"Selamat datang di Kerajaan Bumi Seloka, Ki Bledek. Apa kabar, maaf jika tidak ada sambutan yang berarti dari pihak kerajaan!" sapa panglima dengan nada sopan. "Saya tidak butuh sambutan dari manusia picik seperti Kalian. Cukup berbuatlah adil seperti sedia kala, Banyubiru!" tegas Ki Bledek. Panglima Banyubiru seketika bungkam dan salah tingkah. Dia tidak menyangka jika pria tua itu akan berucap setajam itu padanya. Selama ini dia bungkam dengan semua hal yang terjadi di lingkup kerajaan bahkan kekacauan apapun dia seolah menutup telinga dan kedua mata asal hidupnya dan keluarga terjamin. Dan memang benar yang terjadi sesuai dengan janji sang raja baru bahwa hidupnya dan keluarga terjamin. Mereka tidak kekurangan suatu apapun berbeda dengan rakyat jelata yang selalu diperas dengan biaya upeti tiap tahun selalu mengalami kenaikan tinggi. "Baik, kita lupakan pertempuran dua pendekar tangguh tadi. Wahai rakyat Bumi Seloka, mari kita buka bersama ajang pencarian bakat musim ini. Ketah
Akshita yang berdiri di sisi Jagat melihat arah pandang lelaki itu. Kedua matanya menyipit seperti mengenal kedua pendekar tersebut. Namun, dia lupa kapan terakhir bertemu. Kemudian pandangannya beralih pada wajah Jagat. "Apakah Tuan mengenal dua pendekar di atas arena itu?" tanya Akshita. "Keduanya memiliki jurus yang sekilas hampir sama, mungkin mereka berasal dari satu perguruan, Aks." Akshita mengangguk setuju, tetapi anehnya lagi kedua pendekar itu tidak terlihat bangkit. Maka panglima memberi putusan pertempuran kali ini tidak ada pemenang. Arena kembali dihadirkan dua pendekar tangguh lainnya. Kali ini seperti dari golongan putih. Terlihat dari cara berkelahi memamerkan ilmu kanuragannya. Jagat memerhatikan setiap gerakan kedua pendekar. "Seperti murid dari Pandan Alas, Tuanku," kata Akshita. "Iya kamu benar, apakah mereka mengirim utusan untuk menduduki jabatan penting di pemerintahan?" ucap Jagat lirih. "Mungkin saja, Tuanku.""Untuk apa coba, apakah masih kurang kekua
Kedua mata Akshita menyorot dalam pada jantung Jagat membuat lelaki itu terdiam untuk sesaat lamanya hanya ingin lebih lama memindai kecantikan Aksita. Tanpa sadar tangan yang lain bergerak meraih pinggang wanita tersebut dan merapatkan tubuhnya. Seiring gerakan itu melintas kasar beberapa pria gempal yang tinggi. Akshita menghela napas lega dan berucap terima kasih pada Jagat. Namun, pria itu tetap bergeming memindai wajah wanitanya. Bibir yang tipis berwarna merah dengan hidung mancung, alis tertata rapi membingkai wajah ayu membuat Jagat sulit berpaling. "Jelaskan tanpa terbuang, Aks!" bisik Jagat. Bulu kuduk Akshita seketika berdiri membuat tubuhnya bergetar hebat. Bisikan dan hembusan napas Jagat telah berhasil membangkitkan hasrat yang terpendam ratusan tahun silam. "Tuan, tidak bisakah Anda lepaskan pinggang saya?" tanya Akshita dengan nada ragu. Mendengar kalimat Akshita dengan pelan Jagat mengurai pelukannya tetapi bukan berarti terlepas sepenuhnya. "Maaf jika kamu tidak
Jagat melesat meninggalkan keramaian yang belum selesai menyusul Akshita. Larinya terhenti manakala tidak lagi dirasa pergerakan cakra wanitanya. Saat ini Jagat berdiri tepat di depan sebuah penginapan yang cukup ramai. Perlahan langkahnya memasuki gerbang yang terbuat dari bambu kuning. Hal itu sudah lumrah, apalagi penginapan tersebut terletak di ujung jalan dan berdekatan dengan makam yang dikeramatkan oleh warga sekitar. "Permisi, Bu, apakah tadi ada wanita yang bergaun biru muda datang ke sini untuk sewa kamar?" tanya Jagat. Perempuan berkebaya hitam itu segera memeriksa lembar daun lontar yang ada di depannya. Satu per satu nama yang tertera di daun itu akhirnya disebutkan. Dan saat bibirnya menyebut nama Jagat Akshita barulah berhenti. "Masuk saja, Kisanak. Perempuan yang Anda maksud ada di kamar 25!"Jagat mengangguk lalu berlalu meninggalkan perempuan pencatat tamu yang hadir. Setelah menyusuri lorong, akhirnya Jagat menemukan kamat sesuai informasi. Tangan Jagat terang
