Anak merupakan sebuah titipan rezeki yang dianugerahkan langsung oleh Tuhan kepada setiap pasangan. Akan tetapi, faktor kesehatan dan kesuburan juga termasuk pengaruh dari terciptanya seorang anak.
Di salah satu Rumah Sakit ternama di Jakarta, suasana di rumah sakit ini sangat tenang tidak ada keramaian. Hanya suara alat-alat rumah sakit yang menunjukan suara kerja mereka termasuk juga alat pemeriksaan kandungan yang sedang dinyalakan untuk memeriksa kandungan seseorang bernama Amayra.
"Dari hasil pemeriksaan yang telah kami lakukan, Nyonya Amayra tidak akan bisa mengandung dan kami menemukan sesuatu di rahim Nyonya, ada tumor yang sudah mulai menyebar di rahimnya. Kita harus melakukan operasi pengangkatan rahim."
Amayra menangis keras di pelukan suaminya, mencari dukungan dari Gray. Pria itu hanya terdiam, terlalu terkejut mendengar setiap ucapan dari Dokter Lisa--Dokter Kandungan di Rumah Sakit tersebut. Pupus sudah harapan pasangan pengantin ini untuk mendapatkan anak.
"Tindakan operasi harus cepat dilakukan." perkataan Dokter Lisa menambah kesedihan pasangan suami istri tersebut.
"Tidak mungkin, pasti ada cara lain lagi. Kau seorang Dokter 'kan, angkat penyakit ini. Aku harus memiliki bayi!" Amayra berteriak histeris. Sesak di dadanya terasa menyakitkan ketika mendengar pernyataan ini.
"Tenanglah Amayra." sang suami mencoba menenangkan istrinya.
"Kau tidak mengerti dan memahami perasaanku, Gray! Ini terlalu menyakitkan. Aku benci hidupku!"
Wanita pemilik rambut sebahu tersebut berdiri, kedua matanya yang berwarna coklat itu terus mengeluarkan air mata. Dengan langkah cepat dia meninggalkan ruangan Dokter dan tak lama kemudian Gray menyusulnya.
Amayra berlari di sepanjang koridor Rumah Sakit, melewati pintu keluar, taman, dan wanita itu terus berlari, berharap angin yang berhembus di tubuhnya menghilangkan sedikit kesedihannya.
"Amayra ….?!"
Tiba-tiba sebuah tarikan di lengannya yang cukup keras memaksanya berhenti, detik itu juga ia merasakan sebuah pelukan mendekap Amayra dengan erat. Terdengar isakan tangis wanita itu.
"Amayra, tenanglah sayang." bisik Gray di dekat telinga wanitanya.
"Aku selalu menjadi wanita yang payah, aku selalu payah. Aku tidak berguna. Aku tidak bisa membuatmu bahagia. Aku menghancurkan impian dan harapan kita. Bagaimana aku bisa menghadapi keluargamu, Gray!"
Air mata terus mengalir di kedua pipi Amayra, dia menunduk menyembunyikan wajah menyedihkannya di dada bidang Gray. Gray mengeratkan pelukannya sengaja membenamkan wajah rupawannya di lengkungan leher istrinya dan sesekali mengecupnya berharap Amayra lebih merasa tenang. Tidak ada wanita ataupun istri yang menginginkan ini terjadi, sudah empat tahun keduanya terikat dengan pernikahan suci dan selama itu pula mereka memiliki impian. Impian yang membuat keluarga Adelard kecil mereka menjadi lengkap. Namun sekarang hal itu hanya akan menjadi harapan kosong.
"Apa yang kau katakan sayang?" Gray merangkum kedua pipi wanita itu, saling menempelkan kening sehingga dapat dia merasakan nafas hangat Amayra di wajahnya, "Kau kebahagiaanku, Amayra. Aku mencintaimu."
"Tapi ...."
"Asalkan kau ada disisiku, itu sudah cukup. Kalau kita tidak memiliki bayi memangnya kenapa? Kita masih tetap bahagia, Amayra. Kau dan aku masih bisa bahagia!"
Amayra memeluk Gray dengan erat, obat terbaik untuk sakit yang dia rasakan adalah cinta dari orang terdekat. Hidupnya sudah lebih dari cukup, dicintai oleh pria yang dia cintai, setidaknya itu yang dia pikirkan saat ini.
