Mikhailov menelan ludahnya, merasa seluruh tubuhnya gemetar. "Tuan Vincent, s-saya sangat menyesal. Ini di luar dugaan kami. Dante Corsetti dan Lorenzo Sabatini, mereka kabur dari penjara. Kami sudah memeriksa seluruh sistem keamanan, tapi mereka hilang tanpa jejak."Vincent diam sejenak, memainkan cincin emas di jarinya. "Dante kabur?" Tanyanya, masih dengan senyum kecil yang sama, namun matanya mulai menunjukkan kilatan amarah yang terpendam. "Kau tahu apa artinya ini, Mikhailov?"Mikhailov mengangguk cepat. "Tuan, saya tahu ini buruk. Saya sudah memerintahkan pencarian besar-besaran di seluruh pulau dan sekitarnya. Kami bahkan melibatkan patroli laut dan udara. Tapi mereka tidak ditemukan. Mereka mungkin sudah keluar dari perairan kita."Vincent bersandar ke kursinya, menarik nafas dalam-dalam. "Kau tahu betapa pentingnya Dante tetap di dalam penjara, bukan?" katanya dengan nada dingin. "Dante tahu terlalu banyak. Jika dia menemukan kebenaran, semuanya bisa runtuh. Reputasiku, keku
Ruangan ini dihiasi dengan perabotan antik dan lukisan-lukisan klasik, memberikan nuansa elegan yang menutupi fakta bahwa ini adalah pusat dari berbagai kesepakatan kriminal besar. Di tengah ruangan, terdapat meja kayu besar dengan kursi-kursi kulit yang nyaman. Tempat Lorenzo mengadakan rapat-rapat penting dengan para petinggi organisasinya dan sekutu-sekutu internasional.Salah satu rahasia terbesar La Fortezza adalah bunker bawah tanahnya, yang tersembunyi di bawah kastil. Bunker ini didesain untuk bertahan dari serangan apapun, baik serangan fisik maupun siber. Di sini, Lorenzo menyimpan dokumen-dokumen penting, senjata rahasia, dan bahkan emas serta kekayaan fisik yang menjadi fondasi finansial organisasinya. Di dalam bunker, juga terdapat ruang tahanan khusus untuk menangkap dan menginterogasi musuh atau pengkhianat.Di luar kastil, terdapat taman luas yang dikelilingi oleh pagar listrik. Di tengah taman, terdapat lapangan helikopter yang memungkinkan Lorenzo dan orang-orang pe
Lorenzo tertawa kecil, seolah menganggap perkataan Matteo sebagai lelucon. "Tentu saja, aku tahu kau selalu punya cara untuk menikmati kemegahan pesta, bahkan di saat-saat yang paling tidak terduga." Tatapan Lorenzo tetap tenang, tetapi ada ancaman halus di balik ucapannya, seakan mengingatkan Matteo bahwa dia selalu siap untuk menghadapi rencana tersembunyi apa pun yang sedang dirancang oleh musuh-musuhnya.Matteo mengangkat gelasnya sedikit, memberikan senyum sinis. "Tentu, Lorenzo. Tapi kadang-kadang, kau tahu, pesta terbesar bisa berakhir dengan cara yang paling mengejutkan. Hanya karena kita merayakan kemenangan hari ini, bukan berarti semuanya akan tetap seperti ini besok, kan?"Lorenzo menyipitkan mata, memahami makna di balik kata-kata itu. "Benar sekali, Matteo. Tapi aku percaya bahwa pemimpin sejati tahu bagaimana memastikan pesta-pesta seperti ini tetap berlanjut. Dan mereka tahu cara menghadapi kejutan-kejutan yang datang."Percakapan mereka diiringi tawa ringan, tetapi se
