Jantung Sally berdebar tidak karuan. Hidupnya sudah penuh dengan ketidak adilan tapi kenapa memilih suami pun ia tidak berhak.
Sally berusaha berdiri meskipun lututnya terasa lemas. Pemuda itu menghampirinya dan mengulurkan tangan.
“Namaku Ben.” Ucap pemuda itu menatap Sally.
“Sa-Sally.”
Dalam keluarga Sally hanya Briana dan Dania yang tersenyum bahagia melihat pemandangan yang tengah terjadi diantara mereka saat ini. Sedangkan Carol dan Raka sendiri nampak menyembunyikan kesedihan mereka.
Jangan ditanya bagaimana perasaan Sally saat ini melihat wajah pemuda yang akan dijodohkan dengannya. Pantas saja Dania tidak bersedia dijodohkan dengan anak dari konglomerat ini, ternyata pemuda ini memiliki kekurangan dari fisiknya.
Di wajahnya terdapat dua guratan bekas luka bakar bahkan hampir menutupi pipi juga bibirnya. Mungkin bagi Dania sosok pria dihadapan Sally saat ini layaknya seorang manusia berwujud monster menyeramkan. Namun saat mata Sally menatap mata Ben, entah mengapa jantungnya mulai menggila bahkan wajah menyeramkan Ben seperti tertutup dimatanya. Seakan mata itu mengingatkannya akan seseorang yang selama ini mengisi hatinya dan belum sedikitpun dihempasnya keluar meskipun tidak ada kejelasan dengan perasaannya itu.
“Jadi kamu mau kan menikah sama Ben, Sal? Meskipun kekurangannya secara fisik tapi Ben ini pewaris beberapa perusahaan Pak Samuel.” Ucap Briana tanpa memberi kesempatan Sally untuk mundur sekaligus menyadarkan Sally dari lamunannya itu.
“Iyah, aku mau nikah sama Ben.” Masih menatap mata Ben.
Pemuda itu juga menatap mata Sally dengan perasaan yang sulit diungkapkan.Ben tercengang mendengar jawaban Sally yang langsung setuju.
Katakanlah otak Sally sudah tidak waras, tapi mata itu seolah menghipnotis kesadarannya. Mendorong jiwa yang merindu seakan bertemu dengan pandangan yang selalu ia nantikan.
“Terima kasih kamu mau menerima putra kami jadi calon suami kamu, Sal. Betul apa yang dikatakan orang-orang kalau putri bungsu Pak Raka ini memang hatinya seperti malaikat.” Ucap Pak Samuel tersenyum lega.
Sedangkan Dania nampak merengut seolah tersindir dengan penuturan calon mertua Sally itu.
“Kalau begitu, kita bisa bicarakan masalah mahar kan, Pak.” Seru Briana tidak sabaran.
“Soal itu biar jadi urusan Ben dan Sally saja. Sebagai orang tua, kami mengerti kalau Ben dan Sally harus mengenal satu sama lain lebih dulu. Mungkin tahun depan baru kita langsungkan pernikahan mereka. Minggu depan kita datang kesini lagi untuk mengikat Sally sebagai tunangannya Ben.” Ucap Reina, ibu dari Ben.
Briana mendengus sedikit tidak suka dengan ide dari orang tua Ben itu, sepertinya ia harus lebih bersabar untuk mengeruk harta keluarga Ben. Kalau bisa ia juga rela dijadikan istri kedua Pak Samuel. Lihat saja kelakuan Briana setiap kali bertatapan mata dengan papa Ben, terlihat jelas sedang memancing perhatian pria paruh baya itu.
“Kalau begitu kita pamit dulu.” Ucap Reina yang menangkap gelagat Briana dan membuatnya kesal.
Ben menatap Sally kembali. “Boleh minta nomor kontak kamu? Biar kita bisa chat saling kenal?”
Sally mengangguk kemudian menyebutkan nomor kontak dirinya.
