Haura ingat betul kalau dirinya sering menaruh kunci di dalam tas, tetapi saat dirinya cari malah tidak menemukan kunci itu di sana. Jadi dia memilih untuk masuk ke dalam rumah, siapa tahu dia melupakan menaruh dan menaruh asal."Eh, kok masih enggak ada sih?" Haura menggaruk kepalanya. "apa jatuh di luar, ya?"Kali ini Haura memilih kembali mengelilingi setiap sudut rumah, sekaligus di halaman rumah dan di dalam mobil, intinya dia mencari setiap tempat yang kemungkinan dia kunjungi.Namun, tetap saja tidak menemukan kunci yang di cari, dia sekarang merasa pusing lantaran tidak menemukan kunci itu padahal hari sudah siang."Ke mana sih kuncinya?" Haura mengusap wajahnya kasar. "udahlah, aku kunci pagar depan aja!"Haura memilih menutup pintunya, lalu mengeluarkan mobil di dalam garasi dan tidak lupa mengunci pagar dengan gembok. Sebenarnya Haura terlalu malas untuk mengunci dengan gembok, karena harus memasukan tangan di dalam celah pagar
Haura dengan cepat menoleh ke asal suara itu, ternyata ada Lilis yang mendekatinya seorang diri sambil menatapnya dengan tatapan mengejek, Haura bingung ke mana mantan pembantunya itu menyembunyikan lelaki yang dia lihat tadi. “Kamu terlalu gatal, ya? Jadi enggak tahan lagi sampai mau main di toko baju punya orang,” ejek Lilis sambil tertawa kecil. “Aku enggak ngelakuin seperti yang kamu maksud, jadi jangan nuduh aku macam-macam!” hardik Haura tidak terima. “Ngaku aja kali! Ngapain lagi cewek sama cowok di tepat sepi kayak gini dengan posisi yang jelas banget mau ....” Lilis kembali tertawa kecil, dia sangat menikmati sekali mengejek Haura. Haura memang bersembunyi tepat di bagian toko yang sepi, dia memilih di sana karena takut membuat orang dan Lilis mencurigai dirinya, lantas dia akan ketahuan kalau sedang membuntuti mantan pembantunya itu. Namun, ternyata malah menjadi seperti ini, sekarang Haura dituduh melakukan hal tidak baik oleh Lilis
“Jelas lah gak sakit! Orang aku megangin kamu kok, biar enggak jatuh!” Perkataan Dean membuat Haura membuka matanya, dia melihat wajah lelaki muda itu sangat dekat sehingga membuat wajahnya menjadi bersemu merah.Posisinya sekarang tengah dirangkul oleh Dean dengan sebelah tangan di bagian pinggang, lelaki itu menangkapnya sebelum jatuh. “Betah amat aku pegangin,” ucap Dean tersenyum menyeringai. “Siapa juga betah? Aku masih kaget tahu!” Haura segera mendorong kasar Dean untuk menjauh darinya. “siapa sih yang buang kulit pisang sembarangan kayak gini? Kalau aku beneran jatuh, gimana?!” gerutu Haura sambil memungut kulit pisang itu, lalu membuangnya ke dalam tempat sampah. Dean hanya tersenyum dengan memperlihatkan barisan giginya yang putih. ‘Aku enggak tahu dia bakalan nginjak kulit pisang bekasku itu, tapi lumayan berguna juga buat rangkul pinggang dia,’ batin Dean senang, dia tertawa kecil melihat Haura salah tingkah.