Mereka berdua bergerak dengan anggun di atas lantai dansa, menciptakan pemandangan yang memikat. Para tamu yang lain mulai memperhatikan mereka, dan dalam sekejap, semua mata tertuju pada Dante dan Alessandra. Ada chemistry yang jelas antara keduanya, meskipun hubungan mereka baru saja berkembang. Alessandra tampak nyaman dalam pelukan Dante, dan Dante, meskipun baru pertama kali menari, merasa seolah-olah mereka sudah lama bersama.Namun, di sudut lain ruangan, seseorang memperhatikan dengan mata penuh kecemburuan. Damian, putra Matteo, yang sejak kecil menyukai Alessandra, berdiri dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya. Dia telah menyimpan rasa cinta yang dalam kepada Alessandra sejak mereka kecil, dan melihat Dante, pria yang baru saja masuk ke dalam lingkungan mereka, bisa bersama Alessandra, berdansa dan mereka tampak begitu dekat, membuatnya cemburu."Bagaimana mungkin Alessandra memilih dia?" pikir Demian dengan kemarahan. Dia sudah lama menganggap dirinya orang yang paling p
Setiap gerakan terkoordinasi dengan sempurna, seolah-olah mereka sudah tahu setiap sudut dari gudang itu."Ada empat penjaga di dalam, di dekat ruangan dimana keluargamu disekap," kata Nexus di telinga Dante. "Aku akan memberikanmu jalan untuk mencapai mereka tanpa terdeteksi."Dante dan tim Lorenzo segera memasuki gudang di dermaga itu. Mereka bergerak melalui koridor gelap yang sempit, menundukkan beberapa penjaga yang tersisa tanpa suara. Saat mereka mencapai ruangan tempat keluarganya disekap, Dante merasakan jantungnya berdetak kencang.Kedua orang tuanya, saudara laki-lakinya, dan saudara perempuannya terlihat lelah dan ketakutan, tetapi mereka tidak terluka. Mereka diikat di kursi dengan tali kuat, sementara salah satu penjaga Vincent yang tampak cemas berdiri di dekat mereka dengan pistol di tangan."Dante," kata Nexus tiba-tiba. "Aku bisa mengontrol pencahayaan di ruangan ini. Kau bisa menyerang ketika mereka kehilangan pandangan."Dante mengangguk pelan, bersiap. Nexus memat
Mikhailov berpikir keras, keringat dingin mulai menetes di pelipisnya. "Siapa yang bisa menyerang tanpa suara dan mengambil sandra tanpa terdeteksi?" pikirnya dengan cemas. Penjaga yang ditempatkan di dermaga bukan orang sembarangan, mereka terlatih dan bersenjata, tidak mungkin mereka kalah secepat itu. Ada rasa takut yang perlahan merayap di dalam dirinya. Rencana ini tidak lagi berjalan sesuai harapannya. Bagaimana dia akan melapor pada Mr. Vincent?Sementara itu, suara dari telepon terus berbicara, "Tuan, kami butuh instruksi! Kami kehabisan waktu, orang-orang kita…"Mikhailov dengan kasar memutus panggilan itu, tidak ingin mendengar lebih banyak lagi. Dia berdiri diam sejenak, jari-jarinya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Rencananya yang sempurna telah hancur dalam sekejap. Dante telah menyelamatkan keluarganya, tanpa Mikhailov sadari, dan sekarang rencana besar yang ia banggakan berantakan.Dengan satu pukulan keras, dia menghantam meja di depannya. "DANTE!" te
Dante menundukkan kepalanya sejenak. Dia tahu betapa kuatnya prinsip ayahnya. Ayahnya adalah pria yang hidup dengan integritas yang luar biasa, seseorang yang selalu percaya pada keadilan dan kebenaran, tanpa kompromi. Bagi ayahnya, bekerja dengan mafia adalah langkah yang tak termaafkan, meskipun dengan alasan yang jelas.Namun, Dante tahu bahwa ayahnya perlu memahami posisinya. Nexus, yang selalu mendukung Dante, memberinya saran melalui percakapan internal. "Dante, kau harus menyampaikan bahwa keputusanmu ini bukanlah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip keadilan, tetapi cara untuk melindungi keluargamu dan mencari keadilan dengan cara yang berbeda."Dante mengangkat wajahnya lagi, menatap langsung ke mata ayahnya. "Ayah, aku tidak mengkhianati prinsip-prinsip keadilan yang kau ajarkan padaku. Tapi aku menyadari bahwa terkadang, untuk melawan kekuatan yang lebih besar, kita harus menggunakan cara yang berbeda. Lorenzo memang tidak sempurna, tapi dia adalah satu-satunya orang ya
