Suasana Kotaraja Bumi Seloka terlihat begitu padat bahkan hampir seluruh rakyat jelata berkumpul di alon-alon. Mereka tampak antusias dengan kabar kepulangan pangeran yang digadang akan menggantikan raja mereka yang terkenal bengis dan kejam. Selama ini mereka mendengar selentingan kabar pangeran yang hilang akan segera kembali. Dari kabar tersebut ada sekelompok yang menyamar menunggu sosok yang sedang ditunggu. "Apakah kabar burung itu benar, Kang?""Iya, hanya kita harus menunggu lebih sabar lagi."Kedua pria dengan pakaian compang samping berdiri berdesakan di antara rakyat jelata. Alon-alon yang biasanya sepi kini terlihat ramai dan dipenuhi oleh lautan manusia yang menginginkan tontonan gratis. Berbagai pendekar dari pelosok negeri telah datang untuk mengikuti perekrutan punggawa kerajaan yang saat ini kosong. Kerajaan Bumi Seloka begitu minim punggawa yang mumpuni sejak sepuluh tahun terakhir. Seorang wanita tiba-tiba melesat ditengah arena pertempuran. Dia mengedarkan pand
Jagat hanya memberi anggukan kepala, tetapi bibirnya bungkam. Lelaki itu masih memindai siapa sejatinya pendekar wanita yang telah berani menantang pendekar pria. Walau bagaimanapun saktinya seorang pendekar wanita masih kalah sakti dan tenaga bila dibanding dengan pria. Setelah merasa yakin akan penglihatannya, Jagat menatap Akshita sambil geleng kepala tanda bahwa apa yang diperkirakan oleh wanita tersebut adalah salah. "Jadi jika bukan wanita rubah itu siapa lho, Tuanku?" tanya Akshita. "Bisa jadi dia adalah murid Nyai Wedari, Aks," jawab Jagat singkat. Sementara di antara kerumunan penonton dua orang yang berpakaian compang camping seperti seorang pengemis masih saling tatap. Keduanya tidak mau terlihat mencolok akan identitas perguruannya. Namun, ada salah satu centeng juragan Darso mengenali sosok mereka. Joko yang sudah mengenali salah satu dari dua orang berpakaian pengemis itu akhirnya memilih mendekati keduanya. Lalu membungkuk memberi hormat. "Salam, Ki Bajanglawu. Ap
"Selamat datang di Kerajaan Bumi Seloka, Ki Bledek. Apa kabar, maaf jika tidak ada sambutan yang berarti dari pihak kerajaan!" sapa panglima dengan nada sopan. "Saya tidak butuh sambutan dari manusia picik seperti Kalian. Cukup berbuatlah adil seperti sedia kala, Banyubiru!" tegas Ki Bledek. Panglima Banyubiru seketika bungkam dan salah tingkah. Dia tidak menyangka jika pria tua itu akan berucap setajam itu padanya. Selama ini dia bungkam dengan semua hal yang terjadi di lingkup kerajaan bahkan kekacauan apapun dia seolah menutup telinga dan kedua mata asal hidupnya dan keluarga terjamin. Dan memang benar yang terjadi sesuai dengan janji sang raja baru bahwa hidupnya dan keluarga terjamin. Mereka tidak kekurangan suatu apapun berbeda dengan rakyat jelata yang selalu diperas dengan biaya upeti tiap tahun selalu mengalami kenaikan tinggi. "Baik, kita lupakan pertempuran dua pendekar tangguh tadi. Wahai rakyat Bumi Seloka, mari kita buka bersama ajang pencarian bakat musim ini. Ketah
