Diterimanya Sally di perusahaan baru adalah batu loncatan terbaik dalam hidupnya. Setidaknya hal ini akan menjadi dasar kelak bagi dirinya untuk hidup mandiri jika suatu hari harus keluar dari kediaman sang papa.
Sepuluh tahun lalu, Sally dan Carol sempat keluar dari rumah itu dan memilih tinggal di rumah kontrakan yang dibayar oleh Carol sendiri karena tidak tahan dengan makian Briana setiap hari. Namun dua tahunan ini, mereka terpaksa pindah kembali atas suruhan Briana karena Raka terserang struk berat.
Jiwa kemanusiaan Carol tidak tega jika mengacuhkan keadaan suaminya itu. Raka tahu bahwa menikahi Carol untuk menutupi identitas Sally dari gunjingan anak haram adalah keputusan berat bagi Carol, terlebih lagi saat Carol tahu suami barunya itu telah berbohong mengenai statusnya yang sudah menikah lebih dulu.
Menjadikan Carol di posisi bersalah, membuatnya pasrah menerima cercaan dari keluarga Raka dan Briana.
Surat pengunduran diri langsung dibuat oleh Sally setelah mendapat balasan email dari perusahaan kapan dirinya harus mulai bekerja. Di perusahaan ini Sally juga tidak begitu nyaman karena persaingan jabatan yang tidak sehat membuatnya memilih untuk mencari perusahaan lain.
Saat makan siang, Ceri menghubungi Sally. Sapaan sahabatnya itu di sana terdengar senang sekali membuat Sally tahu bahwa berita baik sudah diterima oleh Ceri juga.
"Sal, gua ditawarin pekerjaan baru sebagai asisten public relation. Dan orang yang mereferensikannya itu loe. Memangnya betul??"
"Iya, Cer. Gua diterima di sana untuk posisi jabatan PR dan gua disuruh cari sendiri kandidat wakilnya. Tolong loe terima yah, gua butuh yang bisa gua percaya dan di otak gua cuma ada nama loe doang hehehe."
"Jadi kita kerja bareng dong. Wah! Gua mau banget lah. Oke, Sal. Gua buat surat pengunduran diri dari hari ini, minggu depan kita kerja bareng deh." Ceri senang sekali bisa bekerja bersama sahabatnya.
"Satu lagi Sal, gua berdoa semoga loe bertemu jodoh loe di perusahaan yang baru."
"Hehehe gua belum kepikiran ke sana, Cer." Jawab Sally tidak ingin memperpanjang obrolan soal jodoh.
Hembusan nafas Ceri terdengar di telinga Sally pertanda sahabatnya sedang merengut. "Loe harus mulai membuka lagi lembaran baru Sal, jangan mengharap Sean terus menerus. Memang sih dia juga belum menikah, tapi loe juga ngak bisa kan digantung ngak jelas gini. Ibarat baju dijemur kagak diangkat-angkat."
Ceri hanya terkekeh tidak berusaha terlihat berargumen ataupun terkesan memaksa Sally.
"Perumpamaan loe bisa yang bagusan dikit kali Cer, masa gua diibaratin gantungan baju. Lagipula Sean ngak gantungin gua juga. Sebelum ke Amerika kita memang sudah pisah."
Terdengar dengusan nafas Ceri seakan tidak sepaham denganku.
"Aku harap masa depan kita makin cerah, Cer, dan sekarang yang penting bisa membahagiakan mama.”
Hening sesaat kemudian Ceri mengalihkan soal percintaan Sally.
“Trus hubungan loe sama Pak General Manajer di sana gimana? Dia udah tahu loe mau pindah?”
“Gua baru ngirim surat pengunduran diri sih. Lagian gua udah bilang juga ke dia kalau gua belum mau menjalin hubungan sama siapapun.”
Lagi-lagi terdengar dengusan kasar Ceri. “Pak Arkan itu kesempatan langka loh, Sal. Udah ganteng, baik, kantongnya tebel, keluarganya juga udah kenal sama loe. Pasti jalan loe sama Pak Arkan bakalan mulus.”