Setelah gagal membuat RV Dante berhenti dengan memukul dan mengancam dari sisi jalan, kelompok begal memutuskan untuk mengambil tindakan lebih agresif. Mereka bergerak cepat dan mengatur strategi baru: memblokir jalan di depan RV dengan motor mereka, berpikir bahwa Dante dan semua anak buahnya akan terpaksa memperlambat dan akhirnya menghentikan kendaraan. Beberapa motor berderet di jalan yang sempit, menghalangi sepenuhnya jalur pegunungan yang sepi itu. Para begal berdiri di samping motor mereka, memegang senjata tajam dan tongkat, siap menyerang begitu RV berhenti. Tawa kecil dan ejekan mulai terdengar di antara mereka, yakin bahwa mereka telah menangkap kendaraan mewah itu.Namun, di balik kemudi, Ace, mendapat instruksi dari Dante. "Jangan berhenti. Terus maju," kata Dante sambil menatap lurus ke depan, wajahnya tanpa ekspresi, meskipun situasinya semakin berbahaya. Nexus, yang terus memberikan analisis, meyakinkan Dante bahwa kecepatan adalah kunci untuk lolos dari jebakan ini.
Warga desa menjerit dan menangis, beberapa mencoba berlutut dan memohon kepada Matteo. "Kami tidak tahu apa-apa! Tolong lepaskan kami" Seru seorang pria tua dengan suara bergetar. "Diam!" Bentak Matteo, menendang pria tua itu hingga jatuh ke tanah. Dante, yang bersembunyi di balik tumpukan karung jerami, menahan emosi. Dia mengatur napas, matanya menyipit memandang Matteo dari kejauhan. "Nexus, beri aku rute terbaik untuk mendekatinya, tanpa membahayakan warga desa," bisik Dante dalam hati. "Aku akan mengalihkan perhatian penjaga terdekat," jawab Nexus. "Bersiaplah." Sementara Matteo terus mengancam, Dante memanfaatkan keributan itu untuk melumpuhkan dua penjaga lainnya dengan cepat. Dia bergerak seperti bayangan, melumpuhkan setiap target tanpa suara. Ketika Matteo sadar bahwa hampir semua anak buahnya lenyap, dia menjadi semakin panik dan marah. "Keluar kau, pengecut!" Teriaknya lagi, kali ini sambil melepaskan tembakan ke udara. "Aku pasti akan menangkap dan mencincang
Pagi itu, Lorenzo masih belum sadarkan diri. Alfonso seperti biasa mengganti perban dengan telaten."Dia sangat kuat," ujar Alfonso sambil mengikat perban dengan hati-hati. "Tapi kondisinya tetap harus diawasi. Luka barunya cukup dalam." Dante menghela nafas panjang, "Aku tahu Enzo kuat, tapi tetap saja... melihatnya seperti ini membuatku merasa bersalah."Alfonso menoleh, menepuk bahu Dante dengan lembut. "Kau sudah melakukan lebih dari cukup, anak muda. Kadang, kita hanya bisa menunggu dan berharap."Sambil membereskan kotak obat, Alfonso kembali bicara, “Ngomong-ngomong, tadi di pasar, Rose mendengar berita yang sedang hangat dibahas warga desa, yaitu tentang kediaman Ernesto yang terbakar habis bersama semua penghuninya,” Alfonso melirik Dante, “Alex apa kau yang…”“Kakek, apa menurutmu mereka tidak pantas menerima hukuman dari kejahatan mereka terhadap kalian selama ini?”“Tidak, aku tidak bilang begitu. Justru sebaliknya, apa kau tahu jika warga desa menganggap orang yang sudah
