan mobilnya.” Ujarku dengan wajah kesal. “Mama didorong sampai terjungkal di kasur, habis itu dia berlari keluar dan menutup serta mengunci pintunya!” Omel Mama marah-marah. Astaga! Aku jadi teringat Mas Azka yang aku rendam di kamar mandi. Berlari aku memasuki kamar dan langsung membuka pintu kamar mandi. Tampak lelakiku sedang berdiri di depan cermin. Mas Azka sudah selesai mandi rupanya. Ah, lega rasanya, kupikir
Janda Lugu Tetanggaku 32Bab 32Masih PoV DianKaburTok tokTerdengar pintu kamarku diketuk. Aku terkesiap, itu pasti Laras. Berjalan ke pintu, akupun membukanya. Memang benar, Laras yang sekarang berdiri di depan pintu kamarku. “Mbak, ajak Lova makan. Aku sudah masak nasi dan beli lauknya,” kata Laras. Aku mengangguk. Semenjak nggak ada mbok Wati, Laras dan Azka selalu membeli lauk untuk makan malam. Mereka tidak mau memakan masakanku, mungkin takut aku guna-guna atau racuni. Dasar O’on, kalau aku mau meracun mereka, sudah aku lakukan dari dulu. Sampai di meja makan, aku mem lihat Laras sedang menikmati makanannya. Melihat nasi yang masih mengepul di piring Laras, aku tersenyum dalam hati. Kena kau, Laras. Hahah. “Ambilkan Lova makan, Mbak,” kata Laras. Aku mengangguk. Sebenarnya Laras ini tidak peduli padaku, dia menawari aku makan karena Lova. Laras tak ingin membiarkan Lova tidur kelaparan. Aku tertegun sejenak saat akan mengambil nasi. Masak aku harus memakan nasi ini? Senj
Janda Lugu Tetanggaku 31Bab 31Rencana Pamungkas DianNggak sampai setengah jam, mobil Mas Azka sudah sampai rumah. Aku turun duluan dan langsung masuk melalui pintu samping. Rumah sepi, meskipun baru sekitar jam delapan malam. Aku segera mencari Mbak Dian. Langkahku terhenti saat melihat perempuan itu bergulung di sofa panjang tuang tengah sembari cekikikan centil dengan ponselnya. Berasa tuan rumah saja, dasar nggak punya malu. Bertambah kesal rasa hatiku. “Mbak Dian!”Seketika Mbak Dian membelalakkan mata melihat kehadiranku. Saking asyiknya bercengkerama dengan ponsel, dia tak menyadari kepulanganku dan Mas Azka. “Laras? Ngagetin saja.” Mbak Dian segera mematikan ponsel ya dan berpindah posisi duduk. Suara langkah kaki Mas Azka terdengar mendekat. “Apa maksud Mbak Dian memecat Mbok Wati?” Tanyaku langsung ke inti. Kepala Mvak Dian bergerak ke atas sedikit dan melihatku yang berdiri tak jauh darinya. “Oh, sudah kuduga, pasti perempuan tua itu sudah mengadu macam-macam denganm
Janda Lugu Tetanggaku 30Bab 30Akal Bulus“Mbok, baju saya kemaren malam dipakai sama Mbak Dian, kok bisa?”tanyaku pada Mbok Wati siang itu di dekat kamar mandi belakang saat pembantuku habis mengangkat jemuran. Mbok Wati melirik pintu kamar yang dihuni oleh Mbak Dian. Pintu kamar itu tertutup, tadi aku sudah melongok ke dalamnya. Mbak Dian dan Lova sedang bobok siang. “Nggak usah takut, Mbak Dian sedang tidur sama Lova.” aku menepis kekhawatiran mbok Watik. Perempuan itu takut bila Mbak Dian nanti mendengar jawabannya. “Anu, Non, saya sudah bilang agar jangan ngambilin baju-baju Non Laras tetapi, Bu Dian tak menghiraukan,” jawab Mbok Watik kesal. Baju-baju katanya? Berarti nggak hanya satu dong? Bola mataku berputar. “Emang dia sering ngambilin baju saya?” Menatap Mbok Wati. Pembantuku mengangguk, “sering, Non, terutama kalau siang hari pas Non Laras nggak ada di rumah.”Jadi begitu? Jangan-jangan Mbak Dian juga yang mengambil peralatan make up ku? Secara ada beberapa yang men