Setelah Ben dan para tamu pulang, Carol langsung menghampiri putrinya. Wajahnya jelas sekali tidak terima putrinya harus menikahi pria dengan wajah penuh luka bakar itu.
“Kamu yakin mau nikah sama, Ben?”
Briana yang mendengar pertanyaan Carol langsung naik emosinya. “Hei! Jangan coba-coba menghasut putrimu untuk tidak jadi menikah! Bagus ada konglomerat yang masih mau nerima anak haram kayak anakmu itu!”
Lalu mengusap lengan Sally dengan lembut, berbeda sekali dengan sikapnya Briana sebelum ini. Jelas saja karena mulai sekarang Sally adalah pohon uangnya.
“Sally sayang, Mama suka kamu menurut. Kamu tidak akan menyesal menikah dengan Ben. Muka rusak bisa dioperasi lagi kan, jadi kamu ngak usah khawatir.”
Kesal mendengar ucapan Briana, Carol akhirnya meluapkan kekesalannya. “Kalau pikiran Kak Bri seperti itu, kenapa ngak Dania saja yang dijodohkan dan Viko bisa kembali sama Sally. Ben punya banyak uang, ajak saja operasi plastis, beres kan.”
“Ma..” Sally mengusap punggung Carol yang benar-benar tidak terima dengan nasib putrinya.
“Heh, Tante tahu diri dong. Aku sama Ben itu jelas ngak selevel. Udah jelek, pakai bajunya norak. Mana mungkin aku gandeng cowok cupu begitu!” Seru Dania ketus sama sekali tidak memperlihatkan rasa hormatnya pada Carol.
Sedangkan Raka tidak bisa berbuat apapun, ia hanya bisa menatap sedih nasib putri sambung yang sudah dianggap sebagai putrinya itu.
“Udah ngakpapa, Mah. Aku capek mau mandi dulu yah.”
Sebelum Sally masuk ke dalam kamarnya, ia mengusap bahu Raka. Meskipun ia tahu Raka bukan ayah kandungnya namun Sally sudah menganggapnya seperti papa kandungnya sendiri dan rela berkorban untuk Raka. Tanpa pria ini, mungkin dirinya dan sang mama akan menjadi gembel jalanan.
Sally, Raka dan Carol selalu makan malam di dapur di tempat berbeda dengan Briana dan Dania. Mereka dilarang menyentuh meja makan mewah bertatahkan marmer murni itu sejak Raka sakit. Hanya kalau ada tamu yang datang atau orang kantor yang menjenguk Raka, mau tidak mau Bri mengijinkan suaminya di sana.
Carol dan Raka tidak hentinya menatap wajah putrinya yang terlihat tidak terganggu sama sekali dengan perjodohannya.
“Sal, kita masih bisa pergi dari sini. Uang tabungan Mama masih cukup buat kita ngontrak rumah. Papa juga keberatan kamu dijodohkan sama Ben. Kamu masih bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik lagi dari Ben.”
Sally tersenyum menanggapi kekhawatiran sang mama. “Aku ngakpapa kok, Mah. Lebih baik menikah dengan pemuda seperti Ben yang punya kekurangan daripada menikah dengan pria yang hanya melihat perempuan dari fisiknya saja.”
“Kamu yakin Ben itu orangnya baik? Kalian juga baru ketemu tadi kan. Jangan bilang karena mata dan suaranya mirip dengan Sean.”
Tebakan Carol benar sekali langsung mengena pada sasaran. Hal yang sama dirasakan Sally saat menatap mata Ben dan mendengar suaranya meskipun suara Ben lebih berat dari suara Sean.
Melihat sikap putrinya, Carol tahu kalau ucapannya benar. “Jangan jadikan Ben sebagai pelampiasan cinta kamu dari Sean, Sal. Kalau memang kamu memilih Ben, Mama harap kamu juga menerimanya sebagai seorang Ben dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bukan karena Sean.”