“Gua belum bisa, Cer.” Akhirnya Sally mengakui semua alasan menolak pria yang mendekatinya semata-mata karena ia belum bisa melupakan Sean.
Usia Pak Arkan sebenarnya lebih muda setahun dari Sally, entah bagaimana pemuda ini bisa menjabat sebagai general manajer. Banyak yang bilang kalau Arkan adalah anak dari pemilik perusahaan ini dan sedang memperdalam ilmu manajemen.
Percakapan Sally dan Ceri terganggu karena ketukan pintu dalam ruangannya. Sally menatap siapa yang membuka pintu kemudian mulai merasa tidak enak hati.
“Cer, kita ngobrol lagi yah. Ada atasan gua nih masuk. Bye.”
Kemudian Sally ikut berdiri karena tidak enak duduk dihadapan sang atasan yang sudah berdiri dihadapannya memberikan wajah keruh yang sudah bisa ditebak oleh Sally apa penyebab wajah Pak Arkan demikian. Pasti ia sudah membaca email yang dikirimnya beberapa saat lalu.
“Ada apa, Pak?”
“Kenapa kamu berhenti?” Pak Arkan malah membalas pertanyaan Sally dengan pertanyaan.
“Seperti yang sudah saya info di email, Pak. Per minggu depan saya bekerja di perusahaan baru sebagai publik relation di sana.”
Pak Arkan masih diam menunggu penjelasan Sally. Sorot matanya terlihat teduh bercampur kesedihan di sana.
“Maaf, Pak. Ini kesempatan bagi saya untuk bisa mengembangkan diri dalam karier. Saya juga banyak berterima kasih karena Pak Arkan sudah baik dalam membimbing saya di perusahaan ini.”
“Ini masih jam istirahat, Sal. Sudah aku bilang berapa kali sih, panggil namaku. Apa sesulit itu kita jadi dekat?”
Kali ini Sally yang bungkam menunduk, enggan menanggapi ucapan Arkan yang mengarah pada pengakuan perasaannya setengah tahun lalu.
“Sal… Kalau kamu pindah kerja, apa bisa aku tetap berhubungan sama kamu? Atau mungkin mengajak kamu keluar di akhir pekan berduaan. Aku benar-benar ingin dekat dan kenal kamu lebih dalam lagi. Kamu tahu kan perasaanku.” Arkan memberanikan diri menyatakan kembali keinginannya untuk mendekati Sally.
Perempuan yang sudah membuat Arkan jatuh hati sejak gadis itu bekerja magang di perusahaan ini. Dan tentunya membuat Sally sering dicemooh dan dijauhi beberapa karyawati karena Arkan selalu mendekati dan membelanya. Hal ini juga yang membuat Sally enggan bekerja lama di perusahaan ini.
Seorang Viko saja sudah membuatnya kelimpungan menghadapi tuntutan dan kecemburuannya saat mereka dekat. Ditambah lagi Arkan yang terang-terangan menyatakan perasaannya lagi.
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Lagipula saya sudah dijodohkan oleh keluarga saya, makanya saya tidak bisa menjalin hubungan dengan orang lain.”
“Kalau kamu mau, pasti bisa kamu tentang kan. Ini bukan lagi jaman siti nurbaya yang masih kental dengan adat perjodohan, Sal.”
“Tapi saya juga keberatan didekati, Bapak.” Seru Sally bersuara lebih tegas pada Arkan.
“Oke, saya akan menyetujui surat pengunduran diri kamu. Dengan syarat saya yang mengantar kamu pulang di hari terakhir kamu bekerja.”
Sally mendengus dengan sikap keras kepala atasannya itu. Namun demi masa depan, akhirnya Sallu mengangguk menyetujui ajakan Arkan, membuat pemuda itu tersenyum lebar seketika.
“Oke, Jumat ini aku yang akan mengantar kamu pulang.” Lalu berbalik keluar dari ruangan Sally dengan wajah sumringahnya.
Sedangkan Sally hanya menggeleng melihat kelakuan atasannya. Kemudian menyusul keluar ruangan untuk ke toilet. Di dalam bilik toilet, Sally mendengar suara staf lain masuk sambil mencibir tentang dirinya.