Akshita yang berdiri di sisi Jagat melihat arah pandang lelaki itu. Kedua matanya menyipit seperti mengenal kedua pendekar tersebut. Namun, dia lupa kapan terakhir bertemu. Kemudian pandangannya beralih pada wajah Jagat. "Apakah Tuan mengenal dua pendekar di atas arena itu?" tanya Akshita. "Keduanya memiliki jurus yang sekilas hampir sama, mungkin mereka berasal dari satu perguruan, Aks." Akshita mengangguk setuju, tetapi anehnya lagi kedua pendekar itu tidak terlihat bangkit. Maka panglima memberi putusan pertempuran kali ini tidak ada pemenang. Arena kembali dihadirkan dua pendekar tangguh lainnya. Kali ini seperti dari golongan putih. Terlihat dari cara berkelahi memamerkan ilmu kanuragannya. Jagat memerhatikan setiap gerakan kedua pendekar. "Seperti murid dari Pandan Alas, Tuanku," kata Akshita. "Iya kamu benar, apakah mereka mengirim utusan untuk menduduki jabatan penting di pemerintahan?" ucap Jagat lirih. "Mungkin saja, Tuanku.""Untuk apa coba, apakah masih kurang kekua
Kedua mata Akshita menyorot dalam pada jantung Jagat membuat lelaki itu terdiam untuk sesaat lamanya hanya ingin lebih lama memindai kecantikan Aksita. Tanpa sadar tangan yang lain bergerak meraih pinggang wanita tersebut dan merapatkan tubuhnya. Seiring gerakan itu melintas kasar beberapa pria gempal yang tinggi. Akshita menghela napas lega dan berucap terima kasih pada Jagat. Namun, pria itu tetap bergeming memindai wajah wanitanya. Bibir yang tipis berwarna merah dengan hidung mancung, alis tertata rapi membingkai wajah ayu membuat Jagat sulit berpaling. "Jelaskan tanpa terbuang, Aks!" bisik Jagat. Bulu kuduk Akshita seketika berdiri membuat tubuhnya bergetar hebat. Bisikan dan hembusan napas Jagat telah berhasil membangkitkan hasrat yang terpendam ratusan tahun silam. "Tuan, tidak bisakah Anda lepaskan pinggang saya?" tanya Akshita dengan nada ragu. Mendengar kalimat Akshita dengan pelan Jagat mengurai pelukannya tetapi bukan berarti terlepas sepenuhnya. "Maaf jika kamu tidak
Jagat melesat meninggalkan keramaian yang belum selesai menyusul Akshita. Larinya terhenti manakala tidak lagi dirasa pergerakan cakra wanitanya. Saat ini Jagat berdiri tepat di depan sebuah penginapan yang cukup ramai. Perlahan langkahnya memasuki gerbang yang terbuat dari bambu kuning. Hal itu sudah lumrah, apalagi penginapan tersebut terletak di ujung jalan dan berdekatan dengan makam yang dikeramatkan oleh warga sekitar. "Permisi, Bu, apakah tadi ada wanita yang bergaun biru muda datang ke sini untuk sewa kamar?" tanya Jagat. Perempuan berkebaya hitam itu segera memeriksa lembar daun lontar yang ada di depannya. Satu per satu nama yang tertera di daun itu akhirnya disebutkan. Dan saat bibirnya menyebut nama Jagat Akshita barulah berhenti. "Masuk saja, Kisanak. Perempuan yang Anda maksud ada di kamar 25!"Jagat mengangguk lalu berlalu meninggalkan perempuan pencatat tamu yang hadir. Setelah menyusuri lorong, akhirnya Jagat menemukan kamat sesuai informasi. Tangan Jagat terang
Akshita bergeming sambil bersandar pada dinding bambu. Wanita itu terlihat cemberut tanpa melihat wajah Jagat, baginya hari ini begitu tidak bersahabat. Sedangkan Jagat merasa tidak memahami apa yang dia inginkan. "Sungguh ini begitu menyiksa. Dingin dan datar menyatu dalam ragamu, aku tersiksa, Tuanku," batin Akshita. Jagat langsung memandang wajah wanitanya dari samping, karena merasa kurang pas jadi lelaki itu berpindah menghadap langsung pada Akshita. Sikap Jagat membuat wanitanya menjadi salah tingkah. "Jangan membatin seperti itu, Aks!" ucap Jagat dengan nada rendah. Akshita tersenyum lalu mengangguk, lalu dia beranjak bangkit dari duduknya dan berjalan ke meja. Tangannya mulai menuangkan air ke dalam gelas bambu, setelahnya kembali duduk di samping Jagat. "Minum dulu, Tuanku!" pinta Akshita dengan nada rendah. "Heem."Dengan sekali teguk air dalam gelas langsung habis. Setelahnya, dia menatap Akshita dalam, "Bagaimana caranya ilmu welas asih itu, Aks?"Akshita membalas ta