Dante mengangkat kedua tangannya perlahan, tapi matanya tetap menatap Ernesto tanpa rasa takut. "Kau lupa satu hal, Ernesto," kata Dante dengan suara rendah. "Untuk menghadapi orang sepertimu, aku tidak pernah bermain adil." Detik berikutnya, lampu di ruangan itu mendadak padam, suasana menjadi gelap gulita, dan suara perintah dari Nexus terdengar di kepala Dante. "Sekarang!" Kemampuan indra penglihatan Dante yang bisa melihat dalam gelap kembali aktif.Pertarungan sengit pun dimulai, Dante bergerak cepat seperti hantu di antara bayangan samar, anak buah Ernesto tumbang satu per satu, sementara Nexus terus memandu langkahnya. Meski kalah jumlah, Dante tidak akan menyerah sampai Lorenzo aman. “Kalian sudah melihat wajah Lorenzo, hanya mayat yang tidak akan banyak bicara. Jadi kalian semua harus mati,” gumam Dante.Dante memanfaatkan amunisi dan bahan peledak yang disimpan di kediaman Ernesto. Setelah memastikan Lorenzo berada di tempat aman, Dante menyalakan sumbu peledak dan me
Langkah Dante dan Mariana terhenti ketika melihat sesuatu yang tidak biasa. Pintu rumah terbuka lebar, dan barang-barang terlihat berserakan di halaman depan. "Ya Tuhan, apa yang terjadi?" Tanya Mariana dengan suara gemetar. Dante mempercepat langkahnya, meletakkan belanjaan di teras, dan langsung menuju pintu masuk. "Tetap di belakangku," katanya tegas, melindungi Mariana dari kemungkinan bahaya. Saat mereka masuk, pemandangan di ruang tamu membuat Dante terkejut. Meja kayu kecil terbalik, kursi-kursi berserakan, dan beberapa pecahan gelas berserakan di lantai. Tidak jauh, Alfonso tergeletak di lantai dengan wajah penuh luka dan napas tersengal. "Kakek!" Dengan panik Mariana berlari mendekat, berlutut di samping Alfonso. Rose, yang duduk di lantai memegangi kepala Alfonso di pangkuannya, menangis tersedu-sedu. "Mereka datang secara tiba-tiba... mereka melukai Alfonso dan mengambil Enzo," katanya dengan suara gemetar. "Apa yang terjadi? Siapa mereka?" Tanya Dante sambil mem
"Aku tidak akan ke mana-mana," jawab Dante sambil duduk di kursi dekat kasur.Dalam pikirannya, Dante bertanya lagi pada Nexus. "Apa yang bisa aku lakukan agar dia cepat sembuh?""Beri dia waktu," jawab Nexus. "Semakin sering dia merasa aman, semakin cepat otaknya akan pulih. Tapi ini bukan proses yang instan." Dante menghela napas panjang, menatap Lorenzo yang perlahan tertidur dengan ekspresi damai dan polos. "Kau adalah Lorenzo yang legendaris, kenapa jadi begini?" gumamnya pelan. "Aku janji akan membantumu kembali menjadi dirimu kembali." ***Pagi itu, Dante berdiri di samping Lorenzo, menatap sahabat sekaligus bosnya yang kini tampak begitu berbeda. Lorenzo masih memeluk lututnya, wajahnya menatap ke jendela dengan ekspresi polos, seperti anak kecil yang tidak peduli pada dunia. "Ayo, Enzo," ujar Dante sambil menepuk pundaknya dengan lembut. "Kita perlu membersihkan badanmu hari ini." Lorenzo mengalihkan pandangan, wajahnya terlihat bingung. "Mandi?" Tanyanya dengan suara
Pria itu mendengus kesal, lalu memutar badan dan pergi, meninggalkan kedua anak buahnya yang masih tergeletak. "Bawa mereka!" Perintahnya kepada anak buah lain yang menunggu di pinggir desa. Setelah para preman pergi, Dante mengikuti keluarga Alfonso masuk ke dalam rumah. Kakek mengunci pintu dengan tergesa-gesa, wajahnya penuh kekhawatiran. Di ruang tengah, mereka duduk mengelilingi meja kayu kecil. "Bisakah kakek memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Dante. Alfonso menghela napas panjang, menatap Mariana yang masih menangis ketakutan di pelukan neneknya. "Mereka adalah anak buah Don Ernesto, seorang saudagar kaya yang memiliki banyak kekuasaan di desa ini." "Don Ernesto?" Dante mengernyit. "Kenapa dia ingin membawa Mariana?" Rose, mulai berbicara dengan suara sedih. "Semua ini dimulai dua tahun lalu," katanya sambil menggenggam tangan Mariana. "Ernesto datang ke Alfonso dengan tawaran uang untuk membantu perkebunan kami yang hampir bangkrut. Dia bilang itu hadiah