“Lihat aja tuh, makin hebat kan guna-gunanya si Sally. Pak Arkan sampai nyamperin ruangan dia mana lama banget lagi.”
Di dalam bilik, Sally mengulum tawa meledek. Lama dari Hongkong, obrolannya tadi paling hanya sekitar 10 menit saja.
“Kata sekretarisnya Pak Arkan, si Sally mau resign. Mungkin karena itu Pak Arkan nyamperin.”
“Yah bagus dong dia resign. Saingan gua ngilang tanpa gua harus cape-cape tending. Mungkin tahu diri kali selama ini gua sindir terus.”
Merasa waktunya di kantor ini tinggal sebentar lagi, Sally keluar dari biliknya lalu menatap wajah Donna dan asistennya yang terlihat kaget ternyata dirinya ada di toilet. Namun Donna sengaja menutupi rasa terkejutnya dengan wajah angkuhnya itu.
Sally mencuci tangannya tanpa menyapa Donna membuat wanita itu malah kesal bukannya tahu diri lalu menyusuli Sally yang sudah keluar duluan tanpa mempedulikan mereka. Donna menarik kasar lengan Sally hingga ia berbalik.
“Heh! Jangan sok sombong tuh muka. Loe keluar dari sini karena ngak bisa dapetin hatinya Pak Arkan kan jadi sekarang mau mancing di kolam lain. Mau cepat kaya ngak kayak gitu caranya!”
“Maaf, saya tidak merasa punya salah sama Mbak Donna. Pak Arkan adalah atasan saya, wajar kalau kami membicarakan masalah pengunduran diri saya.
Asisten Donna cepat-cepat menghampiri dan berbisik. “Ada Pak Arkan keluar dari toilet juga. Dia ada di belakang kita, Mbak.”
Bagai disambar petir, wajah Donna berubah pucat kemudian menoleh ke belakang melihat Arkan dengan tatapan menusuk kepada nya.
“Pak, Pak Arkan…”
Arkan mendekati Donna. “Tadinya saya tidak mau ikut campur masalah kecil dalam kantor ini. Tapi kalau nama saya sudah di bawa-bawa, artinya anda cari masalah dengan saya, Donna!”
Sally hanya diam dan membiarkan Donna mendapatkan karma nya. Orang seperti Donna adalah manusia yang tidak perlu di bela.
“Bu-bukan begitu, Pak.”
Malas melihat drama Donna, Sally memilih masuk ke dalam ruangannya meninggalkan Donna dan Arkan begitu saja. Langkahnya tentu saja menjadi perhatian beberapa staf yang sedang melihat pertunjukkan seru.
Tidak tahu hukuman seperti apa yang akan diberikan Arkan pada Donna. Mungkin SP-1 atau SP-2 dengan alasan membuat keributan dan merusak kenyamanan di kantor.
Sally lebih memilih mengerjakan pekerjaannya agar saat keluar dari perusahaan, ia tidak meninggalkan sisa tanggung jawabnya di sini.
Tidak terasa hari menjelang sore, Sally pulang ke rumahnya terburu-buru lagi menggunakan taksi.
Sama seperti kemarin, ia diminta pulang cepat. Entah ada apa lagi kelakuan Briana kali ini.
Sesampainya di rumah, ada beberapa tamu yang sudah hadir di ruang tamu.
“Nah ini anaknya baru pulang dari kantor. Sally sini, Sayang.” Panggil Brianan yang dibuat-buat lembut dihadapan para tamu nya.
Sally memilih duduk dekat mama-nya. Carol memegang tangan putrinya dengan wajah mengiba merasa kasihan karena tidak berani membantah apa yang sedang Briana lakukan pada putrinya.
“Sally, ini adalah calon suami kamu yang sudah Mama ceritakan ke kamu beberapa hari lalu.”
Rasanya Sally ingin menangis ataupun berteriak melihat calon suami yang dikenalkan kepadanya hari ini. Apa mungkin ia bisa menikah dengan pemuda ini dan bahagia?
Namun entah mengapa saat menatap bola mata calon suaminya, Sally merasa jatuh cinta kembali dengan mata itu.
