Hari telah mulai senja, Snowball terlihat lelah. Shift kerjanya juga sudah habis, saatnya dia pulang. Snowball pergi ke ruang ganti, dia melepas kostum badutnya. Keringat membanjiri sekujur tubuh dan rambut panjangnya berantakan. Setelah merapikan dirinya dia bersiap untuk pulang.
"Kau mau langsung pulang, Mia?" seorang pria menyapa gadis yang sedang berjalan cepat menuju pintu keluar.
"Ah, aku harus menjaga adikku!"
"Kerja yang bagus, Snowball! Es krim buatanmu yang paling disukai di Cafe!""
"Hey, kau itu memuji atau mengejek?!"
"Snowball itu nama yang lucu 'kan, mulai sekarang aku akan memanggilmu nama itu."
"Kau sangat menyebalkan!"
"Okey, tolong berikan ini pada adikmu!" pria yang merupakan pemilik Cafe Snow itu memberikan sekotak kue ukuran sedang.
Dengan wajah masam Mia menerima kue pemberian Adrian, "Terima kasih, Aku pergi dulu, Adrian!"
Panggilan "Snowball" terdengar manis, Mia mengingat kejadian siang tadi yang tanpa persetujuannya salah satu pengunjung cafe memberikan nama itu padanya dan berfoto bersama. Mia tahu itu hanya untuk menyenangkan hati anak kecil yang datang bersamanya.
Mia tersenyum lembut dan senyuman itu menghangatkan hati Adrian yang sejak tadi menatapnya. Mia sudah bekerja di Cafe Snow selama dua tahun. Hubungan mereka murni kerjasama antara bos dan karyawan, tapi Mia tidak tahu sejak lama Adrian sudah menyukainya.
Mia Malva Elard seorang gadis berusia 24 tahun, berparas manis dengan rambut panjangnya yang terurai. Di tangannya memegang erat kotak berisi kue dari teman kerja sekaligus Bosnya. Dia berlari kecil di trotoar jalan, tempatnya kerja tidak terlalu jauh dari tempat tujuan.
Salah satu Rumah Sakit ternama di Jakarta itu berdiri kokoh di hadapannya. Seseorang yang disayanginya ada di dalam tempat itu. Mia tersenyum saat memasuki ruangan serba putih tersebut. Mia melihat seorang gadis remaja terbaring ditempat tidur, gadis itu tersenyum ceria saat menyadari seseorang memasuki ruangannya.
Fialova Anthea Elard, gadis remaja berusia 16 tahun, meski terlihat pucat tapi tidak menyembunyikan wajahnya yang cantik. Fia terlihat senang melihat kakaknya datang.
"Fia …."
"Kak Mia, kau sudah datang?!"
Meski wajah Fia terlihat pucat, tapi gadis kecil itu selalu tersenyum ceria. Fia langsung memakan kue yang diberikan Mia dengan lahap. Mia mengelus puncak kepala adiknya dengan penuh kasih sayang.
"Makasih Kak, kuenya sangat enak!"
"Kuenya memang enak tapi kau harus pelan-pelan saat memakannya nanti tersedak." Fia menuruti nasehat kakaknya.
"Setelah makan langsung tidur ya, jangan main game terus." Mia mengambil ponsel Fia yang diletakkan di atas meja, lalu menyimpannya ke dalam laci.
"Matahari baru tenggelam, Kakak sudah menyuruhku tidur. Menyebalkan!"
"Jangan membantah, aku ingat bagaimana kau terjaga semalaman karena bermain game saat aku sedang lembur bekerja! Jadi mulai sekarang Fia harus tidur cepat!"
Fia cemberut dengan terpaksa dia mengangguk patuh, "Kak, maukah kau menyanyikan lagu sebelum tidur yang biasa dinyanyikan Mama?"
Mia mengangguk, "Baiklah, pejamkan matamu dan dengarkan nyanyianku."
