Vince yang mencoba membela Dante mewakili teman-temannya yang lain hanya bisa terdiam mendengar jawaban bos mereka. Sementara itu Alesandra diam-diam pergi menemui dante, dia penasaran kenapa pria itu berusaha untuk menyakitinya.Dante sedang berbicara serius dengan Nexus, saat Alessandra tiba-tiba muncul di pintu. Dia datang sendirian, di wajahnya terlihat kebingungan dan kekecewaan. Dia tidak mengerti mengapa Dante, orang yang katanya dipercaya oleh ayahnya, malah ingin berbuat jahat. Padahal selain datang untuk merayakan ulang tahun ayahnya, dia juga datang khusus untuk bertemu Dante.Matanya yang mencerminkan kecerdasan menatap Dante dengan campuran penasaran dan rasa ingin tahu."Dante," Alessandra memulai, suaranya dingin namun dengan nada yang terdengar terluka. "Aku ingin tahu… kenapa? Siapa yang menyuruhmu? Apa yang sebenarnya kau rencanakan?"Dante tahu bahwa dia tidak hanya harus membela dirinya, tetapi juga memenangkan kepercayaan Alessandra, mendapat dukungan sepenuhnya
Dante melanjutkan sambil menunjukkan pager di tangannya. "Pada intinya, alat ini memiliki dua fungsi. Yang pertama, seperti yang terlihat, adalah alat komunikasi yang dapat menerima sinyal dan pesan melalui jaringan komunikasi. Ini adalah fitur yang umum. Tetapi bagian yang berbahaya adalah bahwa alat ini telah dimodifikasi untuk memiliki fungsi kedua, fungsi pemicu peledak."Mario tampak bingung. "Bagaimana sebuah pager bisa menjadi pemicu peledak?" Tanyanya dengan alis terangkat.Dante mengangguk, memahami kebingungannya. "Alat seperti ini dimodifikasi dengan menambahkan komponen peledak miniatur yang disembunyikan di dalamnya. Ada dua elemen kunci yang membuat pager ini sangat berbahaya: sensor elektronik yang sangat sensitif, dan bahan peledak yang dapat dipicu dengan sinyal jarak jauh."Dia mengangkat pager itu lebih tinggi agar semua orang bisa melihatnya. "Di dalam pager ini, tersimpan sirkuit mikro yang terhubung dengan bahan peledak berukuran kecil namun sangat kuat. Ketika p
Dalam bukti itu, terungkap bahwa co-pilot adalah bagian dari rencana besar untuk menggulingkan Lorenzo dan mengambil alih kekuasaan. Saat Lorenzo dan yang lainnya sibuk mengurus masalah co-pilot, Alessandra dengan sedikit panik dan wajah yang pucat, segera membawa Dante ke ruang kesehatan di kapal, klinik kecil itu memiliki peralatan medis dan persediaan obat yang sangat lengkap. Ketika mereka memasuki klinik, Alessandra langsung bergerak cepat, membuka lemari obat dan memeriksa persediaan yang ada. "Dante, duduklah di sini," perintahnya sambil menunjukkan tempat tidur medis. Dia terlihat sangat fokus, menunjukkan keahlian dan kepemimpinan yang kuat. "Kau tidak boleh sembarangan. Apa kau tidak berpikir dulu sebelum bertindak?!" Alessandra mulai mengomel sambil mengambil alat medis dan obat-obatan. Dia memeriksa luka di bahu Dante dengan teliti, bersiap untuk membersihkannya dan menjahitnya kembali. Dante, yang sedang duduk di atas meja periksa, hanya bisa menatap Alessandra de
