Mikhailov berpikir keras, keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. "Siapa yang bisa menyerang tanpa suara dan mengambil sandra tanpa terdeteksi?" pikirnya dengan cemas. Penjaga yang ditempatkan di dermaga bukan orang sembarangan, mereka terlatih dan bersenjata, tidak mungkin mereka kalah secepat itu. Ada rasa takut yang perlahan merayap di dalam dirinya. Rencana ini tidak lagi berjalan sesuai harapannya. Bagaimana dia akan melapor pada Mr. Vincent?Sementara itu, suara dari telepon terus berbicara, "Tuan, kami butuh instruksi! Kami kehabisan waktu, orang-orang kita…"Mikhailov dengan kasar memutus panggilan itu, tidak ingin mendengar lebih banyak lagi. Dia berdiri diam sejenak, jari-jarinya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Rencananya yang sempurna telah hancur dalam sekejap. Dante telah menyelamatkan keluarganya, tanpa Mikhailov sadari, dan sekarang rencana besar yang ia banggakan berantakan.Dengan satu pukulan keras, dia menghantam meja di depannya. "DANTE!" te
Dante menundukkan kepalanya sejenak. Dia tahu betapa kuatnya prinsip ayahnya. Ayahnya adalah pria yang hidup dengan integritas yang luar biasa, seseorang yang selalu percaya pada keadilan dan kebenaran, tanpa kompromi. Bagi ayahnya, bekerja dengan mafia adalah langkah yang tak termaafkan, meskipun dengan alasan yang jelas.Namun, Dante tahu bahwa ayahnya perlu memahami posisinya. Nexus, yang selalu mendukung Dante, memberinya saran melalui percakapan internal. "Dante, kau harus menyampaikan bahwa keputusanmu ini bukanlah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip keadilan, tetapi cara untuk melindungi keluargamu dan mencari keadilan dengan cara yang berbeda."Dante mengangkat wajahnya lagi, menatap langsung ke mata ayahnya. "Ayah, aku tidak mengkhianati prinsip-prinsip keadilan yang kau ajarkan padaku. Tapi aku menyadari bahwa terkadang, untuk melawan kekuatan yang lebih besar, kita harus menggunakan cara yang berbeda. Lorenzo memang tidak sempurna, tapi dia adalah satu-satunya orang ya
Setelah gagal membuat RV Dante berhenti dengan memukul dan mengancam dari sisi jalan, kelompok begal memutuskan untuk mengambil tindakan lebih agresif. Mereka bergerak cepat dan mengatur strategi baru: memblokir jalan di depan RV dengan motor mereka, berpikir bahwa Dante dan semua anak buahnya akan terpaksa memperlambat dan akhirnya menghentikan kendaraan. Beberapa motor berderet di jalan yang sempit, menghalangi sepenuhnya jalur pegunungan yang sepi itu. Para begal berdiri di samping motor mereka, memegang senjata tajam dan tongkat, siap menyerang begitu RV berhenti. Tawa kecil dan ejekan mulai terdengar di antara mereka, yakin bahwa mereka telah menangkap kendaraan mewah itu.Namun, di balik kemudi, Ace, mendapat instruksi dari Dante. "Jangan berhenti. Terus maju," kata Dante sambil menatap lurus ke depan, wajahnya tanpa ekspresi, meskipun situasinya semakin berbahaya. Nexus, yang terus memberikan analisis, meyakinkan Dante bahwa kecepatan adalah kunci untuk lolos dari jebakan ini.