Jagat masih diam menyimak apa yang dijelaskan oleh wanita yang sudah lama menemani perjalanannya. Namun, lambat laun suara menghilang membuat Jagat langsung bangkit dari rebahannya. "Aks, hai!" Dilihatnya tubuh wanita bergerak dengan konsisten, napasnya naik turun sesuai tempo, "Laah, ternyata dia tidur. Pantes wae diam, hilang suaranya. Hadeh!" desisi Jagat. Akhirnya pria itu pun ikut memejamkan kedua matanya. Waktu terus berjalan, malam pun sudah berganti pagi. Suara kokok ayam dan aroma nasi panas disertai ayam bakar telah membangunkan Jagat. "Heem, sudah pagi kah? Aroma ini begitu menggugah selera makanku," ucap Jagat sambil mulai bangkit dan duduk sila. Pertama dia melakukan penetralan jalan napasnya, setelah itu pandangannya melihat seluruh ruang tersebut sambil mulai menghidu. Dahinya langsung berkerut kala aroma yang dicari tidak bisa dihirupnya. "Aneh, bukankah semalam masih tidur lelap bersamaku. Lalu dimana dia berada saat ini, Ya?" tanya Jagat bermonolog. Dengan sed
Akshita masih menatap wajah Jagat dengan lembut, kedua tangannya melingkar di leher kekar itu. Napasnya yang harum telah menyapa kulit leher Jagat. Sentuhan yang lama tidak menyapa kini mulai membangkitkan hasrat terpendam. Semilir angin telah mengganggu jiwa Jagat, dia tidak bisa menolak pesona sang dewi. Akshita masih mengumbar senyum manisnya dengan jari jemari berjalan naik turun di sepanjang leher kekasihnya. Jagat mulai bergolak, jakunnya naik turun dengan cepat membuat senyum Akshita makin memabukkan. "Bukan tidak rela, Kang. Tetapi lebih ingin memiliki seutuhnya semua milikmu termasuk jiwamu."Jagat bergerak merapatkan tubuhnya hingga membuat Akshita terduduk di pinggiran kolam. Selendang merah yang membungkus dadanya berkibar bersentuhan dengan angin hingga menampilkan tulang selangka yang indah. Jagat sudah tidak tahan lagi, maka dia menundukkan kepalanya dan melabuhkan kecupan ringan pada tulang selangka itu. Kecupan yang lembut dan penuh kasih belum mampu membangkitkan
Jagat Kelana menatap sosok pria muda di depannya. Bibirnya melengkung sempurna, lalu tangannya terangkat untuk memberi restu pada pria muda itu. Pria muda itu pun membujuk sesaat lalu terangkat menatap langsung pada manik mata Raja muda itu. Dia tersenyum tipis. "Bagaimana pola latihan mereka, Anakmas?"Pria muda itu mulai menjelaskan kemajuan latihan para prajurit yang selama ini dia latih. Semua telah berhasil hingga ke tingkat tengah kelas dua. "Apakah jadi mereka dipilih dan dikirim ke kerajaan sebelah, Ayahanda?""Iya, kerajaan itu belum memiliki prajurit handal satu pun. Siapa nama kamu, Anakmas?"Pria muda itu menatap pada Raja Singgalang, lalu bibirnya tersenyum dengan menyuarakan, " Airlangga Batinara."Jagat tersenyum, "berapa usiamu?""25 tahun masa alam kami."Jagat Kelana tersenyum, dia berdiri dan terbang mendekati sosok pria muda itu. Lalu dia berdiri di depan Airlangga, memeluknya erat. "Sudah sebesar ini baru kamu datang ke sini. Apakah tidak ingin tahu ayahmu?""
