“Sensor gerak tidak menunjukkan aktivitas abnormal sepanjang malam!” tambah penjaga lain yang bertugas memantau kamera. “Semua kamera menunjukkan bahwa mereka masih ada di dalam sel hingga dini hari! Tapi sekarang… mereka hilang!”Di ruang kontrol utama, para operator mencoba memutar ulang rekaman CCTV, mencari celah atau momen ketika Lorenzo dan Dante mungkin melarikan diri. Namun, semua rekaman terlihat normal, tanpa tanda-tanda gangguan. Sensor panas yang biasa mendeteksi keberadaan manusia tidak menunjukkan adanya perubahan, kedua tahanan itu benar-benar hilang seperti hantu yang bisa menembus tembok.Ketika berita ini sampai ke telinga Kepala Penjara, Warden Mikhailov, wajahnya langsung memerah karena marah dan frustasi. Sebagai pemimpin di salah satu penjara paling ketat di dunia, reputasinya dipertaruhkan. Jika ini terbongkar, karirnya bisa hancur dalam hitungan hari. Dan dia bisa saja dipecat.“Ini tidak mungkin terjadi!” geram Mikhailov sambil berjalan cepat ke ruang kontrol
Ketika para tamu kapal, yang merupakan orang-orang kaya dengan status sosial tinggi dan komunitas jetset, melihat Dante pertama kalinya, mereka segera memasang tatapan merendahkan. Mereka adalah kalangan elit yang hidup dalam kemewahan, dan penampilan Dante yang kumal membuat mereka memandangnya dengan ekspresi jijik.Tidak hanya para tamu, tetapi juga lima pelayan pribadi yang ditugaskan untuk melayani Dante. Gadis-gadis ini adalah pelayan terbaik di kapal, terlatih untuk memberikan layanan kelas atas kepada tamu VIP. Namun, saat mereka melihat Dante untuk pertama kalinya, dengan pakaian tahanan lusuh dan tubuh yang kotor, mereka tidak bisa menyembunyikan rasa tidak suka dan penghinaan dalam hati.Mereka saling melirik satu sama lain, dengan tatapan penuh penghinaan yang tersembunyi di balik senyuman tipis yang mereka paksakan di wajah. "Ini orang yang dipercaya Tuan Lorenzo sebagai orang nomor dua?" Pikir salah satu dari mereka dengan sinis. "Dia terlihat seperti gelandangan." G
“Tidak… tidak ada masalah. Hanya… Tuan Lorenzo menunggu anda untuk sarapan bersama.” “Baik. Katakan padanya aku akan segera kesana.” Sikap mereka berubah seketika. Dari yang sebelumnya enggan untuk melayani Dante, kini mereka justru bersikap lebih antusias dan agresif. Wajah mereka yang semula penuh rasa jijik kini berubah menjadi senyum manis, dan mereka mulai mendekatkan diri ke Dante dengan cara yang lebih ramah dan menggoda. "Tuan Dante, bagaimana jika saya bantu untuk memakai baju?" tanya salah satu dari mereka dengan suara lembut dan penuh perhatian, sikap dinginnya lenyap tanpa bekas. Gadis lainnya segera mendekat dengan sikap yang jauh lebih hangat, menawarkan handuk tambahan dan bahkan menyentuh lembut lengan Dante saat dia memberikannya. "Tuan Dante, setelah sarapan, apa rencana anda? Bagaimana jika kita melakukan sesuatu yang menyegarkan?" tanya gadis lainnya dengan senyum menggoda. “Kita lihat saja nanti.” Dante membiarkan kelima gadis cantik membantunya berpak