Setelah beberapa saat, Alessandra menarik diri sedikit, mencoba mengontrol emosinya. Dia menatap Dante dengan mata yang masih berbinar, tetapi ada kelegaan yang mulai muncul. "Aku tidak ingin membiarkan masa lalu menghantuiku lebih lama," katanya dengan lebih tenang. "Aku ingin bisa membantu orang lain, dan aku tidak akan membiarkan ketakutan menghalangiku." Dengan wajah penuh haru, Alessandra menatap Dante, merasakan ketulusan dalam kata-katanya. "Terima kasih, Dante. Aku… tidak tahu kenapa aku sangat emosional. Mungkin aku hanya terpengaruh oleh semua yang telah terjadi." Dante tersenyum, merasakan bahwa momen ini telah membawa mereka lebih dekat. "Itu wajar, Alessandra. Kita semua punya rasa takut dan kekhawatiran. Yang penting adalah kita saling mendukung," katanya, berusaha meyakinkan Alessandra bahwa dia tidak sendirian. Dante tersenyum, terkesan dengan tekad yang kuat dalam diri Alessandra. "Menjadi seorang dokter, itu adalah langkah yang benar. Kau sudah melakukan hal heb
Sejenak, keheningan menyelimuti mereka bertiga, hanya diiringi oleh suara ombak yang menghantam lambung kapal. Akhirnya, Lorenzo tersenyum tipis.“Kau tahu, Dante, tidak banyak orang yang berani meminta hal seperti ini,” kata Lorenzo sambil meletakkan gelas anggurnya di meja. “Tapi aku suka keberanianmu. Kau sudah membuktikan dirimu dengan menyelamatkan hidupku di penjara. Jadi, mengapa tidak? Aku setuju.”Senyum tipis Lorenzo melebar, dan dia menatap Dante dengan rasa hormat yang semakin besar. “Kau bukan hanya tangan kananku sekarang, Dante. Kau juga akan menjadi pengawal pribadiku. Aku tidak mempercayai banyak orang, tapi kau berbeda.”“Papa…” Alessandra ingin mengungkapkan jika dia tidak setuju, tapi tidak jadi di ucapkan, sebaliknya dia berkata, “Saat papaku sedang tidak membutuhkanmu kau harus melindungiku.”Lorenzo tertawa, dia mengerti apa maksud putrinya. “Apa kau bisa memenuhi keinginan putriku?”“Tentu.”Dante merasakan kepuasan di dalam hatinya. Rencana telah berhasil deng
Mikhailov menelan ludahnya, merasa seluruh tubuhnya gemetar. "Tuan Vincent, s-saya sangat menyesal. Ini di luar dugaan kami. Dante Corsetti dan Lorenzo Sabatini, mereka kabur dari penjara. Kami sudah memeriksa seluruh sistem keamanan, tapi mereka hilang tanpa jejak."Vincent diam sejenak, memainkan cincin emas di jarinya. "Dante kabur?" Tanyanya, masih dengan senyum kecil yang sama, namun matanya mulai menunjukkan kilatan amarah yang terpendam. "Kau tahu apa artinya ini, Mikhailov?"Mikhailov mengangguk cepat. "Tuan, saya tahu ini buruk. Saya sudah memerintahkan pencarian besar-besaran di seluruh pulau dan sekitarnya. Kami bahkan melibatkan patroli laut dan udara. Tapi mereka tidak ditemukan. Mereka mungkin sudah keluar dari perairan kita."Vincent bersandar ke kursinya, menarik nafas dalam-dalam. "Kau tahu betapa pentingnya Dante tetap di dalam penjara, bukan?" katanya dengan nada dingin. "Dante tahu terlalu banyak. Jika dia menemukan kebenaran, semuanya bisa runtuh. Reputasiku, keku
Ruangan ini dihiasi dengan perabotan antik dan lukisan-lukisan klasik, memberikan nuansa elegan yang menutupi fakta bahwa ini adalah pusat dari berbagai kesepakatan kriminal besar. Di tengah ruangan, terdapat meja kayu besar dengan kursi-kursi kulit yang nyaman. Tempat Lorenzo mengadakan rapat-rapat penting dengan para petinggi organisasinya dan sekutu-sekutu internasional.Salah satu rahasia terbesar La Fortezza adalah bunker bawah tanahnya, yang tersembunyi di bawah kastil. Bunker ini didesain untuk bertahan dari serangan apapun, baik serangan fisik maupun siber. Di sini, Lorenzo menyimpan dokumen-dokumen penting, senjata rahasia, dan bahkan emas serta kekayaan fisik yang menjadi fondasi finansial organisasinya. Di dalam bunker, juga terdapat ruang tahanan khusus untuk menangkap dan menginterogasi musuh atau pengkhianat.Di luar kastil, terdapat taman luas yang dikelilingi oleh pagar listrik. Di tengah taman, terdapat lapangan helikopter yang memungkinkan Lorenzo dan orang-orang pe