Fia memejamkan kedua matanya, suara merdu Mia mulai terdengar. Lagu ciptaan Ibu mereka yang dulu sering dinyanyikan ketika mereka hendak tidur. Mia menyanyikan lagu itu penuh dengan perasaan.
Seperti dugaan Mia--Fia memang sudah mengantuk, dia hanya sengaja terjaga untuk menunggu kakaknya atau mungkin karena efek obat dia langsung tertidur.
Mia duduk disebelah adiknya. Air mata mengalir di kedua pipi Mia, dia menangis tanpa suara.
Memori empat tahun yang lalu terlintas dalam pikirannya, itu adalah hari pertama kesedihan yang pahit mulai menghampiri dirinya.
Empat tahun yang lalu hidup bagaikan sebuah dongeng. Di sebuah rumah besar dan megah--Keluarga Elard, Mia dikelilingi orang-orang yang menyayanginya ; ada Ayah, Ibu, dan Fia. Saat Ayah dan Ibunya bekerja, Mia bertugas menjaga adiknya yang saat itu masih berusia 12 tahun dan mengurus rumah. Mia sudah terbiasa mandiri, dia melakukan dengan hati senang meskipun ada beberapa pelayan yang akan siap membantunya.
Tepat di hari ulang tahunnya yang ke 20 tahun, Mia mendapatkan kado terburuk dalam hidupnya, gadis itu mendapat berita tentang kecelakaan maut kedua orangtuanya. Saat perjalanan pulang dari Bandara, mobil yang ditumpangi kedua orangtuanya mengalami kecelakaan karena saat itu hujan sangat deras dan hampir disaat yang bersamaan Fia jatuh sakit. Dokter Penyakit Dalam yang memeriksanya mengabarkan kabar buruk yang membuat Mia tertunduk lemas. Di usia Fia yang masih 12 tahun, dia harus merasakan sakit seberat itu. Sirosis hati, penyakit yang mulai menggerogoti tubuh dan semangat hidup Fia.
Kesedihan tidak berhenti disitu, setelah kepergian kedua orang tuanya dan diagnosa penyakit adiknya, Mia menerima kenyataan pahit karena dikhianati oleh Paman dan Sepupunya sendiri. Harta yang seharusnya diwariskan kepada Mia dan Fia kini dikuasai oleh mereka. Mereka memaksa Mia dan Fia meninggalkan Rumah Keluarga Elard. Keluarga yang seharusnya mengayomi melepas tanggung jawabnya untuk mengurus dua anak yatim piatu itu, Mia dan Fia.
Sejak hari penuh kesedihan itu Mia dan adiknya tinggal di rumah kost. Namun semakin hari berlalu penyakit Fia semakin parah, gadis kecil itu membutuhkan pengobatan dan tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Setiap hari Mia bekerja, dari satu tempat ke tempat yang lain, dari matahari terbit hingga matahari terbit lagi. Selama empat tahun ini Mia berjuang sangat keras, setiap dia melihat Fia tersenyum rasa lelah yang dirasakannya akan menghilang dan dia akan kembali bersemangat.
'Fia … Kakak akan berjuang lebih keras lagi. Kakak berjanji!'
Itu adalah janji Mia, demi melihat masa depan bersama adiknya.
Suara pintu yang dibuka membuat Mia tersentak, seorang wanita berpakaian perawat memasuki kamar tersebut. Mia mengenalnya.
"Suster Sarah, terima kasih untuk hari ini sudah menjaga Fia."
"Sudah menjadi tugasku."
Suster tersebut melakukan pemeriksaan pada Fia, obat melalui suntik masuk dalam tubuhnya dan pemeriksaan tekanan darah. Kondisi Fia terlihat sudah stabil berbeda dengan satu minggu yang lalu saat Mia membawanya ke Rumah Sakit.
"Kau tahu 'kan memberi makanan pasien dari luar Rumah Sakit itu dilarang, tapi kenapa kau melanggar peraturan itu?" Suster Sarah melirik sisa kue di meja yang tadi dimakan Fia.