"Udah!"Perkataan Dean membuat Yirra membuka matanya perlahan, dia menatap lelaki itu dengan tatapan bingung."Aku kira kamu mau ...." Yirra tidak meneruskan kalimatnya karena malu."Mau apa?" tanya Dean sengaja ingin menggoda Yirra."Em, e-enggak papa kok!" sahut Yirra gugup.Wajah Yirra sekarang memerah seperti tomat, wanita itu memang sangat menginginkan Dean melebihi apa pun. Walau dirinya sedang menjalin hubungan dengan lelaki lain, tetapi Yirra tetap menyukai Dean melebihi kekasihnya."Kamu kira aku mau melakukan sesuatu ke kamu?" Dean menaikan satu alisnya, sekarang lelaki itu sedang memancing Yirra untuk mengatakan lebih dulu."I-iya." Yirra memalingkan wajahnya.Dean tertawa kecil, dia memperlihatkan daun yang berada di rambutnya Yirra. Lelaki itu tadi mendekat bukan bermaksud buruk, dia hanya ingin membersihkan daun kering yang menempel di rambut Yirra."Eh, sejak kapan daun itu ada?" Yirra membersihkan rambutnya, takut kalau lebih dari satu."Enggak tahu! Mungkin tadi kamu
"Kalian bawa Yirra keluar dari sini, aku mau berikan pelajaran dulu sama cowok brengsek ini!" Jeffry melemparkan kunci kepada kedua temannya yang baru datang."Jeffry, jangan kayak gini!" teriak Yirra sambil memegangi tangan kekasihnya.Sayangnya Yirra kalah dengan tenaga lelaki yang sedang memeganginya. Dia ditarik paksa untuk masuk ke dalam mobil, seperti yang diperintahkan oleh Jeffry tadi.Sedangkan Jeffry, dia masih menatap tajam kepada lelaki yang sedang memandangnya dengan tatapan remeh."Padahal banyak banget cewek lain di sini, tapi kenapa kamu embat cewek aku sih?!" tanya Jeffry dengan penuh amarah."Cewek kamu kok yang mancing aku duluan, sebagai cowok yang normal, wajar dong kalau aku layani!" Dean berkata dengan wajah yang sangat menyebalkan bagi Jeffry.Jeffry pun tanpa sadar melayangkan bogem mentah kepada lelaki yang tidak tahu diri di depannya ini."Sialan! Kamu malah main kasar rupanya, baik akan aku layani!" Dean meregangkan otot-otot tangannya.Dean segera membalas
Dean masuk ke dalam rumah sambil bersenandung kecil, lelaki itu tidak sadar ada Elisa yang menunggunya dengan sorot mata tajam."Kenapa dengan wajahmu itu?!" Elisa bertanya dengan sorot mata tajam."Enggak papa," sahut Dean yang tidak mau mendapat omelan dari sang ibu."Enggak papa, enggak papa! Wajah yang bonyok kayak gini, dibilang enggak papa!" Elisa menarik Dean untuk duduk di sofa. "bentar, ama ambilin obat merah dulu."Dean menyandarkan tubuhnya ke sofa, sekarang dirinya sangat mengantuk sekaligus lelah habis berkelahi dengan Jeffry tadi.Ingin segera tidur saat sampai di rumah, rupanya itu adalah hal yang mustahil. Pasti sang mama sambil mengobati akan mengomelinya panjang lebar, membayangkannya saja membuat Dean semakin lelah."Siniin wajahnya, biar mama obati." Elisa mengarahkan wajah Dean dengan kasar.Elisa lalu membuka kotak obat yang dia bawa dari dapur, lalu membersihkan luka di wajah Dean dengan menggunakan obat merah."Pelan-pelan dong, Ma! Sakit tahu!" ucap Dean merin
"Tawaran yang mana?!" Haura menautkan kedua alisnya, dia pura-pura tidak paham apa yang sedang dibahas oleh Niko."Soal mau atau enggaknya kamu jadi istri keduaku?" Niko mendekati Haura, lelaki itu menatap mantan istrinya dengan tatapan memelas."Aku bilang enggak, ya, enggak!" pekik Haura yang sudah tidak dapat menahan dirinya lagi.Menurutnya Niko sangat tidak mengerti perasaannya selama ini, lelaki itu malah berbuat semaunya saja. Padahal andaikan Niko memilih rujuk dengan baik dan tentu saja membuang Lilis, Haura akan menerimanya dengan senang hati.Namun, Niko malah menginginkan dirinya menjadi istri kedua atau lebih tepatnya menggantikan posisi yang seharusnya dimiliki oleh Lilis. Mana sudi Haura!"Terus kamu maunya, apa?" Niko mengerinyitkan wajahnya, heran."Aku mau kamu cerai dengan Lilis, kalian kan nikah siri. Jadi enggak akan ribet urus ini itu buat cerai, mumpung perceraian kita belum diurus secara hukum," sahut Haur