Setelah para begal tergeletak di tanah, terluka parah dan tak berdaya. Dante berjalan mendekati seorang begal kemudian menendang tulang keringnya hingga menjerit jatuh terkapar di tanah.kemudian Dante berjongkok. “Tangan mana yang sudah berani menyentuh adikku?” Tanya Dante dengan suara rendah mengintimidasi.“Persetan dengan adikmu! Aku akan menikmati tubuhnya di hadapanmu! Segera! Haha…”Dante menyipitkan matanya, menarik tangan kanan orang itu, menjepitnya di tanah dengan lututnya lalu dengan cepat menghujamkan pisau ke tengah kedua telapak tangannya hingga pisau tembus dan menancap di tanah. Tak ayal begal itu kembali berteriak histeris.Nexus, yang terus memantau situasi, mengonfirmasi."Semua ancaman telah dinetralkan. Tidak ada yang tersisa yang bisa melukai keluargamu atau warga desa."Dia mendekati adiknya dan memeluknya erat, menyadari betapa dekatnya dia dari bahaya. "Kau baik-baik saja?" Tanya Dante lembut."Kakak, aku takut," jawab Keelan dengan suara bergetar.“Jangan t
Malam itu di kampung halaman yang biasanya tenang, Dante dan beberapa anak buah Lorenzo tidur di dalam RV motorhome yang diparkir tak jauh dari rumah warisan ibunya. Suasana malam itu terasa damai, hanya suara jangkrik dan angin malam yang bertiup lembut melalui celah pepohonan di sekitar desa. Langit gelap tanpa bulan, dan di dalam RV, Dante sedang terlelap setelah hari yang penuh emosi, memikirkan bagaimana keluarganya bisa bertahan di tengah situasi yang semakin berbahaya.Namun, di tengah keheningan malam itu, Nexus tiba-tiba memberikan peringatan."Dante, bangun! Kita punya masalah besar."Dante terbangun dengan cepat, instingnya langsung bekerja. "Apa yang terjadi, Nexi?" Tanyanya setengah berbisik, dengan adrenalin yang langsung memuncak."Ada sekelompok orang bertopeng yang mengelilingi rumah ibumu. Mereka membawa bensin, dan dari gerak-gerik mereka, mereka berniat membakar rumah itu. Kita harus bertindak cepat."Dante melompat dari tempat tidurnya, langsung membangunkan anak
Di depannya, berdiri seorang pria berkacamata hitam yang terlihat cemas namun berusaha menyembunyikannya. Pria itu adalah mata-mata yang Vincent kirimkan untuk mengawasi setiap pergerakan keluarga Dante."Bagaimana dengan kabar dari desa?" Tanya Vincent dengan nada rendah namun penuh ancaman.Pria itu menundukkan kepala sejenak sebelum berbicara. "Rumah keluarga Dante sudah terbakar sesuai rencana, tapi..." dia ragu sejenak, "...mereka tidak melihat Dante disana, dan keluarga itu selamat dari kebakaran."Mata Vincent menyipit. "Apa maksudmu mereka selamat? Dan bagaimana bisa tidak melihat Dante?" Desaknya dengan nada yang lebih keras, matanya menatap tajam ke arah pria itu."Dan ketika saya menyelidiki plat nomor RV yang digunakan oleh keluarganya, itu terdaftar atas nama Alex Romano," jawab mata-mata itu dengan suara rendah, mengantisipasi kemarahan Vincent. "Dan orang-orang yang berada di dekat keluarga Dante, mereka semua mungkin orang-orangnya Alex Romano, bukan Dante."Vincent me