"Maaf, tapi Fia sangat menyukainya jadi aku pikir tidak masalah."
"Peraturan ada untuk dipatuhi, ini yang terakhir kalinya."
Mia mengangguk.
Suster Sarah memberikan selembaran kertas pada Mia. Lembaran bertuliskan tentang kompetisi memasak yang diadakan oleh salah satu channel tv.
"Kau harus mencoba mengikuti kompetisi itu. Tidak baik memendam keinginanmu. Raihlah mimpimu."
Tapi Mia sudah tidak menginginkan itu. Mimpinya sudah bukan hal penting lagi ketika rasa sedih yang dirasakan lebih besar. Mia hanya akan fokus mengurus adiknya, Fia adalah keluarga satu-satunya yang paling berharga.
Setelah dirasa cukup membuat Fia tertidur, Mia berpamitan pada Suster Sarah dan pergi dari Rumah Sakit, mempercayakan adiknya pada Suster baik hati.
Sarah Wijaya adalah seorang wanita paruh baya yang masih lajang, dia mendedikasikan sepenuhnya menjadi perawat.
Makan malam yang seharusnya dipenuhi canda tawa terlihat suram, suasana tegang terasa di meja makan Kediaman Adelard. Meski ada anak perempuan yang berceloteh tidak bisa mencairkan suasana tegang disana."Aku dengar siang ini kalian ke Rumah Sakit? Apa ada kabar baik?" Ibu dari Raymond dan Grayson ; Gretta Adelard menatap intens menantunya, Amayra.Amayra gugup tidak tahu harus menjawab apa, saat itu punggung tangannya terasa hangat, Gray meremas telapak tangannya dengan erat. Berusaha menenangkan istrinya.Gray menjawab pertanyaan Ibunya, "Hanya pemeriksaan rutin, Ma. Dokter mengatakan kepada kami kalau kami masih harus berusaha. Benar 'kan Amayra?"Amayra mengangguk dengan cepat.
Empat tahun yang lalu, mereka dua orang yang saling mengenal hanya sebatas mengetahui nama dan keluarga. Selain itu sudah tidak ada lagi hal yang istimewa. Meski begitu ikatan sudah pernah terjalin diantara dua keluarga. Dua orang asing yang seharusnya menjadi pasangan suami istri tapi berhasil dikalahkan oleh orang yang saling mencintai. Perasaan sepihak tentu saja akan kalah dengan cinta yang utuh. Perasaan sepihak itu milik Mia dan cinta yang utuh itu adalah, Gray dan Amayra. "Tunjukkan kakimu yang terkilir!" "Akan ku obati sendiri saja …." Gray memberikan cream obat ke Mia, memijat pelipisnya, dia mulai kehilangan fokus. Hujan malam ini belum menunjukkan tanda akan berhenti. Mata hitam Gray terus mencari
"Sakit ….!" "Aku sangat marah padamu, bagaimana bisa kau melakukan ini? Sudah separah ini kau mengabaikannya begitu saja, apa kau bodoh!" Mia meringis menahan rasa sakit pada kakinya yang siang ini sudah membengkak bahkan warnanya mulai membiru. Perawat yang mengobatinya tidak berhenti bicara, dia memarahi Mia seperti gadis itu putrinya saja. "Yang lebih bodoh lagi, kau tetap pergi bekerja! Apa di kepalamu hanya ada uang, perhatikan kesehatanmu!" Mia menangis keras, Perawat itu mengobatinya dengan kasar karena terlalu emosi. Namun tidak lama karena kemarahan sang Perawat hanya sebentar, dia mengobati kaki Mia dengan lembut. "Terima kasih, Suster S