Dante mengerti, jelas Lorenzo tidak percaya sepenuhnya.Namun, saat permainan dimulai, Dante mengaktifkan Nexus di pikirannya. Sistem itu dengan cepat memindai setiap gerakan Phantom, menghitung probabilitas dari setiap kartu yang dibagikan, dan memberikan Dante informasi instan tentang strategi terbaik untuk memenangkan setiap ronde."Nexi, bantu aku membaca kartu lawan dan tentukan langkah terbaik," Dante berkata dalam benaknya."Pemain di seberang mu mencoba menipu. Dia menyembunyikan kartu di lengannya. Mainkan strategi ini untuk menjebaknya pada giliran berikutnya," jawab Nexus.Dengan arahan dari Nexus, Dante mulai memenangkan ronde demi ronde. Phantom, yang biasanya tak terkalahkan, mulai berkeringat saat melihat Dante terus mengungguli dia dalam setiap permainan. Dalam waktu singkat, Phantom kalah telak, dan semua chip di meja poker berpindah ke tangan Dante.Raffaele yang melihat kekalahan pertamanya mulai merasakan ketegangan. Namun, dia masih yakin dengan tim profesional la
Dante hanya mengangguk tanpa banyak bicara, fokus pada tugasnya. Dalam waktu singkat, dia telah melumpuhkan beberapa anak buah Raffaele yang mencoba menyerangnya. Sebuah tendangan cepat dari Dante menghantam salah satu penyerang di dadanya, mengirimnya terbang ke meja judi dan membuatnya tergeletak tak berdaya.Kecepatan, kekuatan, dan ketenangan Dante dalam bertarung sekarang jauh di luar kemampuan manusia normal. Nexus terus mengarahkan otaknya, memberikan strategi untuk setiap serangan yang datang dan memandu gerakannya dengan sempurna. Dia bisa merasakan pola gerakan lawan sebelum mereka menyerang, memungkinkan dia untuk selalu selangkah lebih maju.Ketika jumlah anak buah Raffaele mulai berkurang, Dante berhadapan dengan tiga penyerang sekaligus. Mereka mengelilinginya, berpikir bisa menjatuhkannya dengan serangan bersama. Tapi Nexus dengan cepat memberi Dante instruksi. "Serang pria di sebelah kanan terlebih dahulu, lalu gunakan tubuhnya untuk menghalangi serangan dari kiri," k
Ini adalah jackpot terbesar yang pernah terjadi di Le Grand Fortuna."Selamat, Tuan," kata salah satu staf kasino yang mendekati Dante dengan ekspresi terpaksa, mencoba tetap profesional meskipun situasi terasa sangat tidak nyaman bagi mereka. "Ini adalah kemenangan terbesar yang pernah terjadi di sini."Dante menatap staf itu sejenak sebelum melirik ke arah Raffaele, yang tampak tak berdaya dan penuh amarah. Dengan sikap tenang, Dante menatap langsung ke mata Raffaele dan berkata, "Kau seharusnya tahu, Raffaele. Ketika kau bermain kotor, selalu ada seseorang yang bisa bermain lebih cerdas."Raffaele hanya bisa menggertakkan giginya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kekalahannya di atas meja judi, kekalahannya dalam pertempuran, dan sekarang kekalahan finansial yang memalukan, semuanya menghantamnya dengan keras.Setelah memastikan semua uang kemenangannya malam itu masuk ke dalam rekening pribadi atas namanya, dengan sikap puas, Dante berbalik, meninggalkan mesin slot yang kini t
Karena bajunya sedikit kotor, Dante meminta izin kepada Lorenzo kembali ke kamarnya untuk mandi dan mengganti pakaian sebelum bergabung lagi dengan Lorenzo dan Alessandra di dek untuk perayaan yang lebih santai. Selama perjalanannya menuju kamar, Dante teringat uang hasil dari kemenangan judi di kapal Raffaele telah ditransfer ke rekening pribadinya. Jumlahnya sangat besar, jutaan dolar dari jackpot dan kemenangan lainnya. Namun, bagi Dante, ini baru permulaan. Dante memiliki ambisi besar, dan dia membutuhkan lebih banyak sumber daya untuk memperkuat posisinya di organisasi Lorenzo, serta untuk menjalankan rencana balas dendamnya.Untuk menghindari kelima pelayan yang selalu menempel padanya, Dante, membawa laptop ke kamar mandi. Di kamar mandi yang mewah, Dante duduk di kloset tertutup dengan laptop di depannya. Dia membuka akun bank pribadinya dan melihat angka-angka besar yang muncul di layar. Senyum tipis terukir di wajahnya saat dia menatap jumlah jutaan dolar yang kini menjad