***
Rumah keluarga Adelard berdiri kokoh dan megah. Ukiran khas Italia sebagian menghiasi bagian-bagian rumah ini dan taman yang mengelilingi rumah itu tampak indah dengan beraneka bunga yang mulai bermekaran.
Sebuah mobil berwarna silver masuk melewati gerbang besi yang menjulang tinggi setelah seorang Security membukakan pintu tersebut. Itu mobil milik Gray--Grayson Adelard. Gray keluar lebih dahulu membukakan pintu untuk Amayra--Amayra Nora Adelard. Tak lama kemudian seorang anak kecil berlari ke arahnya, menghambur memeluk Amayra dengan sangat erat.
"Tante, mana es krim favoritku?! Tante akan membelikanku es krim 'kan!" kedua pipi anak perempuan itu menggembung, sangat lucu. Amayra terkekeh saat melihatnya. Dicubitnya salah satu pipinya yang tembem.
"Baiklah sayang, Nana mau es krim rasa apa?"
"Hmm Apa ya, mau ...."
"Hey ... bocah, berhenti menjadi anak manja. Sekarang biarkan kami masuk dulu!" ucap Gray sambil menyentil hidung Nana, Nana memasang muka cemberutnya memeluk Amayra posesif.
"Mau es krim! Tante Ama ayo belikan es krim, jangan ajak Om!" rengek Nana yang terus bergelayut manja pada Amayra. Wanita itu hanya terkekeh kala Gray yang tidak mau mengalah malah menarik istrinya menjauh dari keponakannya.
"Eh, kalian sudah datang, Nana jangan nakal ...!" sebuah suara menginterupsi ketiganya, yang disapa langsung menatap ke asal suara. Amayra tersenyum, dipeluknya sahabat sekaligus kakak iparnya itu.
Daniela Kelly Adelard, wanita yang sudah menikah dengan Ray yang notabenenya adalah kakak Gray. Sudah menikah selama 9 tahun dan kini keduanya telah dikarunia seorang anak perempuan berusia 8 tahun, Nana Della Adelard yang sangat manja kepada Amayra.
"Tidak apa-apa Daniela namanya juga anak-anak."
"Jangan memanjakannya Amayra, dia itu nakal!" ujar Daniela sambil melihat anak satu-satunya itu sedang bersenda gurau atau lebih tepatnya di 'bully' Gray dengan mencubiti pipinya yang chubby.
"Jangan begitu pada putriku sayang, kau mau ku hukum?!"
Sebuah suara menginterupsi kedua Ibu Rumah Tangga yang sedang asyik bergosip, keduanya menoleh dan melihat Ray--Raymond Adelard--yang berjalan mendekati mereka. Daniela langsung menghadiahi Ray dengan cubitan kecil di perutnya.
"Kak Ray, bergosip adalah kebiasaan kaum wanita yang menyenangkan jadi kau jangan iri!" canda Amayra kepada kakak suaminya itu.
"Mana mungkin iri! Hey, Adikku yang bodoh berhenti menganiaya anakku!" seru Ray saat melihat anak kesayangannya diganggu sang adik. Gray menyeringai menatapnya.
"Kakak yang cerewet dan bodoh, aku suka melihat wajah seriusmu itu menunjukkan dirimu kalau kau benar-benar tidak bodoh …." Gray pun menggendong Nana dan masuk kedalam mobil miliknya, "Tapi kali ini Nana harus bersamaku!"
"Gray, mau kau bawa kemana anakku yang imut itu! Awas saja kalau kau mengajarkan yang aneh-aneh!"
"Tenanglah Ray, Gray hanya ingin mengajak jalan-jalan saja. Kau terlalu berlebihan." Daniela memutar matanya malas dengan sikap suaminya yang terlalu posesif terlebih lagi kepada putri semata wayang mereka. Amayra tertawa melihat kekonyolan di depannya.
"Bodoh, kenapa dia tidak membuat anak sendiri saja. Ini sangat menjengkelkan!" tanpa disadarinya ucapan Ray itu sukses membuat Amayra terdiam hingga Daniela langsung menepuk bahu Ray.
"Maaf Amayra, aku ...."
"Tidak apa-apa Kak ...." Amayra tersenyum, dadanya kembali merasakan perih.