Lorenzo tertawa kecil, seolah menganggap perkataan Matteo sebagai lelucon. "Tentu saja, aku tahu kau selalu punya cara untuk menikmati kemegahan pesta, bahkan di saat-saat yang paling tidak terduga." Tatapan Lorenzo tetap tenang, tetapi ada ancaman halus di balik ucapannya, seakan mengingatkan Matteo bahwa dia selalu siap untuk menghadapi rencana tersembunyi apa pun yang sedang dirancang oleh musuh-musuhnya.Matteo mengangkat gelasnya sedikit, memberikan senyum sinis. "Tentu, Lorenzo. Tapi kadang-kadang, kau tahu, pesta terbesar bisa berakhir dengan cara yang paling mengejutkan. Hanya karena kita merayakan kemenangan hari ini, bukan berarti semuanya akan tetap seperti ini besok, kan?"Lorenzo menyipitkan mata, memahami makna di balik kata-kata itu. "Benar sekali, Matteo. Tapi aku percaya bahwa pemimpin sejati tahu bagaimana memastikan pesta-pesta seperti ini tetap berlanjut. Dan mereka tahu cara menghadapi kejutan-kejutan yang datang."Percakapan mereka diiringi tawa ringan, tetapi se
Warga desa menjerit dan menangis, beberapa mencoba berlutut dan memohon kepada Matteo. "Kami tidak tahu apa-apa! Tolong lepaskan kami" Seru seorang pria tua dengan suara bergetar. "Diam!" Bentak Matteo, menendang pria tua itu hingga jatuh ke tanah. Dante, yang bersembunyi di balik tumpukan karung jerami, menahan emosi. Dia mengatur napas, matanya menyipit memandang Matteo dari kejauhan. "Nexus, beri aku rute terbaik untuk mendekatinya, tanpa membahayakan warga desa," bisik Dante dalam hati. "Aku akan mengalihkan perhatian penjaga terdekat," jawab Nexus. "Bersiaplah." Sementara Matteo terus mengancam, Dante memanfaatkan keributan itu untuk melumpuhkan dua penjaga lainnya dengan cepat. Dia bergerak seperti bayangan, melumpuhkan setiap target tanpa suara. Ketika Matteo sadar bahwa hampir semua anak buahnya lenyap, dia menjadi semakin panik dan marah. "Keluar kau, pengecut!" Teriaknya lagi, kali ini sambil melepaskan tembakan ke udara. "Aku pasti akan menangkap dan mencincang
Pagi itu, Lorenzo masih belum sadarkan diri. Alfonso seperti biasa mengganti perban dengan telaten."Dia sangat kuat," ujar Alfonso sambil mengikat perban dengan hati-hati. "Tapi kondisinya tetap harus diawasi. Luka barunya cukup dalam." Dante menghela nafas panjang, "Aku tahu Enzo kuat, tapi tetap saja... melihatnya seperti ini membuatku merasa bersalah."Alfonso menoleh, menepuk bahu Dante dengan lembut. "Kau sudah melakukan lebih dari cukup, anak muda. Kadang, kita hanya bisa menunggu dan berharap."Sambil membereskan kotak obat, Alfonso kembali bicara, “Ngomong-ngomong, tadi di pasar, Rose mendengar berita yang sedang hangat dibahas warga desa, yaitu tentang kediaman Ernesto yang terbakar habis bersama semua penghuninya,” Alfonso melirik Dante, “Alex apa kau yang…”“Kakek, apa menurutmu mereka tidak pantas menerima hukuman dari kejahatan mereka terhadap kalian selama ini?”“Tidak, aku tidak bilang begitu. Justru sebaliknya, apa kau tahu jika warga desa menganggap orang yang sudah