"Kondisinya sudah membaik, tapi ada yang harus kita bicarakan." Gray yang masih duduk di samping istrinya menoleh, dia melihat Ray dan Daniela yang sudah ada di ruangan itu sejak dirinya datang. Sepertinya tidak ada yang harus disembunyikan lagi. Raut kesedihan terlihat di wajah Daniela, setelah Gray mengatakan penyakit istrinya Daniela tidak berhenti menangis. Ray hanya bisa diam, dia tidak menyangka Gray dan Amayra bisa menyembunyikan kesedihan sendiri dari semua orang dan keluarga besar mereka. Tapi mengingat kondisi Amayra, mereka sepakat merahasiakan hal itu karena kalau sampai Ibu mereka mengetahui kondisi Amayra--Gretta pasti akan langsung memisahkan Gray dan Amayra dengan paksa. Atas persetujuan Gray
Dimalam yang sunyi dan dingin, Mia berjalan gontai. Terlihat keputusasaan di wajahnya. Gadis itu memutuskan pergi ke rumah bosnya yang sekaligus dianggap sahabat. Adrian Shagufta mungkin bisa membantunya. Saat Adrian membuka pintu rumahnya, dia terkejut melihat Mia yang berdiri di depannya dengan keadaan yang memprihatinkan. "Mia, malam-malam begini ada apa?" Mia mengatakan keperluannya datang ke rumah Adrian, membuat pria itu menatapnya sedih. "Kau perlu berapa Mia?" "Aku memerlukan 600 juta, aku janji akan mengembalikannya padamu, aku bahkan rela bekerja di cafe tanpa digaji."
Alat-alat di tubuh Mia sudah mulai dilepas, namun tubuhnya masih terlalu lemah. Mia baru saja mendapatkan kesadarannya setelah koma satu bulan. Dia belum banyak berbicara ataupun bergerak, anggota tubuhnya harus mulai membiasakan diri karena terlalu lama tidak beraktivitas. Mia tidak sendirian di ruangan perawatannya, Adrian duduk di sampingnya. Terlihat kecemasan di wajah pria itu. Tapi Mia tidak memperdulikannya dia membenci pria itu. Bahkan hanya menolak kehadirannya saja Mia tidak bisa. "Aku tahu kau sangat sedih, Mia. Tapi jangan larut dalam kesedihan, Fia tidak akan suka."
Setelah semalaman hujan deras, pagi ini matahari tampak bersinar cerah. Genangan air terlihat di sepanjang jalan. Kondisi Mia sudah mulai membaik, dia masih memakai kursi roda dan kabar baiknya lagi dia sudah diizinkan pulang. Adrian yang menjemput Mia di Rumah Sakit dan mengantarnya pulang ke tempat kost. Sebenarnya Mia tidak menginginkan pria itu berada didekatnya. Sejak malam nista itu, Mia sudah membencinya. Tapi, Adrian tidak pernah menyerah. Setiap mendapat penolakan dia semakin gencar mendekati Mia. "Selamat datang ke rumah, Mia!" Adrian mendorong kursi roda Mia ke dalam rumah. Sudah la
Mia benar-benar tidak mengerti. Kehadiran pria itu di rumahnya dan beberapa orang yang datang bersamanya. Mia mengenal mereka semua. Kedatangan Gray dan keluarganya mengingatkan dirinya pada memori masa lalu. Seorang wanita paruh baya yang merupakan Ibunya Gray menghampiri Mia, "Kau sudah melalui banyak penderitaan, kehilangan orang tua dan adikmu. Itu pasti sangat berat untukmu. Gray, putraku juga sepertimu dia sudah dikecewakan mantan istrinya. Aku seorang Ibu yang menginginkan kebahagiaan putranya. Izinkan kami menebusnya." "Maaf, saya tidak mengerti maksud Tante?" "Kedatangan kami kesini untuk memintamu jadi menantu Keluarga Adelard istri dari Gray, putra keduaku. Apakah kau bersedia?" ucap pria paruh baya tersebut menyela, William Adelard.