Malam yang begitu dingin membuat Jagat segera membawa tubuh istrinya masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan pun berlanjut hingga berulang kali. Ternyata tubuh yang memiliki struktur tulang yang rentan itu mampu menampung gairahnya hingga berulang kali. Prameswari merasa begitu bahagia telah membuat suaminya tersenyum puas. Akan tetapi, tubuh itu juga memiliki daya tahan yang rendah. Penyatuan yang dilakukan hingga menjelang pagi membuat tulang Prameswari seakan lepas kontrol. Tubuhnya menjadi lemas. "Tuan, Suamiku, maafkan aku! Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu," kata Prameswari dengan tatapan memohon. "Baiklah, kita sudahi dulu. Sekarang tidurlah!" balas Jagat. Setelah berkata itu, kedua mata Prameswari terpejam. Hal ini membuat Jagat khawatir, dia pun segera memeriksa kondisi tubuh istrinya. "Bagaimana bisa seperti ini, Nyai? Aku baru saja merasakan nyaman bersama tubuhmu, kamu terlanjur pingsan. Hadeh!"Jagat segera memakai jubahnya, lalu dia duduk sila di sisi ranjang. Kedua
Malam ini waktunya Jagat bersama Prameswari. Keduanya duduk di teras belakang paviliun. Jagat memilih duduk di tanah beralaskan rumput, sementara Prameswari duduk diam di sisi kanannya. "Duduk dekat sinilah, Istriku!" Prameswari menggeser tubuhnya dengan senyum yang dia sembunyikan. Kepalanya menunduk dalam, dia malu dengan pendekatan suaminya. Berbeda dengan Jagat, dia justru mulai merebahkan kepalanya pada paha Prameswari membuat wanita itu terdiam seketika. "Suami!" pekik Prameswari ringan. Dengan santainya Jagat mencari tempat ternyaman untuk kepalanya, lalu tangannya meraih jemari istrinya itu dan meletakkan pada kepalanya. "Bisa pijat di sini sebentar, Nyai!" Pinta Jagat dengan tatapan penuh harap. Prameswari tidak bisa bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun gemetaran menyentuh kepala suaminya. Perlahan disentuhnya rambut bergelombang pendek milik suaminya. 'Jantungku sepertinya mulai sakit," batin Prameswari merasa hatinya begitu senang be
"Nyai, kok malah melamun," kata Jagat lembut sambil melabuhkan sebuah kecupan hangat pada bibir istrinya. Mendapat sentuhan lembut seketika lamunan Akshita menghilang, lalu dia membalas ciuman Jagat lebih meminta. Keduanya larut dalam ciuman yang dalam. Cukup lama keduanya saling berbagi saliva, bahkan Jagat mulai menekan tubuh Akshita pada sandaran kursi kemudian dia duduk menyilang agar lebih dekat. "Kang!" panggil Akshita dengan nada berat. "Hemm."Jagat tidak melepaskan pelukannya dia justru mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke ayunan yang biasa di gunakan Jagat saat mengingat kenangan bersama Akshita. "Apakah di sini tidak akan mengganggu yang lainnya, Kang? Aku merindukanmu," bisik Akshita yang membuat gairah Jagat memuncak. "Tidak. Dan jangan remehkan kekuatanku saat ini, Nyai."Akshita tersenyum, jari jemarinya mulai bergerak perlahan membuka satu per satu kain penutup tubuh suaminya. Jagat membiarkan semua inginnya Akshita. Dia terlihat begitu menikmati apa pun y
Mendengar niat suaminya, Roro Wening pun menyiapkan segalanya yang biasa dilakukan Jahat sebelum penyatuan. Kali ini selir itu tidak mau ada yang tertinggal. Ini adalah pelajaran yang sudah dia pahami selama hidup bersama Jagat baik sebelum miliki kerajaan ataupun sudah. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Asih!" kata Roro Wening sambil menata beberapa benda yang harus dipakai oleh selir utama. "Nggeh, siap."Seorang dayang senior ikut membantu selur agung menyiapkan semua. Mulai dari aroma cendana hingga kain penutup kala penyatuan dimulai. Roro Wening juga memberikan beberapa catatan apa saja yang akan diucapkan sebelum tubuh Prameswari tersentuh. "Semua sudah siap, Kanjeng Ratu.""Jangan sebut nama itu, Asih. Semua belum resmi meskipun Yunda Akshita sudah datang menemaniku semalam.""Jika sudah seperti ini tidak mungkin akan lupa, Kanjeng Ratu. Niat Nyai Akshita sudah jelas bahkan putranya sendiri ditugaskan untuk menjaga kedamaian kerajaan ini lho," papar Asih--dayang senior.