Sally tersenyum menanggapi penuturan dan dapat merasakan kekhawatirannya.
“Mama sama Papa jangan khawatir. Aku ngak kenapa-napa kok. Waktu lihat Ben, berasa nyaman aja terlepas dari mukanya yang terkena luka bakar. Kan Tante Bri juga bilang bisa bawa Ben nanti operasi plastik buat nyembuhin luka nya dia. Lagian juga baru tunangan, nikahnya masih setahun lagi. Masih ada kesempatan buat saling kenal dulu.”
Carol nampak menghela nafas masih belum ikhlas menerima keputusan putrinya. Namun Sally sudah dewasa dan ia hanya bisa menasehati putrinya, segala keputusan ada ditangan Sally. Carol percaya kalau Sally bukanlah gadis yang bisa membuat keputusan seenaknya tanpa berpikir jernih.
Di dalam kamar tidurnya, Sally melihat sinar di layar ponselnya berkedip tanda pesan masuk.
Sambil bersandar ia melihat pesan yang masuk.
“Hai, Sal. Ini nomorku Ben. Kamu catat yah.”
“Iya.”
Setelah itu Ben tidak lagi mengirim pesan balasan.
Sally memandang ke atas lanit-langit kamarnya, pikirannya berkelana memikirkan kisah masa lalunya dengan Sean. Tidak banyak namun setiap hal yang sempat dilaluinya bersama Sean selama setahun begitu berarti dan masih jelas teringat.
Ia mengangkat tangan kirinya, mengusap gelang yang sudah lama melingkat di sana. Tanda mata terakhir dari Sean saat mereka resmi berpacaran dulu. Gelang itu masih terlihat seperti baru karena Sally selalu merawatnya dengan hati-hati,
Sally mengambil ponsel miliknya kemudian dengan kesadarannya ia memotret tangan kirinya dengan langit-langit kamar sebagai alasnya. Kemudian ia memasukkan foto tersebut dalam sosial media miliknya dengan tulisan ‘Andai waktu boleh diulang kembali, mungkin aku akan meminta kejadian yang berbeda.’ Kemudian ia memasukkan lagu Dan Lagi yang dinyanyikan oleh Indra Sinaga dari grup Lyla.
Air mata Sally jatuh kembali terbuai oleh kata-kata dalam lirik lagu tersebut. Seakan menyiratkan kata yang terpendam darinya untuk Sean. Haruskan dirinya berhenti menanti sampai disini, meskipun hatinya masih tidak mampu untuk menghempas nama Sean dari situ.
Tangisan dalam diam Sally terusik dengan suara dering ponselnya. Tanpa berniat melihat siapa yang menghubungi, Sally langsung menggeser tombol hijau mengangkatnya.
“Halo.”
Mendengar suara serak Sally, sang penelpon pun kebingungan khawatir telah terjadi sesuatu pada gadis itu.
“Sally, kamu kenapa?”
Mata Sally membola mengangkat tubuhnya karena terkejut dengan suara di balik ponsel. Apakah ia tengah berhalusinasi karena sedang menangisi pria yang dirindukannya.
‘Suara itu!’
Ia mematung dengan detak jantung menggila seakan sosok Sean ada di balik suara itu.