Ketika masuk ke rumah megah itu Mia dan Gray disambut dengan kelopak bunga mawar yang berterbangan di udara. Alunan lagu terdengar merdu dan setiap sudut tempat dihiasi bunga-bunga indah bermekaran. Mia terpesona dengan kejutan pesta resepsi pernikahannya, Gray menoleh ke ibunya. Siapa lagi yang bisa membuat kejutan seindah ini. Gretta tersenyum. Para tamu undangan memberi ucapan selamat pada kedua mempelai pengantin. Mereka yang datang ke acara resepsi pernikahan ini adalah rekan bisnis keluarga Adelard. Pernikahan ini bisa dikatakan sederhana berbeda dengan pernikahan Gray dan Amayra dulu yang sangat mewah. Selalu ada bayangan di bawah cahaya. Setelah insiden yang terjadi di akad pernikahan adik iparnya, Daniela semakin membenci Mia. Hanya satu hal yang bisa mengikat mereka tapi satu hal itu juga yang akan menjadi alasan mereka
Pasangan pengantin berdiri di altar pernikahan, bersalaman dengan para tamu. Senyum menghiasi bibir mereka setelah drama yang menguras emosi. Sementara di sudut tempat, Adrian menatap penuh kepedihan. Dia meninggalkan tempat pernikahan itu diikuti oleh Audrey dan Viona. Gray mengalihkan pandangannya ketika Amayra berdiri di hadapannya. Awalnya Mia tidak memahami penyebab perubahan sikap sang suami tapi ketika mendengar ucapan mereka, Mia mulai paham apa hubungan keduanya. "Selamat atas pernikahanmu, Gray." ucap Amayra dengan senyum manis dibibirnya. "Aku tidak pernah mengundangmu." Gray menggenggam tangan Mia. "Aku berdoa semoga kau selalu bahagia
Gray turun dari altar pernikahannya, dua pria yang sudah lama bersaing di dunia bisnis itu saling bertatap muka. Namun, hanya beberapa detik saja Gray sudah mendaratkan sebuah pukulan keras di wajah Adrian. "Pukulan itu untukmu yang sudah menghancurkan kehidupan Mia, merenggut paksa miliknya!" teriak Gray. Adrian tertawa, sambil mengusap bekas pukulan di wajahnya, "Merenggut paksa kau bilang? Kami melakukannya dalam kondisi sadar dan sama-sama menginginkannya. Tanyalah pada Mia, kami tidak mungkin merasa terpaksa, karena kami melakukannya sampai pagi. Kami sama-sama menikmatinya malam itu karena aku adalah pria pertamanya, aku memperlakukannya dengan sangat baik." Dipelukan Sarah, Mia menangis keras dan tubuhnya gemetaran. Hatinya sangat terluka, dipermalukan di hadapa
Kebaya warna putih membalut tubuhnya, kerudung panjang menutupi rambutnya yang disanggul dan dihiasi bunga-bunga berwarna putih. Meski kebayanya terlihat sedikit kebesaran agar Mia merasa nyaman karena saat ini dia sedang mengandung. Mia terlihat cantik, seulas senyum merekah di bibir ranumnya. Hari baru telah menunggunya, ada kalanya Mia merasa takut. Tapi Gray telah meyakinkannya dan Mia sangat mempercayainya. Senyumnya ada sekarang, itu hanya karena Grayson Adelard. "Mia!" Mia menoleh ke arah pintu yang terbuka, muncul Cindy di balik pintu. Cindy terlihat cantik dengan gaun pestanya yang berwarna krem. Tak lama kemudian Sarah datang. Mia tersenyum bahagia melihat mereka yang datan
"Disinikah?!" "Hmm, sebelah kanan, ambil yang diatasnya!" "Ini?" "Iya, ambil itu, pelan-pelan jangan sampai membuat goyang yang di sebelah nanti bisa jatuh!" "Cerewet sekali, apa kamu tahu aku sangat kesulitan disini!" "Fokus saja pada pekerjaanmu!" "Mia Malva Elard, berani sekali kamu menyuruh anak CEO melakukan ini!" Gray berteriak dari atas, tangannya terus berusaha bekerja mengganti genteng yang bocor dengan yang utuh. Sementara Mia bertugas memegang tangga yang dipijak oleh Gray. "Anak CEO? Bukankah Bos pemilik restoran?