*
Nama cafe itu Cafe Snow, terletak dipinggir laut. Tempat yang cukup strategis karena dekat jalan raya dan gedung-gedung perkantoran. Penikmat es krim juga akan disuguhkan panorama pantai yang indah. Desir angin dari lautan membuat daun-daun pohon nyiur melambai di sepanjang pantai.
"Nana mau es krim rasa apa?" tanya Gray, kedua tangannya memegang setir kemudi mobilnya dan menatap jalan yang dilaluinya. Sesekali dilihatnya anak perempuan yang sedang memainkan boneka barbienya.
"Es krim rasa strawberry!"
Gray mengangguk mendengar permintaan keponakannya itu. Dia menjalankan mobilnya menuju sebuah cafe. Mobil itu terparkir manis di tempat parkir yang disediakan.
Ting
Saat membuka pintu cafe otomatis akan terdengar lonceng berbunyi dan sapaan dari orang berkostum es krim yang merupakan maskot cafe tersebut. Bahkan beberapa orang yang mengunjungi cafe itu menatap Gray dengan tatapan kagum dan teriakan memuja.
Gray hanya tersenyum.
Grayson Adelard, pria berusia 30 tahun, bermata tajam, memiliki rambut berwarna hitam dan proporsional. Wajahnya yang tampan dan karir yang cemerlang membuat fotonya selalu menghiasi sosial media setiap harinya. Gray adalah pemilik restoran terbesar di Jakarta, kepopuleran restorannya bukan hanya di dalam negeri bahkan juga di luar negeri. Tapi untuk sekarang dia hanyalah seorang Om biasa.
"Selamat datang! Jiwamu akan merasakan kesejukan karena rasa es krimku! Selamat menikmati!" seru perempuan berkostum badut maskot dengan ceria dan semangat.
Melihat maskot itu Nana berteriak senang, dia bahkan memeluknya dengan erat. Sang maskot kehilangan keseimbangan, dia mulai terhuyung namun pergerakannya terhenti karena Gray menahannya dari belakang. Di bagian kepala kostum es krim tersebut ada lubang kecil, wajah Gray yang tampan terlihat dari lubang itu.
"Hampir saja kau membuat maskotnya jatuh, Nana!" Gray menghela nafas lalu membantu si maskot berdiri tegak, hampir saja keponakannya membuat kekacauan di cafe tersebut.
"Terima kasih."
"Maafkan keponakanku, dia terlalu bersemangat." Gray melirik keponakannya, "Nana, ayo minta maaf!"
Nana cemberut dan menundukkan kepala, "Maafkan aku."
Maskot berkostum es krim itu memberikan stiker bergambar es krim pada Nana.
"Aku baik-baik saja. Apa kau mau makan es krim?" Maskot itu berbicara ramah pada anak kecil didepannya.
Hari telah mulai senja, Snowball terlihat lelah. Shift kerjanya juga sudah habis, saatnya dia pulang. Snowball pergi ke ruang ganti, dia melepas kostum badutnya. Keringat membanjiri sekujur tubuh dan rambut panjangnya berantakan. Setelah merapikan dirinya dia bersiap untuk pulang."Kau mau langsung pulang, Mia?" seorang pria menyapa gadis yang sedang berjalan cepat menuju pintu keluar."Ah, aku harus menjaga adikku!""Kerja yang bagus, Snowball! Es krim buatanmu yang paling disukai di Cafe!"""Hey, kau itu memuji atau mengejek?!""Snowball itu nama yang lucu 'kan, mulai sekarang aku akan memanggilmu nama itu."
Makan malam yang seharusnya dipenuhi canda tawa terlihat suram, suasana tegang terasa di meja makan Kediaman Adelard. Meski ada anak perempuan yang berceloteh tidak bisa mencairkan suasana tegang disana."Aku dengar siang ini kalian ke Rumah Sakit? Apa ada kabar baik?" Ibu dari Raymond dan Grayson ; Gretta Adelard menatap intens menantunya, Amayra.Amayra gugup tidak tahu harus menjawab apa, saat itu punggung tangannya terasa hangat, Gray meremas telapak tangannya dengan erat. Berusaha menenangkan istrinya.Gray menjawab pertanyaan Ibunya, "Hanya pemeriksaan rutin, Ma. Dokter mengatakan kepada kami kalau kami masih harus berusaha. Benar 'kan Amayra?"Amayra mengangguk dengan cepat.