Akshita bergeming sambil bersandar pada dinding bambu. Wanita itu terlihat cemberut tanpa melihat wajah Jagat, baginya hari ini begitu tidak bersahabat. Sedangkan Jagat merasa tidak memahami apa yang dia inginkan. "Sungguh ini begitu menyiksa. Dingin dan datar menyatu dalam ragamu, aku tersiksa, Tuanku," batin Akshita. Jagat langsung memandang wajah wanitanya dari samping, karena merasa kurang pas jadi lelaki itu berpindah menghadap langsung pada Akshita. Sikap Jagat membuat wanitanya menjadi salah tingkah. "Jangan membatin seperti itu, Aks!" ucap Jagat dengan nada rendah. Akshita tersenyum lalu mengangguk, lalu dia beranjak bangkit dari duduknya dan berjalan ke meja. Tangannya mulai menuangkan air ke dalam gelas bambu, setelahnya kembali duduk di samping Jagat. "Minum dulu, Tuanku!" pinta Akshita dengan nada rendah. "Heem."Dengan sekali teguk air dalam gelas langsung habis. Setelahnya, dia menatap Akshita dalam, "Bagaimana caranya ilmu welas asih itu, Aks?"Akshita membalas ta
Jagat masih diam menyimak apa yang dijelaskan oleh wanita yang sudah lama menemani perjalanannya. Namun, lambat laun suara menghilang membuat Jagat langsung bangkit dari rebahannya. "Aks, hai!" Dilihatnya tubuh wanita bergerak dengan konsisten, napasnya naik turun sesuai tempo, "Laah, ternyata dia tidur. Pantes wae diam, hilang suaranya. Hadeh!" desisi Jagat. Akhirnya pria itu pun ikut memejamkan kedua matanya. Waktu terus berjalan, malam pun sudah berganti pagi. Suara kokok ayam dan aroma nasi panas disertai ayam bakar telah membangunkan Jagat. "Heem, sudah pagi kah? Aroma ini begitu menggugah selera makanku," ucap Jagat sambil mulai bangkit dan duduk sila. Pertama dia melakukan penetralan jalan napasnya, setelah itu pandangannya melihat seluruh ruang tersebut sambil mulai menghidu. Dahinya langsung berkerut kala aroma yang dicari tidak bisa dihirupnya. "Aneh, bukankah semalam masih tidur lelap bersamaku. Lalu dimana dia berada saat ini, Ya?" tanya Jagat bermonolog. Dengan sed
Cakra yang menguar dengan kuat tidak hanya dirasakan oleh wanita terpasung melainkan juga terbaca oleh dua pendekar putih yang sedang menyamar. Ki Bledek seketika menghentikan laju kudanya tepat di sebuah gubug tua. Kedua matanya menyipit dan menyapu sekitar. "Mengapa berhenti tergesa, Kang?" tanya Ki Bajanglawu. Ki Bledek masih diam, dia mulai menghidu perlahan. Kemudian tubuhnya melenting ke udara melihat seluruh penampakan dari atas. Tiba-tiba seberkas sinar kristal bening melesat naik sesuai bayangan yang mengikutinya. Ki Bledek pun segera mengejar laju sinar tersebut hingga membuat Ki Bajanglawu hanya termangu menatap kepergian kakak seperguruannya. Sedangkan Ki Bledek yang melesat cukup kewalahan untuk mengejar lari pemilik sinar tersebut. "Sialan, kemana perginya sinar itu? Pasti dia yang aku cari selama puluhan tahun." Ki Bledek menggelengkan kepalanya merasakan begitu besar dan kuat cakra tersebut. Sementara Ki Bajanglawu masih menunggu saudara seperguruannya di atas kud
ka "Apakah Dinda Ratu tidak merasakan cakra kristal itu?" tanya Albara. "Cakra itu masih ingusan, untuk apa diributkan. Lebih baik fokus pada perebutan wilayah barat!"Albara menatap ratunya sambil mengernyitkan dahi. Apa maksud kata merebut, sedangkan wilayah itu masih dalam kekuasaannya. Melihat wajah bingung suaminya, Arsinta pun terkekeh lirih. Wanita itu sudah tahu jika wilayah barat akan segera tumbang. "Sepertinya Kanjeng Ratu mengetahui suatu hal mengenai wilayah itu, Paduka Raja," kata Banyubiru. "Apa yang sedang ada di penglihatanmu, Dinda Ratu?"Arsinta kembali fokus untuk membuka cakra ajna(mata ketiga), untuk sesaat ballroom hening semua terfokus pada ratu. Wanita itu menatap ruang kosong, tangannya mulai bergerak memutar seperti sedang membentu bola. Kemudian kedua lengannya dihentak, Blush! Asap tebal membentuk sebuah cermin yang ditengahnya berlobang. Perlahan terlihat pertempuran yang tidak imbang membuat dahi Albara berkerut. Bahkan panglima utama berdiri untuk