Wajah Haura menjadi memerah karena malu mendengar perkataan dari Dean, lelaki itu mengatakan hal vulgar tanpa berkedip sedikit pun.Seakan yang dirinya katakan adalah hal yang biasa saja, tetapi berbeda dengan Haura. Walau wanita itu sudah pernah menikah, menurutnya hal seperti ini tidaklah layak dibahas oleh bukan suami-istri.Apalagi oleh orang yang berbeda jenis, kalau wanita mungkin itu adalah hal yang biasa. Namun, ini adalah lelaki, bagaimana wajah Haura tidak memerah."Kamu sakit?" tanya Dean tanpa rasa bersalah.Dean mendekati Haura, lelaki itu mengangkat tangannya di udara."K-kamu mau apa, Dean?" tanya Haura gugup.Haura mundur beberapa langkah, sampai tubuhnya terhantuk dinding. Sekarang dia tidak bisa melangkah mundur lagi, untuk menjauhi Dean. Terpaksa Haura memejamkan matanya pelan, dia memilih pasrah akan apa yang Dean lakukan kepadanya.Tidak Haura duga, Dean malah hanya menempelkan tangan di kening Haura
Mau tidak mau Haura keluar dari sana, " maaf ya maaf." wanita itu keluar dengan menangkupkan kedua tangannya.Lalu Haura berlari kecil menuju di mana tempat Elisa berada.Saat sampai di sana Elisa menatap aura dengan tatapan terkejut, membuat wanita itu menjadi risih dan menundukkan kepalanya."Enggak cocok, ya, Ma?" Haura bertanya dengan kepala menunduk, merasa gelisah karena takut tidak sesuai apa yang Elisa inginkan.Elisa tersenyum memandang Haura, " cantik kok menantu mama," pujinya."Emang bener? Tapi kenapa rasanya risih," tanya Haura sambil memperhatikan pakaian yang dipakai."Enggak cantik kok, masa sih mama bohong sama kamu?" Elisa mendekati Haura.Setelah setelah meyakinkan Haura kalau wanita itu cocok mengenakan pakaian berwarna merah muda tersebut, mereka pun memilih pergi ke salon bersama untuk melakukan perawatan.Selama hampir seharian penuh kedua wanita tersebut baru memilih pulang. Mereka memilih membeli makanan matang, lantaran merasa lelah bahagia di luar rumah."A
Rangga dan Elisa terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Dean, dengan cepat mengubah ekspresi wajah mereka kembali seperti biasa."Enggak masalah, semuanya bakalan baik-baik saja. Mama sama Papa bakal dukung apapun keputusan kalian." Elisa menggenggam jemari Haura dengan erat, memberikan kekuatan kepada sang menantu.Karena dia tahu betul perasaan Haura sekarang, sama seperti dirinya yang dulu mengetahui kalau kehamilannya sangat berisiko. Lantaran kandungan lemah, mungkin memang berbeda dengan kasus Haura. Namun tetap saja dirinya mengerti apa yang sekarang menantunya itu rasakan."Makasih, Mama dan Papa selalu dukung kami berdua." Haura membalas menggenggam erat jemari Elisa. " kalau begitu, gimana kalau kita pulang saja? Soalnya kan belum memasak buat makan pagi ini. Apalagi Papa sama Dean mau pergi bekerja," sambung Haura mengajak mereka semua untuk pulang."Mumpung udah di sini, gimana kalau kita makan di luar saja?" Elisa memandangi satu persatu ketiga orang yang berada di sam