Dante mengangkat kedua tangannya perlahan, tapi matanya tetap menatap Ernesto tanpa rasa takut. "Kau lupa satu hal, Ernesto," kata Dante dengan suara rendah. "Untuk menghadapi orang sepertimu, aku tidak pernah bermain adil." Detik berikutnya, lampu di ruangan itu mendadak padam, suasana menjadi gelap gulita, dan suara perintah dari Nexus terdengar di kepala Dante. "Sekarang!" Kemampuan indra penglihatan Dante yang bisa melihat dalam gelap kembali aktif.Pertarungan sengit pun dimulai, Dante bergerak cepat seperti hantu di antara bayangan samar, anak buah Ernesto tumbang satu per satu, sementara Nexus terus memandu langkahnya. Meski kalah jumlah, Dante tidak akan menyerah sampai Lorenzo aman. “Kalian sudah melihat wajah Lorenzo, hanya mayat yang tidak akan banyak bicara. Jadi kalian semua harus mati,” gumam Dante.Dante memanfaatkan amunisi dan bahan peledak yang disimpan di kediaman Ernesto. Setelah memastikan Lorenzo berada di tempat aman, Dante menyalakan sumbu peledak dan me
Langkah Dante dan Mariana terhenti ketika melihat sesuatu yang tidak biasa. Pintu rumah terbuka lebar, dan barang-barang terlihat berserakan di halaman depan. "Ya Tuhan, apa yang terjadi?" Tanya Mariana dengan suara gemetar. Dante mempercepat langkahnya, meletakkan belanjaan di teras, dan langsung menuju pintu masuk. "Tetap di belakangku," katanya tegas, melindungi Mariana dari kemungkinan bahaya. Saat mereka masuk, pemandangan di ruang tamu membuat Dante terkejut. Meja kayu kecil terbalik, kursi-kursi berserakan, dan beberapa pecahan gelas berserakan di lantai. Tidak jauh, Alfonso tergeletak di lantai dengan wajah penuh luka dan napas tersengal. "Kakek!" Dengan panik Mariana berlari mendekat, berlutut di samping Alfonso. Rose, yang duduk di lantai memegangi kepala Alfonso di pangkuannya, menangis tersedu-sedu. "Mereka datang secara tiba-tiba... mereka melukai Alfonso dan mengambil Enzo," katanya dengan suara gemetar. "Apa yang terjadi? Siapa mereka?" Tanya Dante sambil mem
"Aku tidak akan ke mana-mana," jawab Dante sambil duduk di kursi dekat kasur.Dalam pikirannya, Dante bertanya lagi pada Nexus. "Apa yang bisa aku lakukan agar dia cepat sembuh?""Beri dia waktu," jawab Nexus. "Semakin sering dia merasa aman, semakin cepat otaknya akan pulih. Tapi ini bukan proses yang instan." Dante menghela napas panjang, menatap Lorenzo yang perlahan tertidur dengan ekspresi damai dan polos. "Kau adalah Lorenzo yang legendaris, kenapa jadi begini?" gumamnya pelan. "Aku janji akan membantumu kembali menjadi dirimu kembali." ***Pagi itu, Dante berdiri di samping Lorenzo, menatap sahabat sekaligus bosnya yang kini tampak begitu berbeda. Lorenzo masih memeluk lututnya, wajahnya menatap ke jendela dengan ekspresi polos, seperti anak kecil yang tidak peduli pada dunia. "Ayo, Enzo," ujar Dante sambil menepuk pundaknya dengan lembut. "Kita perlu membersihkan badanmu hari ini." Lorenzo mengalihkan pandangan, wajahnya terlihat bingung. "Mandi?" Tanyanya dengan suara
Pria itu mendengus kesal, lalu memutar badan dan pergi, meninggalkan kedua anak buahnya yang masih tergeletak. "Bawa mereka!" Perintahnya kepada anak buah lain yang menunggu di pinggir desa. Setelah para preman pergi, Dante mengikuti keluarga Alfonso masuk ke dalam rumah. Kakek mengunci pintu dengan tergesa-gesa, wajahnya penuh kekhawatiran. Di ruang tengah, mereka duduk mengelilingi meja kayu kecil. "Bisakah kakek memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Dante. Alfonso menghela napas panjang, menatap Mariana yang masih menangis ketakutan di pelukan neneknya. "Mereka adalah anak buah Don Ernesto, seorang saudagar kaya yang memiliki banyak kekuasaan di desa ini." "Don Ernesto?" Dante mengernyit. "Kenapa dia ingin membawa Mariana?" Rose, mulai berbicara dengan suara sedih. "Semua ini dimulai dua tahun lalu," katanya sambil menggenggam tangan Mariana. "Ernesto datang ke Alfonso dengan tawaran uang untuk membantu perkebunan kami yang hampir bangkrut. Dia bilang itu hadiah