Pria paruh baya itu nampak masih gagah dan tampan, tersenyum pada Sally didampingi seorang wanita yang diyakininya pasti istri dari pria tersebut.
“Sana, kamu kenalan sama calon istri kamu.”
Briana tidak mau kalah. “Ayo, Sal. Kamu berdiri dan kenalan sama calon suami kamu.”
Jantung Sally berdebar tidak karuan. Hidupnya sudah penuh dengan ketidak adilan tapi kenapa memilih suami pun ia tidak berhak.Sally berusaha berdiri meskipun lututnya terasa lemas. Pemuda itu menghampirinya dan mengulurkan tangan.“Namaku Ben.” Ucap pemuda itu menatap Sally.“Sa-Sally.”Dalam keluarga Sally hanya Briana dan Dania yang tersenyum bahagia melihat pemandangan yang tengah terjadi diantara mereka saat ini. Sedangkan Carol dan Raka sendiri nampak menyembunyikan kesedihan mereka.Jangan ditanya bagaimana perasaan Sally saat ini melihat wajah pemuda yang akan dijodohkan dengannya. Pantas saja Dania tidak bersedia dijodohkan dengan anak dari konglomerat ini, ternyata pemuda ini memiliki kekurangan dari fisiknya.Di wajahnya terdapat dua guratan bekas luka bakar bahkan hampir menutupi pipi juga bibirnya. Mungkin bagi Dania sosok pria dihadapan Sally saat ini layaknya seorang manusia berwujud monster menyeramkan. Namun saat mata Sally menatap mata Ben, entah mengapa jantungnya m
Sally terkejut seolah Sean yang sedang bicara dengannya melalui telefon. Ia menatap layar ponselnya memastikan nama penelpon yang ternyata adalah Ben. Pasti Ben bertanya demikian karena mendengar suara parau Sally. “Oh, Ben. Maaf, aku pikir temanku yang lain.” “Kamu kenapa? Apa habis menangis? Apa kamu menyesal jadi tunanganku?” Tanya Ben. “Hah! Oh, bukan gitu. Hanya teringat masa lalu yang kurang menyenangkan saja makanya.” “Masih ada waktu kalau kamu berubah pikiran, Sally. Aku bakalan ngerti kok, cukup sadar diri sama wajah buruk rupa ku ini memang tidak mudah diterima semua orang.” “Bukan. Bukan begitu, Ben. Maaf kalau aku buat kamu tersinggung.” “Kenapa harus minta maaf? Kamu ngak salah kok. Malah aku senang ternyata ada cewek tulus yang masih mau nerima aku meskipun dijodohkan. Ehm, sebenarnya aku nelfon hanya ingin mulai kenal kamu saja. Bolehkan mulai sekarang kita telfonan begini, ngobrolin apa saja biar saling kenal.” “Iy-iyah, boleh kok. Ngak masalah.” Setelah bicara
Sally Minela seorang gadis sederhana, ia masuk di SMA yang sama dengan Sean, bedanya ia adalah siswi baru di sekolah itu.Sally tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Sejak lahir ia sudah tinggal dengan papa tirinya yang bernama Raka. Ternyata Papa Raka sudah beristri ketika menikah dengan mama nya yang bernama Carol. Waktu pindah ke rumah besar Raka, Sally baru berusia 3 tahun saja. Kehidupan Carol dan Sally bagai di neraka karena Briana bersikap semena-mena pada mereka.Tidak tahan dengan sikap dan perlakuan dari istri pertama Raka yang bernama Briana juga kakak tiri Sally yang bernama Dania. Carol memutuskan keluar dari rumah itu membawa Sally meskipun Raka tidak mau menceraikan Carol. Saat itu Sally baru naik SMP.Raka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Carol dan hal ini membuat Briana marah besar dan mengancam akan menyakiti Carol jika Raka masih berkeras memilih istri mudanya itu. Akhirnya Raka mengalah dan menjauhi Carol juga Sally.Sally sendiri yang sudah mengerti kal