Setelah selesai mandi dan ganti baju, Dante bergegas ingin kembali ke tempat pesta, namun baru beberapa langkah keluar dari kamarnya sebuah kejadian kecil menarik perhatiannya.Sebuah ruang tertutup terletak di depan kamar Lorenzo menarik perhatian Dante. Menurut pelayan itu adalah kamar Alessandra. Pintu ruang itu terbuka sedikit, dan dari celah tersebut, Dante melihat seorang pria berbaju hitam dengan gerak-gerik mencurigakan, seakan baru saja melakukan sesuatu di dalam. Pria itu cepat-cepat meninggalkan ruangan, berusaha menghindari tatapan siapa pun yang mungkin melihatnya.Dante yang waspada memperlambat langkahnya, matanya fokus memperhatikan pria itu. Firasatnya mengatakan jika ada sesuatu yang tidak beres. Namun, dia baru disini dan belum mengenal banyak orang. Walau wajahnya asing, tapi mungkin saja pria itu adalah orang-orang Alesandra, yang baru datang bersamanya.Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain.Dante berbalik ingin meninggalkan tempat itu, tapi suara Nexus men
Warga desa menjerit dan menangis, beberapa mencoba berlutut dan memohon kepada Matteo. "Kami tidak tahu apa-apa! Tolong lepaskan kami" Seru seorang pria tua dengan suara bergetar. "Diam!" Bentak Matteo, menendang pria tua itu hingga jatuh ke tanah. Dante, yang bersembunyi di balik tumpukan karung jerami, menahan emosi. Dia mengatur napas, matanya menyipit memandang Matteo dari kejauhan. "Nexus, beri aku rute terbaik untuk mendekatinya, tanpa membahayakan warga desa," bisik Dante dalam hati. "Aku akan mengalihkan perhatian penjaga terdekat," jawab Nexus. "Bersiaplah." Sementara Matteo terus mengancam, Dante memanfaatkan keributan itu untuk melumpuhkan dua penjaga lainnya dengan cepat. Dia bergerak seperti bayangan, melumpuhkan setiap target tanpa suara. Ketika Matteo sadar bahwa hampir semua anak buahnya lenyap, dia menjadi semakin panik dan marah. "Keluar kau, pengecut!" Teriaknya lagi, kali ini sambil melepaskan tembakan ke udara. "Aku pasti akan menangkap dan mencincang
Pagi itu, Lorenzo masih belum sadarkan diri. Alfonso seperti biasa mengganti perban dengan telaten."Dia sangat kuat," ujar Alfonso sambil mengikat perban dengan hati-hati. "Tapi kondisinya tetap harus diawasi. Luka barunya cukup dalam." Dante menghela nafas panjang, "Aku tahu Enzo kuat, tapi tetap saja... melihatnya seperti ini membuatku merasa bersalah."Alfonso menoleh, menepuk bahu Dante dengan lembut. "Kau sudah melakukan lebih dari cukup, anak muda. Kadang, kita hanya bisa menunggu dan berharap."Sambil membereskan kotak obat, Alfonso kembali bicara, “Ngomong-ngomong, tadi di pasar, Rose mendengar berita yang sedang hangat dibahas warga desa, yaitu tentang kediaman Ernesto yang terbakar habis bersama semua penghuninya,” Alfonso melirik Dante, “Alex apa kau yang…”“Kakek, apa menurutmu mereka tidak pantas menerima hukuman dari kejahatan mereka terhadap kalian selama ini?”“Tidak, aku tidak bilang begitu. Justru sebaliknya, apa kau tahu jika warga desa menganggap orang yang sudah