Suasana makan malam di rumah Alfonso terasa hangat, meski hujan deras masih mengguyur di luar. Dante duduk di meja makan, menikmati sup ayam lezat yang membuat perutnya hangat."Dari mana asalmu, Alex?” Tanya Alfonso sambil menyeruput supnya. "Aku... dari kota," jawab Dante singkat. Identitas mereka harus di rahasiakan.Mariana tersenyum kecil, menatap Dante dengan rasa ingin tahu. "Kota itu seperti apa? Aku ingin sekali pergi ke kota, tapi kakek tidak pernah memberikan izin,” katanya pelan. Sebelum Dante menjawab, terdengar ketukan di pintu depan. "Siapa yang datang malam-malam begini?" Gerutu Alfonso sambil bangkit dari kursinya. Dengan kewaspadaan seperti biasa, Alfonso membuka pintu, dan seorang wanita tua berdiri di sana. Tubuhnya basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak-acakan, tapi wajahnya terlihat ramah. Dia memegang sebuah keranjang kecil yang tertutup kain, dengan senyuman di wajahnya. "Bukankah aku sudah katakan padamu untuk pulang besok pagi?” Kata Alfonso dengan
Di dalam rumah sederhana namun terasa hangat itu, kakek Alfonso duduk di samping Lorenzo, tangannya yang tua dan berkeriput masih cekatan membalut luka Lorenzo menggunakan kain yang dicelupkan ke dalam ramuan herbal berwarna kehijauan. “Tuan, anda mengerti pengobatan?” Tanya Dante matanya tidak lepas dari berbagai ramuan yang di pegang Alfonso. Dia tidak bisa membiarkan orang yang baru mereka kenal memberikan sembarang obat pada Lorenzo.“Aku tahu sedikit.”Dante duduk di dekat perapian, memperhatikan dengan cemas setiap gerakan kakek. "Lukanya dalam," kata Alfonso tanpa menoleh. "Aku sudah melakukan usaha terbaik dengan memberikan ramuan obat yang aku buat sendiri. Sekarang semua tergantung padanya." Dante mengernyit. "Maksud Anda?"Alfonso menghela napas panjang, lalu menatap Dante dengan tatapan mata yang serius. "Kalau dia bisa melewati malam ini, dia akan selamat. Tapi kalau demamnya semakin parah…" Alfonso menggeleng pelan, tidak meneruskan kalimatnya, namun Dante mengerti
Air sungai membawa mereka menjauh dari musuh, tapi arus yang kuat membuat Lorenzo kesulitan menjaga kesadarannya. Luka di pinggangnya membuat tubuhnya semakin lemah, namun ia tetap berusaha berenang, menjaga agar Dante tetap di dekatnya. "Kau baik-baik saja?" Tanya Dante dengan suara keras, mencoba melawan suara arus. "Jangan pikirkan aku," sahut Lorenzo sambil mengatur napas. "Kita harus keluar dari sini sebelum arus membawa kita terlalu jauh."Tiba-tiba saja terdapat pusaran air yang cukup kuat menyeret tubuh Lorenzo, dan tanpa ampun kepalanya membentur batu hingga tidak sadarkan diri.Dante berusaha sekuat tenaga menahan tubuh Lorenzo agar tidak tertelan pusaran air. Sambil berpegangan pada akar pohon yang menjuntai, dengan sisa tenaga, Dante berenang menuju tepian sungai, mencari tempat yang aman untuk beristirahat. Malam mulai tiba, dan luka di kepala Lorenzo terlihat parah.***Dante memapah Lorenzo, satu tangannya melingkari tubuh Lorenzo yang lemah, sementara tangan lainny