Sinar mentari masuk di sela jendela kamar Roro Wening, hangatnya mampu membangunkan selir cantik dan seksi itu. Melihat istrinya mulai bangkit dari ranjang Jagat segera mendekat dan membantu istrinya itu. Perlakuan Jagat yang hangat membuat hati Roro Wening terharu. "Duduk sini dulu, tunggu kusiapkan air untuk kamu mandi!" kata Jagat. Roro Wening pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Jagat. Kemudian pria itu berdiri menuju ke balik pembatas anyaman bambu. Terdengar suara gemericik air yang dialirkan oleh Jagat. Setelah semua persiapan mandi istri selesai, Jagat keluar dari dalam lalu melangkah mengikis jarak dengan istrinya. Kemudian dengan lengannya diangkat tubuh istrinya ala bridal. "Turunkan aku, Suamiku!""Jangan banyak bergerak biar ndak jatuh!"Mendengar hal itu membuat Roro Wening mempererat pegangannya pada leher Jagat. Pria itu tersenyum melihat sikap istrinya, lalu dimasukkan perlahan tubuh Roro Wening ke dalam bak mandi. Tangan Jagat mulai bergerak membasuh punggung i
Udara dingin membuat tubuh Roro Wening menggigil parah. Bahkan muncul ruam merah hingga membuat salah satu dayang berlarian di sepanjang lorong peraduan raja. Dayang itu mendengar suara sang Raja berbicara dengan seorang wanita, bahkan suaranya begitu membuat bulu kuduk berdiri. Sebagai wanita dewasa dayang itu pasti paham suara apa yang dia dengar. Namun, dia lebih memilih tetap diam berdiri di depan pintu hingga suara itu menghilang. Cukup lama dayang itu berdiri di sana hingga pintu kamar Raja terbuka menampilkan sosok wanita yang begitu cantik dengan wajah bercahaya. "Masuklah!" Usia berkata wanita itu pergi sambil menarik selendang merahnya hingga membuat tubuhnya terbang. Peristiwa yang langka membuat wanita itu terpana dan takjub. Sungguh kejadian itu teramat langka. Suara Raja yang memanggilnya pun tidak mampu membuatnya lepas meninggalkan pemandangan itu. "Dayang, ada apa hingga larut malam kamu tidak istirahat?" Suara Jagat sudah begitu dekat dengan telinga dayang membu
Hari terus berlalu, kasim yang dipergoki oleh Roro Wening akhirnya dia mengaku mengapa perbuatan itu dilakukan. Dia juga mengaku semua dilakukan hanya untuk mengukur waktu. "Baik, jika semua ini atas perintah Raja sendiri maka mana buktinya?" tanya Nyai Ratu Zavia. Pemuda itu diam dengan kepala menunduk dalam. Dia memang diperintah oleh Raja Jagat tanpa ada surat tertulis. Hal ini membuat bibirnya bungkam, tetapi dalam hati menyalahkan tugas rahasia yang telah terungkap. "Jika untuk mengukur waktu, lalu semua itu atas tujuan apa?""Sebenarnya Raja Jagat Kelana sudah pulang, Ibu Ratu. Tetapi hal ini masih dalam mimpi semua penghuni kerajaan, maka dari itu saya tidak berani ungkap hanya bisa mengulur waktu sesuai perintah."Roro Wening yang melihat cara bercerita pemuda di depannya merasakan aura yang begitu kuat menyebar di ruang pendopo agung. Aura ini begitu familiar. "Baik, apakah dengan begini kamu lah yang akan menikahi selir Pitaloka, begitu?"Pemuda itu masih diam, kedua tan