Suasana makan malam di rumah Alfonso terasa hangat, meski hujan deras masih mengguyur di luar. Dante duduk di meja makan, menikmati sup ayam lezat yang membuat perutnya hangat."Dari mana asalmu, Alex?” Tanya Alfonso sambil menyeruput supnya. "Aku... dari kota," jawab Dante singkat. Identitas mereka harus di rahasiakan.Mariana tersenyum kecil, menatap Dante dengan rasa ingin tahu. "Kota itu seperti apa? Aku ingin sekali pergi ke kota, tapi kakek tidak pernah memberikan izin,” katanya pelan. Sebelum Dante menjawab, terdengar ketukan di pintu depan. "Siapa yang datang malam-malam begini?" Gerutu Alfonso sambil bangkit dari kursinya. Dengan kewaspadaan seperti biasa, Alfonso membuka pintu, dan seorang wanita tua berdiri di sana. Tubuhnya basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak-acakan, tapi wajahnya terlihat ramah. Dia memegang sebuah keranjang kecil yang tertutup kain, dengan senyuman di wajahnya. "Bukankah aku sudah katakan padamu untuk pulang besok pagi?” Kata Alfonso dengan
Di dalam rumah sederhana namun terasa hangat itu, kakek Alfonso duduk di samping Lorenzo, tangannya yang tua dan berkeriput masih cekatan membalut luka Lorenzo menggunakan kain yang dicelupkan ke dalam ramuan herbal berwarna kehijauan. “Tuan, anda mengerti pengobatan?” Tanya Dante matanya tidak lepas dari berbagai ramuan yang di pegang Alfonso. Dia tidak bisa membiarkan orang yang baru mereka kenal memberikan sembarang obat pada Lorenzo.“Aku tahu sedikit.”Dante duduk di dekat perapian, memperhatikan dengan cemas setiap gerakan kakek. "Lukanya dalam," kata Alfonso tanpa menoleh. "Aku sudah melakukan usaha terbaik dengan memberikan ramuan obat yang aku buat sendiri. Sekarang semua tergantung padanya." Dante mengernyit. "Maksud Anda?"Alfonso menghela napas panjang, lalu menatap Dante dengan tatapan mata yang serius. "Kalau dia bisa melewati malam ini, dia akan selamat. Tapi kalau demamnya semakin parah…" Alfonso menggeleng pelan, tidak meneruskan kalimatnya, namun Dante mengerti
Air sungai membawa mereka menjauh dari musuh, tapi arus yang kuat membuat Lorenzo kesulitan menjaga kesadarannya. Luka di pinggangnya membuat tubuhnya semakin lemah, namun ia tetap berusaha berenang, menjaga agar Dante tetap di dekatnya. "Kau baik-baik saja?" Tanya Dante dengan suara keras, mencoba melawan suara arus. "Jangan pikirkan aku," sahut Lorenzo sambil mengatur napas. "Kita harus keluar dari sini sebelum arus membawa kita terlalu jauh."Tiba-tiba saja terdapat pusaran air yang cukup kuat menyeret tubuh Lorenzo, dan tanpa ampun kepalanya membentur batu hingga tidak sadarkan diri.Dante berusaha sekuat tenaga menahan tubuh Lorenzo agar tidak tertelan pusaran air. Sambil berpegangan pada akar pohon yang menjuntai, dengan sisa tenaga, Dante berenang menuju tepian sungai, mencari tempat yang aman untuk beristirahat. Malam mulai tiba, dan luka di kepala Lorenzo terlihat parah.***Dante memapah Lorenzo, satu tangannya melingkari tubuh Lorenzo yang lemah, sementara tangan lainny