Empat tahun yang lalu, mereka dua orang yang saling mengenal hanya sebatas mengetahui nama dan keluarga. Selain itu sudah tidak ada lagi hal yang istimewa. Meski begitu ikatan sudah pernah terjalin diantara dua keluarga. Dua orang asing yang seharusnya menjadi pasangan suami istri tapi berhasil dikalahkan oleh orang yang saling mencintai. Perasaan sepihak tentu saja akan kalah dengan cinta yang utuh. Perasaan sepihak itu milik Mia dan cinta yang utuh itu adalah, Gray dan Amayra. "Tunjukkan kakimu yang terkilir!" "Akan ku obati sendiri saja …." Gray memberikan cream obat ke Mia, memijat pelipisnya, dia mulai kehilangan fokus. Hujan malam ini belum menunjukkan tanda akan berhenti. Mata hitam Gray terus mencari
"Sakit ….!" "Aku sangat marah padamu, bagaimana bisa kau melakukan ini? Sudah separah ini kau mengabaikannya begitu saja, apa kau bodoh!" Mia meringis menahan rasa sakit pada kakinya yang siang ini sudah membengkak bahkan warnanya mulai membiru. Perawat yang mengobatinya tidak berhenti bicara, dia memarahi Mia seperti gadis itu putrinya saja. "Yang lebih bodoh lagi, kau tetap pergi bekerja! Apa di kepalamu hanya ada uang, perhatikan kesehatanmu!" Mia menangis keras, Perawat itu mengobatinya dengan kasar karena terlalu emosi. Namun tidak lama karena kemarahan sang Perawat hanya sebentar, dia mengobati kaki Mia dengan lembut. "Terima kasih, Suster S
"Kondisinya sudah membaik, tapi ada yang harus kita bicarakan." Gray yang masih duduk di samping istrinya menoleh, dia melihat Ray dan Daniela yang sudah ada di ruangan itu sejak dirinya datang. Sepertinya tidak ada yang harus disembunyikan lagi. Raut kesedihan terlihat di wajah Daniela, setelah Gray mengatakan penyakit istrinya Daniela tidak berhenti menangis. Ray hanya bisa diam, dia tidak menyangka Gray dan Amayra bisa menyembunyikan kesedihan sendiri dari semua orang dan keluarga besar mereka. Tapi mengingat kondisi Amayra, mereka sepakat merahasiakan hal itu karena kalau sampai Ibu mereka mengetahui kondisi Amayra--Gretta pasti akan langsung memisahkan Gray dan Amayra dengan paksa. Atas persetujuan Gray
Dimalam yang sunyi dan dingin, Mia berjalan gontai. Terlihat keputusasaan di wajahnya. Gadis itu memutuskan pergi ke rumah bosnya yang sekaligus dianggap sahabat. Adrian Shagufta mungkin bisa membantunya. Saat Adrian membuka pintu rumahnya, dia terkejut melihat Mia yang berdiri di depannya dengan keadaan yang memprihatinkan. "Mia, malam-malam begini ada apa?" Mia mengatakan keperluannya datang ke rumah Adrian, membuat pria itu menatapnya sedih. "Kau perlu berapa Mia?" "Aku memerlukan 600 juta, aku janji akan mengembalikannya padamu, aku bahkan rela bekerja di cafe tanpa digaji."
Alat-alat di tubuh Mia sudah mulai dilepas, namun tubuhnya masih terlalu lemah. Mia baru saja mendapatkan kesadarannya setelah koma satu bulan. Dia belum banyak berbicara ataupun bergerak, anggota tubuhnya harus mulai membiasakan diri karena terlalu lama tidak beraktivitas. Mia tidak sendirian di ruangan perawatannya, Adrian duduk di sampingnya. Terlihat kecemasan di wajah pria itu. Tapi Mia tidak memperdulikannya dia membenci pria itu. Bahkan hanya menolak kehadirannya saja Mia tidak bisa. "Aku tahu kau sangat sedih, Mia. Tapi jangan larut dalam kesedihan, Fia tidak akan suka."