Selalu bertemu dengan Sally setiap hari disekolah membuat dinding pertahanan Sean perlahan melemah meskipun Sally tidak berusaha untuk menarik perhatiannya. Sejak tabrakan kemarin wajah Sally selalu melekat dalam pikirannya mulai merusak dinding yang dibangunnya selama ini dari para kaum hawa. Sally termasuk anak yang cerdas, ia cepat sekali menerima pelajaran dari sekolah barunya. Otomatis Ceri sangat suka dengan menjadi sahabatnya yang punya otak encer dibanding dirinya yang lebih lemot dalam menangkap pelajaran. Ceri tidak bodoh bahkan ia termasuk dalam sepuluh besar peringkat kelas, hanya saja ia perlu waktu lebih banyak dari orang lain untuk menangkap pelajaran yang diajarkan oleh guru.. Sally dan Ceri sering pulang berdua, kebetulan rumah mereka satu komplek. Tidak heran mereka cepat menjadi sahabat, mereka selalu bertemu dan bermain baik di rumah ataupun saat di sekolah. Suatu hari Ceri sakit dan ijin dari sekolah, terpaksa Sally pulang sendiri sambil memasang wajah cemberut
Sally merutuk dalam diamnya karena kebodohan perkataan yang terdengar seperti sedang merayu Sean. Terlebih lagi rona kemerahan yang tidak bisa disembunyikan dari wajah Sally membuat Sean merasa gemas dengan sikap gadis yang dirasa berbeda dari teman-teman lainny. Belum selesai berkutat dengan rasa malu, jawaban Sean malah semakin membuatnya salah tingkah tapi ia pun merasa penasaran apa maksud dari ucapan Sean barusan. "Kenapa harus di depan aku dan Mark saja? Memangnya ada daftar nama orang yang boleh melihat tawa? Kita kan tertawa karena merasa senang dan itu ngak bisa dipaksain." Seru Sally mengeluarkan pendapatnya. "Tidak apa-apa. Oh iya, kalo kamu punya kesulitan pelajaran, kamu bisa tanya ke aku. gini-gini otakku encer juga hahaha." Sadar dirinya juga keceplosan, Sean mengalihkan ucapannya daripada menjawab cecaran pertanyaan Sally yang membuatnya salah tingkah sendiri sambil menggaruk kepalanya. "Dih, pede sama sombong kadang beda tipis loh. Tapi boleh juga nanti kalo aku bin
Sally teringat dengan peristiwa dimana Sean memang pernah meminjam ponselnya dan memasukan nomor kontak Sean ke sana, tapi yang tidak Sally ketahui adalah ternyata Sean memasukkan nomornya ke dalam daftar kontak ponsel Sally. Bodohnya lagi Sally tidak mengecek ponselnya setelah Sean meminjamnya saat itu. "Yah kamu juga ngeselin, ngapain pake nama my boy friend segala simpen nomor kamu di hp aku. Ngagetin aku aja tahu ngak." Ketus Sally merasa malu sendiri memikirkan apa maksud Sean memakai nama itu. "Kan memang aku boy friend kamu, coba diaartiin ke bahasa Indonesia nya deh." Jawab Sean dengan entengnya tanpa merasa bersalah, lebih tepatnya pura-pura polos. Merasa terjebak dengan respon Sean, rasa malu gadis itu semakin menjadi. Emosinya juga naik karena Sally sedang kesal dengan kelakuan kakak tirinya tadi. “Loh, kok malah diam. Coba diartiin, perlu aku kirim kamus?” Goda Sean bahkan terdengar suara kekehan pria itu dan membuat mood Sally semakin kesal saja. "Teman laki-laki. Ud
Tanpa terasa semester pertama tahun ini berakhir, setelah pengambilan rapot semua murid libur dan masuk kembali 2 minggu kemudian. Sean dan Sally juga semakin dekat dan mulai saling nyaman bahkan sesekali Sean berani meminta panggilan video dengan alasan rindu pada Sally sambil bercanda. Sedangkan Sally hanya bisa menerima perlakuan Sean sambil berusaha menahan diri untuk tidak terjebak dalam perasaan lebih dalam lagi pada Sean.Mama Sean berencana membawa Sean ke Amerika untuk liburan dan menikmati salju disana sekaligus melihat universitas di salah satu kota tempat kampus kenamaan yang memang menjadi cita-cita Sean. Samuel, papa kandung Sean mendukung keinginan putra satu-satunya itu meneruskan kuliahnya di universitas pilihan Sean.Sebagai anak dengan berbagai kemudahan fasilitas, Sean selalu menuruti nasihat kedua orang tuanya. Namun tetap saja masih ada kekosongan di hati Sean meskipun dirinya hidup dalam gelimang harta sang ayah.Sean sendiri sudah mengiku