Dante mengangkat kedua tangannya perlahan, tapi matanya tetap menatap Ernesto tanpa rasa takut. "Kau lupa satu hal, Ernesto," kata Dante dengan suara rendah. "Untuk menghadapi orang sepertimu, aku tidak pernah bermain adil." Detik berikutnya, lampu di ruangan itu mendadak padam, suasana menjadi gelap gulita, dan suara perintah dari Nexus terdengar di kepala Dante. "Sekarang!" Kemampuan indra penglihatan Dante yang bisa melihat dalam gelap kembali aktif.Pertarungan sengit pun dimulai, Dante bergerak cepat seperti hantu di antara bayangan samar, anak buah Ernesto tumbang satu per satu, sementara Nexus terus memandu langkahnya. Meski kalah jumlah, Dante tidak akan menyerah sampai Lorenzo aman. “Kalian sudah melihat wajah Lorenzo, hanya mayat yang tidak akan banyak bicara. Jadi kalian semua harus mati,” gumam Dante.Dante memanfaatkan amunisi dan bahan peledak yang disimpan di kediaman Ernesto. Setelah memastikan Lorenzo berada di tempat aman, Dante menyalakan sumbu peledak dan me
Langkah Dante dan Mariana terhenti ketika melihat sesuatu yang tidak biasa. Pintu rumah terbuka lebar, dan barang-barang terlihat berserakan di halaman depan. "Ya Tuhan, apa yang terjadi?" Tanya Mariana dengan suara gemetar. Dante mempercepat langkahnya, meletakkan belanjaan di teras, dan langsung menuju pintu masuk. "Tetap di belakangku," katanya tegas, melindungi Mariana dari kemungkinan bahaya. Saat mereka masuk, pemandangan di ruang tamu membuat Dante terkejut. Meja kayu kecil terbalik, kursi-kursi berserakan, dan beberapa pecahan gelas berserakan di lantai. Tidak jauh, Alfonso tergeletak di lantai dengan wajah penuh luka dan napas tersengal. "Kakek!" Dengan panik Mariana berlari mendekat, berlutut di samping Alfonso. Rose, yang duduk di lantai memegangi kepala Alfonso di pangkuannya, menangis tersedu-sedu. "Mereka datang secara tiba-tiba... mereka melukai Alfonso dan mengambil Enzo," katanya dengan suara gemetar. "Apa yang terjadi? Siapa mereka?" Tanya Dante sambil mem
"Aku tidak akan ke mana-mana," jawab Dante sambil duduk di kursi dekat kasur.Dalam pikirannya, Dante bertanya lagi pada Nexus. "Apa yang bisa aku lakukan agar dia cepat sembuh?""Beri dia waktu," jawab Nexus. "Semakin sering dia merasa aman, semakin cepat otaknya akan pulih. Tapi ini bukan proses yang instan." Dante menghela napas panjang, menatap Lorenzo yang perlahan tertidur dengan ekspresi damai dan polos. "Kau adalah Lorenzo yang legendaris, kenapa jadi begini?" gumamnya pelan. "Aku janji akan membantumu kembali menjadi dirimu kembali." ***Pagi itu, Dante berdiri di samping Lorenzo, menatap sahabat sekaligus bosnya yang kini tampak begitu berbeda. Lorenzo masih memeluk lututnya, wajahnya menatap ke jendela dengan ekspresi polos, seperti anak kecil yang tidak peduli pada dunia. "Ayo, Enzo," ujar Dante sambil menepuk pundaknya dengan lembut. "Kita perlu membersihkan badanmu hari ini." Lorenzo mengalihkan pandangan, wajahnya terlihat bingung. "Mandi?" Tanyanya dengan suara
Pria itu mendengus kesal, lalu memutar badan dan pergi, meninggalkan kedua anak buahnya yang masih tergeletak. "Bawa mereka!" Perintahnya kepada anak buah lain yang menunggu di pinggir desa. Setelah para preman pergi, Dante mengikuti keluarga Alfonso masuk ke dalam rumah. Kakek mengunci pintu dengan tergesa-gesa, wajahnya penuh kekhawatiran. Di ruang tengah, mereka duduk mengelilingi meja kayu kecil. "Bisakah kakek memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Dante. Alfonso menghela napas panjang, menatap Mariana yang masih menangis ketakutan di pelukan neneknya. "Mereka adalah anak buah Don Ernesto, seorang saudagar kaya yang memiliki banyak kekuasaan di desa ini." "Don Ernesto?" Dante mengernyit. "Kenapa dia ingin membawa Mariana?" Rose, mulai berbicara dengan suara sedih. "Semua ini dimulai dua tahun lalu," katanya sambil menggenggam tangan Mariana. "Ernesto datang ke Alfonso dengan tawaran uang untuk membantu perkebunan kami yang hampir bangkrut. Dia bilang itu hadiah