Sally terkejut seolah Sean yang sedang bicara dengannya melalui telefon. Ia menatap layar ponselnya memastikan nama penelpon yang ternyata adalah Ben. Pasti Ben bertanya demikian karena mendengar suara parau Sally. “Oh, Ben. Maaf, aku pikir temanku yang lain.” “Kamu kenapa? Apa habis menangis? Apa kamu menyesal jadi tunanganku?” Tanya Ben. “Hah! Oh, bukan gitu. Hanya teringat masa lalu yang kurang menyenangkan saja makanya.” “Masih ada waktu kalau kamu berubah pikiran, Sally. Aku bakalan ngerti kok, cukup sadar diri sama wajah buruk rupa ku ini memang tidak mudah diterima semua orang.” “Bukan. Bukan begitu, Ben. Maaf kalau aku buat kamu tersinggung.” “Kenapa harus minta maaf? Kamu ngak salah kok. Malah aku senang ternyata ada cewek tulus yang masih mau nerima aku meskipun dijodohkan. Ehm, sebenarnya aku nelfon hanya ingin mulai kenal kamu saja. Bolehkan mulai sekarang kita telfonan begini, ngobrolin apa saja biar saling kenal.” “Iy-iyah, boleh kok. Ngak masalah.” Setelah bicara
Sally Minela seorang gadis sederhana, ia masuk di SMA yang sama dengan Sean, bedanya ia adalah siswi baru di sekolah itu.Sally tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Sejak lahir ia sudah tinggal dengan papa tirinya yang bernama Raka. Ternyata Papa Raka sudah beristri ketika menikah dengan mama nya yang bernama Carol. Waktu pindah ke rumah besar Raka, Sally baru berusia 3 tahun saja. Kehidupan Carol dan Sally bagai di neraka karena Briana bersikap semena-mena pada mereka.Tidak tahan dengan sikap dan perlakuan dari istri pertama Raka yang bernama Briana juga kakak tiri Sally yang bernama Dania. Carol memutuskan keluar dari rumah itu membawa Sally meskipun Raka tidak mau menceraikan Carol. Saat itu Sally baru naik SMP.Raka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Carol dan hal ini membuat Briana marah besar dan mengancam akan menyakiti Carol jika Raka masih berkeras memilih istri mudanya itu. Akhirnya Raka mengalah dan menjauhi Carol juga Sally.Sally sendiri yang sudah mengerti kal
Selalu bertemu dengan Sally setiap hari disekolah membuat dinding pertahanan Sean perlahan melemah meskipun Sally tidak berusaha untuk menarik perhatiannya. Sejak tabrakan kemarin wajah Sally selalu melekat dalam pikirannya mulai merusak dinding yang dibangunnya selama ini dari para kaum hawa. Sally termasuk anak yang cerdas, ia cepat sekali menerima pelajaran dari sekolah barunya. Otomatis Ceri sangat suka dengan menjadi sahabatnya yang punya otak encer dibanding dirinya yang lebih lemot dalam menangkap pelajaran. Ceri tidak bodoh bahkan ia termasuk dalam sepuluh besar peringkat kelas, hanya saja ia perlu waktu lebih banyak dari orang lain untuk menangkap pelajaran yang diajarkan oleh guru.. Sally dan Ceri sering pulang berdua, kebetulan rumah mereka satu komplek. Tidak heran mereka cepat menjadi sahabat, mereka selalu bertemu dan bermain baik di rumah ataupun saat di sekolah. Suatu hari Ceri sakit dan ijin dari sekolah, terpaksa Sally pulang sendiri sambil memasang wajah cemberut