Mobil warna silver Gray berhenti tepat di depan rumah Mia. Gray tidak bisa mampir karena dia ada beberapa hal yang harus diurusnya. Mia mengangguk memaklumi, karena calon suaminya itu sangat sibuk terlebih persiapan pernikahan akan 80% dia urus sendiri. Pasti sangat melelahkan. Mia menautkan kedua alisnya ketika melihat Gray tiba-tiba berhenti jalan dan berbalik menatap dirinya. "Apa ada yang ketinggalan?" tanya Mia dengan wajah bingung. "Jangan lupa minum vitaminmu dan makan yang banyak, kalau tidak mematuhiku aku akan menghukummu lagi!" Mia mengangguk dengan cepat membayangkan hukuman yang dimaksud Gray mungkin seperti d
Seperti biasanya, Mia dan Sarah menikmati hari senja di ruang rumah sambil menonton televisi. Selama hamil muda Sarah memang menyarankan Mia untuk tidak bekerja dan tidak banyak melakukan aktivitas berat. Kebutuhan sehari-hari Mia menggunakan tabungan yang belum terpakai untuk operasi Fia dulu. Angin malam berhembus lembut kedalam rumah melalui pintu yang terbuka, untuk yang ketiga kalinya Mia menghadapi situasi ini. Keluarga Adelard berdiri di depan rumahnya. Mia terlihat gugup, dia bergegas mempersilakan mereka masuk. Mia merasa dejavu dengan situasi ini karena untuk ketiga kalinya Keluarga Adelard melamarnya. Mia masih memiliki keraguan di dalam hati. "Bisakah saya meminta waktu?" ucapan Mia itu mengejutkan Gretta dan keluarga Adelard lainnya, termasuk Gray.
Mia mematut dirinya di depan cermin, mengusap perutnya yang masih rata. Usia kandungannya telah memasuki minggu keempat. Mia masih mengalami mual dan muntah tapi dia sudah bisa mengatasinya. "Dia pasti masih sangat kecil." Mia tidak membenci kehidupan baru di dalam perutnya. Ketika Mia kehilangan orang-orang yang disayanginya dia sangat sedih. Meski melalui sebuah kesalahan akan tetapi kehadiran calon bayinya membawa semangat baru didalam hidup Mia. Mia akan melahirkannya dan merawatnya dengan penuh cinta. Ibu hamil itu berputar di depan cermin, merasa ada yang kurang Mia mengambil bantal lalu memasukkannya ke dalam pakaian. Sekarang dia terlihat seperti ibu yang hamil 7 bulan. Mia tersenyum, rasanya tidak sabar menanti hari itu tiba, ketika si kecil lahir ke dunia.
Seperti wanita hamil pada umumnya yang mengalami morning sickness, Mia juga mengalaminya. Entah sudah berapa kali Mia memuntahkan makanan pagi tadi sekarang tubuhnya sangat lemas dan kepalanya juga pusing. "Apa orang hamil selalu seperti ini?!" Mia memegangi perutnya, perutnya seperti diaduk. Mia kembali memuntahkan isi lambungnya dan kali ini hanya air karena pagi ini dia tidak makan banyak. Mia yang merasa lemas berbaring ditempat tidurnya, dia tidak ingin melakukan apapun. Ketika Mia mulai terlelap suara ketukan pintu membuatnya terkesiap. Dengan gerakan malas Mia bangun dari tempat tidurnya yang nyaman untuk membuka pintu. Seseorang yang berdiri di depan pintu membuat Mia menatap