Sally benar-benar bingung harus menanggapi sikap Sean seperti apa. Bersahabat tapi perlakuan Sean semanis gula. Tapi pacaran juga bukan karena Sean tidak pernah mengungkapkan rasa sukanya meskipun sudah beberapa bulan mereka selalu berkomunikasi dengan cara yang sedikit kurang lazim.“Halo… Sally… Kamu masih disana kan?”"Eh iya! Aku bingung sama kamu Sean.”“Bingung kenapa?”“Maaf kalau pertanyaan aku ini agak berani ke kamu. Sebenarnya aku ini siapa buat kamu sampai kamu bilang begini sama aku? Menurut aku kamu juga ngak berhak untuk ngatur aku berteman sama siapa juga kan. Aku juga sama ngak berhak ngatur kamu soal berteman."Sally memberanikan diri memancing Sean untuk memperjelas hubungan mereka. Rasanya aneh saja dia tidak boleh bergaul dengan cowok lain padahal dirinya dan Sean bukan sepasang suami istri. Meskipun mereka pacaran pun Sally merasa masih berhak untuk menentukan dengan siapa dia
Setelah mengetahui kebenaran tentang kesalahan yang dibuat papa Sall. Beberapa saat kemudian Sally meminta Sean untuk mengajaknya ke Surabaya dan mengajak ibunya untuk mengunjungi makam ayahnya.Sean sebenarnya sudah menyiapkan kejutan bagi Sally, namun setelah mendengar keinginan Sally ia harus merubah beberapa rencana.Sean sengaja tidak membuat rencana kerja untuk satu bulan ke depan, sehingga Mark hanya akan mengurus beberapa proyek yang belum selesai saja. Jadwal meeting untuk semua plan baru ia serahkan kepada Mark dan Ceri.Di kantor ruangan CEO kemarin Sean meminta tolong pada sahabatnya."Mark, kali ini gua minta tolong loe handel dan meeting buat planning proyek berikutnya." Ujar Sean sambil terkekeh meringis karena tahu bakalan diledek oleh Mark.Mark tersenyum mendecih meledek. "Awalnya janji ke gua cuma dua minggu, kenapa bisa beranak jadi satu bulan yah.""Sally mau ke makam papanya di Surabaya sama Mama Carol jadi terpaksa gua nambah cuti, lagian gua kan CEO nya, suka s
John dilaporkan oleh Carol dan Sally beberapa tahun lalu untuk laporan percobaan tindakan asusila untuk memberi hukuman jera pada John.Bahkan setelah bebaspun dia harus menjauh dan tidak boleh dekat sama sekali dengan Sally. John marah dengan hukuman yang ia terima. Akhirnya ia menghubungi Mira dan meluapkan kekesalannya."Hallo Mir, loe lagi sama Erik?""Iya, John. Kenapa yah?""Kagak, gua lagi suntuk aja sejak gua dilarang deketin Sally lagi.""John, kenapa ngak move on saja sih. Lupain Sally, masih banyak cewek yang mau sama loe. Loe itu ganteng, body oke, coba deh buka hati loe jangan mainin cewek cuma buat pelampiasan, ngak bagus juga buat kesehatan loe loh. Di dunia ini loe masih bisa ketemu cewek seperti Sally kan.""Kalau loe cuma mau nasehatin gua mending gua tutup aja deh. Gua nongkrong dulu ke klub."Mira menghela nafas dan menasehati temannya lagi meskipun tahu mungkin sia-sia. "Terserah John, jangan minum sampe teler nanti bikin masalah baru lagi.""Ah bawel loe. Yah uda