Setelah semalaman hujan deras, pagi ini matahari tampak bersinar cerah. Genangan air terlihat di sepanjang jalan. Kondisi Mia sudah mulai membaik, dia masih memakai kursi roda dan kabar baiknya lagi dia sudah diizinkan pulang. Adrian yang menjemput Mia di Rumah Sakit dan mengantarnya pulang ke tempat kost. Sebenarnya Mia tidak menginginkan pria itu berada didekatnya. Sejak malam nista itu, Mia sudah membencinya. Tapi, Adrian tidak pernah menyerah. Setiap mendapat penolakan dia semakin gencar mendekati Mia. "Selamat datang ke rumah, Mia!" Adrian mendorong kursi roda Mia ke dalam rumah. Sudah la
Ketika masuk ke rumah megah itu Mia dan Gray disambut dengan kelopak bunga mawar yang berterbangan di udara. Alunan lagu terdengar merdu dan setiap sudut tempat dihiasi bunga-bunga indah bermekaran. Mia terpesona dengan kejutan pesta resepsi pernikahannya, Gray menoleh ke ibunya. Siapa lagi yang bisa membuat kejutan seindah ini. Gretta tersenyum. Para tamu undangan memberi ucapan selamat pada kedua mempelai pengantin. Mereka yang datang ke acara resepsi pernikahan ini adalah rekan bisnis keluarga Adelard. Pernikahan ini bisa dikatakan sederhana berbeda dengan pernikahan Gray dan Amayra dulu yang sangat mewah. Selalu ada bayangan di bawah cahaya. Setelah insiden yang terjadi di akad pernikahan adik iparnya, Daniela semakin membenci Mia. Hanya satu hal yang bisa mengikat mereka tapi satu hal itu juga yang akan menjadi alasan mereka
Pasangan pengantin berdiri di altar pernikahan, bersalaman dengan para tamu. Senyum menghiasi bibir mereka setelah drama yang menguras emosi. Sementara di sudut tempat, Adrian menatap penuh kepedihan. Dia meninggalkan tempat pernikahan itu diikuti oleh Audrey dan Viona. Gray mengalihkan pandangannya ketika Amayra berdiri di hadapannya. Awalnya Mia tidak memahami penyebab perubahan sikap sang suami tapi ketika mendengar ucapan mereka, Mia mulai paham apa hubungan keduanya. "Selamat atas pernikahanmu, Gray." ucap Amayra dengan senyum manis dibibirnya. "Aku tidak pernah mengundangmu." Gray menggenggam tangan Mia. "Aku berdoa semoga kau selalu bahagia
Gray turun dari altar pernikahannya, dua pria yang sudah lama bersaing di dunia bisnis itu saling bertatap muka. Namun, hanya beberapa detik saja Gray sudah mendaratkan sebuah pukulan keras di wajah Adrian. "Pukulan itu untukmu yang sudah menghancurkan kehidupan Mia, merenggut paksa miliknya!" teriak Gray. Adrian tertawa, sambil mengusap bekas pukulan di wajahnya, "Merenggut paksa kau bilang? Kami melakukannya dalam kondisi sadar dan sama-sama menginginkannya. Tanyalah pada Mia, kami tidak mungkin merasa terpaksa, karena kami melakukannya sampai pagi. Kami sama-sama menikmatinya malam itu karena aku adalah pria pertamanya, aku memperlakukannya dengan sangat baik." Dipelukan Sarah, Mia menangis keras dan tubuhnya gemetaran. Hatinya sangat terluka, dipermalukan di hadapa
Kebaya warna putih membalut tubuhnya, kerudung panjang menutupi rambutnya yang disanggul dan dihiasi bunga-bunga berwarna putih. Meski kebayanya terlihat sedikit kebesaran agar Mia merasa nyaman karena saat ini dia sedang mengandung. Mia terlihat cantik, seulas senyum merekah di bibir ranumnya. Hari baru telah menunggunya, ada kalanya Mia merasa takut. Tapi Gray telah meyakinkannya dan Mia sangat mempercayainya. Senyumnya ada sekarang, itu hanya karena Grayson Adelard. "Mia!" Mia menoleh ke arah pintu yang terbuka, muncul Cindy di balik pintu. Cindy terlihat cantik dengan gaun pestanya yang berwarna krem. Tak lama kemudian Sarah datang. Mia tersenyum bahagia melihat mereka yang datan
"Disinikah?!" "Hmm, sebelah kanan, ambil yang diatasnya!" "Ini?" "Iya, ambil itu, pelan-pelan jangan sampai membuat goyang yang di sebelah nanti bisa jatuh!" "Cerewet sekali, apa kamu tahu aku sangat kesulitan disini!" "Fokus saja pada pekerjaanmu!" "Mia Malva Elard, berani sekali kamu menyuruh anak CEO melakukan ini!" Gray berteriak dari atas, tangannya terus berusaha bekerja mengganti genteng yang bocor dengan yang utuh. Sementara Mia bertugas memegang tangga yang dipijak oleh Gray. "Anak CEO? Bukankah Bos pemilik restoran?