Sally merutuk dalam diamnya karena kebodohan perkataan yang terdengar seperti sedang merayu Sean. Terlebih lagi rona kemerahan yang tidak bisa disembunyikan dari wajah Sally membuat Sean merasa gemas dengan sikap gadis yang dirasa berbeda dari teman-teman lainny. Belum selesai berkutat dengan rasa malu, jawaban Sean malah semakin membuatnya salah tingkah tapi ia pun merasa penasaran apa maksud dari ucapan Sean barusan. "Kenapa harus di depan aku dan Mark saja? Memangnya ada daftar nama orang yang boleh melihat tawa? Kita kan tertawa karena merasa senang dan itu ngak bisa dipaksain." Seru Sally mengeluarkan pendapatnya. "Tidak apa-apa. Oh iya, kalo kamu punya kesulitan pelajaran, kamu bisa tanya ke aku. gini-gini otakku encer juga hahaha." Sadar dirinya juga keceplosan, Sean mengalihkan ucapannya daripada menjawab cecaran pertanyaan Sally yang membuatnya salah tingkah sendiri sambil menggaruk kepalanya. "Dih, pede sama sombong kadang beda tipis loh. Tapi boleh juga nanti kalo aku bin
Sally teringat dengan peristiwa dimana Sean memang pernah meminjam ponselnya dan memasukan nomor kontak Sean ke sana, tapi yang tidak Sally ketahui adalah ternyata Sean memasukkan nomornya ke dalam daftar kontak ponsel Sally. Bodohnya lagi Sally tidak mengecek ponselnya setelah Sean meminjamnya saat itu. "Yah kamu juga ngeselin, ngapain pake nama my boy friend segala simpen nomor kamu di hp aku. Ngagetin aku aja tahu ngak." Ketus Sally merasa malu sendiri memikirkan apa maksud Sean memakai nama itu. "Kan memang aku boy friend kamu, coba diaartiin ke bahasa Indonesia nya deh." Jawab Sean dengan entengnya tanpa merasa bersalah, lebih tepatnya pura-pura polos. Merasa terjebak dengan respon Sean, rasa malu gadis itu semakin menjadi. Emosinya juga naik karena Sally sedang kesal dengan kelakuan kakak tirinya tadi. “Loh, kok malah diam. Coba diartiin, perlu aku kirim kamus?” Goda Sean bahkan terdengar suara kekehan pria itu dan membuat mood Sally semakin kesal saja. "Teman laki-laki. Ud
Tanpa terasa semester pertama tahun ini berakhir, setelah pengambilan rapot semua murid libur dan masuk kembali 2 minggu kemudian. Sean dan Sally juga semakin dekat dan mulai saling nyaman bahkan sesekali Sean berani meminta panggilan video dengan alasan rindu pada Sally sambil bercanda. Sedangkan Sally hanya bisa menerima perlakuan Sean sambil berusaha menahan diri untuk tidak terjebak dalam perasaan lebih dalam lagi pada Sean.Mama Sean berencana membawa Sean ke Amerika untuk liburan dan menikmati salju disana sekaligus melihat universitas di salah satu kota tempat kampus kenamaan yang memang menjadi cita-cita Sean. Samuel, papa kandung Sean mendukung keinginan putra satu-satunya itu meneruskan kuliahnya di universitas pilihan Sean.Sebagai anak dengan berbagai kemudahan fasilitas, Sean selalu menuruti nasihat kedua orang tuanya. Namun tetap saja masih ada kekosongan di hati Sean meskipun dirinya hidup dalam gelimang harta sang ayah.Sean sendiri sudah mengiku
Sally benar-benar bingung harus menanggapi sikap Sean seperti apa. Bersahabat tapi perlakuan Sean semanis gula. Tapi pacaran juga bukan karena Sean tidak pernah mengungkapkan rasa sukanya meskipun sudah beberapa bulan mereka selalu berkomunikasi dengan cara yang sedikit kurang lazim.“Halo… Sally… Kamu masih disana kan?”"Eh iya! Aku bingung sama kamu Sean.”“Bingung kenapa?”“Maaf kalau pertanyaan aku ini agak berani ke kamu. Sebenarnya aku ini siapa buat kamu sampai kamu bilang begini sama aku? Menurut aku kamu juga ngak berhak untuk ngatur aku berteman sama siapa juga kan. Aku juga sama ngak berhak ngatur kamu soal berteman."Sally memberanikan diri memancing Sean untuk memperjelas hubungan mereka. Rasanya aneh saja dia tidak boleh bergaul dengan cowok lain padahal dirinya dan Sean bukan sepasang suami istri. Meskipun mereka pacaran pun Sally merasa masih berhak untuk menentukan dengan siapa dia