Elisa sangat merasa bersalah melihat Haura yang terlihat sangat senang dia takut kalau semisalkan yang menanti itu tidak hamil sehingga dia mulai memikirkan kata yang tepat untuk mengatakan kepada Haura dengan pelan-pelan." Haura, coba kita periksa dulu ke rumah sakit. Biar tahu Hasilnya kayak gimana," Ucap Elisa dengan gelisah.Haura yang melihat Elisa gelisah membuat dia menganggukkan kepala. " Baiklah, Ma!""Kalau begitu memang bangun Papa dulu ya Sambil siap-siap kamu juga jangan lupa bangunin Dean supaya kita segera berangkat," ucap Elisa lalu pamit pergi ke kamar.Haura mengerti selalu segera menuju ke kamar untuk membangunkan sang suami, dia mengelus perutnya yang masih rata. Sambil terus berharap kalau di dalam perutnya itu ada bayi mungil yang bergerak-gerak di sana.Dengan penuh semangat Haura memilih membangunkan sang suami terlebih dahulu, dia mengguncangkan tubuh Dean perlahan." Dean, ayo bangun!" Haura mengguncangkan lagi tubuh dan secara perlahan." Ada apa, Haura? "
Tumpukan piring dan perkakas dapur yang kotor akibat Dean memasak di sana, belum lagi kompor terkena banyak noda. Sehingga membuat Haura jadi merasa terbakar, lantaran menahan amarah di dalam dada.Namun dirinya terpaksa menahan itu, lantaran ada kedua mertua sedang berada di sini, tidak ingin menunjukkan pertengkaran kepada Elisa dan Rangga. Haura pun memilih untuk menghembuskan napas secara perlahan, beeharap perasaan marah di dalam dada hilang."Dean, kamu seharusnya enggak usah masak. Bangunin aku aja kalau lapar," ucap Haura dengan menahan perasaan marah di dalam dada."Kamu kan lagi sakit, masa aku suruh masak?" Dean menatap bingung kepada Haura, merasa heran kepada wanita itu."Iya, benar kata Dean. Masa kamu lagi sakit disuruh masak, seharusnya Dean beli aja di luar," ucap Elisa menimpali.Elisa juga merasa sesak sekali dengan tumpukan yang berada di wastafel, ingin sekali dirinya memarahi sang anak. Namun karena Dean berniat baik, jadi untuk kali ini dia menahan perasaan kesa
Elisa langsung mendekati Dean untuk melihat apa yang terjadi, ternyata nasi yang dimasak lelaki tersebut menjadi bubur membuat dia menjadi tertawa dengan keras."Astaga, kok masak nasi aja malah jadi bubur?" Elisa tertawa dengan keras sambil memegangi perutnya yang terasa sakit."Hust, Ma! Haura lagi tidur di dalam kamar, nanti malah bangun," tegur Dean meminta kepada sang ibu untuk diam."Habisi, masak nasi aja sampai jadi bubur. Terus percaya diri banget masak, padahal ke dapur aja jarang," ejek Elisa yang tidak dapat menahan dirinya."Mau gimana lagi? Aku pengen masakin sesuatu buat Haura yang lagi sakit." Dean menundukkan kepalanya, merasa gagal ingin membuat sang istri terkesan."Kalau udah tahu enggak bisa masak, ya beli aja! Uang banyak kok, masa enggak mampu beli makanan matang," gerutu Elisa kesal, bisa-bisanya ingin memberikan makan menantunya dengan masakan tidak layak dimakan."Kalau beli makanan matang, buat apa aku capek-capek masak kayak gini? Tuh aku masakin dijamin en
Haura menganggukkan kepalanya, memang tubuhnya terasa tidak baik-baik saja sejak tadi malam."Sebaiknya kamu minum teh hangat dulu, makan walau sedikit agar minum obat dan cepat istirahat. Biar aku buatkan teh hangatnya dulu, kamu duduk aja di sana." Dean membuatkan segelas teh hangat untuk Haura.Sedangkan Haura terduduk lemas karena habis muntah tadi, rasanya dia kehilangan tenaga untuk sekedar berdiri atau melakukan apa pun. Beberapa menit kemudian, Dean datang membawakan segelas teh hangat untuk sang istri."Minum dulu, lalu setelahnya makan, ya!" perintah Dean terlihat sangat khawatir."Aku enggak nafsu buat makan," tolak Haura dengan wajah pucat."Sedikit aja, biar bisa minum obatnya. Pokoknya setelah aku beli obat di apotik, kamu harus udah kelar makan!" Dean bergegas mengambil kunci mobilnya, lalu pergi keluar.Memang karena rumah masih baru sehari ditinggali, wajar saja tidak memiliki kotak obat seperti di rumah Elisa. Sayur dan ikan saja dibelikan sang mertua, jadi bagaimana