Saat RV terus melaju di jalanan gelap, meninggalkan desa dan rumah yang masih dilalap api, Dante dan timnya dalam keadaan waspada penuh. Mereka tahu bahwa pengejaran oleh orang-orang Vincent belum selesai. Nexus terus memberikan laporan bahwa para pengejar masih berada di belakang mereka, mendekat dengan cepat. Dante, yang duduk di kursi depan bersama Ace, tahu bahwa mereka tidak bisa melarikan diri selamanya.Namun, Lorenzo telah mempersiapkan segalanya. Tidak lama setelah Dante menerima undangan Lorenzo untuk berlindung di pulau pribadinya, Lorenzo mengirim sekelompok anak buahnya yang terlatih untuk mengeksekusi perintahnya: menghabisi pengejar dan membawa beberapa dari mereka hidup-hidup untuk diinterogasi.Ketika RV masih melaju di jalan pegunungan yang berliku, sekelompok mobil hitam, sekitar selusin mobil SUV, muncul dari arah berlawanan, melaju dengan cepat namun teratur. Anak buah Lorenzo, yang dipimpin oleh Roberto, salah satu orang kepercayaan Lorenzo, bergerak tanpa suar
Setiap gerakannya presisi, seolah-olah dia telah melakukannya ribuan kali. Luca dan Vince yang tadinya skeptis, kini berdiri di sampingnya dengan takjub, memperhatikan bagaimana Dante memimpin di dapur."Wow, kau benar-benar tahu apa yang kau lakukan, Dante," gumam Vince sambil mengangkat alis, terkesan dengan kecepatan Dante memotong dan mengolah bahan-bahan."Kau serius belajar ini kapan?" Tanya Luca sambil tertawa kecil, namun penuh kekaguman.Dante hanya tersenyum tanpa menjawab. Dalam pikirannya, Nexus terus membimbingnya, memberikan informasi yang tepat tentang teknik memanggang daging, memasak sayuran, dan mencampur rempah-rempah dengan sempurna untuk menghasilkan rasa yang seimbang."Kita akan membuat beberapa hidangan," kata Dante dengan tenang. "Mulai dari steak daging sapi panggang dengan saus jamur, sayuran tumis, dan kentang tumbuk yang lembut. Untuk pencuci mulut, kita akan buat panna cotta."Luca dan Vince saling berpandangan, terkejut mendengar menu yang akan dibuat Da
Warga desa menjerit dan menangis, beberapa mencoba berlutut dan memohon kepada Matteo. "Kami tidak tahu apa-apa! Tolong lepaskan kami" Seru seorang pria tua dengan suara bergetar. "Diam!" Bentak Matteo, menendang pria tua itu hingga jatuh ke tanah. Dante, yang bersembunyi di balik tumpukan karung jerami, menahan emosi. Dia mengatur napas, matanya menyipit memandang Matteo dari kejauhan. "Nexus, beri aku rute terbaik untuk mendekatinya, tanpa membahayakan warga desa," bisik Dante dalam hati. "Aku akan mengalihkan perhatian penjaga terdekat," jawab Nexus. "Bersiaplah." Sementara Matteo terus mengancam, Dante memanfaatkan keributan itu untuk melumpuhkan dua penjaga lainnya dengan cepat. Dia bergerak seperti bayangan, melumpuhkan setiap target tanpa suara. Ketika Matteo sadar bahwa hampir semua anak buahnya lenyap, dia menjadi semakin panik dan marah. "Keluar kau, pengecut!" Teriaknya lagi, kali ini sambil melepaskan tembakan ke udara. "Aku pasti akan menangkap dan mencincang
Pagi itu, Lorenzo masih belum sadarkan diri. Alfonso seperti biasa mengganti perban dengan telaten."Dia sangat kuat," ujar Alfonso sambil mengikat perban dengan hati-hati. "Tapi kondisinya tetap harus diawasi. Luka barunya cukup dalam." Dante menghela nafas panjang, "Aku tahu Enzo kuat, tapi tetap saja... melihatnya seperti ini membuatku merasa bersalah."Alfonso menoleh, menepuk bahu Dante dengan lembut. "Kau sudah melakukan lebih dari cukup, anak muda. Kadang, kita hanya bisa menunggu dan berharap."Sambil membereskan kotak obat, Alfonso kembali bicara, “Ngomong-ngomong, tadi di pasar, Rose mendengar berita yang sedang hangat dibahas warga desa, yaitu tentang kediaman Ernesto yang terbakar habis bersama semua penghuninya,” Alfonso melirik Dante, “Alex apa kau yang…”“Kakek, apa menurutmu mereka tidak pantas menerima hukuman dari kejahatan mereka terhadap kalian selama ini?”“Tidak, aku tidak bilang begitu. Justru sebaliknya, apa kau tahu jika warga desa menganggap orang yang sudah