Sean menatap tajam wajah Sally. Terlihat dari caranya menatap Sally memberitahu kalau ia tidak suka Sally terus membahas tentang Mira yang memang tidak ada hubungan dengannya sama sekali. "Mau aku buktikan kalo gosip itu salah?" Tantang Sean tersenyum membuat Sally bergidik dengan jantung berdebar antara merasa bersalah juga darahnya berdesir bertatapan sedekat ini. "Ish, apaan sih kamu. Minggir…" Sally mendorong Sean mundur, kulit putih wajahnya berganti kemerahan membuat Sean tersenyum gemas melihat reaksi gadis ini. Untung saja pelayan restoran masuk membubarkan obrolan mereka yang berakhir dengan rasa canggung Sally. Sambil menikmati makanan Sally diam sambil mendengar Sean banyak bercerita tentang dirinya. Inilah yang dimaksud hubungan tidak lazim Sean dengan Sally. Percakapan setiap malam via telepon itu selalu didominasi dengan Sean yang lebih banyak bercertita. Padahal di sekolah sikap keduanya seperti orang yang tidak terlalu dekat meskipun belakangan ini mereka sering mak
Setelah mengetahui kebenaran tentang kesalahan yang dibuat papa Sall. Beberapa saat kemudian Sally meminta Sean untuk mengajaknya ke Surabaya dan mengajak ibunya untuk mengunjungi makam ayahnya.Sean sebenarnya sudah menyiapkan kejutan bagi Sally, namun setelah mendengar keinginan Sally ia harus merubah beberapa rencana.Sean sengaja tidak membuat rencana kerja untuk satu bulan ke depan, sehingga Mark hanya akan mengurus beberapa proyek yang belum selesai saja. Jadwal meeting untuk semua plan baru ia serahkan kepada Mark dan Ceri.Di kantor ruangan CEO kemarin Sean meminta tolong pada sahabatnya."Mark, kali ini gua minta tolong loe handel dan meeting buat planning proyek berikutnya." Ujar Sean sambil terkekeh meringis karena tahu bakalan diledek oleh Mark.Mark tersenyum mendecih meledek. "Awalnya janji ke gua cuma dua minggu, kenapa bisa beranak jadi satu bulan yah.""Sally mau ke makam papanya di Surabaya sama Mama Carol jadi terpaksa gua nambah cuti, lagian gua kan CEO nya, suka s
John dilaporkan oleh Carol dan Sally beberapa tahun lalu untuk laporan percobaan tindakan asusila untuk memberi hukuman jera pada John.Bahkan setelah bebaspun dia harus menjauh dan tidak boleh dekat sama sekali dengan Sally. John marah dengan hukuman yang ia terima. Akhirnya ia menghubungi Mira dan meluapkan kekesalannya."Hallo Mir, loe lagi sama Erik?""Iya, John. Kenapa yah?""Kagak, gua lagi suntuk aja sejak gua dilarang deketin Sally lagi.""John, kenapa ngak move on saja sih. Lupain Sally, masih banyak cewek yang mau sama loe. Loe itu ganteng, body oke, coba deh buka hati loe jangan mainin cewek cuma buat pelampiasan, ngak bagus juga buat kesehatan loe loh. Di dunia ini loe masih bisa ketemu cewek seperti Sally kan.""Kalau loe cuma mau nasehatin gua mending gua tutup aja deh. Gua nongkrong dulu ke klub."Mira menghela nafas dan menasehati temannya lagi meskipun tahu mungkin sia-sia. "Terserah John, jangan minum sampe teler nanti bikin masalah baru lagi.""Ah bawel loe. Yah uda