Dean dan Haura melakukan hal yang biasa para suami-istri lakukan dimalam hari, mereka sangat menikmati setiap kali berbagi kasih sayang di atas ranjang. Walau pun wanita cantik itu sering merasa was-was seiring berjalannya umur rumah tanggan mereka."Kok kamu murung, Haura?" Dean menyingkap rambut yang menutupi sebagian wajah Haura."Enggak papa, cuma capek aja sih. Yuk kita tidur, lagian ini udah malam juga!" ajak Haura yang langsung menarik selimutnya.Haura memejamkan mata yang terasa sangat sulit untuk diajak tidur, wanita itu menoleh ke arah belakang ternyata sang suami sudah tidur dengan nyenyak. Dia pun memilih menatap wajah Dean yang sedang tertidur tersebut, berharap akan ikut terlelap ke alam mimpi.***Bagun dipagi hari dengan perasaan senang di rumah sendiri, Haura berjalan ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Pertama yang Haura lakukan adalah memasak nasi, setelah itu baru membua kulkas yang tentu saja isinya penuh. Jangan tanya siapa yang memenuhi isi kulkas itu? Siapa
"Eh, iya!" Haura ikut memperhatikan Lilis yang sedang menggendong bayi kecilnya.Rangga tidak menjawab, tetapi memilih memarkirkan mobilnya ke halaman rumah yang akan dia beli untuk sang anak. Memang belum dibayar, namun sudah sepakat untuk membeli rumah itu sebagai hadiah pernikahan. Hanya saja kalau Haura tidak menyukainya terpaksa Rangga membatalkan niat membeli walau pun sudah diberikan uang dimuka kepada pemilik rumah."Ngapain kalian kemari?" Lilis menatap ketus kepada keluarga Dean.Namun belum sempat menjawab, Dika keluar dari dalam rumah tersebut menatap mereka semua dengan ramah."Eh, Om dan yang lainnya udah datang! Ayo masuk ke dalam, biar bisa lihat-lihat rumahnya." Dika mengarahkan semuanya untuk masuk ke dalam."Ngapain ajak mereka masuk? Nanti kotor lagi rumahnya!" Lilis menatap t4jam kepada Dika, lelaki yang baru satu bulan dia nikahi."Lilis! Mereka ini yang mau beli rumah, jadi bisa enggak ramah sedikit sama mereka!" Dika menekan setiap kalimat yang keluar dari mulu
"Eh, Dean baru datang?" Elisa hanya senyum-senyum menatap sang anak."Asyik ya, pagi-pagi udah gosip." Dean mendudukkan bokongnya di kursi dengan kasar.Haura mengambilkan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya untuk sang suami, lalu baru duduk kembali untuk menyantap makanannya."Mama enggak gosip loh, Dean. Soalnya kan istrimu nanti pasti tahu juga sama kebiasaanmu yang itu." Elisa tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan."Tapi enggak gitu juga loh, Ma!" Dean menatap tidak suka sang ibu, mau bagaimana pun rasanya sangat tidak suka kalau diceritakan aibnya kepada sang istri.Menurut Dean pasti Haura akan mengetahuinya pelan-pelan tentang kebiasaannya itu, jadi tidak perlu diceritakan kepada sang istri."Benar kata Dean, Ma. Mau gimana pun nanti Haura juga bakalan tahu, kasian kalau diceritain aibnya itu. Kalau papa juga pasti kesal loh," ucap Rangga menimpali."Iya-iya deh. Mama minta maaf, tapi kamu harus benerin kebiasaanmu itu. Udah nikah koh masih aja dandannya lama, e