Malu, adalah perasaan yang kini tengah mendera Carol dan juga Sally setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya di balik misteri meninggalnya Ruben. Sebagian dalam diri Carol menyalahkan dirinya sebagai penyebab dari keputusasaan suaminya demi membuktikan diri memperbaiki perekonomian keluarganya lepas dari bantuan kedua orang tua Ruben.Sedangkan putri mereka di masa sekarang malah sudah menikah dengan bos dari Ruben yang memecatnya dan sempat membuat Carol juga Sally salah paham. Tentu saja Carol merasa malu dan sebagai ibu Sally ia memikirkan perasaan putrinya yang kini sudah menjadi menantu di keluarga Linardi. Saat kedua tangan Carol menangkuo ingin meminta maaf, Reina cepat-cepat menghalangi niatan Carol dan merangkul temannya. "Semua sudah berlalu, jangan kamu hukum diri sendiri atas kesalahan yang tidak kamu buat. Kami tidak membenci kalian bahkan semua sudah berlalu. Kita lihat masa depan saja mulai dari sekarang dan menantikan cucu kita pastinya yah."“Maaf kalau aku sempa
Di dalam ruang kerjanya, Samuel merenung tentang kejadian masa lalu mengenai kejadian di Surabaya yang membuatnya terpaksa harus berurusan dengan hukum untuk pertama kalinya. Saat itu dia baru menjabat sebagai CEO menggantikan papa nya. Setelah mendengar cerita dari Carol lalu mendengar nama suaminya yang sama dengan direksi yang dia pecat waktu dulu membuat Samuel mencari tahu kebenaran hubungan antara Ruben karyawannya dengan Carol. Dan ternyata mereka memang pasangan suami istri dan hal itu membuat Samuel resah karena cerita versi Carol sangat berbeda dengan apa yang terjadi sebenarnya."Aku harus mengungkapkan semua ini dengan Sally dan mamanya. Supaya jangan sampai mereka mendengar dari orang lain."Samue berencana mengundang Sean, Sally dan mamanya Sabtu ini makan bersama di rumahnya. Sehari sebelumnya Samuel menyampaikan hal tersebut ke istrinya dan menceritakan kejadian masa lalu itu ke istrinya agar tidak terjadi kesalahpahaman.Reina terkejut bukan main tidak mengira takdir m
Akhirnya aku dapat melewati rasa trauma setahap demi setahap. Semua karena dukungan orang-orang di sekitarku, mulai dari mama, Mark, Ceri, kedua mertuaku dan yang terutama suamiku sendiri Sean. Dialah yang berperan paling besar memulihkan trauma ku. Mau bersabar menunggu mentalku siap untuk bisa menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri.Semua pengorbanan yang dilakukan nyatanya tidak sia-sia ditambah dengan keinginanku untuk sembuh dari trauma. Bahkan sekarang aku sudah bisa melakukan kewajibanku sebagai seorang istri dan Sean juga yang memberikan dorongan demi dorongan kecil untuk menyemangatiku agar tidak berkecil hati. Merayakan setiap keberhasilan sekecil apapun itu untuk segala hal yang sudah kulakukan . Aku bersyukur dengan cinta pertamaku yang berakhir di pelaminan. Penantian panjang dan hambatan dapat kita hadapi asalkan bersama-sama memanglah benar hanya saja kalau boleh aku tambahkan juga dengan sikap mau berkorban dan memperjuangkan satu dan yang lainnya.Sean selalu m
Mengandung 21+Sean melihat ruangannya sudah didekor dengan lilin-lilin kecil disepanjang jalan menuju kamar mereka. Ia tersenyum sambil meletakkan kantung belanja berisi kado pemberian keluarga dan kerabatnya di acara tadi."Hai Sayang, wah banyak banget kadonya." Sally menyambut suaminya keluar dari kamar mereka bergegas setelah merapikan kejutan di dalam kamar nanti.Sally menghampiri Sean dan memeluknya serta mencium pipi Sean tersenyum malu-malu terlihat dari rona di kedua pipinya."Jadi ini bukan rencana memberi kejutan Mark kan? Tapi buat aku, hayo ngaku.." Sean tersadar kalau apa yang dilakukan Ceri dan istrinya hanya sandiwara bagi Sally untuk menyiapkan semua ini.Sally tersenyum dan berjalan menuju kamar mereka memberikan senyum yang membuat desiran dalam diri Sean. Setelah meletakkan kado di sofa, ia pun bergegas mengejar Sally, menariknya dan mengecup bibir istrinya."Kamu membuatku tergila-gila padamu, Sayang." nafas Sean semakin menderu menahan diri melawan segala gejol