Malu, adalah perasaan yang kini tengah mendera Carol dan juga Sally setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya di balik misteri meninggalnya Ruben. Sebagian dalam diri Carol menyalahkan dirinya sebagai penyebab dari keputusasaan suaminya demi membuktikan diri memperbaiki perekonomian keluarganya lepas dari bantuan kedua orang tua Ruben.Sedangkan putri mereka di masa sekarang malah sudah menikah dengan bos dari Ruben yang memecatnya dan sempat membuat Carol juga Sally salah paham. Tentu saja Carol merasa malu dan sebagai ibu Sally ia memikirkan perasaan putrinya yang kini sudah menjadi menantu di keluarga Linardi. Saat kedua tangan Carol menangkuo ingin meminta maaf, Reina cepat-cepat menghalangi niatan Carol dan merangkul temannya. "Semua sudah berlalu, jangan kamu hukum diri sendiri atas kesalahan yang tidak kamu buat. Kami tidak membenci kalian bahkan semua sudah berlalu. Kita lihat masa depan saja mulai dari sekarang dan menantikan cucu kita pastinya yah."“Maaf kalau aku sempa
Di dalam ruang kerjanya, Samuel merenung tentang kejadian masa lalu mengenai kejadian di Surabaya yang membuatnya terpaksa harus berurusan dengan hukum untuk pertama kalinya. Saat itu dia baru menjabat sebagai CEO menggantikan papa nya. Setelah mendengar cerita dari Carol lalu mendengar nama suaminya yang sama dengan direksi yang dia pecat waktu dulu membuat Samuel mencari tahu kebenaran hubungan antara Ruben karyawannya dengan Carol. Dan ternyata mereka memang pasangan suami istri dan hal itu membuat Samuel resah karena cerita versi Carol sangat berbeda dengan apa yang terjadi sebenarnya."Aku harus mengungkapkan semua ini dengan Sally dan mamanya. Supaya jangan sampai mereka mendengar dari orang lain."Samue berencana mengundang Sean, Sally dan mamanya Sabtu ini makan bersama di rumahnya. Sehari sebelumnya Samuel menyampaikan hal tersebut ke istrinya dan menceritakan kejadian masa lalu itu ke istrinya agar tidak terjadi kesalahpahaman.Reina terkejut bukan main tidak mengira takdir m
Akhirnya aku dapat melewati rasa trauma setahap demi setahap. Semua karena dukungan orang-orang di sekitarku, mulai dari mama, Mark, Ceri, kedua mertuaku dan yang terutama suamiku sendiri Sean. Dialah yang berperan paling besar memulihkan trauma ku. Mau bersabar menunggu mentalku siap untuk bisa menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri.Semua pengorbanan yang dilakukan nyatanya tidak sia-sia ditambah dengan keinginanku untuk sembuh dari trauma. Bahkan sekarang aku sudah bisa melakukan kewajibanku sebagai seorang istri dan Sean juga yang memberikan dorongan demi dorongan kecil untuk menyemangatiku agar tidak berkecil hati. Merayakan setiap keberhasilan sekecil apapun itu untuk segala hal yang sudah kulakukan . Aku bersyukur dengan cinta pertamaku yang berakhir di pelaminan. Penantian panjang dan hambatan dapat kita hadapi asalkan bersama-sama memanglah benar hanya saja kalau boleh aku tambahkan juga dengan sikap mau berkorban dan memperjuangkan satu dan yang lainnya.Sean selalu m
Mengandung 21+Sean melihat ruangannya sudah didekor dengan lilin-lilin kecil disepanjang jalan menuju kamar mereka. Ia tersenyum sambil meletakkan kantung belanja berisi kado pemberian keluarga dan kerabatnya di acara tadi."Hai Sayang, wah banyak banget kadonya." Sally menyambut suaminya keluar dari kamar mereka bergegas setelah merapikan kejutan di dalam kamar nanti.Sally menghampiri Sean dan memeluknya serta mencium pipi Sean tersenyum malu-malu terlihat dari rona di kedua pipinya."Jadi ini bukan rencana memberi kejutan Mark kan? Tapi buat aku, hayo ngaku.." Sean tersadar kalau apa yang dilakukan Ceri dan istrinya hanya sandiwara bagi Sally untuk menyiapkan semua ini.Sally tersenyum dan berjalan menuju kamar mereka memberikan senyum yang membuat desiran dalam diri Sean. Setelah meletakkan kado di sofa, ia pun bergegas mengejar Sally, menariknya dan mengecup bibir istrinya."Kamu membuatku tergila-gila padamu, Sayang." nafas Sean semakin menderu menahan diri melawan segala gejol