Mobil warna silver Gray berhenti tepat di depan rumah Mia. Gray tidak bisa mampir karena dia ada beberapa hal yang harus diurusnya. Mia mengangguk memaklumi, karena calon suaminya itu sangat sibuk terlebih persiapan pernikahan akan 80% dia urus sendiri. Pasti sangat melelahkan. Mia menautkan kedua alisnya ketika melihat Gray tiba-tiba berhenti jalan dan berbalik menatap dirinya. "Apa ada yang ketinggalan?" tanya Mia dengan wajah bingung. "Jangan lupa minum vitaminmu dan makan yang banyak, kalau tidak mematuhiku aku akan menghukummu lagi!" Mia mengangguk dengan cepat membayangkan hukuman yang dimaksud Gray mungkin seperti d
Seperti biasanya, Mia dan Sarah menikmati hari senja di ruang rumah sambil menonton televisi. Selama hamil muda Sarah memang menyarankan Mia untuk tidak bekerja dan tidak banyak melakukan aktivitas berat. Kebutuhan sehari-hari Mia menggunakan tabungan yang belum terpakai untuk operasi Fia dulu. Angin malam berhembus lembut kedalam rumah melalui pintu yang terbuka, untuk yang ketiga kalinya Mia menghadapi situasi ini. Keluarga Adelard berdiri di depan rumahnya. Mia terlihat gugup, dia bergegas mempersilakan mereka masuk. Mia merasa dejavu dengan situasi ini karena untuk ketiga kalinya Keluarga Adelard melamarnya. Mia masih memiliki keraguan di dalam hati. "Bisakah saya meminta waktu?" ucapan Mia itu mengejutkan Gretta dan keluarga Adelard lainnya, termasuk Gray.
Mia mematut dirinya di depan cermin, mengusap perutnya yang masih rata. Usia kandungannya telah memasuki minggu keempat. Mia masih mengalami mual dan muntah tapi dia sudah bisa mengatasinya. "Dia pasti masih sangat kecil." Mia tidak membenci kehidupan baru di dalam perutnya. Ketika Mia kehilangan orang-orang yang disayanginya dia sangat sedih. Meski melalui sebuah kesalahan akan tetapi kehadiran calon bayinya membawa semangat baru didalam hidup Mia. Mia akan melahirkannya dan merawatnya dengan penuh cinta. Ibu hamil itu berputar di depan cermin, merasa ada yang kurang Mia mengambil bantal lalu memasukkannya ke dalam pakaian. Sekarang dia terlihat seperti ibu yang hamil 7 bulan. Mia tersenyum, rasanya tidak sabar menanti hari itu tiba, ketika si kecil lahir ke dunia.
Seperti wanita hamil pada umumnya yang mengalami morning sickness, Mia juga mengalaminya. Entah sudah berapa kali Mia memuntahkan makanan pagi tadi sekarang tubuhnya sangat lemas dan kepalanya juga pusing. "Apa orang hamil selalu seperti ini?!" Mia memegangi perutnya, perutnya seperti diaduk. Mia kembali memuntahkan isi lambungnya dan kali ini hanya air karena pagi ini dia tidak makan banyak. Mia yang merasa lemas berbaring ditempat tidurnya, dia tidak ingin melakukan apapun. Ketika Mia mulai terlelap suara ketukan pintu membuatnya terkesiap. Dengan gerakan malas Mia bangun dari tempat tidurnya yang nyaman untuk membuka pintu. Seseorang yang berdiri di depan pintu membuat Mia menatap