Suasana makan malam di rumah Alfonso terasa hangat, meski hujan deras masih mengguyur di luar. Dante duduk di meja makan, menikmati sup ayam lezat yang membuat perutnya hangat."Dari mana asalmu, Alex?” Tanya Alfonso sambil menyeruput supnya. "Aku... dari kota," jawab Dante singkat. Identitas mereka harus di rahasiakan.Mariana tersenyum kecil, menatap Dante dengan rasa ingin tahu. "Kota itu seperti apa? Aku ingin sekali pergi ke kota, tapi kakek tidak pernah memberikan izin,” katanya pelan. Sebelum Dante menjawab, terdengar ketukan di pintu depan. "Siapa yang datang malam-malam begini?" Gerutu Alfonso sambil bangkit dari kursinya. Dengan kewaspadaan seperti biasa, Alfonso membuka pintu, dan seorang wanita tua berdiri di sana. Tubuhnya basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak-acakan, tapi wajahnya terlihat ramah. Dia memegang sebuah keranjang kecil yang tertutup kain, dengan senyuman di wajahnya. "Bukankah aku sudah katakan padamu untuk pulang besok pagi?” Kata Alfonso dengan
Di dalam rumah sederhana namun terasa hangat itu, kakek Alfonso duduk di samping Lorenzo, tangannya yang tua dan berkeriput masih cekatan membalut luka Lorenzo menggunakan kain yang dicelupkan ke dalam ramuan herbal berwarna kehijauan. “Tuan, anda mengerti pengobatan?” Tanya Dante matanya tidak lepas dari berbagai ramuan yang di pegang Alfonso. Dia tidak bisa membiarkan orang yang baru mereka kenal memberikan sembarang obat pada Lorenzo.“Aku tahu sedikit.”Dante duduk di dekat perapian, memperhatikan dengan cemas setiap gerakan kakek. "Lukanya dalam," kata Alfonso tanpa menoleh. "Aku sudah melakukan usaha terbaik dengan memberikan ramuan obat yang aku buat sendiri. Sekarang semua tergantung padanya." Dante mengernyit. "Maksud Anda?"Alfonso menghela napas panjang, lalu menatap Dante dengan tatapan mata yang serius. "Kalau dia bisa melewati malam ini, dia akan selamat. Tapi kalau demamnya semakin parah…" Alfonso menggeleng pelan, tidak meneruskan kalimatnya, namun Dante mengerti
Air sungai membawa mereka menjauh dari musuh, tapi arus yang kuat membuat Lorenzo kesulitan menjaga kesadarannya. Luka di pinggangnya membuat tubuhnya semakin lemah, namun ia tetap berusaha berenang, menjaga agar Dante tetap di dekatnya. "Kau baik-baik saja?" Tanya Dante dengan suara keras, mencoba melawan suara arus. "Jangan pikirkan aku," sahut Lorenzo sambil mengatur napas. "Kita harus keluar dari sini sebelum arus membawa kita terlalu jauh."Tiba-tiba saja terdapat pusaran air yang cukup kuat menyeret tubuh Lorenzo, dan tanpa ampun kepalanya membentur batu hingga tidak sadarkan diri.Dante berusaha sekuat tenaga menahan tubuh Lorenzo agar tidak tertelan pusaran air. Sambil berpegangan pada akar pohon yang menjuntai, dengan sisa tenaga, Dante berenang menuju tepian sungai, mencari tempat yang aman untuk beristirahat. Malam mulai tiba, dan luka di kepala Lorenzo terlihat parah.***Dante memapah Lorenzo, satu tangannya melingkari tubuh Lorenzo yang lemah, sementara tangan lainny