Sally dan Ceri keluar kantor dengan alasan meeting, namun sebenarnya mereka pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli sesuatu dan memesan kue untuk pesta malam nanti. Setelah itu mereka ke penthouse untuk mendekor ruang tidur mereka. Tentu saja mereka pergi dengan supir kantor sesuai perintah Sean, namun mereka meminta supir tersebut untuk mengatakan kalau dia mengantarkan mereka ke kantor klien untuk meeting bukan ke pusat perbelanjaan. Sally merasa bersemangat mempersiapkan kejutan untuk suaminya. Ia ingin membahagiakan Sean yang semestinya sudah dirinya lakukan sebulan lalu semenjak nama belakangnya berubah menjadi nyonya Rolando..Setelah semua selesai, mereka makan siang dekat kantor lalu kembali bekerja seperti biasanya agar Sean tidak mencurigai mereka. Baru kali ini Sally belanja ala sat-set memilih hadiah untuk Sean karena apa yang dicari langsung terlihat oleh matanya dan dia langsung menyukainya dengan cepat.Jam kantor menunjukkan pukul lima sore, Sally dan Ceri naik ke r
Sejak bertemu dengan John dan memutuskan untuk memaafkan serta melupakan rasa takut akan kejadian buruk sampai membuatku trauma dan mengalami mimpi buruk. Sekarang aku merasa lebih relax dan ringan seperti bebanku terangkat. Wajahku lebih ceria dari sebelumnya, ini semua berkat dukungan orang-orang yang menyayangiku dan juga keputusanku untuk berobat ke psikiater.Sean senang melihat perubahan dalam diriku beberapa hari ini. Setiap malam dia selalu mengecup keningku sebelum tidur lalu dengan lembut mengecup bibirku, entah mengapa ada dorongan dalam diriku yang menginginkan lebih dari ini. Tubuhku dengan reflek maju mendekati tubuh Sean, gemetar yang kurasakan sekarang berbeda dari rasa takut akan kilatan bayangan kejadian buruk itu. Melainkan getaran karena desiran yang menuntut dalam diri ini untuk merasakan lebih lagi.Tiba-tiba ciuman hangat itu berhenti dan Sean memelukku lalu tidur. Entah mengapa ada rasa kecewa malam itu tapi aku tidak berani mengatakannya pada Sean. Meskipun ke
Saran dokter psikolog juga Ceri nyatanya benar setelah Sally membuktikannya sendiri. Luka yang dibuat John tidak menghilang dan terlupakan begitu saja oleh Sally ketika memutuskan untuk bertemu dengan John di dalam sel.Namun ada beban berat dalam pikirannya yang terangkat membuat Sally seolah terlepas dari aura kuasa gelap yang selama ini menderanya. Ditambah lagi dengan permintaan maaf John yang terlihat tulus membuat Sally menaruh rasa iba pada kakak kelasnya itu.Cinta itu memang dapat membawa dampak luar biasa bagi seseorang bagai dua sisi yang saling berlawanan. Seperti kisah cinta segitiga antara Sally, Sean juga John. Sean yang cintanya bersambut justru membuatnya menjadi pribadi yang jauh lebih dewasa untuk mengerti kekurangan Sally.Sedangkan John yang cintanya tidak berbalas pada akhirnya menjadikan Sally bak tropi yang harus dimenangkan bagaimanapun caranya bahkan harus menjadi orang jahat sekalipun dia tidak peduli. Namun pada akhirnya John menyerah mengakui kekalahannya.