Dante mengangkat kedua tangannya perlahan, tapi matanya tetap menatap Ernesto tanpa rasa takut. "Kau lupa satu hal, Ernesto," kata Dante dengan suara rendah. "Untuk menghadapi orang sepertimu, aku tidak pernah bermain adil." Detik berikutnya, lampu di ruangan itu mendadak padam, suasana menjadi gelap gulita, dan suara perintah dari Nexus terdengar di kepala Dante. "Sekarang!" Kemampuan indra penglihatan Dante yang bisa melihat dalam gelap kembali aktif.Pertarungan sengit pun dimulai, Dante bergerak cepat seperti hantu di antara bayangan samar, anak buah Ernesto tumbang satu per satu, sementara Nexus terus memandu langkahnya. Meski kalah jumlah, Dante tidak akan menyerah sampai Lorenzo aman. “Kalian sudah melihat wajah Lorenzo, hanya mayat yang tidak akan banyak bicara. Jadi kalian semua harus mati,” gumam Dante.Dante memanfaatkan amunisi dan bahan peledak yang disimpan di kediaman Ernesto. Setelah memastikan Lorenzo berada di tempat aman, Dante menyalakan sumbu peledak dan me
Langkah Dante dan Mariana terhenti ketika melihat sesuatu yang tidak biasa. Pintu rumah terbuka lebar, dan barang-barang terlihat berserakan di halaman depan. "Ya Tuhan, apa yang terjadi?" Tanya Mariana dengan suara gemetar. Dante mempercepat langkahnya, meletakkan belanjaan di teras, dan langsung menuju pintu masuk. "Tetap di belakangku," katanya tegas, melindungi Mariana dari kemungkinan bahaya. Saat mereka masuk, pemandangan di ruang tamu membuat Dante terkejut. Meja kayu kecil terbalik, kursi-kursi berserakan, dan beberapa pecahan gelas berserakan di lantai. Tidak jauh, Alfonso tergeletak di lantai dengan wajah penuh luka dan napas tersengal. "Kakek!" Dengan panik Mariana berlari mendekat, berlutut di samping Alfonso. Rose, yang duduk di lantai memegangi kepala Alfonso di pangkuannya, menangis tersedu-sedu. "Mereka datang secara tiba-tiba... mereka melukai Alfonso dan mengambil Enzo," katanya dengan suara gemetar. "Apa yang terjadi? Siapa mereka?" Tanya Dante sambil mem
"Aku tidak akan ke mana-mana," jawab Dante sambil duduk di kursi dekat kasur.Dalam pikirannya, Dante bertanya lagi pada Nexus. "Apa yang bisa aku lakukan agar dia cepat sembuh?""Beri dia waktu," jawab Nexus. "Semakin sering dia merasa aman, semakin cepat otaknya akan pulih. Tapi ini bukan proses yang instan." Dante menghela napas panjang, menatap Lorenzo yang perlahan tertidur dengan ekspresi damai dan polos. "Kau adalah Lorenzo yang legendaris, kenapa jadi begini?" gumamnya pelan. "Aku janji akan membantumu kembali menjadi dirimu kembali." ***Pagi itu, Dante berdiri di samping Lorenzo, menatap sahabat sekaligus bosnya yang kini tampak begitu berbeda. Lorenzo masih memeluk lututnya, wajahnya menatap ke jendela dengan ekspresi polos, seperti anak kecil yang tidak peduli pada dunia. "Ayo, Enzo," ujar Dante sambil menepuk pundaknya dengan lembut. "Kita perlu membersihkan badanmu hari ini." Lorenzo mengalihkan pandangan, wajahnya terlihat bingung. "Mandi?" Tanyanya dengan suara
Pria itu mendengus kesal, lalu memutar badan dan pergi, meninggalkan kedua anak buahnya yang masih tergeletak. "Bawa mereka!" Perintahnya kepada anak buah lain yang menunggu di pinggir desa. Setelah para preman pergi, Dante mengikuti keluarga Alfonso masuk ke dalam rumah. Kakek mengunci pintu dengan tergesa-gesa, wajahnya penuh kekhawatiran. Di ruang tengah, mereka duduk mengelilingi meja kayu kecil. "Bisakah kakek memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Dante. Alfonso menghela napas panjang, menatap Mariana yang masih menangis ketakutan di pelukan neneknya. "Mereka adalah anak buah Don Ernesto, seorang saudagar kaya yang memiliki banyak kekuasaan di desa ini." "Don Ernesto?" Dante mengernyit. "Kenapa dia ingin membawa Mariana?" Rose, mulai berbicara dengan suara sedih. "Semua ini dimulai dua tahun lalu," katanya sambil menggenggam tangan Mariana. "Ernesto datang ke Alfonso dengan tawaran uang untuk membantu perkebunan kami yang hampir bangkrut. Dia bilang itu hadiah