Sally dan Ceri keluar kantor dengan alasan meeting, namun sebenarnya mereka pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli sesuatu dan memesan kue untuk pesta malam nanti. Setelah itu mereka ke penthouse untuk mendekor ruang tidur mereka. Tentu saja mereka pergi dengan supir kantor sesuai perintah Sean, namun mereka meminta supir tersebut untuk mengatakan kalau dia mengantarkan mereka ke kantor klien untuk meeting bukan ke pusat perbelanjaan. Sally merasa bersemangat mempersiapkan kejutan untuk suaminya. Ia ingin membahagiakan Sean yang semestinya sudah dirinya lakukan sebulan lalu semenjak nama belakangnya berubah menjadi nyonya Rolando..Setelah semua selesai, mereka makan siang dekat kantor lalu kembali bekerja seperti biasanya agar Sean tidak mencurigai mereka. Baru kali ini Sally belanja ala sat-set memilih hadiah untuk Sean karena apa yang dicari langsung terlihat oleh matanya dan dia langsung menyukainya dengan cepat.Jam kantor menunjukkan pukul lima sore, Sally dan Ceri naik ke r
Sejak bertemu dengan John dan memutuskan untuk memaafkan serta melupakan rasa takut akan kejadian buruk sampai membuatku trauma dan mengalami mimpi buruk. Sekarang aku merasa lebih relax dan ringan seperti bebanku terangkat. Wajahku lebih ceria dari sebelumnya, ini semua berkat dukungan orang-orang yang menyayangiku dan juga keputusanku untuk berobat ke psikiater.Sean senang melihat perubahan dalam diriku beberapa hari ini. Setiap malam dia selalu mengecup keningku sebelum tidur lalu dengan lembut mengecup bibirku, entah mengapa ada dorongan dalam diriku yang menginginkan lebih dari ini. Tubuhku dengan reflek maju mendekati tubuh Sean, gemetar yang kurasakan sekarang berbeda dari rasa takut akan kilatan bayangan kejadian buruk itu. Melainkan getaran karena desiran yang menuntut dalam diri ini untuk merasakan lebih lagi.Tiba-tiba ciuman hangat itu berhenti dan Sean memelukku lalu tidur. Entah mengapa ada rasa kecewa malam itu tapi aku tidak berani mengatakannya pada Sean. Meskipun ke
Saran dokter psikolog juga Ceri nyatanya benar setelah Sally membuktikannya sendiri. Luka yang dibuat John tidak menghilang dan terlupakan begitu saja oleh Sally ketika memutuskan untuk bertemu dengan John di dalam sel.Namun ada beban berat dalam pikirannya yang terangkat membuat Sally seolah terlepas dari aura kuasa gelap yang selama ini menderanya. Ditambah lagi dengan permintaan maaf John yang terlihat tulus membuat Sally menaruh rasa iba pada kakak kelasnya itu.Cinta itu memang dapat membawa dampak luar biasa bagi seseorang bagai dua sisi yang saling berlawanan. Seperti kisah cinta segitiga antara Sally, Sean juga John. Sean yang cintanya bersambut justru membuatnya menjadi pribadi yang jauh lebih dewasa untuk mengerti kekurangan Sally.Sedangkan John yang cintanya tidak berbalas pada akhirnya menjadikan Sally bak tropi yang harus dimenangkan bagaimanapun caranya bahkan harus menjadi orang jahat sekalipun dia tidak peduli. Namun pada akhirnya John menyerah mengakui kekalahannya.