Suasana makan malam di rumah Alfonso terasa hangat, meski hujan deras masih mengguyur di luar. Dante duduk di meja makan, menikmati sup ayam lezat yang membuat perutnya hangat."Dari mana asalmu, Alex?” Tanya Alfonso sambil menyeruput supnya. "Aku... dari kota," jawab Dante singkat. Identitas mereka harus di rahasiakan.Mariana tersenyum kecil, menatap Dante dengan rasa ingin tahu. "Kota itu seperti apa? Aku ingin sekali pergi ke kota, tapi kakek tidak pernah memberikan izin,” katanya pelan. Sebelum Dante menjawab, terdengar ketukan di pintu depan. "Siapa yang datang malam-malam begini?" Gerutu Alfonso sambil bangkit dari kursinya. Dengan kewaspadaan seperti biasa, Alfonso membuka pintu, dan seorang wanita tua berdiri di sana. Tubuhnya basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak-acakan, tapi wajahnya terlihat ramah. Dia memegang sebuah keranjang kecil yang tertutup kain, dengan senyuman di wajahnya. "Bukankah aku sudah katakan padamu untuk pulang besok pagi?” Kata Alfonso dengan
Di dalam rumah sederhana namun terasa hangat itu, kakek Alfonso duduk di samping Lorenzo, tangannya yang tua dan berkeriput masih cekatan membalut luka Lorenzo menggunakan kain yang dicelupkan ke dalam ramuan herbal berwarna kehijauan. “Tuan, anda mengerti pengobatan?” Tanya Dante matanya tidak lepas dari berbagai ramuan yang di pegang Alfonso. Dia tidak bisa membiarkan orang yang baru mereka kenal memberikan sembarang obat pada Lorenzo.“Aku tahu sedikit.”Dante duduk di dekat perapian, memperhatikan dengan cemas setiap gerakan kakek. "Lukanya dalam," kata Alfonso tanpa menoleh. "Aku sudah melakukan usaha terbaik dengan memberikan ramuan obat yang aku buat sendiri. Sekarang semua tergantung padanya." Dante mengernyit. "Maksud Anda?"Alfonso menghela napas panjang, lalu menatap Dante dengan tatapan mata yang serius. "Kalau dia bisa melewati malam ini, dia akan selamat. Tapi kalau demamnya semakin parah…" Alfonso menggeleng pelan, tidak meneruskan kalimatnya, namun Dante mengerti
Air sungai membawa mereka menjauh dari musuh, tapi arus yang kuat membuat Lorenzo kesulitan menjaga kesadarannya. Luka di pinggangnya membuat tubuhnya semakin lemah, namun ia tetap berusaha berenang, menjaga agar Dante tetap di dekatnya. "Kau baik-baik saja?" Tanya Dante dengan suara keras, mencoba melawan suara arus. "Jangan pikirkan aku," sahut Lorenzo sambil mengatur napas. "Kita harus keluar dari sini sebelum arus membawa kita terlalu jauh."Tiba-tiba saja terdapat pusaran air yang cukup kuat menyeret tubuh Lorenzo, dan tanpa ampun kepalanya membentur batu hingga tidak sadarkan diri.Dante berusaha sekuat tenaga menahan tubuh Lorenzo agar tidak tertelan pusaran air. Sambil berpegangan pada akar pohon yang menjuntai, dengan sisa tenaga, Dante berenang menuju tepian sungai, mencari tempat yang aman untuk beristirahat. Malam mulai tiba, dan luka di kepala Lorenzo terlihat parah.***Dante memapah Lorenzo, satu tangannya melingkari tubuh Lorenzo yang lemah, sementara tangan lainny